Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Cahaya dari Ujung Kuas

👤 I Gusti Ayu Ratih Damarianti 🏫 XI-12 🆔 25830

Hujan rintik turun perlahan di sepanjang Jalan Melati, tempat deretan toko tua berdiri rapat seperti orang-orang yang saling menopang bahu. Di ujung jalan itu, ada sebuah studio sempit bernama Atelier Lila, ruang berkaca yang selalu dipenuhi aroma cat minyak dan bunyi gesekan kuas. Di sanalah Alya Pramesti, seorang pelukis muda berusia dua puluh tiga tahun, melewati hari-harinya.


Alya tidak pernah merasa dirinya istimewa. Namun, ketika ia memegang kuas, dunia serasa berubah menjadi sesuatu yang bisa dipahami. Emosi yang tak bisa diucapkan, luka yang tak bisa dijelaskan, dan harapan yang belum sepenuhnya ia mengerti, semuanya mengalir lewat warna dalam kanvasnya.


Tahun itu, 2027, dunia seni tidak lagi sama. Mesin-mesin cerdas mampu menghasilkan gambar dalam hitungan detik—gambar yang luar biasa realistis, dramatis, bahkan lebih cepat daripada satu tarikan napas. Banyak galeri beralih pada karya digital otomatis. Komisi mural, ilustrasi, dan poster pun kini lebih sering ditangani oleh program kecerdasan buatan yang mampu membuat “gaya apa pun” hanya dari beberapa kata perintah.


Namun Alya tetap memilih jalannya: kuas, cat minyak, dan kanvas yang membuat tangannya bergetar hangat.


Pagi itu, Alya duduk di depan easelnya sambil memandangi potret ibu dan anak yang sudah ia kerjakan selama tiga minggu. Sapuan kecil di sudut mata sang ibu membuat wajah itu tampak lelah namun tulus—detail yang, menurutnya, tak bisa sepenuhnya dimengerti oleh mesin.


Kring!


Ponselnya berbunyi—sebuah pesan dari Galeri Mora, tempat ia biasa menitipkan dua atau tiga lukisan setiap bulan.

Ia membaca pesan itu perlahan.


“Alya, kami minta maaf. Untuk sementara kami tidak menerima lukisan baru. Permintaan klien menurun, dan sebagian besar memilih karya AI. Kami akan hubungi lagi jika keadaan berubah.”


Alya terdiam. Dadanya terasa sesak.


Galeri Mora adalah pintu terakhir yang masih membuka ruang untuk pelukis tradisional sepertinya. Jika pintu itu tertutup…


Ia menunduk dan menarik napas panjang. “Tidak apa-apa. Masih ada jalan lain,” gumamnya walaupun separuh dirinya tidak yakin.


Langkah kecil terdengar dari belakang. Pak Dimas, pemilik studio tempat Alya menyewa ruangan, berdiri sambil membawa dua cangkir teh.


“Gagal lagi?” tanyanya lembut.


Alya mencoba tersenyum. “Sepertinya begitu.”


Pak Dimas duduk di kursi rotan yang sudah berderit sejak tahun 90-an. “Dunia memang sedang terguncang, Alya. Tapi seni yang lahir dari tangan manusia tidak akan hilang. Orang hanya belum menyadari betapa berharganya itu.”


Kalimat itu membuat Alya ingin menangis, tapi ia menahannya. Jika ia menangis, air mata mungkin akan jatuh ke kanvas dan merusak bagian yang sudah susah payah ia kerjakan.


Sore hari, Alya memutuskan keluar untuk mengambil udara. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu toko. Saat melintasi taman kecil di dekat alun-alun, ia melihat seorang anak duduk sendirian sambil menggambar dengan pensil tumpul.


Alya mendekat.


“Gambar apa?” tanyanya dengan lembut.


Anak itu mengangkat kertasnya. Badai warna abu-abu memenuhi background, sedangkan di tengah terlihat seorang gadis kecil yang memegang payung rapuh.


“Itu aku,” jawabnya pelan. “Tapi gambarku jelek.”


Alya tersentak sedikit. “Tidak. Kamu punya imajinasi yang bagus. Boleh kakak lihat?”


Anak itu menyerahkan lembarannya. Garisnya memang belum rapi, tetapi ada sesuatu di sana—emosi mentah, kejujuran yang jarang muncul pada gambar yang dipoles mesin.


