Renjana
Puluhan stiker bintang usang yang direkatkan di langit-langit kamar tersirat di mata Renjana ketika ia mulai membuka mata. Cahaya pagi menyelinap melalui ventilasi kayu, menembus tirai tipis yang mulai pudar warnanya. Udara yang cukup sejuk dan tergolong bersih di luar rumah yang berada di tepi sawah tengah kota besar perlahan memasuki ventilasi kamarnya, membawa aroma tanah lembap dan sisa embun yang menempel di rerumputan. Ada sedikit suara jangkrik yang tersisa, bercampur dengan kicau burung yang mulai menandai pagi. Semua itu menciptakan suasana tenang yang seharusnya menenangkan, namun tidak bagi Renjana.
Beberapa menit kemudian, Renjana bangkit perlahan. Gerakannya lambat, seolah tubuhnya berat oleh sesuatu yang tak kasatmata. Ia berjalan menuju cermin di seberang tempat tidurnya. Dua menit lamanya ia menatap cermin itu—kosong. Cermin berbingkai persegi panjang dengan aksen kayu itu memantulkan seisi kamarnya: tumpukan buku, rak kecil berdebu, boneka tua di pojok meja belajar — semuanya, kecuali dirinya sendiri.
Renjana menghela napas, kemudian tersenyum getir. “Ternyata masih sama,” batinnya. Senyum itu bukan kebahagiaan, melainkan pengakuan bahwa harapan kecilnya kembali pupus.
Pagi hari itu berjalan seperti biasa bagi Renjana. Setiap pukul enam, ketika matahari baru setengah naik, ia akan langsung melangkahkan kakinya menuju cermin atau benda apapun yang memantulkan bayangan — hanya untuk memastikan bayangan miliknya telah kembali. Sudah cukup lama kebiasaan itu terbentuk, menjadi ritual yang sunyi namun wajib. Tapi pantulan itu tak kunjung muncul. Ia tetap hidup seperti biasa, hanya saja kini ia tak tahu seperti apa rupa orang yang menjalani hidup itu.
“Njan, tidurmu nyenyak?” suara ayahnya terdengar dari arah dapur.
“Lumayan,” jawab Renjana datar.
“Lihatlah, ayah membuatkan roti selai kacang kesukaanmu. Anggap saja ini kunci agar ulangan matematikamu sempurna. Jangan lupa dihabiskan, ya.”
“Terima kasih, Ayah.”
Renjana menjawab singkat, suaranya lemah namun berusaha terdengar wajar.
Sudah dua tahun hanya mereka berdua yang tersisa di rumah itu setelah ibu meninggal. Sejak saat itu, suasana rumah terasa semakin senyap sekaligus semakin ramai—detak jarum jam yang terlalu keras, engsel pintu yang berderit, langkah kaki yang menggema, dan suara seseorang yang terkadang memanggil namanya ketika dalam mimpi. Semua suara itu terdengar jelas di telinga Renjana, seolah dunia menolak memberi ketenangan.
Ulangan matematika, ceramah guru agama, dan praktikum di laboratorium SMA dilewati dengan lancar oleh Renjana hari itu. Ia duduk di bangku paling depan, menulis rapi, menjawab soal tanpa ragu. Dari luar, ia terlihat baik-baik saja, bahkan lebih tenang dari teman-temannya. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergolak, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Perasaan hampa, seperti sedang hidup di tubuh yang bukan miliknya.
Sepulang sekolah, langkahnya terasa ringan tapi pikirannya berat. Ia masuk kamar mandi, menatap cermin di dinding. Lagi-lagi, kaca itu memantulkan semuanya kecuali dirinya. Ia bahkan mencoba cara lain—mengambil ponselnya, menyalakan kamera depan. Namun di layar, wajahnya tampak seperti bayangan yang pecah. Hidungnya samar, matanya seperti dilapisi kabut putih. Setiap ia bergerak, bayangan itu terpecah, lalu menghilang.
Renjana merasa segala sesuatu yang memantulkan bayangan menolak memantulkan bayangan dirinya. Seolah-olah dunia menolaknya, atau mungkin, dirinya yang menolak dunia.
