TEMBAKAN YANG TIDAK PERNAH MELESET
🏀 Tembakan yang Tidak Pernah Meleset
Di SMA Harapan Ibu, setiap tahun selalu ada satu minggu yang paling dinanti semua siswa — Pekan Olahraga Sekolah. Selama seminggu itu, suasana sekolah berubah total: kantin jadi tempat gosip pertandingan, ruang kelas kosong karena semua murid turun ke lapangan, dan para guru olahraga berjalan dengan wajah bangga seolah seluruh sekolah jadi milik mereka. Dari semua cabang lomba, satu yang paling heboh: basket antar kelas.
Tahun ini, antusiasme makin tinggi karena ada satu nama yang membuat seluruh sekolah penasaran — Jeju, siswa XI IPA 1, cowok berambut agak ikal, suka bercanda, tapi punya kemampuan bermain basket yang tak bisa diremehkan. Beberapa bilang gayanya mirip Stephen Curry, hanya saja lebih kocak dan sering mengundang tawa. Katanya, kalau Jeju main, bukan cuma skor yang bikin deg-degan, tapi juga tingkah lakunya yang susah ditebak.
Sementara itu, di sisi lain lapangan, ketua panitia lomba basket adalah Jeje, siswi XI IPS 2 yang dikenal sebagai sosok paling disiplin di angkatannya. Tegas, rapi, dan tidak pernah telat satu menit pun. Guru-guru percaya padanya karena tanggung jawabnya tinggi. Teman-teman menghormatinya… dan sebagian cowok takut padanya.
Sayangnya, takdir memutuskan untuk mempertemukan dua orang dengan sifat berlawanan itu dalam satu ajang yang sama. Yang satu spontan, kocak, dan suka ngelawak. Yang satu terencana, perfeksionis, dan mudah sebal. Gabungkan keduanya, dan kamu akan mendapatkan cerita paling ramai sepanjang sejarah SMA Harapan Ibu.
Sore itu, langit Denpasar mulai berubah jingga. Suara bola memantul memecah udara sore yang hangat, sementara Jeje berdiri di pinggir lapangan dengan clipboard di tangan. Rambutnya yang dikuncir rapi bergerak sedikit setiap kali angin berembus. Ia mencatat nama-nama peserta dengan teliti, sementara peluit menggantung di lehernya seperti simbol kekuasaan.
“Latihan dimulai pukul empat tepat!” katanya lantang ke semua peserta.
Semua anak laki-laki langsung mengambil posisi, kecuali satu orang. Lima belas menit berlalu, dan nama “Jeju” belum juga disilang di daftar hadir. Jeje mulai kesal. Baru saja ia mau menulis catatan “TIDAK HADIR,” suara langkah tergesa terdengar dari ujung lapangan.
Seorang cowok muncul, seragam olahraga belum rapi, rambut acak-acakan, dan napas ngos-ngosan.
“Maaf, Jeje! Tadi sempat bantu angkat galon buat ruang guru!” katanya sambil tersenyum lebar.
Jeje melipat tangan di dada. “Bantu angkat galon atau bantu ngelawak di kantin?”
“Dua-duanya,” jawab Jeju cepat. “Latihan juga kan butuh hidrasi, Je.”
“Yang butuh hidrasi nanti kamu, kalau aku coret dari daftar.”
“Tenang, Je, aku udah siap kok. Lima belas menit ini pemanasan mental!” katanya santai sambil memantulkan bola.
Jeje menatapnya dingin. “Kalau ngomong lagi, aku tambahin jadi hukuman fisik.”
“Siap, coach Jeje,” jawabnya sambil hormat pura-pura. “Tapi nanti kalau aku menang, aku minta hadiah ya. Es krim cokelat dua scoop di kantin belakang.”
Jeje mendengus. “Mimpi dulu sana, Jeju!”