“Apa kamu suka menggambar?” tanya Alya.


Anak itu mengangguk. “Tapi Mama bilang lebih baik aku pakai aplikasi AI biar hasilnya bagus. Katanya menggambar itu lama dan capek.”


Alya merasakan sesuatu mencengkram dadanya.


Di situlah ia menyadari:

Dunia tidak hanya mematikan peluang para seniman, tetapi juga perlahan memadamkan keberanian anak-anak untuk belajar, gagal, dan berkembang lewat proses kreatif.


Ia tersenyum pada anak itu. “Hasil cepat tidak selalu berarti bagus. Kadang keindahan ada pada waktu dan usaha yang kita habiskan.”


Anak itu tersenyum kecil, untuk pertama kalinya.


Saat pulang, kata-kata yang melintas di benaknya hanya satu:


“Mungkin inilah alasan aku harus tetap berkarya.”


Sebulan kemudian, Pak Dimas menawarkan ide.


“Bagaimana kalau kamu buat pameran kecil di studio? Tidak besar, cukup untuk orang-orang yang masih mencintai seni buatan tangan.”


Alya ragu, tapi ia setuju.


Selama tiga minggu, ia melukis tanpa henti. Tangannya bergetar, lengannya pegal. Tapi setiap kali ia hampir menyerah, ia mengingat anak perempuan itu—yang masih ingin menggambar dengan tangannya sendiri, walaupun dunia berkata sebaliknya.


Hari pameran tiba.


Di luar, hujan deras mengguyur kota. Kursi-kursi yang disiapkan tetap kosong hingga jam enam sore. Hanya dua pengunjung datang—pasangan lansia yang berkata mereka “kangen aroma cat minyak.”


Jam tujuh lewat sepuluh, bahkan Pak Dimas pun mulai terlihat cemas.


Alya menatap lukisan-lukisannya,

potret ibu dan anak, taman matahari pagi, wajah perempuan yang memejam sambil menahan tangis.


“Apakah semua ini sia-sia?” bisiknya.


Tiba-tiba, pintu terbuka.


Anak perempuan yang ditemuinya di taman masuk sambil menarik tangan seorang wanita—ibunya.


“Kak Alya!” serunya. “Aku ingin lihat lukisan kakak!”


Surat kecil di tangan anak itu menarik perhatian Alya. Di kertas itu tertulis sebuah kalimat:


“Jangan berhenti menggambar.”


Alya menggigit bibirnya agar tidak menangis.


Malam itu hanya tujuh orang datang. Tapi tujuh orang itulah yang benar-benar ingin melihat seni—bukan produk, bukan hasil cepat, bukan tiruan dari mesin.


Dua hari setelah pameran kecilnya, Alya menerima email dari perusahaan desain besar yang dulu pernah mengundangnya untuk magang.


“Kami tertarik membeli lisensi gaya lukisan Anda sebagai referensi dataset AI. Anda akan dibayar tinggi, dan kami dapat mereplikasi gaya tersebut

untuk kebutuhan klien.”


Alya memandangi layar itu cukup lama.


Jika ia setuju, hidupnya akan jauh lebih mudah. Ia bisa membayar sewa studio selama bertahun-tahun. Bisa membeli cat dan kanvas tanpa menghitung uang.


Namun…

gaya lukisannya akan direplikasi tanpa batas oleh mesin yang tidak mengenal rasa letih, tidak mengenal jiwa.


Karyanya bisa dihasilkan oleh siapa saja hanya dengan mengetikkan:

“lukisan Alya Pramesti.”


Jika itu terjadi, apa yang tersisa darinya?


Email itu tidak ia balas.


Minggu berikutnya, seorang pria paruh baya datang ke studio. Matanya merah seperti habis menangis.


“Apakah benar ini tempatnya Alya?” tanyanya.


Setelah mengangguk, pria itu berkata dengan suara yang bergetar, “Aku ingin kamu melukis istriku.”


Ia mengeluarkan foto seorang wanita dengan senyum lembut. “Istriku meninggal dua bulan lalu. Aku mencoba membuat potretnya lewat AI… tapi entah kenapa, tidak terasa seperti dirinya. Aku ingin… sesuatu yang lahir dari tangan manusia. Dari hati manusia.”


