Tautan berhasil disalin ke clipboard!

11.89 dan Logika Kacang Hijau

👤 A. A. Ngurah Jambe Pramana Ningrat 🏫 XI-10 🆔 25652

11.89 Detik dan Logika Kacang Hijau

​Oke, serius, kalau ada yang tanya hidup gue di SMA kayak apa, gue akan kasih analogi paling jujur: lo lagi streaming film bagus di koneksi 3G. Jalan, tapi nyendat-nyendat. Frustrasi. Nama gue Dhimas Pradana, Kelas XI IPA. Gue nggak jenius, nggak berandal. Di buku tahunan, foto gue pasti dikasih caption 'anak yang selalu ada'. Eksistensi gue 90\% auto-pilot dan 10\% panik mendadak kalau ada ulangan dadakan. Gue adalah definisi dari medioker.

​Di sekolah, ada semacam hirarki yang nggak tertulis. Ada The Achievers (Si Bima yang udah merintis brand baju lokal dan udah di-endorse kopi sachet, dan Si Tania yang pacaran serius sama anak kuliahan, kayaknya udah booking gedung nikah). Lalu ada The Rebels, dan di paling bawah, ada kami: The Ghost. Orang-orang yang kalau nggak masuk pun, absen nggak akan kerasa kosong.

​Gue benci status Ghost ini. Makanya, gue cuma punya satu obsesi tolol yang gue yakini bisa mengubah takdir: lari 100 meter.

​Obsesi gue cuma satu: angka setan 12.01 detik.

​Gue udah dua tahun mentok di angka itu. 12.01. Selalu. Lo tahu rasanya? Kayak lo nonton film yang sama berulang kali, dan tiap kali sampai di scene klimaks, listrik mati. Mau gue kurangin tidur, makan protein doang, atau lari sampai muntah di pinggir lapangan yang bau kencing kucing, hasilnya sama. 12.01. Itu bukan batasan fisik gue. Itu adalah limit mental yang gue ciptakan sendiri, semacam karma yang nempel di stopwatch digital gue.

​Sampai Risa datang.

​Risa ini... alien. Dia pindah dari kota yang katanya punya udara lebih bersih (gue yakin itu bualan, paling dia cuma pindah karena orang tuanya dinas) dan langsung duduk di bangku depan gue. Dia adalah perwujudan kontradiksi. Kacamata tebal, rambut diikat asal-asalan kayak baru bangun tidur, tapi pandangannya... njir, pandangannya itu kayak lagi meneliti bakteri di mikroskop, bukan ngelihat guru Biologi yang lagi menjelaskan.

​Dia selalu bawa buku yang bikin gue pusing cuma lihat sampulnya. "Filsafat Nihilisme: Mengapa Kita Tidak Peduli?" atau "Sejarah Ekonomi Soviet di Era Kruschev." Buku yang nggak ada sangkut pautnya sama pelajaran Kimia yang kami ikuti. Gue yakin, kalau disuruh milih antara chat sama pacar atau baca Catatan Kaki buku tebal, dia bakal milih Catatan Kaki.

​Interaksi awal kami 90\% seputar utang alat tulis.

​"Pinjam tip-ex," kata gue.

​Dia nyodorin tanpa noleh. "Ambil, Dhimas. Jangan lupa balikin kayak kemarin. Yang lo pinjem itu yang warna biru, bukan yang hijau."

Sial. Dia ingat. Detail kecil aja dia ingat. Gue sempat mikir, jangan-jangan dia benar-benar intel sekolah yang ditugaskan buat mantau gue karena gue sering telat bayar uang kas. Atau jangan-jangan otaknya memang super-komputer yang menyimpan semua data yang masuk.

​Pintu gerbang menuju kedekatan kami yang aneh itu adalah Proyek Biologi: Mengamati Pertumbuhan Kacang Hijau. Ya ampun, kalau ada tugas yang lebih receh dari ini, tolong kasih tahu gue. Itu namanya tugas nggak niat.

