Pengalaman pertama
Judul: Di Balik Irama Marching Band
Selamat siang nama saya Gung satria, dari kelax XI.10 absen 11 semoga cerita saya bisa memberi kesan yang baik bagi guru guru maupun tmn tmn yang membaca, semua nama saya tidak sebut agar menjaga privasi, ini pengalaman yang sangat mengesankan bagi satria walaupun engga pernah punya hubungan sama cewek tersebut, selamat membaca.
Semester dua dimulai di SMA Negeri 1 Denpasar. Temanku, inisial A M, mengajakku untuk ikut ekstrakurikuler Marching Band di Smansa. Awalnya aku hanya ikut ekstra GKSS, tapi karena ingin menambah wawasan, aku berpikir tak ada salahnya mencoba hal baru. Aku merasa punya kemampuan perkusi yang lumayan bagus, dan mungkin itu bisa jadi keunggulanku di marching band. Tanpa berpikir lama, aku pun mendaftar di MBSSMD.
Saat pertama kali latihan, aku sama sekali belum kenal siapa-siapa. Adit satu-satunya orang yang aku kenal. Di antara wajah-wajah asing itu, ada satu yang paling menarik perhatiankuâdia. Sikapnya yang ramah dan friendly benar-benar meninggalkan kesan pertama yang kuat. Saat itu aku tidak tahu kalau pertemuan singkat ini akan menjadi awal dari cerita yang tidak akan pernah aku lupakan.
Beberapa hari kemudian, diumumkan bahwa MB Smansa akan mengikuti lomba bernama Langgam. Aku tidak tahu apa yang menanti, tapi ternyata lomba ini menjadi perjalanan penuh kenangan, kerja keras, dan juga perasaan yang sulit dijelaskan.
Latihan dimulai intens sejak pagi pukul 10 hingga malam hampir jam 9. Hampir setiap hari kami latihan di lapangan sekolah. Panas matahari sudah bukan hal baruâkami terbiasa dengan peluh yang menetes di dahi, dengan debu yang menempel di seragam, dengan suara pelatih yang tak pernah berhenti memberi instruksi. Begitulah hidup kami selama hampir enam bulan penuh.
Di masa latihan panjang itu, aku mulai mengenalnya lebih dekat. Dia sering datang lebih awal, membawa semangat yang entah kenapa selalu menular. Setiap kali aku kelelahan atau merasa ingin menyerah, dia muncul dan berkata singkat, âAyo, kamu bisa kok.â Kalimat sederhana, tapi entah kenapa mampu membuatku kembali bersemangat. Kadang saat istirahat, kami duduk di pinggir lapangan, berbagi minuman atau cerita ringan tentang sekolah. Dari situ, aku mulai merasakan ada sesuatu yang tumbuh perlahan di antara kami.
Hari-hari latihan terasa berat tapi menyenangkan. Kami sering tertawa bersama, meski kadang diselingi teguran dari pelatih karena terlalu ramai. Di balik kelelahan dan tekanan, ada rasa kebersamaan yang kuat. Saat malam mulai turun dan kami masih di lapangan, lampu-lampu kecil dari HP jadi penerang satu-satunya. Saat itulah aku sering menatapnya diam-diam. Dalam lelah, ia tetap tersenyum, dan aku jatuh sedikit lebih dalam setiap kali melihat itu. Kadang aku merasa dia juga punya rasa yang samaâcaranya menatap, caranya menanyakan kabar, semuanya membuatku berharap.
Namun semua kedekatan itu perlahan mulai berubah. Mungkin karena aku terlalu nyaman. Aku mulai sering bercanda kelewatan, kadang terlalu keras kepala saat latihan, bahkan sempat marah hanya karena hal kecil. Sifat kekanak-kanakanku yang dulu sering membuat teman-teman geli, kali ini malah membuat jarak di antara kami. Aku tahu aku salah, tapi waktu itu aku belum cukup dewasa untuk mengerti bagaimana menjaga perasaan seseorang.
