Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Malam Telur Busuk yang Tak Terlupakan

👤 Komang Radya Anantawijaya 🏫 XI-10 🆔 25632

Namaku Raka, dan malam itu harusnya jadi malam paling seru dalam sejarah persahabatan kami berlima. Harusnya, loh. Tapi siapa sangka, semuanya berubah gara-gara sebutir telur busuk. Ya, telur. Sepele banget, tapi malam itu bikin kami semua nyaris mampus di kamar mandi. Semuanya bermula ketika Dio, sahabat kami yang rumahnya paling besar (dan punya kolam renang mini), ngajak kami nginep. Katanya, “Orang tua gue lagi ada acara semalam doang, jadi rumah bebas dipakai. Gas aja, bro!” Tanpa pikir panjang, aku, Rafi, Bagas, dan Nino langsung setuju. Siapa sih yang nolak kesempatan langka bisa nginep di rumah Dio? Rumahnya kayak villa — ada TV segede papan tulis sekolah, kamar tamu lebih banyak dari jumlah anggota keluarga, dan koneksi Wi-Fi yang kenceng banget. Kami datang sore hari bawa barang seadanya: pakaian ganti, handuk, dan semangat nginep. Dari sore sampai magrib, kami udah kayak bocah TK lepas kandang. Kami main basket di halaman belakang — Dio sama Rafi tandeman, aku bareng Nino. Bagas jadi wasit, tapi dia malah sibuk selfie sambil teriak, “Anjir, gaya gue kayak atlet NBA!” Keringetan, haus, tapi bahagia. Setelah itu, kami lanjut mandi, makan malam dari sisa nasi kotak acara mamanya Dio, lalu nonton film horor sambil rebutan selimut. “Kalau ada hantu beneran nongol, gue pura-pura pingsan aja,” kata Bagas. “Lu mah emang pingsan beneran ntar,” balas Nino. Suasana makin seru pas Dio nyalain PS5. Kami main bola virtual sampai teriak-teriak kayak final Piala Dunia. Tapi sekitar jam setengah dua belas malam, perut kami kompak berbunyi kayak orkestra lapar.


“Eh, laper nggak sih?” tanya Rafi sambil nyengir. “Laper parah, bro. Dari sore gue cuma makan ayam suwir satu sendok,” jawab Bagas dramatis. Kami serentak nengok ke dapur. Dio langsung bilang, “Orang tua gue pergi, tapi ada Mbak Sari di rumah. Tapi dia udah tidur dari jam sepuluh. Masa kita bangunin cuma buat masak mie?” Aku santai aja bilang, “Masak sendiri aja.” Dio mikir sebentar lalu angkat bahu. “Oke, tapi jangan berantakin dapur gue ya. Ntar emak gue mikir rumah diserang monyet.” Kami pun berbondong-bondong ke dapur kayak ekspedisi tengah malam mencari makanan. Dio buka lemari dapur, dan kami semua bersorak, “TARAA! Stok mie instan segunung!” Serius, jumlahnya bisa buat buka warung. “Masak lima, cukup kan?” tanya Nino. “Buat kita berlima? Lu kira kita kucing?” protes Bagas. Akhirnya kami sepakat masak sepuluh bungkus mie.


Kami mulai masak bareng. Ada yang buka bumbu, ada yang aduk air, ada yang ngatur topping. Dan di sinilah awal malapetaka muncul. Rafi, si ahli improvisasi masakan (katanya), nyeletuk, “Eh, tambahin telur we! Biar kayak mie abang-abang depan sekolah!” Semua langsung setuju. Dio buka kulkas dan nemuin enam butir telur di rak bawah. “Masih ada nih. Perfect!” Tanpa pikir panjang, Nino ambil dua telur, pecahin, dan plok! Baunya agak aneh. Tapi karena kami semua udah lapar, kami cuma saling pandang sebentar. “Wew, kayaknya telur bebek ya, baunya beda dikit,” kata Bagas sok tahu. “Ya udah, lanjut aja,” timpal Rafi. Dan kami lanjut masak tanpa rasa curiga. Air mendidih, bumbu dituang, telur masuk, aduk, jadi! Wangi mie menyebar ke seluruh dapur, bikin perut makin nyanyi. Kami semua duduk di meja makan, mangkuk masing-masing di tangan, lalu serempak bilang, “SELAMAT MAKAN!”


