suara yang tak selesai
“Suara yang Tak Selesai”
Langit sore itu berwarna kelabu, tapi di sebuah ruangan sempit di belakang rumah, suara gitar listrik meraung-raung memecah keheningan. Kabel berserakan, botol air mineral berguling di lantai, dan aroma keringat bercampur debu menempel di udara. Di tengah ruangan itu, empat anak muda sedang berjuang membentuk sesuatu yang mereka sebut sebagai band.
Namanya The Cornerlight. Sebuah nama yang muncul spontan saat mereka nongkrong di warung kopi pojokan gang, ketika Damar—sang gitaris sekaligus otak utama—berkata, “Kita ini anak-anak yang hidup di pojokan, tapi tetep pengin bersinar.” Mereka semua tertawa waktu itu, tapi tak ada yang menyangkal betapa kalimat itu terasa pas menggambarkan diri mereka.
Ada Damar, si gitaris jenius dengan rambut awut-awutan; Geri, vokalis dengan suara khas yang kadang serak, kadang melengking tajam; Tama, drummer yang paling pendiam tapi paling disiplin; dan Reno, si pemain bass yang lebih sering jadi bahan lelucon tapi diam-diam yang paling sabar di antara mereka.
Mereka pertama kali latihan di gudang bekas toko milik ayah Geri. Lantainya dari semen retak, dindingnya kusam, tapi bagi mereka tempat itu seperti panggung utama di dunia. Di situlah mereka berteriak, tertawa, berdebat, dan terkadang diam bersama ketika musik yang mereka mainkan terasa tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Damar yang paling sering memulai. Ia biasanya datang dengan potongan melodi dari kepalanya, lalu duduk di lantai, memetik gitar pelan sambil berkata, “Dengerin, gue kepikiran nada kayak gini.” Setelah itu Geri mulai menyusun lirik seadanya, kadang hanya kalimat acak seperti “kita tak butuh lampu untuk menyala”. Dari potongan-potongan kecil seperti itulah mereka membangun lagu demi lagu.
Tapi tidak semua berjalan lancar. Geri sering datang terlambat, alasan klasik: “Macet” atau “tadi bantu emak.” Tama yang perfeksionis sering mengeluh karena Damar terlalu sering mengubah struktur lagu di tengah latihan. Reno hanya bisa menghela napas dan menengahi, mencoba menjaga api kecil persahabatan mereka agar tak padam oleh ego masing-masing.
Mereka pernah hampir bubar karena hal sepele. Saat itu Geri menolak membawakan lagu ciptaan Damar di acara sekolah karena menurutnya “liriknya terlalu aneh”. Damar tersinggung, membanting gitarnya, dan keluar begitu saja. Latihan berhenti selama dua minggu. Tapi suatu malam, Reno mengumpulkan semuanya di warung kopi tempat mereka dulu menamai band. Tanpa banyak bicara, ia menyalakan rekaman demo lagu yang mereka buat terakhir kali. Hening mengisi udara. Saat lagu itu selesai, Geri berkata pelan, “Gue kangen suara kita.” Dan malam itu, mereka kembali latihan.
Waktu berlalu. Mereka mulai tampil di berbagai acara kecil: pentas seni, ulang tahun teman, bahkan acara nikahan tetangga. Bayaran? Kadang hanya nasi bungkus dan rokok sebatang. Tapi buat mereka, sorak penonton yang mengangkat tangan sambil ikut bernyanyi jauh lebih berharga dari uang apa pun.
Namun dunia tidak selalu berpihak pada mereka. Setelah lulus sekolah, hidup mulai menarik mereka ke arah yang berbeda. Tama diterima kuliah di Yogyakarta, Damar bekerja di toko alat musik, Reno membantu orang tuanya di bengkel, sementara Geri mencoba peruntungan di Jakarta, katanya ingin jadi penyanyi profesional. Mereka berjanji tidak akan bubar, hanya “istirahat sebentar”. Tapi waktu punya cara sendiri untuk memisahkan orang-orang yang dulu tak terpisahkan.
Setahun kemudian, Damar mendapat kabar dari media sosial bahwa Geri mulai dikenal di Jakarta. Ia jadi vokalis band baru, tampil di beberapa kafe, bahkan lagunya masuk ke playlist radio kampus. Damar seharusnya bangga, tapi entah kenapa dadanya terasa berat. Setiap kali mendengar suara Geri bernyanyi di video, ada rasa asing yang tak bisa dijelaskan—seolah orang di balik mikrofon itu bukan lagi temannya yang dulu bersuara serak di gudang berdebu itu.
