Sepatu Kaca Beracun
Namaku Draella. Jika kalian mengenaliku, itu pasti sebagai salah satu "saudara tiri yang jelek dan jahat." Biar aku luruskan: kami tidak jelek, dan kami juga tidak lebih jahat dari kebanyakan orang. Masalah sebenarnya bukan pada kami, tapi pada dia, si sempurna itu, Ella—atau yang kalian kenal sebagai Cinderella. Dia tiba di rumah kami seperti embun pagi yang tampak segar, namun meninggalkan jejak kelembaban yang dingin dan busuk.
Ella bukanlah korban. Tidak sama sekali. Ia tiba di rumah kami bersama ayahnya setelah ibuku menikah dengan ayah Ella. Sejak awal, aku merasa ada yang aneh. Mata biru jernihnya terlalu jernih, senyumnya terlalu manis. Dia selalu membantu, selalu bersih-bersih, selalu ingin menyenangkan. Ibuku, yang dulunya adalah wanita yang cekatan dan berani, perlahan-lahan luluh oleh pesonanya. Semua orang di rumah memujanya. Pelayan-pelayan tersenyum setiap kali ia lewat. Bahkan Anastasia, adikku yang biasanya sinis, kadang-kadang termakan rayuan Ella. Di mata semua orang, Ella adalah malaikat yang jatuh dari surga, dikirim untuk menerangi rumah kami.
“Aku tahu kedengarannya gila, Draella," katanya suatu malam, sambil mengelap perabotan perak kami hingga mengilap hingga memantulkan cahaya lilin seperti seribu mata kecil yang mengawasi. "tapi membersihkan rumah begini... sungguh membuatku berpikir. Rasanya damai. Pekerjaan berat membuatku tidur nyenyak." Tangannya bergerak lincah, memoles, menggosok, seolah setiap noda adalah musuh pribadi yang harus ditaklukkan. Aku hanya mengangguk, hati kecilku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ia sembunyikan di balik kegemarannya akan kerapian yang berlebihan itu? Obsesif Kompulsif, itulah yang kurasakan. Bukan kebutuhan, tapi dorongan yang tak terkendali.
Dia membuat dirinya terlihat tak berdaya, padahal ia adalah dalang sejati di balik tirai kehidupan kami. Aku pertama kali mencurigainya saat melihatnya menghancurkan sarang burung pipit di luar jendelanya sendiri. Dengan tenang, ia mengulurkan tongkat panjang dan menyodok sarang itu hingga jatuh berantakan, telurnya pecah di tanah. Lalu, ia berbalik, wajahnya tanpa ekspresi, seolah tak ada yang terjadi. Tindakan dingin itu sangat kontras dengan citra malaikatnya yang penuh kasih sayang terhadap makhluk hidup. Sejak saat itu, aku tahu Ella memiliki sisi gelap yang ia sembunyikan dengan sangat rapi, di balik senyum manis dan gaun polosnya.
Satu-satunya pelarianku dari intrik rumah tangga yang semakin menyesakkan adalah reruntuhan tua di pinggir hutan, tempat aku bisa berpikir, bermimpi, dan menjadi diriku sendiri. Di sanalah aku bertemu pemuda misterius bernama Henry. Rambut cokelatnya berantakan, matanya tajam, dan tawanya tulus. Kami bertemu secara rahasia, berbagi ide tentang dunia, tentang buku, tentang impian kami. Aku jatuh cinta padanya, dengan cara yang tulus dan murni, jauh dari kepalsuan yang melingkupiku di rumah.
Suatu sore, saat kami sedang berjalan-jalan di hutan, ia terperangkap jebakan pemburu. Aku membantunya, dan saat melepaskannya, aku menyadari ikat pinggangnya berlogo kerajaan.
"Kau dari istana? Kau badut istana? Atau, tukang semir sepatu Raja?" tanyaku, setengah bercanda, setengah curiga.
"Secara teknis, iya," jawabnya, dengan senyum nakal yang membuat jantungku berdebar.
"Definisikan 'secara teknis' sebelum aku menjatuhkanmu di atas kepalamu!" Aku mengancam, tetapi bibirku membentuk senyum tipis.
Ia tertawa. "Ya, aku adalah Putra Mahkota. Henry."
Aku marah karena dibohongi, tetapi rasa cinta dan pesonanya terlalu kuat untuk membuatku pergi. Kami tetap bersama, secara rahasia. Ia berjanji akan menjadikanku istrinya. Namun, semua itu berubah saat ia harus berlayar untuk delegasi kerajaan yang penting. Kami berjanji untuk tetap berkirim surat. Surat-suratnya awalnya datang teratur, penuh janji dan kerinduan. Lalu, surat-surat itu tiba-tiba berhenti. Setelah berbulan-bulan tanpa kabar, aku hanya menerima sepucuk surat perpisahan yang dingin dan impersonal dari Henry.
