Tertawa di Tengah Takut
Tertawa di Tengah Takut
Liburan setelah PSAS seharusnya jadi waktu bersantai. Tapi buat Jeje, Gita, Mila, Adel, dan Anggi — lima sahabat sejak SMP — liburan kali ini malah jadi kisah yang nggak akan mereka lupakan. Bukan karena indah, tapi karena… terlalu menyeramkan untuk dilupakan.
⸻
“Guys, liat nih!” teriak Jeje dari sofa ruang tengah sambil mengacungkan HP-nya. Di layar, terpampang foto villa dua lantai dengan halaman kecil, balkon kayu, dan pohon besar di sampingnya. “Villa dua lantai, ada dapur, ada balkon, murah banget! Dua ratus ribu semalam!”
Gita, si paling skeptis di geng mereka, langsung nyipitkan mata. “Je, dua ratus ribu? Itu bukan murah, itu minta diserang makhluk astral.”
Mila, si paling cuek dan santai, nyemil keripik sambil jawab enteng, “Ah, paling review-nya lebay. Kalau ada yang nangis jam tiga pagi, ya kita nangis rame-rame aja. Kan kompak.”
Adel, yang dikenal paling penakut tapi logis, ikutan baca deskripsi villanya. “Nama villanya… Villa Beringin No. 13. Je, angka tiga belas itu tuh… biasanya nggak bagus.”
Anggi, si humoris yang selalu santai bahkan di saat tegang, nyeletuk sambil nyeruput boba-nya, “Yang penting ada dapur. Gue cuma mau rebus mi instan dan nonton film. Kalau hantunya nongol, suruh aja masak air.”
Suasana ruang tengah langsung riuh. Mereka berlima tertawa, saling lempar candaan, sampai akhirnya Gita berkata, “Yaudah deh, kalau berani, kita buktiin bareng. Healing sekalian uji nyali.”
Setelah debat singkat yang penuh tawa, sarkasme, dan sedikit ancaman “ayo dong jangan cupu,” akhirnya mereka sepakat: liburan ke villa horor murah.
⸻
Perjalanan ke Villa Beringin
Jeje yang paling semangat langsung pesan lewat aplikasi. Dua jam kemudian, mereka udah melaju ke arah Kintamani dengan mobil milik kakak Jeje. Playlist nostalgia lagu-lagu SMP mereka mengiringi perjalanan, membuat suasana awalnya hangat dan penuh tawa.
Kabut makin tebal waktu mobil mulai masuk jalanan menanjak. Pepohonan tinggi di kiri kanan jalan bergoyang tertiup angin dingin. Cahaya matahari sore mulai menghilang di balik kabut.
“Kayak setting film horor Jepang, sumpah,” kata Gita sambil melirik ke luar jendela.
“Kalau tiba-tiba ada nenek nyebrang, gue pura-pura nggak liat aja,” balas Anggi dengan nada santai.
“Lo tuh kebanyakan bercanda, Gi,” sahut Adel dengan wajah tegang. “Ntar beneran ada yang nyebrang lo nangis duluan.”
Tiba-tiba, mobil berhenti di depan pohon beringin besar. Akar-akar panjangnya menjuntai sampai ke tanah, seperti tangan-tangan tipis yang siap menyentuh siapa pun yang lewat. Di belakang pohon itu, berdiri sebuah bangunan kayu dua lantai — catnya pudar, tapi bentuknya masih kokoh.
Sebuah papan kecil tergantung di depan:
“Villa Beringin No. 13.”
“Lucu juga, villanya kayak rumah di sinetron misteri,” kata Mila santai.
“Lucu apanya!?” balas Adel cepat, matanya waspada.
“Udah ah, jangan drama,” potong Jeje sambil membuka pintu mobil. “Kita cuma semalam.”
⸻
Malam Pertama: Kursi Goyang dan Suara Misterius
Begitu pintu villa dibuka, aroma lembap langsung menyergap. Udara di dalamnya dingin dan berat, seperti tempat yang lama nggak dihuni manusia. Lantainya dari kayu, berderit tiap kali mereka melangkah.
Di ruang tamu tergantung foto keluarga tua. Semua orang di foto itu tersenyum, tapi entah kenapa… matanya seperti mengikuti gerak siapa pun yang lewat.
“Je, sumpah, nih fotonya serem banget,” bisik Adel sambil mundur setapak.
Jeje pura-pura santai. “Gue rasa yang bikin foto ini juga tahu itu creepy.”
