Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Rumah Diujung Gang

👤 Ida Bagus Indrayana Pramudya 🏫 XI-10 🆔 25700

Langit sore menggantung rendah di atas gang kecil di daerah Cempaka Baru. Udara terasa pengap, bau debu bercampur asap kendaraan. Bepe menghentikan mobilnya tepat di depan pagar besi yang berkarat, di mana sebuah papan kayu bertuliskan DIJUAL CEPAT – HUBUNGI BU RATNA menggantung miring ditiup angin.

 

-

Ia menatap rumah itu lama. Cat dindingnya mengelupas, jendela-jendela berdebu, tapi entah kenapa ada sesuatu yang menarik. Mungkin karena tenang. Atau mungkin karena sepi, sesuatu yang ia rindukan sejak lama. Setelah bertahun-tahun hidup di tengah hiruk-pikuk kota, Bepe ingin tempat di mana pikirannya bisa berhenti sejenak.


Ia menekan bel yang sudah berkarat. Tidak ada suara. Hanya gemerisik daun mangga tua di halaman belakang.


Tak lama, seorang perempuan paruh baya muncul dari arah gang—membawa kunci besar dan kantong plastik berisi bunga kering.


“Mas Bepe, ya?” sapanya ramah. “Saya Ratna, pemilik rumah ini dulu. Mau lihat-lihat?”


Bepe tersenyum sopan. “Iya, Bu. Saya suka rumah yang tenang. Katanya ini kosong sudah lama, ya?”


“Lima tahun lebih,” jawab Bu Ratna. “Dulu sempat ada yang tinggal, tapi… ya, nggak betah.”


Nada suaranya menurun di akhir kalimat, seperti menahan sesuatu. Bepe hanya mengangguk, mencoba tidak terlalu menanggapi.


Begitu pintu dibuka, udara lembap langsung menyergap. Bau tanah basah bercampur kayu lapuk memenuhi paru-parunya. Dinding ruang tamu penuh debu, tapi ada satu benda yang tampak bersih mengilap: sebuah cermin besar yang menempel di dinding kanan. Bingkainya berwarna perak, mengkilat, seolah baru dipoles.


“Cerminnya masih asli, Bu?” tanya Bepe.


“Iya. Katanya peninggalan pemilik pertama rumah ini,” jawab Ratna sambil menyeka debu di meja. “Tapi, kalau Mas mau beli, saya kasih semua. Saya sudah tidak ingin ada urusan lagi dengan rumah ini.”


“Kenapa begitu?”


Ratna hanya tersenyum samar. “Kadang ada tempat yang memang tidak cocok buat semua orang.”


Bepe terdiam. Ucapannya menggantung di udara seperti kabut.



Setelah berkeliling, Bepe merasa rumah itu cocok. Struktur bangunan masih kuat, walau butuh sedikit perbaikan. Ia memutuskan untuk mengambilnya, dengan harga yang lumayan miring. Bu Ratna tampak lega mendengar keputusannya, seolah ingin segera lepas dari sesuatu.


Seminggu kemudian, Bepe resmi pindah.


Hari pertama ia datang membawa koper dan beberapa perabot. Rumah itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sedang terik. Ia membuka semua jendela, mengibaskan debu, dan mulai membersihkan satu per satu ruangan. Ketika sampai di ruang tamu, pandangannya kembali berhenti pada cermin besar di dinding.


Cermin itu memantulkan seluruh ruangan dengan sempurna. Tapi Bepe merasa ada yang ganjil: bayangan dirinya di dalam kaca tampak sedikit lebih lambat. Setiap kali ia menggerakkan tangan, pantulan itu seolah menunggu sepersekian detik sebelum meniru. Ia mencoba mengabaikannya.


Namun malamnya, hal-hal kecil mulai terjadi.

Lampu dapur menyala sendiri. Air kran menetes, padahal sudah ditutup rapat. Dan cermin itu… seolah berubah posisi. Pagi-pagi ketika Bepe turun ke ruang tamu, pantulan jendela di dalam kaca menunjukkan pemandangan berbeda—sebuah taman, bukan jalan gang di luar.


Bepe menatap lama, mencoba mencari akal logis. Tapi perasaannya mulai tidak nyaman. Ia mendekat. Di dalam pantulan, ada bayangan samar seorang perempuan berdiri jauh di belakangnya—rambut panjang, wajah kabur. Saat ia menoleh, tidak ada siapa pun.


