Suara dari Batin Bumi
Namaku Raden, umurku tiga puluh tahun. Pekerjaan saya sederhana, yaitu sebagai pendengar bumi. Saya bekerja untuk sebuah organisasi baru bernama Badan Geoterapi Nasional yang katanya bertanggung jawab untuk "menjaga stabilitas emosional Bumi." Istilah itu tampak absurd, seolah-olah bola dunia hanyalah seorang pasien dalam terapi yang perlu diingatkan untuk menarik napas dalam-dalam. Tugasku adalah menggunakan alat yang menyerupai headset untuk mengukur getaran di bawah tanah. Alat itu bergetar saat Bumi gelisah, terkadang berderak seperti amarah yang terpendam dan terkadang berdengung pelan seperti bayi tidur.
Namun, sesuatu yang tak terpikirkan terjadi pada tiga malam yang lalu. Bumi berkata.
"Kau bertindak terlalu jauh, namun tak pernah cukup jauh untuk memahami."
Aku hampir menjatuhkan alatku. Suaranya terdengar sangat jelas, tetapi aku berasumsi itu hanya gangguan sinyal atau anomali semata.
—
Keesokan harinya di tempat kerja, aku bercerita pada Sinta, rekan kerjaku dan satu-satunya orang yang masih berpikir dunia belum sepenuhnya gila. Meski begitu, dia tertawa.
"Kau tahu kan kalau alat itu bisa terhubung dengan frekuensi bawah air, Raden? Mungkin itu hanya gangguan."
"Tidak, Sinta. Itu suara. Bukan bunyi. Aku sangat yakin aku mendengar suara."
Setelah menatapku lama dengan ekspresi bingung, dia menepuk bahuku.
"Kita akan memanggil psikolog proyek dalam tiga hari jika kamu terus mendengarnya, oke?"
Aku mengangguk. Namun, suara itu kembali lagi malam itu, kali ini aku mendengar dengan lebih jelas.
"Aku pernah menjadi rumahmu. Sekarang kalian jadikan aku sebagai proyekmu."
—
Semalam, aku tak tidur. Aku langsung menuju ke ruang data di pagi hari untuk mencari catatan getaran dari malam sebelumnya. Anehnya, berkas itu tidak ada. Hilang, bukan rusak. Aku panik sampai Pak Harun, Kepala Divisi kami, muncul. Beliau adalah seorang pria yang berwibawa tetapi tegas. Beliau bukan seorang birokrat dan beliau pernah menjadi dosen geofisika. Ia bertanya dengan suara pelan,
"Raden, kudengar kau melaporkan kejadian aneh tadi malam?"
"Iya, Pak. Tetapi, berkas semalam-"
"Saya sudah melihatnya," potongnya. "Saya meminta agar berkas itu disimpan oleh tim pusat."
Setengah lega, setengah curiga, lalu aku menatapnya.
"Jadi, bapak percaya pada saya?"
Pak Harun tersenyum kecil. "Raden, saya memiliki dua puluh tujuh tahun pengalaman membaca data tanah. Saya bisa membedakan antara getaran yang normal dan mana getaran yang... lain."
—
Sore itu, digelar rapat darurat. Seorang pria berjas rapi bernama Marda, yaitu Direktur kami dan seluruh pejabat pemerintah pusat langsung turun tangan. Dia berbicara tanpa melirik saya.
"Masalah seperti ini akan berbahaya jika bocor, seperti yang kita semua tahu. Orang-orang akan khawatir, media akan salah mengartikannya, dan saham energi akan anjlok. Oleh karena itu, kita sebut saja ini sebagai anomali sinyal bawah tanah."
Aku yang mendengarnya tak tahan lagi.
"Hormat saya, Pak, ini bukan insiden biasa seperti anomali. Ini adalah Bumi yang berbicara. Jika mengabaikannya dapat menyebabkan-"
"Cukup!" potongnya.
"Raden, Bumi tak berbicara. Kau ini bukan nabi, kau hanyalah seorang teknisi. Mana bisa mendengar bumi bicara? Ayolah berpikir logis."
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Sinta beserta pekerja lain menunduk, sementara Pak Harun melotot padaku, bukan karena marah, melainkan seolah menyuruhku untuk berhenti bicara dulu. Akan tetapi, aku sudah terlanjur bertindak.
—
Aku menyalakan kembali alatnya di rumah pada malam itu. Kali ini, ada gemuruh samar yang disertai erangan yang berkepanjangan.