Mereka menaruh barang, lalu keliling villa. Ada tiga kamar di bawah dan dua kamar di atas. Semua kamar rapi, tapi terasa… terlalu rapi. Seperti sengaja disiapkan untuk tamu, padahal belum tentu ada yang nginep sebelumnya.
“Gue ngerasa kayak dipantau, deh,” bisik Gita.
“Dipantau siapa? Tukang listrik?” jawab Anggi dengan tawa paksa. Tapi bahkan suaranya terdengar tegang.
Malam datang cepat. Kabut makin tebal, angin menembus sela jendela, dan lampu luar cuma satu-satunya sumber cahaya.
Mereka berlima kumpul di ruang tengah, bakar marshmallow pakai lilin aromaterapi.
“Ini namanya konsep low budget camping,” kata Gita bangga.
“Yaelah, camping di villa, lilinnya lavender. Ini mah healing versi anak kota,” balas Anggi.
Suasana mulai hangat lagi. Mereka tertawa, ngobrol soal hal-hal random, sampai akhirnya Gita — si biang ide berbahaya — membuka mulut.
“Ayo main truth or dare!”
“JANGAN!” semua teriak bareng.
Tapi Gita tetap maksa. “Cuma buat seru-seruan kok! Biar ada cerita pas pulang.”
⸻
Kamar Nomor 3
Putaran pertama aman. Dare-nya masih konyol — nyanyi lagu TikTok, pura-pura nelpon mantan, sampe joget absurd. Sampai akhirnya giliran Anggi.
“Truth or dare?” tanya Gita dengan nada misterius.
“Dare, lah. Gue nggak pernah takut,” jawab Anggi sambil nyengir.
Gita senyum lebar. “Aku tantang kamu buka kamar nomor tiga di lantai atas.”
Suasana langsung berubah. Semua menatap satu sama lain.
“Emang ada kamar nomor tiga?” tanya Jeje.
Gita mengangguk. “Ada. Tadi aku liat pas ke atas. Pintu kayu tua, dikunci, di atasnya ada angka 3 warna merah kayak ditulis pakai darah—eh, cat.”
“Lucu apanya!” jerit Adel.
“Udah, ganti dare aja!” pinta Mila.
“Terlambat,” kata Anggi sambil berdiri. “Challenge accepted!”
Dia naik bareng Mila. Lantai kayu di tangga berderit pelan, tiap langkah seperti gema yang panjang. Cahaya lampu lorong redup, dan udara makin dingin.
Di ujung lorong, benar aja — satu pintu kayu tua, dengan angka “3” merah samar di atasnya.
Anggi pegang gagangnya. Klik. Kebuka.
Ruangan itu gelap, berdebu, dan kosong. Tapi di tengahnya ada kursi goyang tua — bergerak pelan meski tak ada angin.
Mereet… mereet…
Mila menahan napas. “Angin kali?”
Anggi menatap jendela. “Jendelanya ketutup rapet.”
Tiba-tiba… suara lirih terdengar dari arah kursi.
“Jangan duduk di situ… nanti patah…”
Mila dan Anggi langsung menjerit. Mereka kabur ke bawah, hampir jatuh di tangga.
“ADA SUARA IBU-IBU DI KAMAR TIGA!!!” teriak Anggi panik.
“DIA BILANG JANGAN DUDUK DI KURSI GOYANG!!!” tambah Mila gemetaran.
Jeje langsung berdiri di atas sofa. “WOY SERIUS?!”
“Sumpah!” teriak Anggi. “Suara lirih banget, tapi jelas!”
Belum sempat mereka mikir, telepon rumah di dapur tiba-tiba berdering keras.
“Siapa yang mau angkat?”
“Bukan gue.”
“Gue juga nggak!”
Akhirnya, Jeje maju pelan-pelan, wajah pucat. Ia angkat gagang telepon.
“…Halo?”
Dari seberang, suara serak perempuan berbisik pelan:
“Jangan duduk di kursi goyang…”
Jeje langsung banting gagangnya. “Dia ngomong hal yang sama! Ini kursi punya grup WA sendiri apa gimana sih!?”
⸻
Kemunculan Nenek Berambut Putih
Tiba-tiba lampu padam. Suasana gelap total. Semua menjerit.
Petir menyambar di luar, menerangi sekejap wajah-wajah tegang mereka.
Hujan turun deras. Dari lantai dua terdengar suara “krek… krek…” kayak kayu patah.