Suatu malam, Damar duduk sendirian di depan rumah, memainkan gitar tuanya. Nada-nada lama muncul lagi, nada dari lagu yang dulu mereka ciptakan bersama tapi tak pernah sempat direkam. Liriknya masih diingatnya dengan jelas. Ia menulis ulang di buku catatan yang sudah menguning:
“Kita menyalakan api di tengah hujan,
Biarpun redup, kita tak padam.”
Air matanya jatuh di antara senar gitar. Mungkin karena rindu, atau mungkin karena kecewa. Tapi lebih dari itu, ia merasa bersalah. Dulu, ia terlalu keras kepala, terlalu ingin band mereka sempurna sampai lupa bahwa musik seharusnya menyatukan, bukan memisahkan.
Beberapa minggu kemudian, Reno datang ke rumahnya membawa kabar. “Tama lagi di kota, libur kuliah. Dia pengin ketemu.”
Damar langsung tersenyum. Mereka bertiga bertemu di warung kopi yang sama, tempat kenangan mereka berawal. Tama kini tampak lebih dewasa, tapi tetap kalem seperti dulu. Setelah berbasa-basi sebentar, Reno berkata pelan, “Kita bikin The Cornerlight lagi, yuk.”
Damar hampir tak percaya. “Tanpa Geri?”
“Kalau dia mau, bagus. Kalau enggak, ya tetap jalan. Musik kita nggak boleh mati.”
Damar terdiam lama, lalu mengangguk. “Gue setuju.”
Dan begitu saja, The Cornerlight hidup lagi. Mereka mulai latihan di gudang yang sama. Reno meminjam drum bekas dari tetangga, Damar membeli mic murah, dan Tama membawa semangat yang sama seperti dulu. Tapi tetap, ada ruang kosong yang tak tergantikan—ruang tempat suara Geri seharusnya berada.
Suatu malam, setelah latihan, Damar iseng mengunggah potongan video mereka ke media sosial. Hanya satu menit, lagu baru berjudul “Tanpa Nama”. Tak disangka, video itu viral kecil-kecilan. Banyak komentar masuk: “Vokalisnya mana?” “Dulu ini band yang vokalisnya Geri, kan?” Tapi ada juga yang menulis, “Walau tanpa vokal, musiknya tetap hidup.”
Seminggu kemudian, pesan masuk ke ponsel Damar. Dari Geri.
“Gue liat video kalian. Keren banget. Lagu lo makin dalem sekarang.”
Damar terdiam lama sebelum membalas.
“Terima kasih. Tapi kita masih butuh satu hal: suara lo.”
Tidak ada balasan malam itu. Tapi dua hari kemudian, Geri muncul di depan gudang dengan tas gitar di punggung dan senyum kikuk di wajahnya. “Kalau gue masih diterima, gue mau balik.”
Mereka tidak berkata banyak. Damar langsung menyerahkan mikrofon, dan saat Geri menyanyikan bait pertama lagu Tanpa Nama, udara di ruangan itu seperti berhenti. Semua rasa kecewa, marah, dan rindu luruh jadi satu. Setelah lagu berakhir, Tama menepuk bahunya dan berkata pelan, “Selamat datang kembali.”
Kembalinya Geri membuat mereka kembali hidup. Mereka mulai serius lagi. Damar menulis lagu-lagu baru dengan lirik lebih matang, tentang persahabatan, kehilangan, dan perjalanan. Mereka sepakat: kali ini, tidak ada yang akan menyerah di tengah jalan.
Bulan demi bulan, mereka tampil di berbagai tempat. Dari kafe kecil sampai panggung festival lokal. Nama The Cornerlight kembali terdengar. Meski tak sebesar band-band besar di televisi, mereka punya penggemar yang setia—anak-anak muda yang percaya bahwa musik jujur akan selalu menemukan telinganya sendiri.
Suatu malam, setelah tampil di sebuah acara kampus, Geri berkata sambil menatap langit, “Gue dulu kira sukses itu tampil di TV. Tapi ternyata sukses itu bisa nyanyi lagi sama kalian.”
Damar hanya tersenyum. “Kita cuma perlu satu hal, Ger. Bertahan.”