Merasa kesal, ia mengetuk kaca itu kuat-kuat. “Apa salahku, hah?” katanya setengah menjerit. Tapi tentu saja, cermin tak menjawab. Hanya bergetar sedikit, lalu tenang kembali, menyisakan pantulan kamar yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Malam itu, Renjana menutup buku pelajaran, lalu duduk lama di depan kaca. Matanya sayu, kulit wajahnya pucat diterpa lampu kamar yang redup. “Apa aku masih nyata?” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara.
Tiga hari setelahnya, sesuatu mulai berubah dalam dirinya.
Ia mulai sering lupa wajahnya sendiri. Saat teman sekelasnya menyapa, “Eh Njan, kamu ganti gaya rambut ya?” Renjana hanya tertawa kaku. Ia menyadari bahwa ia bahkan tak lagi mengingat seperti apa wajahnya belakangan ini. Setiap kali mencoba membayangkannya, kepalanya terasa kosong, seperti ruang putih yang luas tanpa bentuk.
Beberapa malam kemudian, Renjana mulai bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia berdiri di ruangan putih tanpa pintu. Di hadapannya ada cermin yang amat besar, namun di sisi lain cermin itu, ada sosok perempuan dengan garis wajah yang sama, hanya saja matanya lebih tajam dan senyumnya lebih tenang.
“Aku di sini karena kamu yang hilang di sana,” ucap sosok itu dengan suara yang juga persis sama.
Renjana terbangun dengan keringat dingin. Jantungnya berdetak cepat. Tidak seperti biasanya, ia tidak langsung melangkah ke depan cermin. Untuk pertama kalinya, ia takut pada kaca.
Renjana mencoba mengabaikan mimpi itu, tapi bayangannya terus menghantui. Di kantin sekolah, di tengah keramaian, ia termenung menatap permukaan meja kaca. Di sana, samar-samar ia melihat bayangan seseorang yang tersenyum — tapi bukan dirinya.
“Terus pura-pura baik-baik saja, ya. Itu cara terbaik kita hilang perlahan.” Bisikan itu terdengar lembut, tapi menusuk.
“Renjana, kamu gapapa?” tanya salah seorang temannya.
Renjana cepat-cepat menggeleng, memaksakan senyum. “Aku gapapa kok,” ujarnya lirih. Tapi tangannya gemetar di bawah meja.
Sore itu, ketika pulang, Renjana menemukan ayahnya sedang di gudang. Tumpukan barang lama berserakan. Aroma debu bercampur kayu tua memenuhi udara.
“Njan masih ingat ini?” tanya ayah sambil mengangkat sebuah bingkai besar yang dibungkus kain hitam.
Renjana menatap lama. “Bukankah itu cermin yang ada di kamar Ibu?”
Ayah mengangguk. “Iya, dulu ayah lepas agar tidak cepat rusak. Ayah menemukan cermin ini lagi saat bersih-bersih. Kupikir bisa kita pasang lagi, cermin ini masih sangat cantik. Ayah jadi merindukan ibumu,” ucapnya perlahan.
“Tolong buka kainnya, Njan. Ayah perlu membereskan hal lain.”
Tangan Renjana gemetar saat menarik kain itu. Di baliknya, tampak cermin besar berbingkai perak dengan ukiran bunga mawar di sisi kanan — persis seperti dalam mimpinya.
Dan di dalam pantulannya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia melihat wajahnya sendiri. Tapi senyuman yang terpantul bukan miliknya.
Sejak malam itu, suara-suara itu tak pernah berhenti.
Kadang lembut seperti bisikan ibu, kadang tajam seperti rasa bersalah yang ditahan terlalu lama.
“Kenapa kamu berhenti lihat Ibu waktu itu?”
“Kalau kamu berani lihat, mungkin aku nggak akan hilang.”
Renjana mencoba menutup cermin itu dengan kain, tapi setiap pagi kainnya terbuka sendiri. Tidurnya gelisah. Ia sering terbangun dan menemukan dirinya berdiri di depan cermin, menatap ruang kosong dengan mata merah dan tangan gemetar. Di sekolah, ia makin pendiam. Guru memanggilnya karena nilainya menurun. Tapi ia tidak peduli. Ia tahu siapa yang ia ajak bicara.
Suatu malam, ia tak tahan lagi. Ia duduk di depan cermin lama milik ibunya, lampu kamar padam. Hanya cahaya bulan yang menembus celah tirai.
“Hentikan!” teriaknya. “Kamu siapa sebenarnya?”