“Kayaknya kursinya patah, guys!” kata Gita antara panik dan ngakak.
“Bagus! Semoga hantunya marah ke kursinya aja!” balas Anggi.
Lalu, suara langkah pelan terdengar turun dari tangga.
Tap… tap… tap…
Mereka berlima saling dorong, nggak ada yang mau paling depan. Dan dari kegelapan itu, muncullah sosok perempuan tua — rambut putih panjang, baju kuning lusuh, wajahnya pucat… tapi senyumnya tenang.
“Jangan takut…” katanya pelan. “Aku cuma mau numpang duduk…”
Semua membeku. Jeje menelan ludah.
Sosok itu berjalan pelan menuju ruang tamu. Kursi goyang yang tadi ada di lantai atas — entah bagaimana — sekarang berdiri di sudut ruangan.
Dia duduk perlahan, kursinya bergoyang pelan.
Mereet… mereet…
“Dulu ini kursiku,” katanya lembut. “Aku suka baca buku di sini. Tapi sejak aku… pergi, nggak ada yang mau duduk di kursi ini lagi.”
Sunyi. Hanya suara hujan di luar jendela.
Lalu Jeje, dengan sisa keberanian (dan kebiasaan bercandanya), nyeletuk,
“Bu, kalau mau duduk mah duduk aja, ngapain telepon segala? Pulsa mahal, Bu!”
Semuanya langsung melotot. Tapi… si nenek malah tertawa kecil.
“Dasar anak zaman sekarang,” katanya dengan senyum tipis. “Kalian lucu.”
Dia berdiri, menatap mereka satu-satu.
“Aku nggak ganggu. Cuma… jangan buang kursi ini, ya.”
Setelah itu, perlahan sosoknya memudar, seperti kabut tersapu angin. Lampu menyala kembali. Hujan berhenti.
⸻
Pagi di Villa Beringin
Pagi datang dengan langit cerah dan udara segar. Tapi kelima sahabat itu masih trauma. Mata panda di bawah mata mereka jadi bukti nyata kalau malam itu bukan mimpi.
“Gue nggak nyangka hantunya sopan banget,” kata Mila sambil minum teh.
“Ya iyalah, mungkin generasi 80-an,” sahut Adel.
“Dia tuh kayak nenek kosan — ngagetin, tapi baik,” tambah Gita.
“Gue sih tetep trauma sama kursi goyang,” ujar Anggi. “Kenapa tiap film horor isinya kursi begini, sih?”
“Karena kalau kursinya nggak goyang, filmnya nggak laku,” jawab Jeje santai.
Mereka semua tertawa lelah. Tapi tawa itu terasa menenangkan. Mungkin karena mereka sadar — malam itu mereka selamat… dan dapat pengalaman yang bakal mereka ceritakan seumur hidup.
⸻
Perpisahan (atau… belum?)
Mereka kemas barang, siap pulang. Tapi sebelum keluar, Jeje menatap ruang tamu sekali lagi.
Kursi goyang itu… bergerak sendiri pelan.
Mereet… mereet…
Jeje mengangkat tangan dan berteriak, “Bu, lanjut duduknya ya, Bu! Kami pamit dulu!”
Semuanya cepat-cepat keluar, menutup pintu rapat-rapat. Di mobil, suasana campur aduk — antara lega dan geli.
“Next time, kita nginep di hotel bintang lima aja,” kata Adel.
“Yang ada review ‘nyaman dan bebas kursi goyang,’” tambah Mila.
“Gue sih trauma sama angka tiga belas,” kata Anggi.
“Gue trauma sama promo murah,” balas Gita.
Jeje ngakak. “Pelajaran penting: jangan nginep di tempat yang lebih murah dari harga mi instan!”
Mereka semua tertawa keras. Tapi di tengah tawa itu… dari speaker mobil terdengar suara lirih perempuan:
“Jangan duduk di kursi goyang…”
Semua langsung diam. Jeje buru-buru matiin radio.
“Udah, jangan bahas lagi. Nyanyi aja! Satu, dua, tiga—”
Mereka nyanyi bareng lagu nostalgia SMP, suaranya fals tapi penuh tawa. Mobil melaju meninggalkan Kintamani.
Namun… di belakang mobil, di bagasi yang setengah terbuka, terlihat bayangan kursi goyang tua.
Perlahan bergerak.
Mereet… mereet…
Dan di kaca spion, sesaat… Jeje melihat sosok nenek berambut putih panjang duduk di kursi itu —
tersenyum.