​Tapi Risa nggak anggap itu tugas nggak niat.

​Kami harus ketemu di lab Biologi setelah jam sekolah, di antara botol-botol formalin dan bangku kayu yang diukir-ukir nama mantan. Risa, dia langsung berubah jadi Profesor Aneh. Kami punya empat pot: Pot A di tempat terang, Pot B di tempat gelap (itu etiolasi), Pot C yang disiram air garam (eksperimen gue), dan Pot D yang disiram air biasa (kontrol).

​"Dhimas, lihat. Pot B ini etiolasi. Batangnya panjang, cepat, tapi lemah. Akarnya rapuh. Ini terjadi karena dia terlalu fokus mencari cahaya di atas, melupakan fundamentalnya di bawah. Sama kayak remaja yang fokus flexing di sosial media, tapi lupa diri sendiri isinya apa," dia berbisik, serius banget ke tauge kecil. Ekspresinya kayak lagi mengamati kehancuran peradaban kuno.

​"Ris, itu tauge. Relaks. Nanti juga kita jadiin bubur kacang ijo," kata gue, nyengir.

​Dia noleh, tatapannya dingin banget. "Dhimas, lo meremehkan. Segalanya punya pola, termasuk tauge dan hidup lo. Dan lari lo. Kalau lo bisa ngurai pola tauge yang tumbuh miring ini, lo bisa ngurai pola 12.01 lo yang mentok itu."

Jleb. Dia nggak salah. Rasanya kayak ditampar pakai buku tebalnya. Gadis ini selalu punya cara untuk menusuk tepat di titik yang paling gue hindari. Gue akhirnya cerita soal lari. Soal kegagalan gue yang terulang-ulang.

​Kami jalan ke halte. Udara sore lumayan adem, tapi hati gue panas.

​"Gue nggak ngerti kenapa gue stuck di 12.01," kata gue, suaraku sedikit putus asa. "Tiang bendera itu kutukan. Itu 90 meter. Sisanya 10 meter. Di sana, napas gue masih ada, tapi kaki gue kayak diikat beban. Kenapa, Ris? Kenapa selalu di sana? Itu bukan fisik, Ris. Itu kayak ada rem tangan di otak gue."

​Risa berhenti di bawah pohon rindang. Dia nggak menatap gue, dia melihat ke arah motor yang baru saja ngebut dan membuat polusi suara.

​"Lo lari kayak dikejar utang, Mas," katanya, pelan. "Lo lari bukan karena lo suka lari. Lo lari untuk membuktikan ke 12.01 kalau lo nggak selemah itu. Lo menjadikan angka itu tujuan, bukan konsekuensi. Itu tekanan, Mas. Bukan motivasi."

​"Ya terus gue harus gimana? Lari sambil meditasi? Sambil dengerin playlist lagu sendu?"

​"Nggak usah tolol," dia ketus lagi. Nah, ini gue suka. Jujur.

​"Lo harus mengubah alasan lo. Lo terlalu sibuk ngitung di otak. 12.01 itu cuma angka. Lo udah ciptain garis finish kedua di otak lo sendiri. Lo takut melepaskan identitas 'anak yang catatan waktunya 12.01'. Padahal, identitas lo harusnya anak yang lari karena dia suka angin."

​"Gue harus lari karena gue ingin merasakan angin yang menampar wajah lo, bukan karena lo benci angka di stopwatch. Lo harus lari karena lo penasaran seberapa jauh lo bisa melangkah tanpa perlu repot-repot menghitung hasilnya. Kayak tauge. Dia cuma tumbuh. Dia nggak mikir mau jadi apa besok. Dia cuma menikmati proses grow effortlessly."

​Gue terdiam. Logika kacang hijau. Lepaskan tegangan. Biarkan tumbuh secara alami. Sial, ini gila. Gue baru aja dapat ceramah filsafat hidup dari pacar imajiner tauge.

