Terang setelah hujan
Namaku Dewa.
Di mata orang lain, aku mungkin terlihat seperti sosok yang sempurnaâanak dari keluarga terpandang, dibesarkan di rumah megah yang berdiri anggun di tengah kota. Dinding rumah itu berlapis marmer putih, lampu kristalnya menggantung seperti bintang-bintang yang membeku di langit-langit. Halamannya luas, penuh bunga yang ditanam rapi oleh tukang kebun yang datang setiap pagi. Tapi di antara wangi mawar dan sejuknya air mancur, ada dingin yang tak pernah bisa dihangatkan oleh siapa pun.
Setiap sudut rumah itu menyimpan kepura-puraan. Tawa yang terdengar saat pesta keluarga hanyalah gema dari keharusan, bukan kebahagiaan. Di meja makan panjang kami, piring-piring porselen berkilau di bawah cahaya lampu gantung, tapi percakapan di atasnya selalu datar, terbungkus formalitas, tanpa kehangatan. Ayah berbicara dengan nada rendah tapi tegas, ibu tersenyum sopan, dan aku... aku hanya duduk diam, memotong daging di piringku sambil berharap waktu berjalan lebih cepat.
Sejak kecil, aku tumbuh dalam bayang-bayang ambisi orang tuaku. Ayahku adalah seorang pengusaha sukses yang dihormati banyak orang. Namanya terpampang di papan reklame, wajahnya muncul di majalah bisnis, tapi di rumah, ia seperti batu: dingin, keras, dan tak bisa didekati. Ibukuâseorang perempuan cantik dan berpendidikan tinggiâadalah sosok yang penuh citra. Ia pandai menampilkan senyum di depan orang lain, tapi senyumnya itu tak pernah sampai ke matanya.
Mereka menginginkanku menjadi versi sempurna dari impian merekaâseorang penerus yang cerdas, berwibawa, dan sukses dalam segala hal. Aku harus mendapat nilai terbaik, masuk sekolah favorit, mengenakan pakaian rapi, dan berbicara dengan sopan. Mereka selalu bilang, âDewa, kamu adalah cerminan keluarga kita.â Tapi di dalam hati, aku tahu: mereka tidak benar-benar melihatku sebagai anak, melainkan sebagai proyek kebanggaan.
Aku masih ingat satu malam yang mengubah banyak hal.
Aku baru saja pulang dengan nilai matematika yang buruk. Jantungku berdegup kencang saat langkah ayah terdengar mendekat. Ia berdiri di depan pintu kamar dengan kemeja putih yang masih terlipat rapi, padahal jam sudah lewat sembilan malam.
âNilai segini?â suaranya dalam dan menekan. âKamu pikir kamu siapa? Kamu anak siapa, hah?â
Aku berusaha menjelaskan, suaraku gemetar. âAku sudah berusaha, Yah. Aku cumaââ
Tamparan itu datang cepat, nyaring, dan panas. Dunia berhenti sejenak. Pandanganku berkunang, tapi yang paling sakit bukan pipikuâmelainkan hatiku yang retak.
Sejak malam itu, aku berhenti berbicara banyak di rumah. Aku belajar satu hal: diam adalah bentuk perlindungan terbaik.
Hari-hariku berlalu dalam hening. Aku menjadi sosok yang patuh di luar, tapi memberontak di dalam. Aku belajar tersenyum saat disuruh, menunduk saat diminta, dan menjadi bayangan dari semua ekspektasi yang mereka bentuk. Namun setiap malam, di balik pintu kamar yang terkunci, aku menangis dalam diam.
Ada masa ketika aku menatap diriku di cermin dan merasa seperti bonekaâdipoles, diatur, tapi kosong. Aku tidak tahu siapa diriku. Semua yang kulakukan bukan karena aku mau, melainkan karena aku takut mengecewakan.
Lalu datang masa remajaâmasa yang penuh gejolak. Aku mulai memberontak, tapi diam-diam. Aku merokok di belakang sekolah, nongkrong dengan teman-teman yang disebut ânakalâ oleh guru. Aku belajar berbohong agar bisa merasakan sedikit kebebasan. Setiap hembusan asap rokok di udara terasa seperti perlawanan kecil terhadap dunia yang mengekangku.
âLihat,â aku berkata pada diriku sendiri di depan kaca toilet sekolah, âaku bukan boneka kalian.â
Tapi kenyataannya, semua itu hanya pelarian. Di dalam hati, aku masih kosong. Ada lubang besar di dadaku yang tak bisa ditambal oleh apa pun.
