Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Hujan Di Ujung November

👤 Indra Suryananta Putra 🏫 XI-12 🆔 25912

Hujan turun sejak malam sebelumnya, dan suara rintiknya seperti membangunkan seluruh desa dari tidur panjang. Di dalam rumah kayu yang sederhana milik Pak Darso, Rena berdiri di dekat jendela, menatap butiran air yang jatuh berderet-deret seperti garis-garis bening di kaca. Kabut tipis naik dari hamparan sawah, membuat pagi terlihat seperti lukisan lama yang hampir pudar warnanya.


Sudah dua minggu Rena tinggal di desa ini. Ia datang bukan untuk berlibur, bukan pula untuk mencari suasana baru. Ia datang karena tidak punya tempat lain untuk pulang. Setelah pekerjaannya hilang akibat restrukturisasi perusahaan, dan hubungan panjangnya dengan Reza kandas begitu saja, ia akhirnya mengemasi barang-barangnya lalu pergi ke satu-satunya tempat yang pernah diceritakan ibunya: desa kecil di kaki bukit, tempat ibunya lahir.


Pak Darso, sahabat lama almarhum ibunya, menerima Rena dengan senyum hangat dan tangan terbuka. “Rumah ini rumahmu juga, Nak,” katanya waktu itu.


Kini, setiap pagi Rena bangun lebih awal dari Pak Darso untuk membantu menyiapkan sarapan. Ia suka aroma dapur desa yang selalu dipenuhi wangi kayu basah dan suara air mendidih.


Pagi itu, ketika ia meletakkan teh hangat di meja, Pak Darso datang dari kamar dengan langkah pelan. Rambut putihnya belum disisir, tetapi senyumnya selalu sama: ramah, tenang, dan membuat hati merasa aman.


“Kau tampak lebih baik dari kemarin,” kata Pak Darso sambil duduk.


Rena tersenyum kecil. “Saya tidur lebih nyenyak.”


“Bagus. Di sini, kalau hujan turun malam-malam, orang biasanya tidur lebih tenang.”


Rena mengangguk pelan. “Di kota… bahkan hujan pun tidak bisa membuat saya tenang.”


Pak Darso hanya menatapnya dengan mata penuh pengertian, lalu menyeruput tehnya tanpa menekan Rena untuk bercerita lebih jauh. Itu salah satu hal yang ia sukai dari lelaki itu — ia tidak memaksa siapa pun membuka luka sebelum lukanya siap.




Siang hari, ketika gerimis sudah mereda, Rena berjalan ke belakang rumah untuk menjemur pakaian. Di sana ia bertemu Ardan — keponakan Pak Darso — yang sedang menebas rumput dengan cangkul. Pemuda itu berkulit sawo matang, rambutnya agak berantakan, dan senyumnya selalu datang dengan mudah.


“Pagi, Mbak Rena!” sapanya sambil melambai.


“Pagi, Mas Ardan,” balas Rena.


Ardan mendekat sambil membawa ember kecil berisi rumput segar. “Ini buat kambing. Mereka suka rumput yang masih basah hujan.”


Rena tersenyum gugup, tidak tahu harus membalas apa. Setiap kali bertemu Ardan, ia merasakan sesuatu yang hangat namun asing di dadanya. Bukan cinta, bukan suka — lebih seperti ketenangan.


“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.


“Kalau mau, bisa bantu bikin pakan. Tapi kalau tidak mau, tidak apa-apa juga,” jawab Ardan cepat, seolah takut memaksa.


“Aku bantu,” kata Rena akhirnya.


Mereka duduk di bawah pohon mangga, memotong daun-daun jagung kering. Angin lembut membuat aroma tanah basah menyelinap ke hidung. Percakapan awalnya canggung, tetapi perlahan menjadi hangat.


“Kau betah di sini?” tanya Ardan hati-hati.


Rena mengangguk. “Lebih dari yang saya kira.”


“Bagus kalau begitu. Desa ini memang kecil, tapi orang-orangnya hangat.”


Rena melirik Ardan sekilas. “Salah satunya kamu.”


Ardan tertawa malu, wajahnya sedikit memerah.




Hari-hari berikutnya berlalu dengan ritme yang sama: sederhana, lambat, dan menenangkan. Rena membantu menanak nasi untuk acara kenduri, menjemur gabah, mengantar pesanan hasil kebun ke warung, dan ikut ibu-ibu membuat rempeyek. Aktivitas yang dulu tak pernah ia bayangkan, tetapi entah mengapa malah mengisi ruang kosong dalam hatinya.


Kadang Ardan ikut menemani. Kadang ia hanya muncul sekadar untuk duduk di beranda bersama Rena tanpa banyak bicara. Di desa, diam bukan pertanda canggung — diam justru pertanda bahwa seseorang nyaman.


Suatu sore, saat langit berwarna ungu tipis, Ardan membawa Rena ke bukit kecil di belakang desa.


“Kau bilang suka senja,” katanya singkat.


