Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Rumah Di Ujung Hutan

👤 Pande Aryasuta Utama 🏫 XI-10 🆔 25679

Rumah di Ujung Hutan


Namaku Raka, dan malam itu seharusnya cuma malam biasa—nongkrong bareng teman-teman, ngobrol, mungkin nonton film, atau main game. Tapi kalian tahu sendiri kalau ada Fauzan, sahabatku yang paling suka cari sensasi, satu ide gila saja bisa bikin kita semua nyaris mati ketakutan.


Hari itu sore-sore, kami kumpul di rumah Fauzan. Aku, Tegar, Niko, Rizal, dan Fauzan sendiri. Awalnya cuma ngerjain tugas sekolah, tapi tentu saja Fauzan nggak bisa diem.


“Bro, gue punya ide gokil!” katanya sambil ngeloyor dari ruang tamu ke dapur.

“Ini bakal serem lagi kan?” tanya Tegar skeptis sambil ngelurusin kursi.

“Ya, itu dia! Serem! Tapi keren banget buat uji nyali kita!” Fauzan nyengir sambil menatap kami berlima.


Aku langsung geleng kepala. “Gila lo, Fauzan… lagi hujan begini, jalan sendirian ke hutan aja udah serem, apalagi rumah kosong di ujung hutan?”

“Ah… santai aja, bro! Gue cuma pengen kita ngerasain sensasi horor yang beneran. Lagian… siapa tahu kita jadi legenda,” jawab Fauzan sambil ngacungin jempol.


Tegar menatapnya skeptis. “Kalau gue pulang nggak sehat, gue sumpah bakal balas dendam di WhatsApp grup.”

Niko cuma menunduk, matanya besar, kayak kucing ketakutan. “Gue ikut… tapi gue nggak mau nginep sendirian kalau ada hantu beneran.”

Rizal menepuk bahu Niko, “Tenang… kita kan berlima. Kalau panik, kita saling tarik tangan.”

Aku langsung geleng kepala. “Gila lo, Fauzan. Malam-malam gini kita ke hutan? Mau mati semua?”

“Nggak usah lebay, Raka. Ini kesempatan langka,” jawab Fauzan sambil senyum jahil.

Tegar menimpali, “Kalau ada yang ketakutan, jangan nangis ya.”

Rizal cuma nyengir sambil masang hoodie tebal. Niko, seperti biasa, menahan napas tapi matanya berbinar. “Gue ikut… tapi gue gak mau nginep sendirian kalau ada hantu, bro.”


Akhirnya, setelah debat sengit, kami sepakat berangkat. Syaratnya cuma satu: jangan pisah, jangan panik, dan kalau ada yang muntah… ya siap-siap saling bantu.


Kami naik motor masing-masing, jalanan sepi, lampu jalan berkedip-gelap, dan suara daun jatuh dihembus angin terdengar kayak jeritan halus. Niko terus nyeletuk, “Bro, gue takut loh… rasanya ada yang ngikutin.”

“Ngikutin apa?” Fauzan nyeletuk sambil ketawa, “Kalau hantu beneran, kita baru mulai seru-seruan.”


Setelah setengah jam, kami tiba di rumah tua yang dimaksud. Catnya mengelupas, jendela pecah sebagian, pintu depan nyaris jatuh, dan halaman depan dipenuhi semak liar. Bau tanah basah menyengat hidung.


“Ini dia…” kata Fauzan sambil membuka gerbang berderit.

“Serem… banget…” gumamku sambil memegang senter.

Tegar nyeletuk, “Kalau gue tiba-tiba hilang, tolong jangan panggil gue ‘penakut’ di WhatsApp grup.”


Kami masuk pelan-pelan. Lantai berderit di setiap langkah, debu beterbangan, dan angin dingin masuk dari jendela pecah. Niko menunduk, “Bro… gue ngerasa ada yang liatin dari atas…”

Aku menatap ke tangga rumah, gelap, dan terasa seperti mata menatap balik. Rizal menelan ludah. “Kalau gue mati di sini, gue cuma minta jangan dipakein caption Instagram, bro.”


Kami memutuskan untuk berkeliling rumah sebentar. Ruangan pertama, ruang tamu, dipenuhi furnitur tua. Sofa robek, lukisan aneh tergantung miring, dan jam dinding berhenti di pukul 12. Fauzan sok pamer, “Lihat! Gue berani, kan?” tapi aku bisa lihat dia gemetar di belakang senter.


