Nama Yang Tak Pernah Hilang
Pagi itu matahari belum tinggi, tapi halaman belakang rumah sudah terasa sepi. Tempat yang dulu dipenuhi gonggongan riang kini hanya menyisakan bekas tapak kaki di tanah basah. Dua mangkuk makan tergeletak kosong, masih ada sedikit remah makanan di pinggirnya. Di sana, di bawah pohon mangga tua, aku berdiri lama sambil menatap dua gundukan tanah kecil dengan batu bertuliskan nama Mery dan Oreo.
Mereka bukan sekadar hewan peliharaan, mereka bagian dari keluarga. Mery yang lembut selalu menyambutku setiap pulang sekolah, sedangkan Oreo yang lincah dengan bulu bercorak hitam putih suka berlarian di halaman sambil menggonggong seolah ingin bercerita banyak hal. Mereka berbeda, tapi selalu bersama seperti dua nada yang membentuk lagu kesayangan yang tidak pernah bosan kudengar.
Aku masih ingat dengan jelas hari pertama mereka datang ke rumah. Waktu itu aku baru pulang sekolah, masih memakai seragam, dan melihat ayah sedang duduk di teras dengan dua anak anjing kecil dalam kardus bekas buah. Aku langsung berlari menghampiri, dan begitu melihat mereka, hatiku langsung luluh. Kedua anak anjing itu menggeliat ketakutan, tapi tatapan matanya begitu lembut dan hangat. Saat itu aku tahu, mereka akan menjadi bagian dari hidupku.
Malam pertama bersama mereka menjadi kenangan yang tidak akan pernah kulupakan. Aku membuatkan alas tidur dari kain bekas di pojok kamar, memberi mereka air hangat, lalu duduk memperhatikan saat mereka mulai tertidur. Mery tidur di atas kaki Oreo, dan Oreo menggeliat kecil seolah ingin melindunginya. Aku tersenyum, merasa rumah kami akan jauh lebih berwarna dengan kehadiran mereka.
Sejak hari itu, tidak ada pagi yang terasa sepi. Setiap kali aku membuka pintu kamar, dua ekor anjing kecil itu langsung berlari menyambut, ekornya bergoyang cepat seolah ingin mengatakan selamat pagi. Kadang aku hampir jatuh karena mereka meloncat-loncat kegirangan. Saat aku berangkat sekolah, mereka selalu berdiri di depan pagar, menatap kepergianku sampai aku menghilang di tikungan jalan.
Sore hari sepulang sekolah, aku selalu menemukan mereka sudah menunggu di tempat yang sama. Kadang Oreo menggonggong pelan seolah protes karena aku terlalu lama di luar. Aku tertawa dan menepuk kepalanya, sementara Mery langsung menempel di kakiku, minta dielus. Kami sering bermain bola kecil di halaman, dan suara tawa bercampur gonggongan menjadi musik yang paling menyenangkan di telingaku.
Setiap kali hujan turun, mereka suka duduk di depan pintu, memperhatikan air yang jatuh dari atap. Kadang mereka menggonggong kecil ketika kilat menyambar. Aku sering duduk di lantai dekat mereka sambil berkata jangan takut, aku di sini. Siapa sangka, kalimat itu kelak akan terasa begitu menyesakkan, karena pada akhirnya aku tidak bisa ada di sana saat mereka benar-benar butuh aku.
Semuanya berubah pada suatu sore yang tidak akan pernah kulupakan. Langit mendung, angin berembus pelan, dan aku baru pulang membawa makanan kesukaan mereka. Tapi halaman rumah terasa terlalu sunyi. Tidak ada gonggongan sambutan, tidak ada langkah kecil yang berlari menghampiri. Aku memanggil nama mereka berkali-kali, tapi yang menjawab hanya suara angin.
