Gerbang dibalik Cermin
Hujan sore itu turun pelan, membasahi jendela kamar Laras yang sudah mulai berembun. Gadis berusia tujuh belas tahun itu duduk di depan meja belajarnya, memandangi tumpukan buku yang tak tersentuh. Seharusnya ia sedang menyiapkan ujian akhir, tapi pikirannya jauh ke tempat lain ke masa kecil yang tak pernah benar-benar bisa ia pahami.
Sejak kecil, Laras selalu merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia sering bermimpi berjalan di sebuah taman, di mana pepohonan bersinar dan langit seolah terbuat dari kaca. Setiap kali ia mencoba melangkah lebih jauh dalam mimpi itu, seseorang memanggil namanya dan ia terbangun dengan jantung berdebar.
“Laras!” suara ibunya memecah lamunannya dari lantai bawah.
“Ya, Bu!” jawabnya singkat, namun nada kesal tak bisa disembunyikan.
Pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Ibunya berdiri di ambang, membawa kertas ujian dengan tinta merah mencolok.
“Nilai matematika kamu turun lagi! Kamu mau sampai kapan begini?”
Laras menunduk, menatap jemarinya yang menggenggam ujung rok. “Aku sudah berusaha…”
“Berusaha? Kamu bahkan tak pernah belajar sungguh-sungguh! Ayahmu pasti kecewa kalau tahu.”
Ucapan itu menusuk dalam. Ayahnya sudah meninggal lima tahun lalu, dan setiap kali nama itu disebut, ada rasa bersalah yang menyayat. Laras menatap ibunya dengan mata basah, lalu berdiri dan keluar tanpa menjawab. Ia butuh udara. Ia butuh diam.
Kakinya membawa ia ke loteng rumah tempat yang sudah lama tak ia datangi. Loteng itu jarang dibuka, penuh debu dan barang-barang lama milik neneknya yang sudah meninggal. Namun entah mengapa, sore itu ia merasa terpanggil ke sana.
Tangga kayu yang sudah lama berderit saat ia menaikinya. Udara di loteng lembap dan berbau tua. Ia menyusuri ruangan, menyingkirkan tirai laba-laba dengan tangan. Di pojok ruangan, tertutup kain putih tebal, berdiri sebuah cermin besar berbentuk lingkaran dengan bingkai perak berukir motif bunga angsa. Laras menarik kain itu, dan debu menari di udara. Permukaan cermin memantulkan bayangan dirinya yang tampak suram, rambut kusut, mata lelah, dan tatapan yang seperti tak mengenali siapa dirinya. Ia mengusap permukaannya, tapi jari-jarinya tiba-tiba berhenti. Karena pantulan di cermin… tidak menirukan gerakannya.
Laras mundur satu langkah. Jantungnya berdegup. Ia mengangkat tangan kanan bayangan di cermin mengangkat tangan kiri. Tapi kemudian, pantulan itu tersenyum, padahal ia sendiri tidak.
“Siapa kamu?” bisiknya.
Cermin bergetar halus, lalu dari permukaannya muncul riak seperti air yang disentuh batu. Cahaya perak berputar, dan sebelum Laras sempat menjerit, tangannya tertarik masuk. Ia mencoba melawan, tapi kekuatannya tak cukup. Dunia di sekitarnya berputar cepat hingga semuanya lenyap dalam kilau putih.
Ketika Laras membuka mata, ia berdiri di tengah taman. Daun-daun tampak layu bergoyang diterpa angin lembut. Udara beraroma bunga yang belum pernah ia kenal. Langit berkilau seperti kaca, memantulkan cahaya dari dua matahari. Ia tersentak.
“Ini… dunia dalam mimpiku,” gumamnya tak percaya.
Di ujung taman, seseorang berdiri. Wajahnya sangat mirip Laras, hanya saja matanya berwarna abu-abu dan rambutnya lebih panjang. Gadis itu tersenyum.
“Akhirnya kamu datang,” katanya lembut. “Aku Laras juga, tapi dari sisi lain.”
Laras menatapnya tak mengerti. “Sisi lain?”
“Ini dunia cermin,” jawab gadis itu. “Tempat di mana semua kemungkinan lain hidup. Di sini, setiap keputusanmu yang tak pernah kau ambil menjadi nyata.”
Laras terdiam. “Maksudmu… ada versi lain dari aku di sini?”
“Ya,” jawab sang bayangan. “Kau memilih berhenti bermain piano setelah ayahmu meninggal. Tapi aku… tetap melanjutkan. Di sini, aku menjadi musisi terkenal di istana kaca. Tapi dunia kami tak lengkap tanpa satu sama lain.”