Kami naik ke lantai dua. Tangga berderit makin keras. Di koridor sempit, bayangan panjang menempel di dinding. Tiba-tiba, Niko menjerit, “Brooo… ada bayangan jalan ke arah gue!”

Aku menoleh… kosong. Tapi rasa panik Niko menular ke kami semua. Tegar mencoba menenangkan, “Itu cuma bayangan lampu… pasti.”


Kami masuk kamar utama. Pintu terbuka pelan, dan di sana ada cermin besar. Refleksi kami… agak aneh. Mata Niko terlihat merah, Fauzan pucat, dan aku sendiri merasa tanganku panjang.

“Bro… apa gue sakit mata?” tanya Niko.

“Kayaknya… ini cermin beneran ngerjain kita,” jawab Tegar sambil menahan tawa grogi.


Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari lantai bawah. Satu ketukan… dua… tiga… kami semua terdiam.

“Eh… siapa itu?” Fauzan berbisik.

“Jangan… jangan-jangan hantu!” jeritku.

Rizal nyengir lemah. “Kalau hantu beneran, gue cuma mau mie instan.”


Kami turun perlahan. Suara ketukan itu makin jelas, seperti langkah kaki berat di lantai kayu. Papan lantai retak sedikit di bawah kaki Tegar. “Aduh… gue hampir jatuh,” katanya.

Fauzan menyalain senter ke bawah… dan kami semua terdiam. Di ruang tamu, sebuah kursi goyang bergerak sendiri.

“Bro… seriusan ini kursi bergerak sendiri,” gumamku.

“Ini nggak lucu lagi, bro…” kata Rizal sambil mundur.


Tiba-tiba, angin dingin masuk dari jendela pecah, membawa suara erangan halus. Niko menjerit pelan, “Bro… bau tanah basah… campur busuk… gue mual!”

Aku sendiri merasa perut mules, tapi kami semua sadar satu hal: ini rumah benar-benar berhantu.


Kami mencoba keluar, tapi pintu depan macet. Fauzan panik, mencoba mendorong, tapi terdengar suara tertawa pelan di belakang kami. Tegar menjerit, “Gue nggak mau dipakein topeng hantu di sini!”

Aku pegang tangan Niko dan Rizal, “Santai… jalan bareng!”


Suara tertawa makin keras. Kami menoleh… kosong. Tapi setiap kali kami menatap arah suara, bayangan hitam muncul sebentar di lantai atas, terus hilang.

“Gila… kayak adegan film horror,” bisik Fauzan sambil menggigil.

“Ini lebih serem daripada film horror, bro…” jawabku.


Tiba-tiba, Niko terpeleset dan jatuh ke lantai. “Aduh! Gue nggak bakal bangun lagi!”

Rizal ketawa, tapi kemudian menjerit juga karena papan lantai retak. Tegar menahan napas.

Aku tarik Niko, Fauzan bantu Tegar, dan kami berlima akhirnya berhasil berdiri lagi.


Kami mencoba menenangkan diri, tapi bau busuk makin menyengat. “Bro… gue rasa ini bau tanah basah campur darah,” gumam Niko sambil menutup hidung.

“Kalau gue pingsan di sini, tolong jangan bilang ke ibu,” kata Fauzan.


Kami memutuskan untuk naik ke loteng, mungkin di situ aman. Tangga ke loteng sempit, papan berderit. Di ujung tangga, bayangan hitam muncul lagi. Mata merah menyala, rambut basah menutupi wajah.

“Tolong… gue nggak mau mati di sini!” teriak Kevin, tapi Kevin sendiri terhenti di tangga, gemetar.

Aku narik tangannya, “Yuk, cepat… kita bertahan bareng!”


Di loteng, ternyata kosong. Tapi udara makin dingin. Suara erangan, tertawa pelan, dan derak papan bercampur menjadi simfoni horor. Fauzan duduk di pojok, menggigil. Tegar menatap cermin tua di loteng… dan melihat bayangan kami bergerak sendiri.

“Bro… apa cermin ini… hantu beneran?” tanya Tegar.

Aku nggak menjawab, tapi perutku mules. Bau busuk makin menyengat.


Kami duduk sebentar, mencoba bernapas. Tapi Niko tiba-tiba mual dan hampir muntah. “Bro… bau ini… gue nggak kuat!”