Sesampainya di sana, Rena terdiam. Pemandangannya menakjubkan. Sawah luas memantulkan cahaya jingga keemasan. Angin membawa aroma padi dan rumput liar.


“Cantik sekali,” bisiknya.


“Tempat ini namanya Bukit Merindu,” ujar Ardan. “Orang-orang biasanya datang ke sini untuk mengingat sesuatu… atau seseorang.”


Rena menatap jauh ke horizon. “Aku tidak tahu harus mengingat apa. Atau siapa.”


Ardan menoleh. “Kalau begitu, kau bisa mulai mengingat dirimu sendiri.”


Rena menatap Ardan, dan untuk pertama kalinya ia merasa ingin menangis — bukan karena sedih, tetapi karena disentuh oleh kebaikan yang tidak pernah ia duga.




Namun ketenangan itu tak bertahan lama.


Suatu pagi, telepon Rena berdering. Nama itu muncul: Reza.


Rena mematung cukup lama sebelum menjawab. “Halo.”


“Rena… bisa kita bertemu?” Suara Reza terdengar lelah dan berat.


Setelah pertimbangan panjang, Rena mengiyakan. Mereka bertemu di warung dekat simpang desa. Reza terlihat lebih kurus, matanya sembab seolah tidak tidur.


“Aku salah,” katanya lirih. “Aku minta maaf. Aku ingin memperbaiki semuanya.”


Rena tidak langsung menjawab. Ia melihat Reza bukan sebagai cinta lamanya, tetapi sebagai seseorang yang pernah ia bagi banyak hal. Ada masa lalu di antara mereka, tetapi tidak ada masa depan.


“Reza…” ucap Rena akhirnya, “kita tidak gagal. Kita hanya selesai.”


Reza menunduk. Ia tidak menangis, tetapi jelas menerima kenyataan itu. Mereka berpisah dengan damai, sesuatu yang Rena syukuri.


Saat pulang, ia menemukan Ardan duduk di beranda rumah Pak Darso.


“Kau terlihat lelah,” kata Ardan pelan.


“Aku baik-baik saja.”


“Kau tidak harus cerita kalau belum siap,” katanya lagi.


Rena menghela napas. “Aku hanya menutup pintu yang lama.”


Ardan tersenyum tipis. “Kadang menutup pintu lebih sulit daripada membukanya.”


Rena mengangguk. “Tapi aku sudah selesai.”




Hari-hari berjalan normal. Hingga suatu pagi, ketika Rena sedang menyiapkan sarapan, Pak Darso tiba-tiba terjatuh di dapur. Panci panas yang ia pegang hampir menimpanya jika Rena tidak cepat menahan.


Ardan datang tergesa-gesa membawa motor dan mengantar mereka ke klinik desa. Setelah pemeriksaan, dokter mengatakan kondisi Pak Darso stabil, hanya mengalami kelelahan dan tekanan darah menurun.


Saat mereka kembali ke rumah, Pak Darso menggenggam tangan Rena. “Kau tidak usah merasa harus tinggal hanya karena aku sakit,” katanya.


Rena menelan ludah. “Saya ingin tinggal.”


“Tapi jangan berkorban karena aku.”


“Tidak, Pak. Saya tinggal karena saya memilihnya.”


Pak Darso memandangnya cukup lama sebelum mengangguk pelan.




Beberapa hari kemudian, Rena mendapat email dari perusahaan besar di kota. Mereka menawarkannya posisi strategis dengan gaji tinggi.


Rena terpaku.


Ia ingin memilih, tetapi hatinya terbelah dua: kota atau desa? Karier atau ketenangan? Ambisi atau kehangatan?


Saat malam tiba, ia duduk di beranda sambil memandang bintang. Ardan datang membawa dua gelas susu jahe.


“Kau terlihat bingung.”


Rena mengangguk pelan. “Aku takut salah.”


“Kau tidak akan salah. Kau hanya akan memilih jalan yang berbeda.”


“Kalau aku pergi?”


“Aku akan merindukanmu,” ujar Ardan jujur, “tapi aku ingin kau berkembang.”


“Kalau aku tinggal?”


Ardan menelan ludah, lalu berkata, “Aku akan lebih merindukanmu kalau kau pergi. Tapi aku tidak mau menjadi alasan kau berhenti bermimpi.”


Rena terdiam. Ucapan Ardan begitu lembut hingga menyentuh bagian terdalam hatinya.




Beberapa hari berlalu. Rena memutuskan pergi ke kota dua hari untuk mengambil beberapa barang penting. Ia berjanji pada Pak Darso dan Ardan bahwa ia akan segera kembali.


Tapi nyatanya, kota menyambut Rena dengan hiruk-pikuk seperti biasa. Lampu-lampu terang, jalanan ramai, suara klakson — rasanya seperti kembali ke kehidupan lama yang sudah tidak cocok lagi dengannya.


Saat ia melewati kafe tempatnya dan Reza dulu sering bertemu, ia merasa kosong.


Kota itu tidak lagi terasa seperti rumah.