Hingga suatu hari, semesta mempertemukanku dengan Maya.
Pertemuan kami sederhana, bahkan anehâmelalui aplikasi kencan. Awalnya aku hanya ingin bicara dengan seseorang, siapa pun, agar tidak merasa sendirian. Tapi Maya berbeda. Ia tidak bertanya tentang pekerjaan, tidak peduli keluargaku siapa. Ia hanya mendengarkan, dengan suara lembut dan tawa kecil yang menenangkan. Kami berbicara berjam-jam, membahas hal-hal ringan yang justru terasa dalamâtentang musik, tentang buku, tentang hal-hal kecil yang membuat hidup terasa berarti.
Untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat.
Tidak sebagai anak orang kaya. Tidak sebagai pewaris keluarga besar. Tapi sebagai manusia.
Maya mengisi ruang kosong dalam hatiku. Aku mencintainya, terlalu cepat, terlalu dalam. Aku ingin membahagiakannya dengan segala cara. Setiap rupiah dari hasil kerja freelance-ku kugunakan untuknyaâmakan malam di kafe sederhana, bunga mawar yang kutitipkan di tempat kerjanya, bahkan hadiah kecil yang kubungkus dengan tangan sendiri. Aku merasa hidup kembali.
Namun seperti semua hal yang tampak terlalu indah, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Aku mulai merasakan jarak. Pesan Maya makin singkat, suaranya di telepon terdengar jauh. Aku menolak curiga, mencoba berpikir positif. Tapi kenyataan datang dengan kejam. Suatu malam, aku menemukan foto merekaâMaya dan pria lainâberpegangan tangan di tempat yang dulu sering kami datangi.
Aku menatap layar ponsel lama, berharap gambar itu bohong. Tapi tidak. Dunia runtuh tanpa suara.
Aku tidak menangis. Aku hanya terdiam. Hampa.
Namun cinta punya cara membuat manusia bodoh. Ketika Maya datang memohon maaf, aku memaafkan. Aku ingin percaya bahwa manusia bisa berubah. Aku butuh percaya, karena tanpa itu, aku tidak punya alasan untuk tetap berdiri. Kami sepakat memberi jarak selama seminggu.
Tapi seminggu itu justru menjadi neraka sunyi.
Malam-malam terasa panjang. Setiap detik dipenuhi bayangan dirinya. Aku terjaga hingga pagi, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin rendah, seolah ingin menelanku hidup-hidup.
Dalam keputusasaan itu, aku menemukan sebuah âpeluangâ: permainan online yang katanya bisa menggandakan uang dalam hitungan jam. Awalnya hanya iseng. Tapi ketika aku menang lima juta, aku merasa seolah Tuhan memberiku jalan keluar. Aku mabuk oleh sensasi kemenangan. Uang itu kuhamburkan begitu sajaârokok, makanan mahal, hiburan sesaat. Lalu aku mencoba lagi. Kali ini, aku kalah besar.
Hutang mulai menumpuk. Rasa malu membungkam lidahku. Aku tidak berani bercerita kepada siapa pun. Setiap malam aku memandangi cermin dan melihat wajah asingâpucat, letih, dan kosong. Aku merasa gagal sebagai anak, sebagai kekasih, bahkan sebagai manusia.
Pernah, suatu malam, aku berdiri di balkon kamar. Angin malam berhembus dingin, lampu kota berkelap-kelip jauh di bawah sana. Sebuah pikiran gelap melintas di kepala: Bagaimana jika semua ini berakhir malam ini saja? Tapi kemudian, entah dari mana, muncul suara kecil di dalam hatiku: Bertahanlah. Ini belum akhir.
Suara itu menyelamatkanku.
Beberapa minggu kemudian, seorang teman lama menghubungiku. Ia menawarkan pekerjaan sebagai pengemudi ojek daring. Awalnya aku menolak. âAku? Jadi tukang ojek?â Tapi saat perut lapar dan tagihan menumpuk, gengsi tak lagi berarti. Akhirnya aku menerima.
Hari-hari pertama adalah ujian. Panas matahari membakar kulit, hujan membasahi hingga ke tulang. Aku belajar menembus kemacetan, menghadapi pelanggan yang marah, dan menerima senyum kecil dari penumpang yang sopan. Aku pulang dengan tubuh lelah tapi hati tenang. Untuk pertama kalinya, aku bekerja bukan karena perintah, tapi karena pilihan.
