Luka Senyap
Lampu gantung di langit-langit apartemen itu berkilau memantulkan cahaya keemasan. Musik pop lembut berbaur dengan tawa para tamu. Di tengah keramaian itu, Mia berdiri dengan gaun putih sederhana yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Ia menatap pemandangan kota dari balkon, mencoba mengabaikan hiruk pikuk pesta ulang tahun sahabatnya.
Lalu, seseorang menyapanya.
“Indah sekali pemandangan malam ini,” suara seorang pria terdengar di belakangnya.
Mia menoleh. Seorang pria berjas hitam berdiri tak jauh darinya, wajahnya teduh tapi matanya menyimpan suatu perasaan.
“Kevin,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Mia menjabat tangan itu, dan entah mengapa, seolah listrik berlari di sepanjang kulitnya.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seakan mereka sudah lama saling mengenal. Kevin mengajaknya makan di restoran kecil di bawah apartemen, tempat yang mungkin terlalu sederhana untuk momen pertama, tapi justru terasa nyata.
“Kamu terlihat indah di mataku,” ujar Kevin tiba tiba di sela sela makan.
Mia tertegun. Kalimat itu terlalu jujur. Tapi di balik keterkejutan itu, muncul rasa yang selama ini tidak pernah ia rasakan, dilihat, diinginkan, dan dianggap nyata.
Tahun-tahun berlalu cepat. Hubungan mereka berkembang, dan akhirnya hari pernikahan tiba, di sebuah hotel megah di pusat kota. Musik, tawa, dan bunga putih mengisi seluruh ruangan. Mereka tampak bahagia, setidaknya bagi para tamu. Setelah pesta panjang itu, mereka tertidur kelelahan, dengan janji cinta yang mereka kira akan abadi.
Namun, pernikahan tersebut bukan hanya sebuah mimpi atau imajinasi, itu nyata.
Waktu pun mulai berlalu dengan sangat cepat, bagaikan air dengan arus yang kencang.
Setelah pindah ke perumahan baru di pusat kota, Mia mulai merasa asing. Lingkungan sepi, para tetangga jarang terlihat. Ia mencoba berkenalan, tapi banyak pintu yang tak terbuka. Kevin sibuk, terlalu sibuk dan jarak di antara mereka semakin terasa, tak terlihat tapi nyata.
Telepon Mia sering tak dijawab, pesannya dibaca tanpa balasan.
Suatu malam, ia menunggu Kevin hingga larut, tapi yang datang hanya hujan deras dan suara jam dinding yang menertawakan kesepian.
Pada pagi hari itu, Kevin merasa sangat kaget, karena istrinya tidak terlihat di dalam rumah, tanpa kabar. Ia pun melapor ke polisi.
“Istriku tidak ada di dalam rumah, dan tidak ada kabar dari dia” kata Kevin dengan suara gemetar.
Petugas mencatat laporan itu dengan ekspresi profesional, tapi tatapan mereka menyiratkan kecurigaan halus.
Beberapa jam kemudian, penyelidikan dimulai. Tak ada jejak, tak ada saksi, tak ada tanda tanda perlawanan di rumah.
Namun, ketika penyelidik memeriksa ponsel Mia, mereka menemukan pesan terakhir yang sangat aneh, pesan tersebut tertulis,
“Aku tahu apa yang kamu sembunyikan. Aku sudah melihatmu.”
Kevin menunduk saat membacanya, lalu tersenyum tipis, seperti seseorang yang baru saja diingatkan sesuatu yang seharusnya ia kubur dalam dalam.
Berita tentang hilangnya Mia menyebar cepat. Foto pasangan itu terpampang di layar televisi dan media sosial.
“Suami diduga terlibat dalam hilangnya istrinya.”
“Kasus cinta yang berakhir tragis.”
Kevin menjadi sorotan. Wartawan berkumpul di depan rumahnya, lampu kamera berkilat setiap kali ia keluar.
“Apakah benar Anda bertengkar dengan istri sebelum ia hilang?”
“Apakah Anda punya hubungan dengan wanita lain, Pak Kevin?”
Ia tidak menjawab.
Ia hanya menatap kamera, dengan mata yang nyaris tanpa emosi.
Tiga hari kemudian, tubuh seorang wanita ditemukan mengambang di sebuah danau, sepuluh kilometer dari rumah mereka. Tubuh itu pucat, wajahnya hampir tak dikenali.