Jantungku mulai berdebar. Aku mencari ke seluruh halaman hingga akhirnya menemukannya di bawah pohon mangga tua. Mery dan Oreo terbaring diam, tubuh mereka kaku dan dingin. Oreo masih berada di sisi Mery, seperti berusaha melindunginya sampai detik terakhir. Aku berlari dan berlutut di samping mereka, mengguncang tubuhnya dengan tangan gemetar. Tapi mereka tidak bergerak. Air mataku langsung jatuh tanpa bisa kutahan. Dunia rasanya berhenti berputar.
Tetangga berdatangan, menatapku dengan pandangan iba. Dari mereka aku mendengar kabar yang membuat dadaku sesak. Katanya ada orang yang sengaja menaruh racun di halaman. Aku tidak tahu siapa, mungkin karena gonggongan mereka dianggap mengganggu, atau mungkin hanya karena kebencian tanpa alasan. Tapi apa pun alasannya, tidak ada yang pantas mati dengan cara sekejam itu. Malam itu aku duduk di teras sendirian, menatap dua kalung kecil yang tergantung di paku. Rumah terasa hampa, dan aku tidak berhenti menangis sampai pagi.
Hari-hari setelahnya berjalan sangat lambat. Setiap pagi aku masih refleks melangkah ke halaman, berharap mereka akan muncul dari balik pohon. Tapi yang ada hanya keheningan dan sisa daun gugur yang tertiup angin. Aku mulai menulis di buku catatan kecil milikku. Biasanya aku tidak suka menulis, tapi entah kenapa kali ini aku merasa harus menuliskan sesuatu agar kenangan tentang mereka tidak hilang. Di halaman pertama aku menulis kalau suatu hari nanti aku punya anjing lagi, aku akan memberinya nama yang mengingatkan pada Mery dan Oreo. Tulisan itu menjadi janji untuk diriku sendiri.
Bulan demi bulan berlalu, tapi rasa kehilangan itu masih sama. Setiap kali aku melihat mangkuk makan mereka, hatiku terasa sesak. Kadang aku mendengar gonggongan samar di malam hari, dan aku tahu itu hanya bayangan pikiranku sendiri. Namun dalam hati kecilku, aku suka membayangkan mereka masih di sekitar, berlari di antara pepohonan atau duduk di teras seperti dulu.
Beberapa bulan kemudian, teman ayah datang membawa seekor anak anjing kecil. Bulunya keemasan, matanya bulat dan jernih, tubuhnya kecil dan gemetar ketika kugendong. Aku menatapnya lama. Ada sesuatu dalam matanya yang membuatku teringat pada keduanya, seolah ada sedikit Mery dan Oreo di sana. Aku memeluknya pelan dan berkata, namamu Mero. Gabungan dari nama mereka berdua, agar cintaku pada mereka tidak pernah hilang.
Sejak Mero datang, hari-hariku perlahan berubah. Ia tumbuh cepat, lincah, dan penuh rasa ingin tahu. Kadang kelakuannya mengingatkanku pada kenakalan Oreo yang suka mencuri sandal, kadang tatapan matanya lembut seperti Mery yang manja. Aku sering tersenyum sendiri setiap kali melihatnya tidur di tempat yang dulu menjadi alas tidur mereka. Rasanya seperti rumah ini kembali hidup.
Aku mulai mengajarinya hal-hal kecil, seperti duduk, memberi salam, dan mengambil bola. Di awal, Mero sering gagal dan malah menggigit bolanya sampai kempis, tapi semangatnya tidak pernah padam. Setiap kali berhasil, ia akan melompat kegirangan dan menatapku seolah minta pujian. Aku selalu menepuk kepalanya dan berkata kamu keras kepala seperti Oreo, tapi hatimu hangat seperti Mery. Dalam hati aku sering berbisik, terima kasih sudah datang lagi dalam bentuk yang berbeda.
Namun tidak berarti aku melupakan mereka. Kadang di malam hari, aku duduk di depan dua gundukan kecil di bawah pohon mangga sambil membawa Mero. Ia biasanya ikut duduk di sampingku dengan tenang, seolah tahu tempat itu istimewa. Aku menceritakan segala hal, tentang sekolah, tentang hari-hari kami, tentang kenangan yang tak pernah hilang. Angin malam berembus pelan, membuat daun-daun bergoyang lembut. Dalam hati aku merasa, mungkin Mery dan Oreo mendengarkan dari suatu tempat.