Setiap kilometer yang kulalui menjadi pelajaran. Aku belajar tentang kesabaran, tentang menghargai waktu, tentang arti sesungguhnya dari kerja keras. Aku mulai menabung, sedikit demi sedikit. Saat saldo di rekeningku bertambah seratus ribu, aku tersenyumâsesuatu yang dulu tidak pernah kulakukan bahkan saat mendapat jutaan dari orang tuaku.
Perlahan, aku berhenti bermain judi. Aku berhenti mencari jalan pintas. Aku mulai membaca buku motivasi yang kubeli dari kios bekas di pinggir jalan. Setiap malam, sebelum tidur, aku menulis jurnal kecilâtentang apa yang kupelajari hari itu, tentang rasa syukur, tentang hal-hal sederhana yang membuatku bertahan.
Di sela-sela pekerjaan, aku bertemu banyak orang: karyawan yang terlambat masuk kantor, ibu-ibu yang hendak pulang dari pasar, mahasiswa yang sedang galau. Dari mereka aku belajar, bahwa setiap orang membawa beban, tapi tetap berjuang dengan caranya sendiri. Hidup ternyata tidak seburuk yang kupikirkanâia hanya menuntut kita untuk terus bergerak.
Lalu, sesuatu yang tak pernah kupikirkan terjadi.
Aku mulai kembali ke rumah.
Pertemuan pertama dengan ayah dan ibu terasa canggung. Kami duduk di ruang tamu yang sama, tapi udara terasa berat. Namun seiring waktu, sesuatu di antara kami mulai mencair. Aku mulai berbicara lebih lembut, ayah mulai menatapku dengan cara berbeda. Kami belum sepenuhnya dekat, tapi ada secercah pengertian di sana.
Suatu malam, aku melihat ayah duduk sendirian di beranda. Aku memberanikan diri duduk di sampingnya. Kami tidak bicara banyak. Hanya diam, menatap langit malam. Lalu perlahan, ia berkata, âAyah dulu... hanya ingin kamu kuat, Dewa.â
Aku menatapnya, dan untuk pertama kali, aku melihat bukan penguasa yang keras, tapi seorang pria tua yang lelah menanggung ekspektasi dunia. Malam itu, aku belajar memaafkanâbukan untuk mereka, tapi untuk diriku sendiri.
Di luar rumah, aku menemukan keluarga baru. Komunitas pengemudi ojek daring yang solid, hangat, dan tulus. Kami saling menolong, saling bercanda di warung kopi sederhana. Tidak ada status, tidak ada topeng. Di sana, aku merasa diterima apa adanya. Aku tertawaâtawa yang jujur, bukan buatan.
Bulan demi bulan berlalu. Aku melunasi semua hutangku. Saat itu, aku menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Tapi kali ini bukan karena sedihâmelainkan karena lega.
Aku sadar, inilah kebebasan yang sesungguhnya.
Bukan kebebasan karena harta, tapi karena aku akhirnya berdiri di atas kakiku sendiri.
Hidup mengajariku banyak hal. Bahwa luka bukan untuk disesali, tapi dipahami. Bahwa penderitaan tidak datang untuk menghancurkan, melainkan untuk membentuk. Setiap kegagalan, setiap air mata, adalah batu pijakan menuju kedewasaan.
Kini, aku tidak lagi mengejar kesempurnaan. Aku tidak lagi ingin dipuji atau diakui. Aku hanya ingin hidup jujur, bekerja keras, dan mencintai dengan sepenuh hati. Aku ingin menjadi manusia yang membawa ketenangan, bukan kebanggaan kosong.
Kadang aku masih berdiri di depan cermin, melihat bayangan masa laluâanak kecil yang dulu takut, pria yang dulu tersesat. Tapi kini, ia tersenyum. Aku tahu, kami telah pulang.
Dan jika ada seseorang di luar sana yang merasa hidupnya hancur, aku ingin berkata: kamu tidak sendirian. Aku pernah ada di tempat yang samaâgelap, dingin, dan nyaris menyerah. Tapi selama kamu masih mau melangkah, sekecil apa pun, Tuhan akan membuka jalan.
Hidup bukan tentang berapa kali kita jatuh, tapi tentang keberanian untuk bangkit. Luka bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari bab baruâbab tentang keberanian, pengampunan, dan harapan.
Aku, Dewa, kini berjalan di jalan itu.
Perlahan, tapi pasti.
Dengan langkah yang mantap, dengan hati yang tenang.
Karena aku tahu, setiap pagi adalah kesempatan baru untuk memulai lagiâbukan untuk memenuhi harapan siapa pun, tapi untuk menemukan makna sejati dari diriku sendiri.