"Mereka lebih suka tidak mendengarnya. Kalau begitu, saya akan membuat mereka merasakannya."
Tanah bergetar sedikit secara tiba-tiba. Biasanya hanya dirasakan oleh alat ini, tetapi getarannya sekarang mengguncang ruangan. Lampu padam. Genteng di atap berdesir.
Tiga gempa bumi lokal di titik yang berbeda dilaporkan oleh berita di layar kantor pada keesokan paginya. Dan pola getaran yang sama seperti yang saya dengar pada malam sebelumnya muncul di setiap titik gempa.
—
Terdapat rapat darurat lagi. Suasananya tegang kali ini. Pak Marda sangat marah. Dia berteriak,
"Siapa yang membocorkan kode area proyek?"
Aku tahu dia sedang menatapku.
"Ini bukan kebocoran, Pak. Beginilah reaksi alam. Kita telah mengakses lapisan yang salah."
"Omong kosong! Apakah kau percaya bahwa Bumi merupakan makhluk hidup?"
Pak Harun perlahan berdiri. "Bumi memang bukan makhluk hidup, tapi kenapa setiap kali kita menyakitinya, kita sendiri yang sekarat? Sudah lah, ada benarnya omongan Raden."
Tiba-tiba, keheningan menyelimuti ruangan itu.
—
Setelah hari itu, Pak Harun diam-diam membantuku meneliti data asli. Kami mengamati bahwa suara-suara itu muncul setiap kali ada proyek pengeboran yang sedang berlangsung, seolah-olah tanah mengeluarkan sinyal peringatan.
"Kita perlu mencari tahu apa yang diinginkannya jika ini semacam komunikasi" kata Pak Harun.
Kami memasang alat itu di tanah bekas tambang di pinggiran Samaraterra pada malam berikutnya. Angin dingin membawa aroma besi dan hujan kering. Aku menutup mata dan menyalakan headsetku.
Kali ini, suara-suara itu datang lebih cepat.
"Aku lapar, tapi aku tidak ingin marah."
Aku berdiri tegak. "Lapar?"
"Bagian dalamku telah dimakan manusia. Yang kuinginkan hanyalah mencicipinya balik."
Getarannya semakin kuat. Di bawah kami, tanah sedikit runtuh. Pak Harun menarikku menjauh.
"Raden, cabut alat itu! Sekarang!"
Aku mencabut alat itu, tapi seolah terlambat. Tanah memuntahkan asap tipis berwarna kehijauan.
Dua hari kemudian, tambang itu lenyap.
Puluhan pekerja menghilang.
—
Investigasi pun dimulai hari ini. Aku dituduh sabotase.
Sinta juga datang ke ruang interogasi,
"Kenapa kamu enggak kabur, Den?"
"Karena aku enggak salah. Buat apa kabur?"
Pak Marda masuk.
"Sudah cukup acting-mu. Kamu mau kami percayai Bumi bisa bicara dan sengaja melenyapkan tambang?"
Aku menatapnya. "Bapak tahu kan kalau saya benar? Tapi bapak takut kehilangan proyek, kan?"
Ia tersenyum sinis. “Kalau saya buang kamu ke lubang tambang, kamu bisa tanya langsung ke Bumi.”
Belum sempat ia keluar, Pak Harun datang dengan membawa satu berkas hitam besar.
"Pak Marda, Anda sebaiknya lihat ini."
Proyektor dinyalakan, layar proyektor memperlihatkan rekaman dari sensor di tambang sebelum runtuh. Gelombang suara yang jika diterjemahkan ke spektrum visual membentuk pola mirip gelombang otak manusia.
Pak Marda terdiam. Sinta membungkam mulutnya.
Aku menatap Pak Harun.
"Bapak simpan ini dari pusat?"
“Saya simpan dari mereka yang tidak mau tahu."
Setelah itu, suasana langsung kacau. Sebagian staf protes, menuntut penyelidikan lebih lanjut, sebagian lagi menganggap data itu manipulasi. Media mulai mencium isu kebocoran proyek rahasia.
Pemerintah menekan, proyek dihentikan sementara.
Tapi malam itu, Bumi tak menunggu.
—
Aku sedang duduk di balkon rumah ketika tanah kembali bergemuruh. Tapi bukan seperti gempa, lebih seperti... detak jantung.
Lalu suara itu datang, kali ini tanpa alat.
"Kalian sudah mendengarku. Sekarang biarkan aku bebas."