Namun hidup, sekali lagi, tak selalu berjalan seperti lagu yang selesai dengan harmoni. Beberapa bulan kemudian, Tama mengalami kecelakaan motor dalam perjalanan pulang dari latihan. Ia selamat, tapi kakinya patah parah, membuatnya tak bisa main drum selama berbulan-bulan.
Latihan berhenti. Damar berusaha tetap menulis lagu, tapi tanpa suara ketukan Tama, musik mereka terdengar pincang. Reno sibuk mengurus Tama di rumah sakit, sementara Geri mencoba menenangkan semuanya, meski hatinya sendiri hancur.
Dalam masa itu, Damar menulis lagu baru, berjudul “Suara yang Tak Selesai”. Ia menulisnya di kamar, di malam sunyi tanpa dentuman drum. Liriknya sederhana, tapi jujur:
“Meski senyap mengganti nada,
Meski langkah tak lagi sama,
Aku percaya satu hal:
Musik kita tak akan hilang.”
Ketika Tama akhirnya sembuh dan bisa berjalan lagi, mereka merekam lagu itu bersama—pelan, sederhana, tanpa banyak instrumen. Lagu itu diunggah ke platform musik digital, hanya dengan satu kalimat di deskripsi: “Untuk semua yang pernah berhenti, tapi tidak menyerah.”
Tanpa mereka sangka, lagu itu didengar oleh ribuan orang. Banyak yang menulis di kolom komentar bahwa lagu itu menyentuh mereka, mengingatkan pada mimpi yang hampir padam. Salah satu komentar menulis: “Mereka nggak sekadar band, mereka cerita tentang hidup.”
Beberapa bulan kemudian, The Cornerlight diundang tampil di sebuah acara besar di Jakarta—panggung terbesar yang pernah mereka dapat. Geri menatap panggung itu dari belakang tirai dengan napas bergetar. “Dulu gue ngimpiin ini sendirian. Sekarang kita di sini bareng.”
Damar menepuk bahunya. “Kita di sini karena kita nggak nyerah.”
Lampu menyala, ribuan penonton berteriak. Dentuman drum Tama membuka lagu, Reno mengiringi dengan bass yang mantap, dan Damar memetik gitar seperti menulis puisi di udara. Geri berdiri di tengah panggung, menutup mata, dan mulai bernyanyi.
“Kita menyalakan api di tengah hujan,
Biarpun redup, kita tak padam.”
Penonton ikut bernyanyi. Suara mereka bergema memenuhi ruangan, menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara musisi dan pendengar. Dan di tengah gemuruh itu, Damar sadar—bahwa suara yang mereka ciptakan bukan hanya milik mereka berempat, tapi milik semua orang yang pernah berjuang untuk mimpinya.
Ketika lagu terakhir usai, mereka saling menatap. Tidak ada kata-kata, hanya senyum penuh arti. Mereka tahu, perjalanan ini belum selesai. Mungkin suatu hari nanti mereka akan berhenti lagi, mungkin dunia akan kembali memisahkan. Tapi malam itu, di bawah cahaya lampu yang hangat dan tepuk tangan panjang, mereka tahu satu hal pasti: suara mereka akan terus hidup, bahkan ketika semuanya diam.
Setelah konser, mereka duduk di tepi jalan, memandangi kota yang tak pernah tidur. Geri menggenggam botol air, tertawa kecil. “Kita mulai dari gudang sempit, berantem, bubar, balik lagi, terus sekarang tampil di sini. Aneh ya?”
Reno menimpali, “Bukan aneh, bro. Cuma bukti kalau suara kita memang nggak bisa selesai begitu aja.”
Damar mengangguk pelan. Ia menatap langit malam yang penuh bintang, lalu berkata, “Selama masih ada yang mau dengar, The Cornerlight nggak akan mati.”
Angin malam berembus lembut. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti nada yang menari di udara. Dan di antara mereka, tawa kecil pecah—tawa yang dulu lahir di gudang sempit, yang kini bergema di bawah langit luas.
Malam itu, The Cornerlight bukan lagi sekadar nama band. Ia menjadi simbol persahabatan, keteguhan, dan cinta pada musik yang tak pernah pudar. Mereka tahu, hidup akan terus berubah, tapi suara mereka—suara yang tak selesai—akan selalu abadi.