Tapi begitu latihan dimulai, Jeje mulai heran. Anak yang tadi datang terlambat itu ternyata punya gaya main yang energik. Gerakannya lincah, lemparannya tajam, dan meskipun gaya bicaranya santai, fokusnya luar biasa. Setiap kali bola memantul dari lantai, Jeju seperti menari — cepat, ritmis, penuh percaya diri.
Pertandingan uji coba melawan XII IPA 3 berakhir dengan kemenangan tipis. Jeju menutup latihan itu dengan tembakan jarak jauh yang mulus masuk ke ring. Bola menembus udara, melengkung sempurna, dan jatuh tepat di tengah jaring. Semua penonton bersorak.
Dan seperti biasa, Jeju tak pernah kehilangan momen untuk beraksi. Ia menoleh ke arah Jeje, menunjuk ke arahnya, dan berkata keras-keras, “Itu buat kamu, Jeje!”
Seketika seluruh lapangan heboh. Ada yang bersiul, ada yang menyoraki. Jeje yang sedang menulis skor langsung berhenti. Pipi dan telinganya memanas.
“Apaan sih anak ini…” gumamnya pelan sambil berusaha menahan senyum.
Sejak hari itu, setiap kali Jeje berada di lapangan, Jeju selalu punya cara untuk menarik perhatiannya. Kadang pura-pura jatuh di depannya, kadang pura-pura cedera biar “dipapah.” Pernah juga sengaja melempar bola ke papan skor pas Jeje lagi berdiri di depannya, lalu berkata, “Wah, maaf, bolanya kangen kamu, Je!”
Dan walaupun Jeje sering marah-marah, entah kenapa di dalam hati kecilnya, ia mulai menunggu-nunggu kejadian itu lagi.
Hari final pun tiba. Sejak pagi, suasana sekolah sudah seperti arena festival. Spanduk warna-warni bertuliskan “XI IPA 1 BISA!” dan “JEJE POWER TEAM PANITIA” menghiasi pagar sekolah. Tribun penonton penuh sesak, suara drum dan teriakan dukungan bergema.
Jeje berdiri di meja panitia, mengenakan kaus putih dengan logo OSIS. Wajahnya tampak serius, tapi matanya sesekali melirik ke lapangan tempat Jeju sedang pemanasan. Cowok itu berlari kecil, memantulkan bola, lalu tiba-tiba melambai ke arah Jeje dengan gaya dramatis seperti aktor sinetron. Jeje langsung berpura-pura fokus pada catatannya, tapi hatinya berdetak lebih cepat.
Beberapa menit sebelum pertandingan dimulai, Jeju datang menghampiri Jeje dengan wajah lebih tenang dari biasanya.
“Je,” katanya pelan, “hari ini aku janji main serius. Bukan cuma buat menang, tapi buat buktiin kalau aku bisa ngomong serius juga.”
Jeje menatapnya dengan senyum tipis. “Boleh juga. Tapi jangan sampai aku yang duluan jatuh gara-gara bola kamu, ya.”
Jeju nyengir. “Tenang, kali ini yang jatuh bukan kamu. Aku yang bakal jatuh… kalau kamu senyum terus kayak gitu.”
“Main sana, Jeju. Sebelum aku kasih kamu kartu merah sebelum pertandingan dimulai.”
Jeju menepuk dada. “Siap, coach!”
Peluit ditiup. Pertandingan dimulai.
Permainan berlangsung cepat dan sengit. Bola berpindah dari tangan ke tangan, sepatu berdecit keras, teriakan penonton menggema dari segala arah. Jeju memimpin timnya dengan penuh semangat. Setiap kali ia berhasil mencetak skor, seluruh tribun bersorak. Bahkan beberapa siswi kelas X sampai berdiri, memegang poster bertuliskan “GO JEJU!”
Tapi di menit-menit terakhir, saat skor imbang, takdir kembali iseng. Jeje berjalan ke tengah lapangan membawa papan skor baru, sementara Jeju berlari ke arah bola yang melambung tinggi. Dalam hitungan detik—BRUK! Mereka bertabrakan keras. Bola mental ke arah penonton, papan skor jatuh, dan keduanya tersungkur di tengah lapangan.