​Seminggu setelah obrolan absurd itu, kami punya ritual baru. Setiap sore, Risa akan nungguin gue selesai latihan di pinggir lapangan. Dia nggak lari. Dia cuma duduk di rumput, baca bukunya, dan pas gue selesai, dia akan kasih botol air minum yang dinginnya kayak di kutub utara. Dia jadi semacam coach spiritual lari gue.

​"Bahu lo tegang lagi, Mas. Angin itu harusnya membelai, bukan lo lawan," komentarnya setelah gue lari 12.04. Dia bahkan nggak perlu lihat jam. Dia tahu dari postur gue. "Itu buang-buang energi. Ingat logika tauge: grow effortlessly."

​"Gue coba, Ris, tapi otak gue otomatis ngitung," rengek gue.

​Dia melipat bukunya. "Itu kebiasaan buruk, sama kayak lo suka nyubit makanan orang lain. Focus on the pain. Tapi bukan rasa sakitnya, melainkan sensasinya. Rasa sakit itu kan cuma sinyal. Teriak balik ke sinyal itu: gue nggak peduli, gue cuma mau lari."

​Gue cuma bisa mesam-mesem. Gue sempat mau nyolot, tapi gue lihat buku yang dia baca: A Study of History karya Arnold J. Toynbee. Oke, gue kalah. Otaknya lebih berat.

​Hubungan kami di sekolah juga mulai aneh. Di kantin, gue yang biasanya makan sendiri di pojokan sambil scroll HP, sekarang duduk di meja Risa.

​"Kenapa lo nggak pernah beli mie ayam, Ris? Kan enak," tanya gue suatu hari.

​Dia makan nasi pecelnya dengan tenang. "Terlalu banyak micin. Micin itu membunuh logika berpikir. Gue butuh otak gue tetap jernih buat memahami ketidakpastian dunia."

​"Oh, jadi mie ayam itu musuh Filsafat Jerman lo?"

​Dia cuma senyum, yang lagi-lagi langka. "Kurang lebih begitu."

​Tapi anehnya, di balik semua filosofi itu, Risa sangat manusia. Dia pernah ketahuan nangis diam-diam di perpustakaan karena nilainya di pelajaran Sosiologi turun dari 98 ke 95. Gue yang saat itu lagi pura-pura baca majalah bekas langsung panik.

​"Ris, lo kenapa? Ada masalah sama tauge lo?" tanya gue tolol.

​"Sosiologi gue, Mas," bisiknya, suaranya parau. "Gue salah menganalisis teori Max Weber. Gue nggak bisa se-subjektif itu!"

​Gue cuma bisa tepuk-tepuk punggungnya canggung. Ternyata, dia juga punya limit konyolnya sendiri. Hanya saja, limit dia bukan di kaki, tapi di angka 100.

​Hari-H Lomba Lari 100 Meter. Lapangan penuh banget, kayak mau konser dangdut. Bau keringat, parfum murah, dan hype yang bikin enek. Gue di jalur empat. Perut mules, rasanya pengen pura-pura sakit perut. Rasanya gue mau jadi Ghost lagi, menghilang dari keramaian ini.

​Gue lihat ke tribun. Risa ada di sana, di barisan atas, buku tebalnya kini tertutup. Dia nggak teriak. Dia cuma mengangkat tangan, terus dengan jarinya, dia menunjuk ke telinganya, lalu ke lapangan. Dengarkan hati lo. Fokus di sini.

DOR!

​Gue lari. Kaki-kaki di samping gue bergerak kayak piston. Sempat ada suara Bima di jalur sebelah yang kayaknya ngebut banget.

​Sampai di tiang bendera... titik kritis. Otak gue teriak: HITUNG! REM! LO NGGAK KUAT! Itu kayak ada suara 12.01 yang berteriak di telinga gue.