Kabut di permukaan kaca menebal. Dari baliknya, perlahan muncul wajah yang membuat napasnya tercekat — wajah ibunya. Dalam cermin itu, untuk pertama kalinya benar-benar terpantul bayangan dirinya, tapi juga sosok ibunya yang berdiri di belakang, memegang pundaknya.
“Ibu?” suaranya nyaris tak terdengar.
Sosok itu tersenyum lembut. “Njan tidak ingat ya? Saat ibu di rumah sakit, kamu tidak pernah datang melihat ibu. Njan cuma duduk di luar pintu, nangis diam-diam.”
Kenangan lama mulai menyusup, menghujani isi hati dan pikiran Renjana. Ia ingat bagaimana sejak kecil, ibunya memang sudah cukup sering jatuh sakit. Puncaknya terjadi 2 tahun yang lalu. Ketika itu ia baru saja pulang dari sekolah. Ketika ia berlari ke dalam rumah, tidak sabar menceritakan harinya pada ibunya, Renjana mendapati ibunya pingsan di ruang tengah, ia membeku sejenak, panik dan kemudian menghubungi ayahnya. Saat itulah ibu dilarikan ke IGD dan Renjana tidak sanggup melakukan hal apapun selain menangis. Kejadian itu mengakibatkan ibunya harus dirawat selama beberapa minggu, dan dalam minggu-minggu itu, Renjana hanya berani duduk di depan pintu kamar rumah sakit. Ia termenung dan menangis. Ia tidak sanggup untuk melihat wajah ibunya yang dikelilingi selang dan mesin yang tak berhenti bekerja, bunyi mesin, tetesan air infus dan bau obat-obatan hanya memperburuk rasa takutnya. Hingga pada hembusan terakhir nafas ibunya, Renjana hanya sanggup menoleh sebentar sebelum pemakaman.
Renjana menggigit bibir. “Aku nggak sanggup, Bu. Aku takut lihat Ibu kayak gitu…” suaranya pecah.
“Iya, nak,” kata sosok itu pelan. “Njan takut lihat kenyataan. Njan tutup mata waktu Ibu pergi, dan sejak itu, kamu juga berhenti lihat dirimu sendiri.”
Air mata Renjana menetes. “Aku cuma mau lupa!”
“Lupa itu caramu menyembunyikan luka, Renjana. Tapi luka yang disembunyikan nggak hilang. Dia berubah jadi bayangan yang menunggu kamu berani menatap lagi.”
Listrik tiba-tiba padam. Gelap menelan ruangan, tapi cermin itu tetap bersinar lembut. Dalam pantulan, Renjana melihat dua sosok berdiri berdampingan, dirinya dan ibunya.
“Ibu tidak marah,” ucap sosok itu pelan. “Ibu cuma mau Njan melihat ibu… sekali saja, tanpa takut.”
Ragu dan gemetar, Renjana mendongak menatap kaca. Ia memandang wajah ibunya yang pucat tapi damai. Senyum terakhir itu membuat dadanya sesak, seolah waktu berhenti. Lalu sosok itu memudar perlahan, meninggalkan pantulan Renjana yang menangis sendirian.
Keesokan paginya, Renjana kembali terbangun. Cahaya pagi menembus tirai, menyorot cermin di depan ranjang. Kali ini, ketika ia berdiri, cermin itu memantulkan dirinya sendiri — lengkap, utuh, dan nyata. Ia tersenyum lega. Tangisnya pecah, tapi bukan karena takut. Ia menangis karena akhirnya ia bisa berdamai dengan luka yang selama ini menahannya di antara dua dunia.
Renjana melangkah ke arah dapur dengan langkah yang ringan. “Ayah,” panggilnya lembut.
Ayahnya terpaku sejenak, lalu mendongak. Ia terkejut sekaligus bahagia mendengar suara putrinya yang untuk pertama kali sejak lama menyapanya duluan.
“Njan sudah bisa melihat Ibu lagi. Njan juga sudah bisa melihat diri sendiri,” katanya pelan.
Ayah tersenyum lega, setetes air mata mengalir di pipinya. Ayah kemudian memeluk Renjana dengan bangga, merasa senang bahwa kini putrinya sudah benar-benar kembali.
Pagi itu, rumah yang lama sunyi itu terasa hidup kembali.