"Delegasiku telah diperpanjang, dan tugas-tugasku bertambah. Aku terlalu sibuk sekarang untuk melanjutkan korespondensi kita. Aku harap kau mengerti dan mendoakan yang terbaik untukmu. Pangeran Henry."
Hatiku hancur berkeping-keping. Aku membaca surat itu berulang kali, mencoba menemukan celah, jejak cinta, tetapi tidak ada. Kosong, dingin, seperti kata-kata orang asing. Aku berasumsi ia telah melupakanku, menukarku dengan wanita bangsawan yang lebih pantas mendampingi seorang pangeran. Setiap malam, aku menangis dalam diam, meratapi cinta yang kandas dan janji yang sirna. Dunia terasa begitu kejam, dan Ella, dengan senyum malaikatnya, seolah mengejek penderitaanku setiap hari.
Kemudian, datanglah surat undangan Pesta Dansa Kerajaan. Pangeran Henry telah kembali. Undangan itu adalah tamparan di wajahku. Mengapa ia kembali sekarang setelah membuatku patah hati? Aku tidak punya keinginan untuk pergi dan memberikannya kepada Ella. Mungkin dia bisa menemukan kebahagiaannya sendiri di sana, sementara aku terus tenggelam dalam kesedihan.
Namun, di malam pesta dansa, naluriku yang selalu mencurigai Ella kembali menghantuiku. Aku merasa ada yang tidak beres. Aku menyelinap ke kamarnya, menggeledah setiap sudut, mencari petunjuk. Dan di balik bingkai foto usang, aku menemukan kebenaran yang mengerikan: sepucuk surat Pangeran Henry yang sebenarnya, terlipat rapi, tersembunyi.
Aku membaca tulisan tangan Henry dengan gemetaran, air mata memenuhi mataku.
"Aku minta maaf belum bisa menulis. Aku diserang penyakit aneh yang membuatku terlalu sakit untuk bergerak. Para tabib mengatakan yang terburuk belum berakhir: penglihatanku terancam permanen. Sebelum itu terjadi, sebelum aku kehilangan kemampuanku untuk menulis, aku perlu memberitahumu: Aku mencintaimu. Aku mungkin bukan pria yang kau dambakan, tetapi jika kau bisa membayangkan masa depan denganku, di mana aku tidak memiliki penglihatan, tetapi kau memiliki seluruh hatiku... aku ingin memintamu menikahiku. Selalu milikmu, Henry saja."
Dia tidak meninggalkanku. Dia ingin menikahiku! Ella yang mencuri surat-surat itu! Dia telah merencanakan ini semua, menghancurkan kami, mengambil segalanya dariku! Kemarahan membakar setiap inci diriku. Aku merobek-robek surat itu, lalu membakarnya dengan lilin, menyaksikan kata-kata cinta itu berubah menjadi abu, sama seperti hatiku.
Ketika Henry tiba di rumah kami keesokan harinya, bukan untukku, tetapi untuk Ella (gadis yang ia temui di pesta dansa), aku berlari menemuinya. Penglihatannya memang sudah sangat buruk. Matanya tampak keruh, dan ia berjalan dengan bantuan tongkat, langkahnya ragu-ragu.
"Henry, kau tidak boleh menikahinya! Kau tidak tahu siapa dia, dia mencuri surat-surat kita, dia berbohong padamu!" Aku berseru, suaraku parau oleh tangisan dan amarah.
Ia menatapku, mata sipitnya penuh keraguan dan kekecewaan. "Kau adalah pembohong terbesar yang pernah kutemui, Draella. Selama ini kau mengeluh tentang saudari tiri yang sempurna, padahal dia adalah gadis malang yang kau dan keluargamu jadikan budak. Dia tahu tentang penyakitku, dan dia menerimaku apa adanya. Aku tahu dia akan menyelamatkanku, dan aku akan menyelamatkannya darimu."
Dia tidak percaya padaku. Bagaimana bisa? Dia buta, bukan hanya matanya, tapi hatinya juga.
"Dia yang menulis surat perpisahan itu! Dia mengambil surat-surat yang kau kirimkan! Aku tidak tahu kau sakit!" Aku mencoba meyakinkannya, menyentuh lengannya, tetapi ia menepisku.
