Cahaya yang tak ingin terang
Namaku Aldi.
Kata guru-guru, aku anak yang pintar. Kata teman-teman, aku si jago matematika karena hampir selalu menang lomba. Kata orang tuaku, aku harapan keluarga, seseorang yang harus lebih sukses dari mereka. Tapi kalau boleh jujur, aku sendiri belum tahu apa sebenarnya yang sedang aku kejar dalam hidup ini. Kadang aku merasa semua orang sudah menyiapkan jalanku tanpa pernah menanyakan apakah aku ingin berjalan ke arah itu atau tidak.
Ayahku seorang arsitek. Sekarang hidupnya bisa dibilang cukup mapan, tapi dulu ia berjuang dari nol. Katanya, rumah masa kecilnya terbuat dari bambu dan jerami. Kalau hujan turun, air rembesan dari atap menetes ke lantai, membuat buku-bukunya basah dan berbau lembap. Ia bercerita bahwa setiap malam, ia harus menindih bukunya dengan batu bata supaya tidak terbang terkena angin malam. Kalau hujan datang lebih deras dari biasa, ia akan memeluk buku-buku itu seperti anak kecil yang takut kehilangan mainan.
Ia kuliah dengan uang pas-pasan, kadang makan hanya sekali sehari. Setelah lulus, bukannya langsung menikmati hasil kerja, ia malah harus membayar hutang orang tuanya. Ia bekerja siang malam, menggambar proyek sampai tangan gemetar karena kelelahan. Ia tidur tengah malam, lalu bangun lagi pagi-pagi untuk mengejar waktu. Semua itu ia lakukan, katanya, demi keluarga.
“Papa nggak mau kamu hidup susah kayak Papa dulu,” katanya suatu malam, saat kami duduk di ruang tamu yang temaram. “Kamu harus lebih sukses dari Papa, Di.”
Aku hanya mengangguk, tapi di dalam hati rasanya berat. Kata “lebih sukses” terdengar seperti beban besar yang tidak pernah aku minta untuk dipikul. Aku tahu Ayah mencintaiku dengan caranya, tapi kadang kasih sayangnya terasa seperti tali yang mengikatku terlalu kencang.
Di sekolah, aku termasuk siswa yang dikenal guru-guru. Hampir setiap bulan aku dikirim ke lomba matematika, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, sampai kadang nasional. Aku sering menang. Kalau tidak juara satu, pasti masuk tiga besar. Tapi anehnya, aku jarang merasa bangga. Setiap piala yang kubawa pulang cuma jadi tambahan debu di rak ruang tamu. Warnanya keemasan, tapi bagiku tidak lebih dari sekadar benda dingin yang tidak berarti.
“Hebat, Aldi!” kata teman-temanku sambil menepuk bahu. “Kamu pasti bisa masuk universitas top nanti.”
Aku cuma tersenyum tipis, seperti robot yang sudah diprogram untuk menjawab sopan. Kadang aku berpikir, mungkin mereka mengagumiku bukan karena aku benar-benar hebat, tapi karena aku terlalu rajin mengejar hal yang bahkan bukan milikku sendiri.
Di rumah, Ayah selalu menyambut setiap kemenangan dengan kalimat yang sama. “Papa tahu kamu bisa. Ini langkah awal menuju masa depanmu. Kamu bisa jadi arsitek besar nanti.”
Aku hanya menjawab, “Iya, Yah,” meski dalam hati aku ingin bilang: apa harus jadi arsitek juga?
Kadang aku iri pada temanku, Dika. Nilainya biasa-biasa saja, tapi semangatnya luar biasa. Suatu hari, waktu kami duduk di taman sekolah sambil menatap langit sore yang keemasan, ia berkata dengan mata berbinar, “Gue pengen banget jadi arsitek, Di. Gue pengen bangun sekolah di desa gue. Dulu gue belajar di ruangan yang atapnya bocor. Tiap hujan, guru harus pindahin papan tulis biar nggak kena air.”
Aku terdiam cukup lama. Dika ingin jadi arsitek untuk membantu orang lain. Sementara aku, anak arsitek yang bahkan tak tahu kenapa harus jadi arsitek juga. Dunia terasa terbalik.
