Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Raja Kerdil dan Kucing Hitam

👤 I Gusti Ngurah Gede Basudewa Wiratama 🏫 XI-10 🆔 25761

Di sebuah kerajaan megah bernama Purwaloka, pagi itu penuh dengan riuh tawa dan sorak gembira. Jalanan batu yang biasanya lengang kini dipenuhi warga dari berbagai penjuru negeri. Musik genderang bergema, bendera warna emas berkibar di setiap menara, dan aroma bunga melati memenuhi udara. Hari itu, sang Raja Punarbawa mengumumkan sesuatu yang mengguncang seluruh negeri. "Dengarlah! Dengarlah! Barang siapa yang cukup kuat dan berani menghadapi tantangan besar, datanglah ke Balai Agung! Rebutlah tahta sang raja dengan keberanian dan kemampuanmu!” Suara para pengantar pesan kerajaan menggema di seluruh kota, membangkitkan semangat setiap warga. Kompetisi untuk menentukan pengganti raja akan digelar kesempatan langka yang hanya datang sekali dalam seabad.


Di antara kerumunan itu, seorang anak kecil bernama Oji mendengarkan dengan mata berbinar. Tubuhnya kecil, kurus, dan rapuh, bahkan untuk ukuran anak-anak. Ia sering dipanggil “Oji si Kerdil” oleh warga Purwaloka. Namun di balik tubuh lemahnya, ada api yang tak pernah padam yaitu impian menjadi raja. Sejak kecil, Oji sering berdiri di depan istana, memandangi singgasana megah di kejauhan. Ia membayangkan dirinya duduk di sana, membawa keadilan dan kebaikan bagi semua rakyat. Tapi setiap kali ia mengucapkan mimpinya, orang-orang hanya tertawa. "Heh, kerdil sepertimu ingin menjadi raja? yang bener aja!," warga lain bergumam "Bawa saja mimpi mu ke tempat tidur saja, dasar kerdil sampah!." Tawa ejekan itu terus terngiang di telinganya, namun anehnya semakin mereka menertawakannya, semakin kuat tekadnya. Malam sebelum kompetisi, Oji duduk sendirian di tepi sungai di luar kota. Bulan memantulkan sinar perak di permukaan air. Ia menatap bayangan dirinya yang kecil dan lemah, lalu berbisik lirih, “Andai aku bisa menjadi lebih kuat… hanya sedikit saja…” Tiba-tiba, semilir angin berhembus, membuat daun-daun bergetar. Dari balik kegelapan, muncul seekor kucing hitam dengan mata hijau menyala. Bulu hitamnya berkilau seperti bayangan malam. “Anak muda,” suara lembut namun aneh bergema, “aku melihat ambisi besar dalam dirimu. Kau ingin kekuatan, bukan?” Oji tersentak, matanya membulat. Seekor kucing… berbicara? “Siapa… siapa kau?” “Namaku Jo,” jawabnya tenang. “Aku bisa membantumu mendapatkan apa yang kau mau. Tapi… semua ada harganya.” Oji menelan ludah. “Apa yang harus kulakukan?” Jo menatapnya tajam, matanya bagai dua bara api. “Cukup anggukkan kepalamu, dan kekuatan itu akan menjadi milikmu.” Tanpa berpikir panjang, Oji mengangguk.

Seketika tubuhnya panas seperti terbakar. Ia berteriak, lututnya gemetar. Api hijau membalut tubuhnya, membentuk energi yang memancar kuat. Ketika cahaya itu mereda, Oji bukan lagi bocah kecil. Ia berdiri tinggi, tubuhnya kekar, kulitnya berkilau kehijauan seperti zamrud. Kucing hitam itu tersenyum tipis, lalu menghilang di udara, meninggalkan gema lembut, “Gunakan dengan bijak… wahai calon raja Purwaloka.”