“Halusinasi,” katanya pada diri sendiri. “Capek pindahan, mungkin.”


Ia menatap lagi, dan bayangan itu sudah lenyap. Namun kali ini, di ujung bawah cermin, ada tulisan samar seperti uap:

“Tolong aku.”


Bepe mundur spontan. Tulisan itu perlahan hilang, seolah tak pernah ada.



Malam berikutnya, Bepe bermimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di ruang tamu rumah itu, tapi segalanya tampak lebih terang dan hidup. Dinding bersih, kursi tertata, dan di tengah ruangan berdiri seorang perempuan muda bergaun putih, sedang menyisir rambut di depan cermin yang sama.


Perempuan itu menoleh, tersenyum.

“Namaku Lestari,” katanya lembut. “Kamu akhirnya datang juga.”


Bepe terbangun dengan keringat dingin. Nafasnya memburu. Ia menatap jam—pukul 03.12 pagi. Tapi dari arah ruang tamu terdengar bunyi lembut seperti suara sisir di rambut.


Srakk… srakk… srakk…


Ia berjalan pelan menuju sumber suara. Cermin itu tampak tenang, tapi di permukaannya terlihat samar sosok perempuan yang tengah menyisir rambut, persis seperti dalam mimpinya.


“Lestari?” panggilnya lirih.


Sosok itu berhenti, lalu memalingkan wajah ke arahnya.

Mata di pantulan cermin menatap langsung ke Bepe, dan ia melihat — bukan hanya bayangan, tapi dirinya sendiri berdiri di belakang perempuan itu.


Ia menatap kebelakang—kosong.

Tapi di cermin, mereka berdua berdiri berdampingan.


-


Keesokan paginya Bepe memutuskan mencari tahu tentang pemilik lama rumah itu. Ia datang ke rumah Bu Ratna membawa alasan sederhana: ingin tahu sejarah bangunan, katanya.


Bu Ratna terdiam sejenak, lalu duduk pelan.

“Mas Bepe, saya nggak mau nakut-nakutin, ya. Tapi rumah itu dulu milik pasangan muda. Namanya Dimas dan Lestari. Mereka baru menikah setahun. Katanya bahagia, tapi tiba-tiba Dimas pergi tanpa jejak. Lestari… ditemukan tak bernyawa di depan cermin di ruang tamu. Katanya bunuh diri.”


Bepe menelan ludah. “Cermin itu… yang masih di sana?”


Bu Ratna mengangguk pelan. “Saya sudah coba buang. Tapi aneh, selalu kembali ke tempatnya. Akhirnya saya biarkan saja.”


Sepulangnya dari rumah Bu Ratna, Bepe merasa langkahnya berat. Sesampainya di rumah, suasananya berbeda. Bau bunga melati samar tercium di udara. Dan di meja, ada segelas kopi hangat. Ia tak pernah membuat kopi hari itu.


“Aku tahu kamu kembali,” suara lembut terdengar dari arah belakang.

Bepe menoleh. Lestari berdiri di sana, tersenyum samar.


“Kenapa kamu tunjukkan semua ini padaku?” tanya Bepe gemetar.


“Karena kamu mirip dia,” jawab Lestari perlahan. “Kamu mirip Dimas.”


Cermin di belakang Lestari mulai bergetar. Dari dalamnya muncul bayangan lelaki lain—wajah yang memang mirip Bepe, tapi lebih tua, lebih dingin. Mata itu menatapnya tajam.


“Kenapa kau kembali?” suara lelaki itu terdengar berat, menggema dari dalam kaca.


Bepe terpaku. Tubuhnya seolah tak bisa bergerak.


“Aku bukan dia,” bisiknya pelan. “Aku Bepe. Aku cuma beli rumah ini!”


Namun pantulan di cermin menunjukkan sebaliknya—namanya di kartu tanda pengenal berubah. Di sana tertulis Dimas B. Prakoso.


Bepe terjatuh. Dadanya sesak.

Cermin di depannya kini bukan sekadar pantulan—itu pintu menuju sesuatu yang lain. Ia melihat dirinya di dalam kaca menatap balik, tapi di sisi lain Lestari memegang tangan bayangan Bepe dengan lembut.