"Cukup! Dia tahu tentang penyakitku, dan dia menerimaku apa adanya. Aku tahu dia akan menyelamatkanku, dan aku akan menyelamatkannya darimu." Suaranya meninggi, dipenuhi kebencian yang tidak pernah kudengar sebelumnya. "Kau hanya cemburu karena dia mendapatkan segalanya, sedangkan kau tidak!"
Aku tidak sanggup lagi. Darahku mendidih. Aku mengepalkan tinju, terdorong hingga batasnya. "Semoga kau cepat buta total, Henry! Aku harap itu terjadi lebih cepat demi kebaikanmu! Kau akan terhindar dari melihat ular yang kau nikahi, atau melihat betapa bodohnya dirimu!"
Henry tersentak mundur, wajahnya pucat. "Jaga ucapanmu saat berbicara kepada Pangeranmu! Jika kau berani melintas di hadapanku lagi, aku akan mengasingkanmu."
Henry pergi. Dia membawa Ella, impianku, dan kebenaran dariku. Dia meninggalkanku sebagai villain dalam kisahnya. Aku berdiri di ambang pintu, menatap punggungnya yang menjauh, seolah seluruh duniaku ikut lenyap bersamanya.
Dalam keputusasaan yang meluap-luap, yang tidak sanggup kubendung lagi, aku menjatuhkan lampu minyak yang sedang kupegang. Minyak tumpah, api menyambar, melahap tirai, dinding, dan semua kebohongan Ella yang selama ini menipu kami. Aku tidak peduli lagi. Biarkan semuanya terbakar. Biarkan kebohongan ini lenyap dalam kobaran api.
Aku dinyatakan tidak waras, histeris, dan berbahaya. Aku dijebloskan ke sanatorium, dikurung di antara orang-orang yang dianggap gila, sementara Ella mendapatkan semua kekayaan dan kasih sayang yang kurasa menjadi hakku. Ia menjadi ratu. Pangeran Henry meninggal beberapa tahun kemudian karena penyakitnya, dan Ella ditinggal sebagai ratu yang cantik dan tragis, hidup dalam kemewahan yang ia curi.
Waktu di sini hanyalah kesunyian tak berujung, disela hanya oleh derit pikiran dan desah napas kami. Mereka memberiku pil untuk menenangkan amarahku, tetapi pil itu hanya menumpulkan tepi, bukan inti dari rasa sakit. Aku sering memejamkan mata, mencoba mengingat tawa tulus Henry di reruntuhan tua, sebelum penyakit dan kebohongan Ella merenggut segalanya. Di sini, aku dijuluki 'Histeris', tetapi aku tahu aku adalah satu-satunya yang waras, satu-satunya yang melihat kebenaran. Aku telah berjuang untuk cinta dan keadilan, dan hukuman yang kudapatkan adalah kurungan ini. Anastasia sesekali datang, wajahnya penuh kesedihan, tetapi dia tidak pernah benar-benar mengerti. Bagaimana dia bisa? Dia tidak melihat mata iblis di balik gaun Ella. Aku menghabiskan hari-hariku menggambar di dinding dengan arang, melukis wajah Ella, selalu dengan senyum yang terlalu lebar dan Sepatu Kaca yang meneteskan racun hijau, bukan madu.
Orang-orang di luar pastilah membicarakan aku, si saudara tiri gila yang membakar rumahnya sendiri, didorong oleh kecemburuan murni. Biarkan saja. Itu lebih mudah bagi mereka daripada menerima bahwa pahlawan wanita mereka adalah seorang psikopat. Di mata mereka, Cinderella hidup bahagia, ratu yang cantik, janda yang tragis namun bermartabat. Dia akan selalu dihormati, selalu diingat dengan kebaikan. Aku akan selalu menjadi catatan kaki, sebuah peringatan tentang keburukan dan kegilaan yang harus dihindari. Namun, setiap hari aku bangun dengan satu kepastian yang menghibur: Ella hidup dalam istana yang steril, dikelilingi oleh kesempurnaan yang ia ciptakan, tetapi ia tidak pernah memiliki hal yang kumiliki—cinta sejati yang rela menghadapi kebutaan, bahkan kematian. Dia hanya memiliki kekuasaan dan ilusi.
Kisahku berakhir di sini, di mana kecantikan menang atas kebenaran. Karena tidak ada yang mau mendengar kebenaran jika pembohongnya adalah seorang malaikat. Dan aku, si saudara tiri, akhirnya menjadi penjahat yang diceritakan dalam dongeng, bukan karena perbuatanku yang sesungguhnya, tetapi karena kebohongan yang disebarkan oleh orang yang dianggap pahlawan, yang bersinar seperti permata, namun beracun di dalamnya.