Ketika kembali ke desa, Ardan sudah menunggu di gerbang kecil dekat rumah. Ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum. Rena merasakan sesuatu dalam dadanya — sesuatu yang hangat, seperti angin yang membawa pulang daun.


“Kau kembali,” kata Ardan dengan lega.


“Tentu saja,” jawab Rena. “Aku bilang dua hari, kan?”


Ardan tertawa kecil. “Kadang orang pergi lebih lama dari yang mereka bilang.”


“Tidak untuk kali ini,” sahut Rena.




Hari itu, Rena menyadari bahwa hatinya sudah bukan milik kota. Hatinyalah yang memilih desa — dan semua orang di dalamnya.


Malamnya, Rena berdiri di bawah pohon mangga sambil memandang bulan yang tertutup awan. Ardan tiba-tiba muncul menghampiri, napasnya sedikit tersengal karena ia berlari kecil.


“Ada sesuatu yang ingin aku bilang,” katanya.


“Hm?”


Ardan terlihat gugup. “Aku… takut bicara. Tapi kalau tidak aku bilang sekarang, aku takut kehilangan kesempatan. Jadi…”


Ia berhenti sejenak, mencari keberanian.


“Aku suka sama kamu, Rena.”


Rena terdiam. Angin malam seperti berhenti sesaat.


“Aku tidak minta jawaban sekarang,” lanjut Ardan cepat. “Aku cuma ingin jujur. Karena kamu terus terang sama dirimu, sama hidupmu… aku rasa aku juga harus begitu.”


Rena menatap Ardan lama. Ada rasa takut, haru, dan bahagia bercampur jadi satu. Tetapi ia tidak ingin memberi jawaban tergesa.


“Ardan,” katanya lembut, “terima kasih sudah jujur. Aku juga ingin jujur… aku belum siap memberi jawaban. Tapi aku tidak menolak. Aku hanya butuh waktu.”


Ardan mengangguk. “Aku akan menunggu.”


Dan malam itu, keduanya berdiri di bawah pohon mangga, tidak terlalu dekat tetapi tidak lagi sejauh sebelumnya.




Beberapa minggu berlalu. Rena semakin menyatu dengan kehidupan desa. Ia mengurus kebun kecil di belakang rumah, membantu ibu-ibu membuat kue untuk acara hajatan, dan sesekali mengunjungi sungai untuk mencuci pakaian bersama warga lain yang penuh canda tawa.


Ardan sering menjadi pelindung diam-diamnya — memastikan ia tidak membawa beban terlalu berat, mengingatkan saat ia lupa makan, atau sekadar mengantar saat ia harus pergi ke pasar.


Hubungan mereka berkembang pelan, seperti benih yang tumbuh di tanah subur. Tidak meledak seperti kembang api, tetapi hangat seperti api unggun.


Suatu sore, saat matahari mulai turun, Pak Darso memanggil Rena ke ruang tamu.


“Ada yang ingin Bapak tunjukkan,” katanya.


Ia memberikan sebuah kotak kayu kecil. “Ini peninggalan ibumu.”


Rena membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya ada kalung berbentuk tetes air dan beberapa surat. Salah satu surat bertuliskan:


“Jika suatu hari kau merasa hilang, pergilah ke tempat asalmu. Di sana kau akan menemukan dirimu kembali.”


Rena menutup mata, menahan air yang hampir jatuh.


“Ibumu selalu percaya, Rena,” ujar Pak Darso. “Bahwa kau akan menemukan jalanmu sendiri.”


Rena menggenggam kalung itu erat-erat. Ia tahu kini bahwa pilihannya bukan lagi antara kota dan desa, bukan antara masa lalu dan masa depan. Pilihannya adalah dirinya sendiri.




Hingga suatu pagi cerah, tanpa hujan, tanpa kabut, Rena berdiri di halaman rumah dengan keputusan penuh di hatinya.


Ia mengetuk pintu rumah Ardan.


Pemuda itu membuka pintu dengan wajah bingung. “Ada apa?”


“Aku sudah memilih,” kata Rena.


Ardan menelan ludah. “Dan?”


Rena tersenyum — senyum yang tidak ia miliki selama bertahun-tahun.


“Untuk sekarang… aku tinggal.”


Ardan menutup mata dengan lega, lalu tersenyum lebih luas dari yang pernah Rena lihat. “Untuk sekarang?”


“Ya,” jawab Rena. “Aku ingin belajar hidup pelan dulu. Dan kalau kamu tidak keberatan… aku ingin kamu ada di perjalanan itu.”


Ardan tertawa kecil, wajahnya penuh kebahagiaan jujur. “Tidak. Aku tidak keberatan. Aku sangat mau.”


Rena tersenyum lebar untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.


Dan tepat ketika senyum itu mengembang, hujan pertama bulan Desember turun perlahan, seolah langit merestui pilihan mereka.


Hujan yang tidak membawa rasa dingin, melainkan kehangatan.


Hujan yang tidak menandai akhir.


Tetapi awal.