Namun cincin di jarinya mengkonfirmasi identitasnya, Mia.
Autopsi menunjukkan adanya obat penenang dalam dosis tinggi di tubuhnya. Polisi menyimpulkan, bunuh diri. Tapi publik menolak.
“Tidak mungkin,” kata sahabat Mia di televisi, “Dia bukan tipe orang yang akan menyerah seperti itu.”
Tekanan media membuat polisi memanggil Kevin lagi untuk diinterogasi.
Ruangan itu dingin, lampu putih menyilaukan di atas kepala Kevin.
Detektif Adam menatapnya tajam. “Kenapa Anda tidak mencari istri Anda sendiri, Pak Kevin?”
Kevin menatap kosong. “Saya percaya polisi akan menemukannya.”
“Dan Anda tidak mencoba meneleponnya setelah hilang?”
Kevin diam.
“Pak Kevin,” lanjut Adam, “kami menemukan pesan di ponsel istri Anda. Ia tahu sesuatu. Apa yang Anda sembunyikan?”
Kevin menunduk. Tangannya mengepal di atas meja. “Saya… tidak membunuhnya.”
Detektif tidak menjawab, hanya menatap. Keheningan panjang menekan udara.
Hingga akhirnya Kevin berbisik, “Tapi kadang saya berharap… saya bisa.”
Beberapa hari setelah interogasi, Kevin mulai kekurangan tidur. Setiap malam ia mendengar langkah kaki dari dapur. Kadang suara pintu kamar mandi terbuka perlahan. Saat diperiksa, tak ada siapa siapa.
Ia mulai mencium aroma parfum Mia di udara, bau nya samar tapi nyata.
Dan di meja makan, sebuah cangkir teh selalu muncul setiap pagi, meski ia yakin tak pernah menyeduhnya.
Suatu malam, ia mendengar bisikan lembut di telinganya.
“Kenapa kamu biarkan aku pergi sendirian, Kevin?”
Kevin menoleh, tapi tak ada siapa pun.
Ia berjalan ke dapur, dan di sana, Kevin melihat ke jendela yang menghadap ke arah taman, ia melihat pantulan wajah Mia. Pucat, tapi tersenyum.
Malam berikutnya, Kevin duduk sendirian di ruang tamu, menatap foto pernikahan mereka. Ia mengusap wajahnya dengan lelah.
Pikiran pikirannya mulai terpecah, antara rasa bersalah dan amarah, antara kehilangan dan pembenaran.
Lalu teleponnya berdering.
"Nomor tak dikenal."
Suara di seberang berkata pelan, “Saya tahu apa yang terjadi malam itu.”
“Siapa ini?”
“Orang yang bekerja di bar dekat rumahmu.”
Kevin terdiam.
“Dia datang malam itu, menangis. Katanya kamu bersama wanita lain.”
Kevin memejamkan mata. Ia teringat malam itu, bar yang ramai, seorang wanita muda di sebelahnya, tawa yang berlebihan, dan tatapan Mia dari seberang jalan.
Ia berpikir itu hanya halusinasinya. Tapi kini ia tahu, Mia benar benar melihatnya.
Keesokan paginya, Kevin membuka laci meja rias Mia. Di dalamnya, ia menemukan buku catatan yang terlihat baru dan segar, terlihat seperti dirawat dengan baik.
Halaman terakhir berisi tulisan tangan yang tergesa gesa,
“Aku tidak tahu siapa dia sekarang.
Aku mencintainya, tapi aku juga takut padanya.
Jika aku pergi dan tidak kembali, tolong jangan percaya padanya.”
Tangan Kevin gemetar. Ia ingin menangis, tapi pikiran dan hati nya terasa berat dan nafas nya sesak setelah melihat itu.
“Dia gila…” bisiknya. Tapi nada suaranya tak meyakinkan, seolah ia mencoba menipu dirinya sendiri.
Malam itu, Kevin memutuskan pergi ke danau dekat rumah, tempat Mia ditemukan. Ia ingin menatap air yang menelan istrinya, berharap menemukan jawaban.
Angin malam menusuk kulit, dan kabut tipis menggantung di atas air.
Ia berdiri di tepi, menatap bayangannya sendiri. Tapi ketika ia menatap lebih dalam, ia melihat sesuatu yang lain.
Wajah Mia, memandangi balik dari bawah permukaan air.