Aku pegang bahunya, sementara Rizal menutup hidung. Fauzan cuma geleng-geleng kepala.

“Bro… kita harus keluar, sekarang!” teriak Fauzan.


Kami turun perlahan ke tangga, tapi tangga retak. Aku pegang tangan Tegar, Niko di sampingku, Fauzan menahan Rizal. Bayangan hitam muncul lagi di bawah tangga, tapi secepat kilat hilang.

Aku gemetar. “Gila… kita baru beberapa menit di rumah ini, tapi rasanya udah kayak setahun!”


Akhirnya, kami sampai pintu depan. Fauzan menendang dengan sekuat tenaga, dan pintu terbuka. Kami lari keluar, basah kuyup, gemetar, dan napas tersengal. Kabut mulai menipis, rumah tua itu terlihat lebih menyeramkan dari sebelumnya.


Kami duduk di pinggir jalan, mencoba menenangkan diri. “Gila… hampir mati semua,” gumamku.

“Bro… gue rasa bayangan itu ngikutin kita,” kata Niko.

“Gue nggak mau inget,” jawab Rio sambil menutup wajah.

Fauzan hanya menatap rumah itu, senyum tipis tapi mata tetap waspada.


Perjalanan pulang sepi. Setiap suara ranting patah, bayangan di tepi jalan, bikin napas tersengal. Kami sampai rumah masing-masing, tidur dengan lampu menyala, pintu terkunci, dan jantung masih berdetak cepat.


Beberapa hari kemudian, pesan masuk:

Aditya: “Gue mimpiin bayangan itu tiap malam, bro… dia ngeliatin gue dari jendela kamar.”

Kevin: “Gue juga… bau busuk itu masih kepikiran.”

Niko cuma kirim suara gemetar. Fauzan? Diam.


Sejak malam itu, kami berlima punya ritual baru. Jam tengah malam, jendela, pintu, kamera HP dicek. Tidak ada yang berani lewat jalan itu sendirian. Bahkan motor pun harus lewat jalur lain.


Di sekolah, cerita kami dianggap mitos. Tapi kami tahu sendiri: nyata. Legenda kami: “Lima Sahabat dan Rumah di Ujung Hutan.”


Malam itu, kami belajar satu hal: persahabatan itu kuat, tapi rasa takut yang sama bisa bikin ikatan lebih nyata. Lima sahabat, satu rumah tua, satu bayangan hitam—bukan sekadar horor, tapi bukti bahwa keberanian, kepanikan, dan solidaritas bisa berjalan bersamaan.


Kami berdiri di pinggir jalan, basah kuyup, napas tersengal, tapi tetap nggak bisa menahan rasa penasaran. Fauzan tiba-tiba nyeletuk, “Bro… gue masih pengen lihat rumah itu dari jauh. Cuma liat aja, jangan deket-deket.”

Aku menatapnya. “Lo gila, bro! Gue udah hampir mati di situ!”

Rio ketawa getir. “Kalau gue mati karena rasa penasaran, gue minta jasad gue difoto terus dijadikan meme.”

Tegar menahan tawa tapi gemetar. “Bau itu… masih nyangkut di hidung gue, bro. Gue rasa kita semua harus mandi tiga kali.”

Niko cuma menunduk sambil menggigil. “Gue nggak bakal tidur semaleman tanpa lampu… dan tanpa masker!”

Kami semua tertawa lemah, tapi ketawa itu bercampur dengan gemetar. Bahkan saat kembali ke motor, aku masih merasa ada yang menatap dari balik pepohonan hutan. Bayangan hitam itu mungkin hilang… tapi perasaan takutnya tetap ada, ikut pulang bersama kami.

Di perjalanan pulang, kami saling cerita pengalaman masing-masing—siapa yang paling panik, siapa yang hampir jatuh, siapa yang paling berani (atau pura-pura berani). Malam itu, walaupun horor, malah bikin kami makin dekat. Kami sadar: pengalaman paling menegangkan sekalipun bisa jadi cerita kocak kalau dihadapi bareng sahabat.


Setiap kali berkumpul, cukup ingat malam itu, tubuh kami masih merinding. Kadang Niko pura-pura menoleh ke jendela dengan panik, Aditya menutup hidung seakan bau busuk muncul lagi, Kevin menahan napas, dan Fauzan… hanya menatap dengan senyum tipis tapi mata tetap waspada.