Suatu hari aku lupa membawa sepatu, dan sudah terlanjur naik mobil bersama ibu. Saat mobil berhenti di lampu merah, aku mendengar suara klakson dari belakang. Aku kira orang iseng, tapi ternyata diaâdatang naik motor sambil membawa sepatuku. Momen itu kecil, tapi rasanya besar di hati. Aku masih bisa melihat jelas wajahnya yang tersenyum sambil berkata, âLain kali jangan lupa lagi, ya.â
Itu salah satu kenangan yang paling melekat di ingatankuâsederhana, tapi berarti.
Hari lomba pun tiba. Suasananya menegangkan, apalagi melihat lawan-lawan yang sama hebatnya. Kami tampil dengan lagu-lagu yang sudah kami latih berbulan-bulan. Saat ronde pertama, tim kami berhasil menang. Setelah itu kami beristirahat sambil menunggu ronde berikutnya. Di sela waktu itu, aku mengobrol dengannya. Cara dia bicara, cara dia tertawaâsemuanya membuat suasana terasa hangat. Saat itu aku sadar, aku benar-benar mulai menyukainya.
Setelah tim kami menang di final, aku dan dia pergi berdua membeli minum. Rasanya bahagia sekaliâbukan karena kemenangan, tapi karena kebersamaan itu. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Setelah lomba, aku mulai jarang berbicara dengannya. Sikapku yang masih kekanak-kanakan membuatnya menjauh. Dari yang dulu hangat, kini dia mulai cuek. Aku menyesal, tapi tak tahu bagaimana memperbaikinya.
Hari-hari setelah lomba terasa hampa. Lapangan yang dulu ramai oleh tawa kini terasa sunyi. Aku masih sering datang lebih awal hanya untuk berharap bisa berbicara dengannya lagi, tapi setiap kali aku mencoba, suasananya selalu kaku. Kadang aku hanya bisa memandangnya dari jauh, berharap waktu bisa diputar kembali ke saat kami masih tertawa bersama.
Malam-malamku sering terisi oleh pikiran tentang diaâtentang apa yang salah, tentang hal-hal kecil yang mungkin membuatnya menjauh. Aku menyadari betapa bodohnya aku telah menyia-nyiakan seseorang yang sebenarnya selalu peduli. Tapi semua sudah terlambat. Aku hanya bisa belajar dari kesalahan itu.
Sebulan kemudian, MB Smansa mulai latihan lagi untuk sebuah event besar bernama FKS. Di sinilah aku mulai membangun kembali perasaanku yang dulu. Dengan sikap yang lebih dewasa, aku mencoba mendekatinya lagi. Aku buatkan dia bekal makan, kubelikan minuman favoritnya, bahkan sering mengajaknya keluar. Tapi semuanya terasa sia-siaâdia tetap cuek.
Namun, di balik semua itu, aku tetap tidak bisa berhenti memperhatikannya. Kadang saat dia tertawa bersama temannya, aku hanya bisa tersenyum dari jauh. Ada rasa rindu yang tidak bisa kujelaskan, tapi juga rasa takut untuk berharap lagi.
Sampai akhirnya, di hari penampilan FKS, sikapnya tiba-tiba berubah. Dari yang sebelumnya dingin, kini dia fast respond dan perhatian. Aku merasa ada harapan lagi. Hari itu aku memutuskan membeli bunga sebagai bentuk apresiasi untuknya. Tapi ketika aku ingin memberikannya, dia sedang pergi lama membeli makan bersama teman-temannya. Aku menunggunya selama dua jam sambil memegang bunga itu.
Ketika dia akhirnya datang, aku memberikan bunga itu padanya. Wajahnya terkejut, lalu tersenyum. Saat band RAN mulai tampil, dia memegang tanganku. Kami berlari-larian di tengah kerumunan penonton, tertawa bersama, seolah dunia hanya milik kami berdua. Rasanya seperti mimpiâmomen yang begitu hangat, indah, dan sulit dipercaya.
Namun setelah acara selesai dan musik berhenti, semuanya berubah. Dia terlihat sibuk dengan ponselnya, sesekali senyum kecil tanpa menatapku. Aku tidak berpikir apa-apa waktu itu. Aku hanya mengantarnya pulang, berharap hari itu menjadi awal dari kisah baru kami. Tapi ternyata aku salah.