Hari itu, Bu Rina, guru matematika, memanggilku ke ruang guru. “Aldi, kamu ikut olimpiade provinsi lagi ya bulan depan. Kamu pasti bisa,” katanya sambil tersenyum bangga.
Aku hanya mengangguk. Tidak ada semangat, tapi juga tidak berani menolak. Aku sudah terbiasa melakukan hal-hal yang diharapkan orang lain, bukan yang aku inginkan.
Sampai akhirnya, hari lomba tiba. Aku membawa penggaris, pensil, dan rasa malas yang aneh. Soal-soalnya sebenarnya tidak terlalu sulit, tapi entah kenapa pikiranku kosong. Setiap angka di kertas terasa seperti huruf-huruf asing yang tak mau bersahabat. Aku gagal. Tidak juara, bahkan tidak lolos babak akhir.
Guru-guru tidak marah, hanya terlihat kecewa. Tapi Ayah, wajahnya malam itu sulit kulupakan.
Ia menungguku di ruang tamu dengan ekspresi datar. “Papa udah dengar kamu kalah,” katanya tanpa menatap langsung.
Aku menunduk. “Iya, Yah.”
“Kenapa bisa? Kurang belajar?”
Aku ingin jujur bahwa aku hanya bosan, tapi yang keluar malah, “Nggak tahu, Yah. Mungkin capek.”
“Capek?” suaranya meninggi. “Papa kerja sampai tengah malam, gambar proyek, kadang nggak tidur, cuma buat kamu bisa sekolah. Papa nggak pernah bilang capek!”
Aku diam. Tidak tahu harus bicara apa.
“Papa cuma mau kamu sukses, Di. Jangan kayak Papa dulu yang miskin. Papa udah kasih jalan, tinggal kamu jalanin.”
Aku menggenggam tangan sendiri, mencoba menahan air mata. “Tapi Papa nggak ngerti kalau aku juga capek jadi harapan terus.”
Kalimat itu meluncur begitu saja, dan membuat ruangan mendadak hening. Ayah menatapku lama, lalu berdiri tanpa kata dan masuk ke kamarnya.
Malam itu aku menatap deretan piala di rak. Semua mengilap di bawah cahaya lampu, tapi bagiku tak ada yang berharga. Setiap piala seperti pengingat bahwa aku hidup bukan untuk diriku sendiri, tapi untuk ekspektasi orang lain. Aku duduk cukup lama di lantai, menatap bayangan wajahku yang terpantul di permukaan piala. Wajah yang tampak lelah meski masih muda.
Beberapa hari setelah itu, aku jadi pendiam. Ayah juga jarang bicara. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Aku lebih sering pulang sore, duduk di taman sekolah sambil menatap langit dan menghitung awan. Suatu hari Dika menghampiri dengan membawa dua es krim.
“Lu kenapa, Di? Belakangan kelihatan kayak nggak semangat.”
“Entah, Ka. Rasanya pengen berhenti aja. Dari semua ini.”
“Lu masih SMA, wajar bingung. Tapi jangan diem terus. Kadang kita butuh tersesat dulu buat nemuin arah.”
Aku hanya menatapnya. Mungkin benar, aku sedang tersesat. Tapi aku belum tahu jalan keluarnya. Rasanya semua yang kulakukan hanya mengulang rutinitas tanpa makna, seperti berjalan di lingkaran yang tak ada ujungnya.
Suatu malam, saat aku sedang membereskan meja belajar, aku menemukan map tua milik Ayah. Di dalamnya ada sketsa rumah-rumah sederhana, juga gambar sebuah rumah bambu kecil. Di bawahnya tertulis dengan tinta pudar:
“Mimpi pertama: punya rumah yang tidak bocor saat hujan.”
Aku menatap tulisan itu lama. Dalam hening kamar, aku bisa membayangkan Ayah muda yang duduk di rumah bambu, menggambar dengan cahaya lampu minyak dan suara hujan di atap jerami. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar mengerti kenapa Ayah begitu keras padaku. Seluruh perjuangannya dulu bukan karena ambisi, tapi karena cinta. Ia ingin keluarganya hidup lebih baik dari dirinya dulu. Tapi ia lupa, bahwa aku juga punya mimpi sendiri.