Alya terdiam cukup lama.


Tidak ada kalimat penawar yang lebih jujur dari itu.


Ia menerima pesanan itu.


Berhari-hari ia melukis, memandangi foto itu, mencoba menangkap bukan hanya wajah sang istri, tetapi juga perasaan di baliknya—cinta, kehilangan, dan kenangan yang masih menggantung di udara.


Ketika lukisan itu selesai, pria tersebut menangis dalam diam.

“Aku bisa merasakannya,” katanya. “Ini… dia.”


Alya ikut terdiam, merasakan sesuatu yang hangat di dada.


Itulah yang tidak bisa dilakukan mesin:

menangkap perasaan seseorang yang tidak pernah mereka kenal.


Kabar tentang lukisan itu menyebar perlahan. Beberapa minggu kemudian, datang tiga pesanan lagi—semuanya dari orang-orang yang ingin sesuatu yang asli, sesuatu yang mempunyai jiwa.


Alya tahu pendapatan itu mungkin tidak stabil. Ia tetap harus bersaing dengan karya AI yang lebih murah dan cepat. Tapi ia juga tahu bahwa masih ada ruang bagi seniman manusia—ruang kecil, namun nyata.


Anak perempuan dari taman mulai ikut belajar di studionya setiap Sabtu. Ia menggambar dengan penuh semangat menggunakan pensil yang Alya berikan.


“Kak, kalau aku besar nanti, boleh jadi pelukis juga?”


Alya tersenyum lembut. “Tentu saja boleh. AI pintar, tapi dunia tetap butuh tangan manusia.”


Di luar, lampu-lampu toko memantulkan warna hangat ke genangan hujan. Atelier Lila tetap kecil, tetap sederhana, tetapi kini terasa lebih hidup.


Alya berdiri di depan easel, menatap kanvas kosong yang belum disentuh.


Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa takut pada masa depan.


Ia mengambil kuasnya.


Dan dengan sapuan pertama—pelan, halus, penuh keyakinan—kisah baru pun mulai terlukis.


Pada suatu pagi yang terasa lembut, Alya terbangun dengan suara ketukan perlahan di pintu studionya. Ketika membukanya, ia menemukan seorang pria tinggi dengan kamera menggantung di lehernya. Rambutnya agak berantakan, seolah ia berjalan jauh untuk mencapai tempat itu.


“Maaf, apakah saya boleh bicara dengan Alya Pramesti?” tanyanya sopan.


Alya mengangguk, “Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”


Pria itu tersenyum kecil sambil mengeluarkan kartu namanya.

Rafi Noor — Jurnalis Independen.


“Saya mendengar tentang potret yang Anda buat untuk Pak Arman,” katanya. “Banyak orang membicarakannya. Saya ingin menulis tentang perjalanan seorang seniman tradisional di era gambar AI. Tentang seseorang yang tetap bertahan.”


Alya mengerutkan kening. “Tapi saya bukan siapa-siapa.”


Rafi terkekeh kecil. “Justru karena itu menarik. Dunia sudah bosan dengan cerita artis besar yang punya nama. Orang ingin mendengar kisah nyata dari seniman yang benar-benar berjuang.”


Alya tidak menjawab. Sebagian dirinya takut diekspos—takut diejek karena masih memilih kuas di zaman mesin superpintar. Tapi ada bagian lain dari dirinya yang mulai menyadari: cerita juga bisa menjadi perlawanan.


“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi saya tidak menjanjikan hal besar.”


Rafi duduk di kursi rotan dan mulai mewawancarainya. Ia bertanya tentang bagaimana Alya memulai melukis, tentang bagaimana rasanya kehilangan peminat, tentang ketakutannya melihat generasi baru yang lebih akrab dengan prompt daripada pensil.


“Menurutmu, apa yang membedakan karya manusia dari AI?” tanya Rafi sambil menyalakan alat rekamnya.


Alya menatap jendela. Hujan tipis masih turun.


“AI bisa meniru,” jawabnya pelan. “Tapi ia tidak merasakan apa pun. Ia tidak bisa menggambar seseorang sambil merasakan kehilangan. Ia tidak bisa menempatkan dirinya dalam hati klien. Karya manusia membawa waktu, air mata, memori, dan perasaan yang tumbuh perlahan. Itu yang tidak bisa ditiru.”