Suasana hening beberapa detik, lalu… ledakan tawa terjadi di seluruh penjuru.
“WOI! JEJU NEMBAK JEJE BENERAN!” teriak seseorang dari tribun.
Jeje yang mukanya sudah merah seperti kepiting rebus berdiri cepat-cepat.
“Jeju! Kamu tuh gimana sih! Bisa-bisanya nabrak panitia!”
Jeju masih duduk di lantai sambil meringis. “Salah sendiri, Je. Kamu berdiri di jalur bola takdirku.”
“Ngaco!” kata Jeje, tapi nadanya terdengar seperti orang yang menahan tawa.
Ia mengulurkan tangan untuk membantu Jeju berdiri. Tapi cowok itu malah menatap tangan Jeje dengan wajah menggoda.
“Wah, ini pertama kali kamu nyentuh aku tanpa bentak-bentak dulu. Sejarah banget!”
Penonton langsung bersorak lagi. Ada yang bersiul, ada yang berteriak, “CIYEEE!”
Jeje cepat-cepat menarik tangannya dan menunduk. “Udah, balik sana. Pertandingan belum selesai!”
Pertandingan dilanjut. Tapi kali ini, setiap kali Jeje lewat, Jeju tersenyum. Dan setiap kali Jeju tersenyum, Jeje pura-pura tak peduli—padahal pipinya kembali memerah.
Akhirnya pertandingan berakhir. Kelas Jeju kalah tipis, tapi tak ada yang kecewa. Semua sepakat bahwa pertandingan itu adalah yang paling seru sepanjang sejarah sekolah.
Sore harinya, Jeje duduk di ruang OSIS, membereskan dokumen pertandingan. Cahaya matahari masuk lewat jendela, mengenai wajahnya yang mulai lelah. Ia baru saja ingin meneguk air minum, saat pintu ruang OSIS diketuk pelan.
“Masuk!” katanya tanpa menoleh.
Pintu terbuka. Suara langkah pelan mendekat.
“Tuh kan, aku datang sesuai janji,” kata suara yang sudah sangat familiar.
Jeje menoleh. Jeju berdiri di depan pintu sambil membawa dua gelas es krim cokelat dari kantin.
“Katanya kalau aku menang aku boleh traktir, tapi karena aku kalah, aku traktir kamu deh. Biar adil.”
Jeje mengangkat alis. “Aku nggak minta, loh.”
“Tapi aku janji sendiri. Dan aku nggak suka ingkar janji.”
Jeju duduk di kursi seberang. Suasana mendadak hening. Hanya ada suara sendok beradu dengan cup plastik. Jeje menatap es krimnya, berusaha menahan senyum.
Beberapa menit kemudian, Jeju menatapnya serius.
“Je, aku mau ngomong sesuatu.”
Jeje mendongak. “Ngomong aja, asal bukan alasan kenapa kamu telat lagi.”
Jeju tertawa pelan. “Bukan. Aku cuma mau bilang… aku suka sama kamu.”
Jeje terdiam. Waktu seolah berhenti.
Jeju melanjutkan, suaranya pelan tapi jujur, “Dari pertama aku lihat kamu marah-marah di pinggir lapangan, aku pikir kamu nyebelin banget. Tapi lama-lama aku malah pengen bikin kamu marah lagi, biar bisa denger kamu ngomel. Aku tahu kedengarannya bodoh, tapi ya itu kenyataannya.”
Jeje menatapnya tanpa kata. Pipinya mulai panas.
Jeju tersenyum kecil. “Aku tahu kamu nggak gampang suka sama orang. Tapi buat aku, kamu bukan cuma panitia galak. Kamu alasan kenapa aku nggak pernah bolos latihan.”
Jeje akhirnya tertawa kecil. “Kamu tuh aneh, tahu nggak?”