“Sudah waktunya,” katanya. “Aku menunggu terlalu lama.”


Cahaya di ruangan berpendar. Semuanya menjadi putih.


-


Tiga hari kemudian, polisi datang karena laporan warga sekitar mencium bau aneh dari rumah di ujung gang. Saat pintu dibuka, rumah itu tampak kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya cermin besar yang berdiri tegak di ruang tamu.

 

Di dalam pantulan cermin, samar-samar tampak seorang lelaki dan perempuan duduk berdampingan di kursi. Lelaki itu menyeruput kopi, perempuan itu menyisir rambut. Mereka tampak bahagia.

Namun jika diperhatikan lebih dekat, lelaki itu bukan Bepe yang dikenal warga. Wajahnya sedikit berbeda—lebih tua, lebih menyeramkan. Dan di lantai depan cermin, ada kartu identitas yang tergeletak. Namanya tertulis Bepe Ardiansyah.



Dua minggu berlalu. Rumah itu kembali dijual.

Bu Ratna menerima telepon dari calon pembeli baru, seorang wanita muda.


“Halo, Bu. Saya lihat iklan rumah di ujung gang. Masih dijual, kan?”

“Iya, masih,” jawab Ratna ragu.

“Saya suka rumahnya. Kelihatannya tenang. Boleh saya lihat besok?”


Bu Ratna hampir menjawab, tapi tiba-tiba dari belakang telepon terdengar suara laki-laki, samar, tapi jelas:

“Sayang, kopi kamu hampir dingin, nih.”


Nada suaranya mirip sekali dengan Bepe.


“Permisi,” kata Ratna tergagap. “Ibu bilang tadi… Ibu tinggal di mana sekarang?”


“Oh, saya belum tinggal di sana,” jawab si calon pembeli santai. “Tapi rasanya saya sudah pernah mimpi tinggal di situ.”


-

Telepon terputus. Bu Ratna mematung. Lalu, tanpa sadar, ia memandang ke luar jendela. Dari jauh, di rumah ujung gang itu, lampu ruang tamu menyala.

Bayangan dua orang terlihat di dalamnya satu laki-laki, satu perempuan. Duduk berdampingan, menatap ke arah jalan.


Dan di cermin besar di belakang mereka, samar, muncul wajah ketiga tersenyum, menunggu giliran berikutnya.


Sore itu, angin membawa aroma melati dari rumah tua itu, seolah menandai awal yang baru. Orang-orang yang lewat menatap rumah itu sekilas, tapi segera mempercepat langkah. Ada sesuatu di udara yang tak bisa dijelaskan—dingin, tapi lembut; sepi, tapi hidup.

Jika diperhatikan dengan saksama, di kaca jendela lantai dua, tampak sepasang mata memandang ke luar. Sekilas seperti pantulan cahaya, tapi begitu bayangan orang itu menjauh, mata itu tetap mengikuti seolah tak mau kehilangan siapa pun yang berani datang terlalu dekat.

Rumah itu menunggu, lagi. Dan di dalam cermin, waktu tak pernah benar-benar berjalan.

Beberapa hari kemudian, papan bertuliskan “DIJUAL CEPAT” yang baru kembali tergantung di pagar rumah itu. Warna catnya lebih segar, hurufnya rapi, seolah seseorang baru saja mengecat ulangnya. Namun anehnya, tidak ada satu pun warga yang melihat siapa yang melakukannya.


Anak-anak yang bermain layangan di ujung gang kadang bersumpah melihat perempuan bergaun putih menyapu teras sore hari, lalu menghilang begitu mereka memanggil. Suatu malam, tukang ojek yang biasa lewat mengaku melihat seorang pria berdiri di depan jendela, menatap ke jalan dengan tatapan kosong. “Mukanya kayak orang yang pernah tinggal di situ,” katanya, tapi tak ada yang berani memastikan.


-

Dan setiap kali angin lewat, terdengar suara halus dari arah ruang tamu—seperti bunyi sisir yang menyentuh rambut panjang, disusul tawa lembut perempuan muda. Setelah itu, suasana kembali senyap, menyisakan bayangan samar di balik kaca jendela.


-

Rumah itu masih berdiri di sana, menunggu, menatap siapa pun yang berani melangkah masuk. Karena di dalam cermin, kisah lama belum selesai ia hanya menunggu nama baru untuk menggantikannya.