Malam itu aku mengambil buku kosong dan mulai menulis. Awalnya hanya sekadar menuangkan isi kepala, cerita tentang Ayah, tentang rumah bambu, tentang perjuangan. Tapi lama-lama aku tenggelam di dalamnya. Aku menulis sampai larut malam, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa damai. Rasanya seperti menemukan ruang baru di dalam diriku sendiri, ruang yang tidak diisi dengan angka-angka, tapi dengan perasaan.
Keesokan harinya, aku tak sengaja meninggalkan buku itu di meja kelas. Bu Rina menemukannya dan mengembalikan sambil tersenyum. “Aldi, ini tulisan kamu?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
“Bagus sekali. Kamu punya cara menulis yang jujur. Kamu harus ikut lomba menulis, tahu?”
Aku tertawa kecil. “Saya biasa ikut lomba hitung, Bu, bukan nulis.”
Ia tersenyum. “Mungkin kamu terlalu sibuk berhitung sampai lupa kalau kamu juga bisa bercerita.”
Kalimat itu menancap di kepalaku seperti cahaya kecil yang menyalakan sesuatu di dalam dada. Mungkin benar, aku sudah terlalu lama menghitung angka sampai lupa menghitung apa yang membuatku bahagia.
Beberapa minggu kemudian, aku memberanikan diri bicara dengan Ayah. Kami duduk di teras sore-sore, udara lembap setelah hujan masih terasa segar. Aroma tanah basah menenangkan suasana yang canggung. Langit oranye perlahan berubah biru tua.
“Yah, aku pengin ngomong,” kataku pelan.
Ayah menatapku singkat. “Apa?”
“Aku tahu Papa pengin aku sukses. Tapi mungkin sukses yang aku mau beda dari Papa.”
Ia diam, wajahnya kaku, tapi matanya penuh tanya.
“Aku suka matematika, tapi aku nggak yakin mau jadi arsitek. Aku pengin coba nulis, Yah. Aku pengin cerita tentang hal-hal yang Papa pernah lalui. Tentang rumah bambu, tentang hujan, tentang perjuangan.”
Ayah terdiam lama. Aku takut, tapi aku tidak mundur. Jantungku berdetak cepat menunggu jawabannya.
Akhirnya ia berkata dengan suara pelan tapi dalam, “Papa dulu gambar rumah buat ngelindungi keluarga. Kalau kamu mau nulis buat ngelindungi dirimu sendiri, Papa nggak akan larang. Tapi pastikan kamu tanggung jawab sama pilihan kamu.”
Aku hampir tak percaya mendengar kata-kata itu. Rasanya seperti beban yang selama ini menempel di pundakku tiba-tiba menguap. Aku hanya bisa mengangguk dan berkata lirih, “Makasih, Yah.”
Beberapa bulan kemudian, aku mengikuti lomba menulis cerpen di sekolah. Judulnya Rumah Bambu di Tengah Hujan. Cerita tentang anak yang ingin keluar dari bayangan ayahnya. Aku tak berharap menang, tapi waktu naskahku dimuat di majalah sekolah, rasanya luar biasa. Aku membaca namaku di sana berkali-kali, memastikan itu benar-benar milikku.
Ayah membaca cerpen itu tanpa banyak bicara. Setelah selesai, ia menepuk bahuku dan berkata dengan senyum kecil, “Papa bangga.”
Aku tersenyum. “Padahal aku cuma juara harapan, Yah.”
“Bukan soal juara,” jawabnya pelan. “Papa bangga karena kamu akhirnya tahu apa yang kamu mau.”
Malam itu aku duduk di meja belajar, menatap lampu kamar yang tidak terlalu terang. Dari jendela, cahaya bulan masuk pelan, menyentuh piala-piala lamaku yang kini tak lagi terasa asing. Aku sadar, mungkin aku bukan cahaya yang silau, bukan juga anak yang sempurna. Tapi setidaknya sekarang aku tahu, aku tetap bersinar dengan caraku sendiri.