Di menit-menit pertama, mie itu terasa nikmat banget. Hangat, gurih, dan pedas pas. “Bro, sumpah ini kayak mie level chef,” kata Dio bangga. “Telurnya juga lembut banget,” tambah Rafi, yang ternyata makan bagian telur paling banyak. Tapi lima belas menit kemudian, semuanya berubah. “Eh, perut gue kok aneh ya?” kataku sambil pegang perut. “Gue juga, bro,” sahut Nino. Bagas meringis, “Ini… gas atau tsunami?” Belum sempat kami pikir panjang, suara-suara aneh mulai terdengar dari perut masing-masing. KRUUK… GRUUUK… Kami semua saling pandang dengan tatapan panik. “Jangan bilang…” kata Dio pelan. “TELURNYA!” teriak Rafi. Serentak, kami semua bangkit dan lari ke arah kamar mandi. Masalahnya: kamar mandi cuma ada dua. Lima orang, dua kamar mandi. Perang dunia perut pun dimulai.


“Aku duluan! Aku duluan!” teriak Bagas sambil dorong pintu. “Gak bisa! Gue udah mau meledak nih!” balas Nino. Dio buru-buru lari ke kamar mandi belakang, tapi ternyata dikunci dari dalam — Rafi udah duluan di sana. Aku yang paling sial, terjebak di tengah ruang tamu, sambil nahan sakit perut dan menyesali hidup. “Bro, kalau gue nggak selamat, bilang ke emak gue… jangan masak telur lagi,” ucapku lirih. Suasana malam itu berubah jadi kacau balau. Suara air, suara flush, dan jeritan penderitaan terdengar di seluruh rumah. Mbak Sari yang tidur di kamar dekat dapur kebangun dan keluar dengan muka bingung. “Ya ampun, kenapa pada ribut?” Dio keluar dari kamar mandi dengan langkah lemas, mukanya pucat. “Mbak… tolong panggil dokter…” Mbak Sari kaget. “Lho, kenapa kalian?” “Telur, Mbak… telur neraka…” jawab Bagas sambil memegangi perut.


Mbak Sari panik. Orang tua Dio nggak bisa dihubungi. Akhirnya dia ambil keputusan cepat: “Udah, ayo ke rumah sakit aja! Kalian kuat jalan nggak?” Kami berlima cuma mengangguk lemah. Dengan bantuan Mbak Sari, kami masuk ke mobil Dio. Tapi tentu aja, perjalanan gak sesederhana itu. Baru lima menit jalan, Rafi minta berhenti. “Berhenti, Mbak! Sumpah, berhenti dulu!” Mobil berhenti di pinggir jalan, dan dia langsung lari ke semak-semak. Kami di dalam mobil cuma bisa ngakak campur menderita. “Gila, ini beneran kayak misi penyelamatan dari film komedi,” kata Bagas sambil nyengir lemah. Setelah drama berhenti darurat itu, perjalanan lanjut. Kami sampai di rumah sakit sekitar jam setengah dua pagi. Perawat yang jaga malam sampe melongo liat kami datang bareng-bareng, semua dengan ekspresi kesakitan. “Lima-limanya keracunan?” tanya perawat heran. “Keracunan… telur,” jawab Dio lesu. “Telur?” “Busuk,” jawab Nino datar.


Kami akhirnya diinfus satu per satu. Ruang UGD berubah jadi tempat reuni penderitaan. Bagas tiduran sambil bilang, “Gue janji gak bakal sombong lagi soal topping mie.” Rafi menatap langit-langit dan bersumpah, “Mulai besok, gue makan mie polos aja.” Sementara aku cuma tertawa pelan, karena setiap kali ketawa, perut ikut sakit. Dio yang paling menderita karena rumahnya bakal jadi TKP. “Besok nyokap gue pasti nanya: kenapa dapur kayak kapal pecah dan kenapa anak-anak ini diinfus semua,” katanya setengah stres. Mbak Sari duduk di kursi sambil geleng-geleng kepala. “Padahal udah saya bilang, telur itu kayaknya udah lama. Tapi gak ada yang dengerin…” Kami semua kompak menatap ke arah Rafi. “Ya gue cuma nyaranin tambah telur, bukan telur zombie!” bela Rafi. Kami ngakak bareng-bareng — meskipun rasanya masih mual.