Rafi terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Itu jawaban terbaik yang pernah saya dengar.”


Dua minggu kemudian, artikel Rafi terbit di sebuah blog independen yang cukup terkenal di kalangan pecinta seni tradisional. Judulnya sederhana:


“Ketika Tangan Manusia Melawan Mesin: Kisah Alya Pramesti dari Jalan Melati.”


Alya tidak mengira dampaknya akan sebesar itu.


Tiba-tiba studio kecilnya mulai ramai didatangi pengunjung — tidak berdesakan, tidak sampai penuh, tapi cukup untuk membuat harinya terasa hidup.


Ada mahasiswa seni yang ingin belajar melukis.

Ada ibu rumah tangga yang ingin belajar mewarnai bunga.

Ada seorang pria Jepang yang berkata ia mencintai seni buatan tangan.


Dan semuanya datang bukan untuk mencari hasil cepat.

Mereka datang untuk merasakan proses.


Suatu sore, seorang ibu muda membawa anak laki-lakinya masuk.


“Ini tempatnya pelukis itu?” tanya sang ibu. “Aku ingin anakku belajar menggambar. Dia terlalu sering pakai AI sampai lupa memegang krayon.”


Alya menahan senyum. Sesuatu di hatinya mekar.


Studio kecil itu kini dipenuhi suara tawa, goresan pensil, dan aroma cat air. Pak Dimas yang biasanya sibuk sendiri kini ikut membantu menyiapkan kertas dan kuas untuk kelas-kelas kecil yang tiba-tiba terbentuk secara alami.


Alya mulai merasa seperti telah menemukan kembali sesuatu yang dulu hilang:

kepercayaan diri.


Namun popularitas kecil itu juga datang dengan tekanan.


Suatu malam, saat studio sudah tutup, Alya duduk sendirian di depan kanvas kosong. Lampu kuning redup membuat bayangan tubuhnya terpampang panjang di dinding.


“Apa aku bisa bertahan lama?” tanyanya pada udara.


Ia membuka ponselnya. Di layar terlihat ratusan gambar AI baru dengan gaya realistik yang luar biasa cepat. Beberapa netizen bahkan menyebut gambar-gambar itu sebagai “karya seni terbaik tahun ini.”


Alya meremas ujung bajunya, saat dia sibuk dengan pikirannya sendiri..


Tiba-tiba terdengar suara langkah kecil.


Anak perempuan dari taman—yang kini rutin belajar di studionya—muncul sambil mengintip dari pintu.


“Kak Alya… aku mau kasih ini.”


Ia menyerahkan sebuah gambar.

Di atas kertas terlihat Alya sedang melukis, dikelilingi cahaya hangat yang keluar dari kuasnya.


Tepat di atas gambar itu tertulis:


“Dunia butuh manusia seperti kakak.”


Alya memegang gambar itu erat. Air matanya jatuh pelan-pertama kali ia membiarkannya jatuh di studio.


Kadang, satu kalimat jujur dari seorang anak bisa lebih kuat daripada seluruh sorotan media atau ribuan gambar AI.


Beberapa bulan berlalu. Artikel Rafi mulai menyebar ke media lain. Sebuah galeri kecil di kota besar menghubungi Alya, menawarkan untuk menyelenggarakan pameran khusus berjudul:


“Human Touch: Jejak Tangan Dalam Dunia Digital.”


Alya terkejut. Galeri itu bukan galeri besar, tapi cukup dikenal di kalangan pecinta seni murni. Ia tidak yakin apakah ia layak untuk itu.


Namun Pak Dimas mendorongnya.

Rafi pun menawarkan bantuan membuat dokumentasi.

Para murid kecilnya membuat poster dengan tangan mereka sendiri—poster dengan garis tidak rata, warna belepotan, tapi penuh semangat.


Ketika hari pameran tiba, Alya melihat ruangan itu penuh orang. Tidak terlalu ramai, tapi penuh dengan perhatian. Orang-orang yang berjalan perlahan, memeriksa setiap goresan dengan mata yang lembut dan penuh minat.


Di Jalan Melati, di studio kecil yang tak pernah sepi lagi, seorang pelukis muda terus menorehkan hidupnya ke atas kanvas—satu sapuan, satu warna, satu harapan pada setiap goresan.