Sejak hari itu, dia kembali berubah total. Tidak pernah membalas chat dengan baik, tidak menyapa, bahkan menghindar. Aku tetap berusaha: datang ke rumahnya membawakan obat, membelikan makanan, menawarkan es krimâsemuanya ditolak dengan dingin. Aku mulai curiga, apakah sebenarnya dia tidak punya perasaan apa pun sejak awal?
Lalu, suatu hari aku tahu kenyataannya. Dari teman-teman, aku dengar kalau dia memang sudah dekat dengan seorang cowok lain sejak awal latihan FKS. Dan yang paling menyakitkan: cowok itu ternyata melihat semuanya saat aku memberi bunga dan kami berpegangan tangan di acara FKS.
Dunia rasanya berhenti sejenak saat aku tahu itu. Semua usahaku, semua kenangan yang kuanggap berartiâternyata hanya sepihak. Aku mencoba menenangkan diri, tapi malam itu aku menangis lama. Mungkin dia memang tak pernah benar-benar punya rasa, mungkin aku hanya membaca tanda yang salah.
Beberapa minggu kemudian, aku tak sengaja bertemu cowok itu. Kami berbicara, awalnya canggung, tapi lama-lama obrolan mengalir. Dia cerita bahwa mereka memang sudah putus tanggal 31 bulan lalu. Dan saat dia bilang itu, aku tiba-tiba teringatâtanggal 1, keesokan harinya setelah mereka putus, dia mengirim chat kepadaku. Dia bahkan like story-ku.
Aku terpaku. Semua yang dulu membingungkan kini terasa masuk akal. Kenapa dia tiba-tiba menghubungi aku lagi, kenapa dia mulai menunjukkan tanda-tanda perhatian. Tapi aku juga sadar, mungkin dia hanya mencari pelarian, bukan karena benar-benar ingin kembali.
Waktu itu aku bingung harus bagaimana. Di satu sisi, perasaanku yang dulu mulai muncul lagi. Tapi di sisi lain, aku takutâtakut jatuh ke lubang yang sama, takut kecewa lagi. Aku membalas pesannya dengan biasa saja, mencoba menjaga jarak. Tapi jujur, dalam hati aku senang.
Beberapa hari setelahnya kami kembali ngobrol di latihan. Tidak sedekat dulu, tapi cukup untuk membuat suasana tak lagi canggung. Aku melihatnya tertawa lagi, meski tidak seperti dulu. Aku tahu, hubungan kami tak akan pernah sama, tapi setidaknya kami bisa berdamai.
Dari situ aku belajar banyak. Tentang bagaimana cinta tidak selalu harus dimiliki, tentang bagaimana waktu bisa mengubah perasaan, dan bagaimana kedewasaan datang dari luka yang pernah kita alami.
Marching band terus berjalan, lomba baru datang silih berganti. Aku mulai fokus lagi pada musik, pada ritme drum yang dulu membuatku jatuh cinta pada dunia ini. Kadang aku masih melihat dia di lapangan, tertawa bersama teman-temannya. Tapi kali ini, aku tak lagi merasa sesak. Aku hanya tersenyum, mengingat semua hal yang pernah terjadi dengan perasaan tenang.
Kini aku sadar, mungkin dia datang dalam hidupku bukan untuk dimiliki, tapi untuk mengajarkan sesuatu. Tentang usaha, ketulusan, dan menerima kenyataan bahwa tidak semua hal yang kita inginkan akan berjalan sesuai harapan.
Aku masih mengingat jelas hari ketika aku menunggu dua jam sambil memegang bunga, hari ketika tangannya menggenggam tanganku di tengah lagu RAN, dan hari ketika semuanya mulai menjauh. Tapi kini kenangan itu tidak lagi menyakitkan. Justru hangatâseperti lagu lama yang mengingatkan pada masa muda yang indah.
Dan kalau suatu hari nanti aku bertemu dia lagi, mungkin aku hanya akan tersenyum dan berkata dalam hati,
> âTerima kasih. Karena pernah membuatku belajar, bahwa cinta tak selalu tentang memilikiâtapi tentang tumbuh dan menjadi lebih baik.â