Laras merasakan dadanya sesak. Ia teringat piano tua yang kini berdebu di gudang bawah tanang. Dulu ia sangat mencintai musik, tapi setelah kecelakaan yang merenggut ayahnya, guru musik pertamanya, ia tak sanggup mendengarnya lagi.
“Tapi kenapa aku di sini?” tanyanya lembut.
Sang bayangan mendekat. “Karena dunia ini mulai retak. Cermin yang memisahkan kita melemah. Jika dibiarkan, dua dunia akan saling menelan dan kita akan lenyap bersama.”
Langit kaca di atas mereka bergetar samar, menimbulkan bunyi retak halus seperti es pecah. Potongan cahaya jatuh perlahan dari atas.
“Kau harus menyeimbangkan kembali dua sisi,” kata sang bayangan. “Dan satu-satunya cara adalah dengan menghadapi ketakutanmu.”
“Retak?” Laras memandangi langit kaca yang tampak bergetar samar.
“Kau harus menyeimbangkan kembali dua sisi,” kata sang bayangan. “Dan satu-satunya cara adalah dengan menghadapi ketakutanmu.”
Mereka berjalan menyusuri taman. Di kejauhan tampak danau bening yang memantulkan seluruh dunia di permukaannya. Di tengah danau berdiri menara kaca menjulang tinggi, berkilau seperti berlian.
“Itu pusat dunia ini,” jelas sang bayangan. “Di dalamnya ada inti cermin, jantung penghubung antara dunia kita.”
Dalam perjalanan, mereka melewati patung-patung yang aneh, semua menyerupai wajah Laras, masing-masing menunjukkan ekspresi berbeda: sedih, marah, ragu, bahagia. Laras merinding.
“Itu pantulan dari sisi emosimu,” ujar sang bayangan. “Setiap keputusan yang kau sesali, setiap perasaan yang kau pendam.”
Di antara patung-patung itu, Laras melihat satu patung kecil yang retak di bagian dada, memegang benda seperti buku musik. Ia mendekat dan menyentuhnya. Seketika, ia mendengar suara ayahnya dalam pikirannya.
“Jangan takut salah nada, Nak. Musik bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang keberanian untuk menyelesaikan lagu.”
Air mata mengalir tanpa sadar. Ia menggenggam jemarinya, lalu berdiri kembali.
Tiba-tiba tanah di bawah kaki mereka bergetar. Dari sela-sela retakan tanah, muncul kabut hitam pekat. “Apa itu?” seru Laras panik.
“Itu bayangan ketakutanmu,” jawab sang bayangan cepat. “Semakin lama kau di sini tanpa menyeimbangkan dirimu, semakin kuat ia menjadi.”
Dari kabut itu muncul sosok tinggi, menyerupai Laras tapi dengan mata kosong dan tangan yang retak seperti kaca. Ia menatap keduanya dengan tatapan dingin.
“Tak ada gunanya melawan. Kau tahu aku bagian dari dirimu,” bisik sosok itu dengan suara bergema.
Laras gemetar, namun bayangannya menarik tangannya. “Jangan lari. Hadapi dia.”
Dengan napas bergetar, Laras menatap sosok hitam itu. “Aku tahu kamu bagian dari aku, bagian yang takut gagal, takut ditinggalkan. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menguasai hidupku lagi.”
Seketika cahaya lembut keluar dari dada Laras, menembus sosok hitam itu hingga ia memudar perlahan. Dunia kembali tenang, meski langit kaca tampak makin rapuh.
Laras menatap menara itu dengan campuran kagum dan ngeri. “Apa yang harus aku lakukan?”
Sang bayangan menatapnya lama. “Kau harus memainkan melodi terakhir. Nada yang belum pernah kau mainkan sejak ayahmu pergi.”
Laras tercekat. “Aku… aku tak bisa.”
“Kalau kau tak bisa, dunia kita akan hancur.”
Kata-kata itu menusuk seperti jarum. Laras merasa dadanya sesak. Namun tatapan sang bayangan penuh harap, bukan ancaman.
Mereka tiba di menara. Di dalamnya, udara terasa hangat dan berkilau. Dinding-dindingnya memantulkan ribuan bayangan Laras dirinya yang tersenyum, menangis, marah, bahagia. Semua versi dirinya yang pernah ada.