Beberapa detik kemudian, sirene kota menyala keras. Di berita juga muncul "Samaraterra bagian timur ambles sejauh 20 meter."
Namun ajaibnya, tak ada korban. Semua pekerja sudah dievakuasi satu jam sebelumnya berkat peringatan Pak Harun. Kami menyebutnya mukjizat geologis, tapi aku tahu itu bukan mukjizat. Itu pesan.
—
Seminggu setelahnya, aku dipanggil ke rapat terakhir.
Pak Marda sudah diganti, dan proyek geoterapi dibekukan.
Di akhir rapat, Pak Harun mendekat, menepuk bahuku.
"adang, Raden, kita butuh orang gila untuk membuat dunia mendengar."
Aku tertawa kecil. "Jadi saya gila?"
"Gila di waktu yang tepat, haha." katanya.
—
Sekarang aku tinggal di pinggiran kota, tak lagi bekerja resmi. Tapi setiap malam, aku masih memasang headset itu. Kadang terdengar gumaman jauh, kadang hanya hening panjang. Tetapi kemarin malam, Bumi kembali berbisik
"Terima kasih, orang baik. Aku akan diam sejenak."
Aku menatap langit yang mulai membiru lagi, perlahan, seperti luka yang sembuh pelan-pelan. Mungkin ini akhir dari pekerjaanku atau awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebab kalau Bumi benar-benar bisa berbicara, maka mendengarkan bukanlah pekerjaan… tetapi, tanggung jawab.
—
Setelah proyek Samaraterra resmi dihentikan, ribuan pekerja mulai kehilangan arah. Mereka yang dulu menggantungkan hidup dari kedalaman tanah, kini berdiri di permukaannya, menatap lubang-lubang raksasa yang jadi warisan pekerjaan mereka sendiri. Tak ada mesin, tak ada suara bor, hanya keheningan panjang yang terasa seperti penyesalan.
Pemerintah awalnya kebingungan. Perekonomian lumpuh karena sektor energi runtuh. Namun tekanan publik dan bencana gempa aneh yang hampir menelan satu kota membuat mereka akhirnya menyerah pada kenyataan bahwa Bumi tidak bisa terus dipaksa.
Dari reruntuhan industri itu, muncul gelombang baru, ekonomi pemulihan tanah. Alih-alih menggali lebih dalam, manusia mulai menambal luka. Bekas tambang dijadikan ladang energi alami, panas bumi, aliran air bawah tanah, hingga makhluk hidup yang dulu diabaikan, kini dijaga dan dipelajari bukan untuk dieksploitasi, tapi untuk dipelihara.
Raden, yang dulu teknisi pengeboran, kini jadi instruktur "penyembuh tanah."
Ia melatih mantan penambang menanam pohon pelindung tanah, menumbuhkan lumut, dan menutup kembali lapisan retak. Orang-orang menyebut profesi baru ini dengan bangga "Soil Restorers".
Gaji mereka kecil, hasilnya lambat, tapi setiap lubang yang tertutup memberi rasa tenang yang aneh, seperti luka lama yang akhirnya kering.
Tentu, tidak semuanya indah. Banyak yang marah. Ada yang merasa dikhianati.
"Kerja begini nggak bikin makan!" teriak seorang pekerja di pasar logam yang kini sepi.
Ada pula yang menyalahkan orang-orang seperti Raden dan mendiang Pak Harun, orang-orang "terlalu idealis," katanya, yang membuat mereka kehilangan dunia lama.
Tapi ada juga yang diam, menatap langit yang kini sedikit lebih biru, dan perlahan mengerti. Bahwa menyelamatkan Bumi memang tidak membuat perut langsung kenyang… tapi membuat napas terasa lebih panjang.
Anak-anak yang lahir setelah proyek itu tumbuh dengan cerita berbeda. Mereka tidak lagi mempelajari cara mengebor, tapi cara mendengar tanah, membaca arah angin, mencatat getaran halus, memahami bahwa planet ini tidak butuh diselamatkan, hanya perlu diistirahatkan.
Raden sering berdiri di tepi bukit Samaraterra, tempat dulu gempa terbesar mengguncang.
Ia menutup matanya, mendengar.
Di kejauhan, samar, suara itu masih ada, ritmis dan dalam, seperti jantung yang baru saja pulih.
Dan ia tersenyum pelan.
"Akhirnya kau bisa bernapas lagi, ya…"