Jeju mengangkat bahu. “Udah sering dibilang. Tapi baru kali ini aku suka yang bilangnya.”
Jeje geleng-geleng kepala sambil tersenyum malu. “Oke, Jeju. Tapi aku nggak janji bakal langsung suka balik.”
Jeju nyengir lebar. “Santai aja. Aku kan pemain basket. Dribel dulu juga boleh, asal jangan di-foul.”
Jeje tertawa keras kali ini. “Kamu tuh ya, nggak bisa diam!”
“Tapi kamu senyum, berarti aku menang setengah, kan?”
“Menang setengah?”
“Iya. Soalnya kalau soal kamu, aku nggak mau berhenti main.”
Sejak hari itu, Jeje dan Jeju jadi pasangan paling heboh di SMA Harapan Ibu. Bukan karena pacaran terang-terangan, tapi karena tingkah mereka yang seperti Tom & Jerry versi basket. Kadang Jeju pura-pura jatuh cuma biar ditolong Jeje. Kadang Jeje pura-pura marah padahal diam-diam ketawa. Semua orang tahu ada sesuatu di antara mereka, tapi keduanya selalu pura-pura tidak sadar.
Suatu sore, mereka duduk di bangku pinggir lapangan yang dulu jadi tempat pertama mereka bertabrakan. Langit Denpasar memerah keemasan, dan bola basket di tangan Jeju memantul perlahan. Jeje menatap langit dengan tenang.
“Lucu ya,” katanya pelan. “Hal kecil kayak bola bisa bikin hidup orang berubah.”
Jeju menatapnya dan tersenyum. “Iya. Apalagi kalau bolanya jatuh ke arah yang tepat.”
Jeje melirik. “Maksudnya ke arah aku?”
Jeju tertawa. “Ya masa ke ring lagi? Ring udah sering nolak aku. Kalau kamu sih… semoga nggak.”
Jeje pura-pura manyun lalu melempar botol air ke arah Jeju. “Dasar Jeju!”
Jeju menangkap botol itu sambil tertawa. “Kalau lemparanmu seakurat itu, kamu bisa masuk tim inti, Je.”
Jeje tersenyum tipis. “Aku udah punya peran sendiri. Ngatur kamu biar nggak bikin onar di lapangan.”
“Berat banget tugasnya,” kata Jeju sambil menyender ke bangku. “Tapi kalau yang ngawasin kamu, aku rela jadi pemain cadangan selamanya.”
Jeje menatapnya lama-lama. Angin sore meniup rambutnya pelan. “Kamu tahu nggak, Ju? Kadang aku bingung, kamu ini serius atau cuma bercanda.”
Jeju tersenyum, kali ini tanpa gurauan. “Kalau sama kamu, Je, aku nggak bisa bedain mana bercanda, mana serius. Soalnya setiap kali kamu ada di depan aku, semua yang mau aku bilang jadi terasa penting.”
Jeje terdiam. Hatinya hangat. Ia menatap lapangan yang perlahan sepi, bola memantul ringan di tangan Jeju. Lalu ia berkata pelan, “Mungkin… kamu bukan cuma pemain dengan tembakan yang nggak pernah meleset. Tapi juga orang yang tahu ke mana harus menembak hati orang.”
Jeju menatapnya kaget, lalu tertawa kecil. “Itu artinya aku masuk, dong?”
Jeje tersenyum malu. “Anggap aja kamu lagi free throw. Belum tentu masuk, tapi peluangnya besar.”
Jeju terkekeh. “Oke, aku siap latihan tiap hari.”
Keduanya tertawa. Suara bola memantul di lantai bergema lembut, bercampur dengan suara tawa mereka berdua. Langit oranye perlahan berubah ungu. Di SMA Harapan Ibu, tempat di mana cinta dan kompetisi sering beradu, satu hal tetap benar: setiap tembakan yang datang dari hati… tidak akan pernah benar-benar meleset.
🏀 TAMAT