Suatu sore saat hujan turun pelan, aku melihat Mero berdiri di depan dua batu nisan kecil itu. Ia menunduk lalu berbaring lama di tanah, tidak bergerak, hanya diam. Aku menatapnya dari jauh sambil menahan air mata. Ada sesuatu yang aneh, tapi juga hangat. Seolah semesta sedang mengingatkanku bahwa cinta tidak pernah benar-benar pergi.
Hari-hari berikutnya, aku semakin dekat dengan Mero. Kami sering berjalan di sekitar rumah saat sore, menatap langit jingga dan merasakan angin sore. Kadang aku berbicara padanya seolah ia mengerti. Mero hanya menatap dengan mata bulatnya yang penuh perhatian. Setiap kali begitu, aku merasa seperti sedang bicara dengan Mery dan Oreo.
Waktu berlalu, Mero tumbuh menjadi anjing yang kuat dan cerdas. Ia selalu tahu kapan aku sedih. Saat aku menangis, ia akan menaruh kepalanya di lututku dan diam sampai aku tenang. Aku sering memeluknya sambil berbisik bahwa ia adalah hadiah kedua dari cinta yang sama. Kadang ketika aku belajar malam-malam, Mero duduk di bawah meja sambil menatapku. Aku merasa seperti tidak pernah benar-benar sendiri. Dalam diamnya, ia seperti mengingatkanku bahwa kebahagiaan bisa hadir dalam bentuk sederhana, seperti kehadiran tanpa kata.
Sekarang setiap kali aku duduk di halaman, aku bisa mendengar suara alam yang dulu tidak pernah kuperhatikan. Suara angin, gesekan dedaunan, bahkan kicauan burung di pagi hari terasa begitu damai. Mungkin karena aku sudah belajar menghargai setiap momen kecil yang dulu sering kuabaikan. Kehadiran Mery dan Oreo mengajariku arti kehilangan, tapi juga memberi makna baru tentang ketulusan.
Kadang aku berpikir, mungkin mereka dikirim Tuhan untuk menemaniku sebentar, agar aku tahu bagaimana rasanya dicintai tanpa syarat. Mereka datang membawa tawa, lalu pergi meninggalkan pelajaran tentang ikhlas. Dan Mero datang bukan untuk menggantikan, tapi untuk meneruskan cinta yang sama dalam bentuk yang lain.
Kini setiap kali aku melihat Mero berlari di halaman, aku tidak lagi merasa kosong. Aku belajar bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya. Dari kehilangan itu, aku menemukan cara baru untuk mencintai tanpa takut terluka. Ada kehidupan yang tumbuh dari luka, dan ada kebahagiaan yang lahir dari kenangan.
Aku mulai menyadari bahwa cinta tidak mati bersama tubuh yang pergi. Ia hanya berubah bentuk, berpindah tempat, dan hidup di hati yang masih mengingat. Mery dan Oreo memang sudah tiada, tapi setiap kali angin berembus di halaman, setiap kali Mero tertawa kecil dengan lidah menjulur, aku tahu mereka masih di sini.
Mereka adalah alasan aku belajar kuat, sabar, dan tidak takut mencintai lagi. Mereka mengajarkanku bahwa kasih sayang tidak mengenal waktu, dan bahwa kehilangan bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang harus dilalui.
Malam itu saat aku menatap langit penuh bintang, Mero duduk di sampingku. Ia menatap ke atas dan menggonggong pelan seolah menjawab pikiranku. Aku tersenyum lalu mengelus kepalanya sambil berbisik pelan di telinganya, selama kamu di sini, nama mereka akan terus hidup.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak merasa sendiri lagi. Karena aku tahu, cinta yang tulus tidak pernah hilang, ia hanya berubah wujud menjadi kenangan yang abadi di dalam hati.