Keesokan harinya, ratusan peserta berkumpul di Balai Agung. Arena luas itu dikelilingi rakyat yang bersorak, sementara Raja Punarbawa duduk di singgasananya, ditemani para penasehat dan prajurit kerajaan. Tantangan pertama dimulai yaitu Ujian Kekuatan. Setiap peserta harus mengangkat batu raksasa yang bahkan sepuluh pria dewasa pun tak mampu menggesernya. Peserta pertama yang maju adalah seorang pedagang batu giok bernama agnani, dengan penuh percaya diri ia maju dan berteriak "Dengan kekuatan batu giok bernama brawlhalla ini akan kuangkat batu itu!," namun sayangnya tangan nya patah saat menocba untuk mengangkat batu itu. Peserta lain pun datang dengan wajah sombong dan senyum menjengkelkan, ia adalah seorang penjahat kelas super duper kakap bernama keanugraha. Ia maju dan dengan gagah mencoba mengangkat batu besar itu "Lihatlah! Begini cara pria sejati bekerja" ucapnya. Batu tersebut terakat sedikit, sebelum akhirnya menggelinding ke arah keanu dan membunuh nya dengan keji. Kemudian satu per satu peserta gagal, napas mereka terengah, tangan mereka gemetar. Hingga tiba giliran Oji. Semua mata memandang heran tubuhnya kini besar sekali, wajahnya pun tegas, seolah bukan Oji yang mereka kenal. “Itu… Oji si kerdil?” “Tidak mungkin! Dia berubah!” Gumam para penonton di arena. Oji berjalan mendekat, menatap batu itu tanpa gentar. Ia mengangkat tangannya, menggenggam batu sebesar rumah kecil, dan dengan teriakan keras mengangkatnya tinggi ke udara! Sorak-sorai rakyat meledak. Raja Punarbawa mengangguk pelan, matanya berbinar kagum. “Anak muda ini luar biasa,” katanya.


Lalu tibalah Ujian Keberanian, di mana peserta harus melawan binatang buas dari hutan terlarang. Seekor naga api dilepaskan ke arena. Kali ini seorang Jendral pertempuran beranama epan maju dan menodongkan panah nya kepada sang naga, alih - alih takut sang naga justru menjadi marah dan membakar Jendral Epan dengan nafas api nya. Hal ini membuat peserta lain ketakutan, namun Oji yang pemberani tidak bergeming sedikitpun dan berjalan mendekati sang naga. Tubuh nya kembali terasa panas dan berkilau, kemudian dengan sekali pukulan sang naga ganas pun berhasil Oji tumbangkan. Semua orang bersorak. Nama Oji bergema di seluruh Purwaloka malam itu. “Oji! Oji! Raja baru kita!”


Beberapa hari kemudian, Oji diangkat menjadi Raja Purwaloka. Istana penuh pesta, musik berdentum, rakyat bersuka cita. Raja Punarbawa, yang sudah tua, tersenyum bangga melihat penerusnya. “Semoga engkau memimpin dengan hati yang bijak, wahai Oji.” Awalnya, Oji benar-benar berusaha menjadi raja yang baik. Ia memperbaiki pasar, membantu petani, dan memberikan makanan bagi anak-anak miskin, sesuatu yang dulu ia impikan. Namun semakin hari, perasaan aneh mulai tumbuh dalam dirinya. Ia sering mendengar bisikan samar dalam pikirannya. Suara itu… suara Jo. "Kau tahu, Oji… mereka semua menertawakanmu dulu. Sekarang mereka bersorak hanya karena kau kuat. Mereka tidak benar-benar menghormatimu…” Oji mencoba mengabaikannya. Tapi suara itu semakin kuat. “Buktikan bahwa mereka harus tunduk padamu, bukan karena kasih tapi karena takut.” Perlahan, hati Oji mulai mengeras. Ia mulai memerintah dengan amarah. Pajak dinaikkan, hukuman diperberat. Orang-orang mulai ketakutan. Mereka berbisik-bisik di sudut kota, “Raja kita kini bukan Oji yang dulu…” Mereka mulai tidak nyaman dengan kepemerintahan Oji, tapi apalah daya mereka menghadapi raja yang bisa menghancurkan batu hanya dengan genggaman jari.


Suatu malam, ketika Oji duduk di singgasananya sendirian, ia melihat bayangan hitam muncul di dinding. Dari balik kegelapan itu, Jo, sang kucing hitam, kembali muncul. “Selamat, wahai Raja Purwaloka,” katanya dengan suara lembut namun dingin. “Kau telah memenangkan segalanya… seperti yang ku janjikan.” Oji menatapnya tajam. “Kau… apa sebenarnya yang kau lakukan padaku?” Jo tersenyum.