Di tengah ruangan berdiri sebuah piano perak di atas kaca. Cahaya memantul lembut di permukaannya. “Semua ini dimulai dari musikmu. Dan hanya kau yang bisa mengakhirinya.”
Tangan Laras bergetar saat memegang piano itu. Sudah bertahun-tahun ia tak menyentuh alat musik ini. Saat ia menekan not pertama, gema halus menyebar ke seluruh ruangan. Bayangan-bayangan di dinding mulai bergerak, seolah menari.
Nada demi nada mengalun. Namun di sela musik itu, Laras melihat sesuatu, bayangan ibunya muncul di dinding kaca, wajahnya lelah tapi penuh cinta. Ia mendengar suara lembut, “Aku hanya ingin kamu bahagia, Nak…”
Air mata Laras menetes. Ia sadar, amarah dan rasa bersalah yang selama ini ia bawa bukan pada ibunya, tapi pada dirinya sendiri.
Laras menutup mata, mencoba mengingat melodi yang dulu sering dimainkan ayahnya. Lagu yang belum pernah selesai karena kecelakaan itu terjadi. Air mata mengalir di pipinya. Nada demi nada keluar, lembut tapi penuh luka.
Namun di tengah permainan, sesuatu berubah. Suara retakan terdengar dari langit-langit. Cermin-cermin di dinding mulai pecah, menimbulkan gema keras. Sang bayangan berteriak, “Jangan berhenti! Lanjutkan!”
Laras memaksa dirinya tetap bermain, walau air matanya membanjiri wajah. Ia memainkan bagian akhir lagu yang dulu selalu ia hindari, nada tinggi yang membuat hatinya seolah terbelah. Dan saat nada terakhir bergema, seluruh dunia cermin bergetar hebat. Cahaya putih menyilaukan meledak dari piano, menelan segalanya.
Ketika Laras membuka mata lagi, ia sudah kembali di loteng. Cermin di depannya retak di beberapa bagian, tapi masih utuh. Napasnya terengah. Namun kali ini, pantulannya tersenyum bersamanya untuk pertama kalinya.
Ia memandangi dirinya lama, lalu menatap ke arah jendela. Hujan sudah berhenti. Sinar senja menembus kaca, memantulkan warna keemasan di permukaan cermin.
Laras menuruni tangga dengan langkah ringan. Karena ia penasaran, ia menuju ke gudang tempat piano tua tersebut berada. Ia membukanya perlahan, menghapus debu di permukaannya, dan memegangnya dengan hati-hati.
Ia menutup mata, lalu mulai memainkannya. Suara pertama yang keluar memang sumbang tapi ia tersenyum.
Ia tahu kini ia tak lagi sendiri. Di sisi lain cermin, ada dirinya yang pernah berani bermimpi. Dan mereka berdua telah menyatu lagi.
Malam itu, Laras duduk di depan jendela. Langit sudah bersih, dihiasi bintang-bintang. Saat ia menatap cermin di dinding kamarnya, sesaat ia melihat pantulan samar gadis berambut panjang bermata abu-abu, tersenyum lembut.
“Terima kasih,” bisik Laras.
Pantulan itu mengangguk sambil tersenyum lalu perlahan memudar, meninggalkan permukaan cermin yang kini hanya memantulkan dirinya sendiri.
Namun Laras tahu gerbang itu tak benar-benar tertutup.
Beberapa tahun kemudian, Laras menjadi pemain piano di orkestra besar. Ia tak pernah menceritakan kisah tentang “dunia cermin” kepada siapa pun.
Namun setiap kali ia tampil di atas panggung, di permukaan pianonya selalu tampak kilau perak samar seperti bayangan seseorang yang tersenyum di sisi lain.
Dan di hati kecilnya, ia tahu bahwa dunia di balik cermin masih ada. Menjaga keseimbangan antara keberanian dan ketakutan, antara kehilangan dan harapan.
Karena setiap manusia punya dua sisi yang terlihat, dan yang tersembunyi di balik pantulan.
Kadang, yang paling sulit bukanlah menghadapi dunia luar, melainkan menghadapi diri sendiri. Laras belajar bahwa keberanian sejati bukan berarti tak pernah merasa takut, melainkan tetap melangkah meski takut itu ada. Setiap luka, kehilangan, dan penyesalan bukan untuk dilupakan, tetapi untuk dipahami agar kita bisa berdamai dengan masa lalu. Karena hanya dengan menerima diri sepenuhnya. Baik yang rapuh maupun yang kuat seseorang bisa menemukan cahaya yang sejati di dalam hatinya.