Pagi harinya, orang tua Dio datang ke rumah sakit. Mama Dio langsung panik campur marah. “Ya Tuhan, kenapa kalian bisa begini?!” Dio menjawab dengan polos, “Kami cuma lapar, Ma…” Rafi nambahin, “Dan kami belajar sesuatu yang berharga malam ini.” “Apa itu?” tanya Mama Dio dengan nada setengah kesal. “Cium telur dulu sebelum dimasak,” jawab Bagas cepat. Mama Dio cuma bisa tepok jidat. Sementara kami berlima cuma bisa saling pandang dan tertawa lemah. Setelah siang, kami udah boleh pulang. Perut mulai membaik, tapi gengsi kami sebagai cowok tangguh hancur lebur. Dari hari itu, tiap kali ada yang nyebut “telur”, semua langsung refleks tutup hidung.


Beberapa hari setelah kejadian itu, kami semua nongkrong di kantin sekolah. Nino beli mie instan lagi, tapi kali ini tanpa telur. Rafi nyeletuk, “Tenang, telur trauma udah sembuh belum?” Semua ngakak lagi. Aku cuma geleng-geleng kepala sambil berkata, “Lucunya, dari semua malam nginep yang pernah kita lakuin, yang paling gak bakal gue lupain justru malam itu. Malam di mana kita berjuang melawan telur busuk.” Dio menambahkan, “Dan malam itu kita resmi jadi legenda—‘Lima Sahabat dan Telur Neraka’.” Kami semua tertawa keras sampai penjaga kantin nengok. Mungkin orang lain bakal pikir kami bego. Tapi buat kami, malam itu justru bukti bahwa persahabatan sejati nggak cuma soal main bareng dan ketawa bareng, tapi juga sakit perut bareng. Sekarang tiap kali nginep di rumah Dio, kami punya ritual sakral: ngecek tanggal kadaluarsa telur. Kalau baunya dikit aja aneh, kami langsung buang sambil hormat. Dan kalau ada yang nyeletuk, “Tambahin telur we, pasti mantap lagi!” kami serempak jawab, “MANTAP KEPERUT, BROOO!”


Tawa kami meledak lagi, tapi di balik semua itu aku sadar, malam telur busuk itu malah bikin kami makin dekat. Kami jadi punya cerita yang gak bakal bisa dikalahin sama siapa pun. Setiap kali ada teman lain cerita soal nginep seru, kami cuma senyum dan bilang, “Coba dulu rasain mie telur versi kami.” Kadang kalau lagi lewat toko kelontong, Rafi pura-pura takut lihat rak telur, sedangkan Nino langsung tutup hidung pakai jaket. Dio bahkan pernah masang tulisan di dapurnya: “Dilarang memasak telur tanpa izin pemilik rumah.” Sekarang, setiap kali kami ketemu, pasti ada aja yang bilang, “Eh, inget malam telur busuk nggak?” dan seketika semuanya ngakak. Malam itu mungkin nyebelin, tapi justru jadi cerita paling berharga yang bakal kami ceritain sampai tua nanti — kisah legendaris lima sahabat, satu telur busuk, dan tawa yang nggak pernah basi.


Kadang kalau kami udah pada dewasa nanti, aku yakin malam itu bakal tetap jadi bahan cerita andalan tiap kali kumpul. Bayangin aja, lima cowok tanggung keracunan telur tengah malam, dilarikan ke rumah sakit, dan malah ketawa bareng waktu diinfus. Itu bukan cuma kejadian konyol, tapi juga bukti kalau kebersamaan kami gak cuma kuat di tawa, tapi juga di derita. Bahkan sekarang, kalau ada yang sakit perut di antara kami, pasti langsung disindir, “Jangan-jangan makan telur Dio lagi tuh?” Semua langsung ngakak. Entah gimana, setiap kali aku ingat malam itu, rasa sakit perutnya udah hilang, tapi tawa dan hangatnya tetap nempel. Mungkin begitulah arti sahabat — kadang bisa bikin masalah, tapi juga bikin kenangan yang gak akan pernah basi… kayak telur busuk, tapi versi lucunya.