"Aku hanya memberimu kekuatan yang kau inginkan. Tapi… setiap kekuatan datang dengan harga.” Oji menggertakkan gigi. “Harga apa?” Kucing itu menatap lurus ke matanya, dan seketika ruangan menjadi gelap. Suara Jo bergema di setiap penjuru istana. “Harga dari kekuatanmu… adalah kewarasanmu.” Oji tertegun. Ia merasakan kepalanya berputar. Suara tawa, jeritan, dan bisikan menggema dalam pikirannya. Ia memegang kepalanya, menjerit keras. “TIDAK! Aku bukan monster!” Namun Jo hanya tertawa lirih. “Kau sudah menjadi monster, Oji. Kau haus kuasa, haus darah. Lihatlah di sekitarmu kerajaanmu kini hidup dalam ketakutan. Itulah takdirmu.”Oji berusaha menahan amarah, tapi pikirannya kacau. Ia melihat bayangan para rakyat yang dulu menertawakannya, wajah mereka menyeringai mengejek. Dalam amarahnya, ia menghancurkan singgasananya sendiri, membuat istana berguncang.


Hari-hari berikutnya, Oji menjadi tiran. Ia memerintah dengan tangan besi. Siapa pun yang menentang akan ditangkap, bahkan dieksekusi. Diantara ricuh nya kepepimpinan tirani Oji, muncul beberapa aktivis yang berusaha menentang kekaisaran Oji. Salah satunya adalah seorang guru sekolah dasar yang bernama sang prabu Oendy. Sang prabu terang terangan berusaha untuk menggulingkan kepemerintahan Oji. Namun setelah melihat ini, Oji yang semakin tiran menjadi sangat murka dan berusaha untuk membunuh dan menangkap Sang Prabu Oendy. Oendy dan murid murid berhasil untuk menghalangi pasuka kerajaan, namun mereka bukanlah tandingan bagi sang tiran Oji dan kekuatan nya yang melampaui nalar manusia. Purwaloka, yang dulu penuh tawa dan nyanyian, kini menjadi negeri yang sunyi dan kelam. Beberapa orang berani mencoba memberontak, tapi kekuatan Oji terlalu besar. Namun setiap kali ia menggunakan kekuatannya, ia merasa bagian dirinya menghilang seolah Jo mencuri sedikit demi sedikit jiwanya. Suatu malam, Oji berjalan ke ruang cermin di istana. Ia memandang bayangannya bukan wajahnya yang ia lihat, melainkan Jo, dengan mata membara menyala. "Kini diriku bukan lagi diriku." "Oh tentu itu adalah dirimu wahai Raja Purwaloka" lirih Jo dari kegelapan. Tiba-tiba cermin retak, dan Jo keluar dari dalamnya, kini sebesar manusia, dengan wujud menyerupai Oji namun dengan senyum iblis di wajahnya. "Kau ingin kekuasaan, dan aku memberikannya. Sekarang, Purwaloka adalah milikmu atau milikku. Sama saja, bukan?” Oji berteriak dan menyerang Jo, namun setiap pukulannya menembus udara kosong. Jo menertawakannya.

“Kau tak bisa melawanku. Aku lahir dari dalam dirimu sendiri.” Akhirnya, Oji berlutut, tubuhnya bergetar, matanya berlinang air mata."Aku hanya ingin… mereka menghormatiku… bukan takut padaku…”Jo menatapnya dengan belas kasihan yang aneh. “Dan itulah kelemahanmu. Kau mencari cinta dari dunia yang hanya menghargai kekuatan.”

Lalu ia lenyap meninggalkan Oji sendirian di ruang singgasananya yang hancur.


Terinspirasi dengan keberanian pemberontak pemberontak sebelum nya, seperti Sang Prabu Oendy, Beberapa bulan kemudian, rakyat Purwaloka bangkit melawan. Mereka menyerbu istana, dengan persatuan kekuatan dari warga lokal Purwaloka dan juga bantuan dari negara negara lain yang sudah muak dengan aksi tirani Oji mereka berhasil menembus pertahanan kerajaan yang sudah dirancang sangat ketat oleh Oji. namun tidak menemukan Oji. Yang tersisa hanyalah singgasana kosong dan jejak kaki menuju hutan hitam di luar kerajaan. Legenda berkata bahwa saat pemberontakan terjadj Raja Oji menghilang ke dalam bayangan malam, ditemani seekor kucing hitam. Beberapa mengatakan ia masih hidup, menyesali dosa-dosanya, mencari cara untuk mengembalikan dirinya yang dulu. Namun ada pula yang berbisik bahwa setiap malam, di puncak menara Purwaloka, masih terdengar suara tawa Jo dan bisikan lirih seorang raja gila yang berkata "Aku ingin menjadi kuat.... sedikit....saja".