​Tapi gue tolak. Gue ingat tauge Risa. Fokus pada proses. Gue memejamkan mata singkat—bahaya, tapi impulsif—dan mendorong seluruh sisa energi gue. Gue nggak memikirkan finish. Gue cuma memikirkan rasa dinginnya udara yang masuk ke paru-paru gue yang panas. Gue cuma berpikir, terserah, gue nggak peduli, gue cuma mau lari.

​Gue melewati garis finish. Terhuyung. Napas gue tersengal-sengal. Gue ambruk di rumput. Rasanya 100 meter itu baru saja gue taklukkan, bukan sebaliknya.

​Tiba-tiba rame banget. Bimo datang sambil nepuk-nepuk punggung gue keras banget sampai paru-paru gue makin sakit. "Anjir, Mas! Lo gila! Under 12!"

​Gue langsung lihat papan skor. Mata gue mencari nama gue di daftar hasil.

​Waktu Terbaik: 11.20 detik. (Bukan gue).

​Waktu Terbaik Kedua: 11.65 detik. (Juga bukan gue).

​Waktu Terbaik Ketiga: Dhimas Pradana: 11.89 detik.

​11.89. Gue berhasil. 12 per seratus detik di bawah batas mental gue.

​Risa berjalan pelan ke arah gue, langkahnya tenang, nggak kayak orang lain yang teriak-teriak. Dia kasih botol air.

​"Selamat, Mas," katanya. Senyumnya tipis, tapi ada kilatan aneh di matanya. Kilatan bangga.

​"Logika tauge lo berhasil, Ris," kata gue, masih terengah-engah. "Gue nggak mikir. Gue cuma lari sekuat tenaga. Gue cuma mikirin angin sama absurditas tauge lo."

​"Bagus," dia mengangguk puas. "Tidak ada yang serumit yang kita pikirkan. Kecuali, mungkin, bab 9 Mekanika Kuantum. Itu memang rumit."

​Kami tertawa. Tawa yang renyah dan jujur. Gue tahu, gue mungkin nggak akan dapat emas di hari itu. Tapi gue berhasil ngalahin diri gue yang 12.01. Dan itu rasanya lebih enak dari semua medali yang ada.

​Sejak hari itu, kami jadi lebih sering bareng. Kami masih aneh. Dia baca buku berat, gue latihan lari. Tapi sekarang, dia sudah berhenti menganalisis tauge, dan gue sudah berhenti panik.

​Kami duduk di kantin, dia makan mi instan kuah (ternyata dia juga manusia yang melanggar prinsip demi rasa enak), gue makan nasi goreng.

​"Lo tahu, Ris," kata gue sambil nyuap. "Gue selama ini takut banget sama masa depan. Kayak lari di kegelapan. Nggak tahu finish-nya di mana. Takut banget kalau nanti ujung-ujungnya cuma jadi 'lumayan' lagi."

​Dia mengangkat bahu. Dia membenarkan kacamatanya dengan gerakan khas.

​"Ya baguslah. Kalau tahu finish-nya di mana, buat apa repot-repot lari? Justru lari itu kan menikmati ketidaktahuan. Jadi, berhenti panik. Lo udah lewatin 12.01. Itu breakthrough yang lebih penting dari lolos SNMPTN. Masa depan itu nggak butuh master plan, Mas. Cuma butuh impuls yang benar."

​Gue senyum. Mungkin gue nggak akan pernah ngerti kenapa dia suka Filsafat Jerman. Tapi gue ngerti satu hal: masa remaja ini memang berantakan. Tapi dengan satu orang yang bisa ngasih lo logika tauge, lo bisa berhenti panik dan mulai lari. Dan mungkin, jadi 'lumayan' itu nggak buruk, selama lo yang mendefinisikan batas 'lumayan' lo sendiri.

​Gue melihat ke luar jendela. Langit sudah mulai gelap. Gue merasa lega. Lega banget. Gue merasa akhirnya ada di tempat yang seharusnya.