Kevin kaget dan bergegas berjalan mundur, tapi langkahnya tergelincir di tanah yang sangat licin. Ia hampir jatuh. Nafasnya terengah engah, jantungnya berdetak dengan sangat cepat.
Lalu ia mendengar suara dari balik kabut yang menyelimuti sekitaran danau,
"Kamu tak seharusnya di sini, Kevin.”
Seseorang berdiri di seberang danau, terlihat siluet samar, perempuan, gaun putih, rambut panjang terurai.
Kevin berlari, tapi semakin jauh ia melangkah, semakin banyak bayangan yang muncul di antara pepohonan, menatapnya dengan mata kosong.
Keesokan harinya, Detektif Adam kembali ke lokasi penemuan jenazah setelah menerima laporan warga soal teriakan di malam hari.
Namun yang mereka temukan hanyalah jejak sepatu di tanah berlumpur dan jam tangan Kevin yang tergeletak di tepi danau.
Beberapa hari telah berlalu, dan Kevin dinyatakan hilang.
Media kembali mengangkat kasus itu, kali ini dengan narasi baru,
“Suami korban bunuh diri karena rasa bersalah.”
Publik pun percaya. Kasus tersebut pun ditutup.
Namun bagi Adam, ada sesuatu yang janggal. Laporan medis menunjukkan bahwa tubuh Mia sebenarnya meninggal dua belas jam setelah dugaan waktu bunuh diri. Artinya, ketika Kevin melapor kehilangan, Mia masih hidup.
Dua minggu kemudian, seorang petugas patroli menemukan rumah Kevin dengan pintu terbuka.
Di ruang tamu, televisi menyala menampilkan siaran berita lama tentang hilangnya Mia.
Di meja makan, dua cangkir teh yang terlihat masih hangat.
Dan di cermin ruang tamu, tertulis,
“Kamu tidak pernah mencariku.”
Hujan turun pelan di atas permukaan danau yang tenang.
Seekor burung melintas, membuat suara kecil di atas air.
Lalu, sesuatu bergerak di bawahnya.
Dari kedalaman air, bayangan seorang wanita perlahan muncul, mengenakan gaun putih yang sama seperti hari pernikahannya.
Tangannya membawa sesuatu, foto pernikahan Mia dan Kevin, warnanya mulai pudar, tapi wajah mereka pada foto itu masih tampak bahagia.
Air bergetar pelan karena hembusan angin yang melewati permukaan danau, dan dari kegelapan danau terdengar bisikan pelan,
“Cinta bisa mengkhianati mu kapan saja, namun kenangan tak pernah pudar.”
Dari kegelapan danau, tampak siluet seorang perempuan, dengan pakaian nya yang lusuh dan basah, perlahan berjalan dari area danau menuju jalan raya. Perlahan paras perempuan itu mulai terlihat, itu Mia. Dengan wajah nya yang sangat pucat, pakaian yang lusuh, basah, dan robek, ia berjuang untuk tetap berjalan menuju jalan raya, setelah sekian lama tidak terpapar dengan peradaban. Pada saat itu jalanan terlihat sangat sepi dan nyaris gelap, hanya diterangi oleh beberapa lampu jalan yang kondisi nya tidak layak, ada yang redup dan ada yang mati. Beberapa kendaraan melewati Mia, namun tidak ada yang berhenti untuk menolong nya, meskipun kondisi Mia yang memilukan. Mia hanya ingin berjalan ke rumah nya tanpa meminta bantuan siapa pun, beberapa kendaraan yang lewat tadi juga tidak ada menolong saking pucat nya muka Mia, nyaris tidak dikenali. Ia berjalan, berjalan, dan berjalan... kaki Mia terasa berat untuk digunakan berjalan seolah olah kaki itu berkata kepada nya untuk berhenti berjalan. Terasa lapar karna tidak mengonsumsi apapun dan mata panda yang terlihat lesu. Setelah berjalan sekian lama, ia melihat cahaya terang yang samar samar, didekati perlahan, ternyata ia mendatangi stasiun pengisian bahan bakar yang terbuka selama dua puluh empat jam. Ia merasa lapar dan ingin membeli makanan, namun ia sadar tidak membawa sepeser uang. Ia mengambil langkah drastis, mencari makanan sisa di tempat sampah ataupun tempat lain. Mia tidak sadar bahwa selama ini ia menggenggam sesuatu, obat pil, yang mampu membuatnya ngantuk dan tenang. Ia telan pil itu dan perlahan tubuh nya terasa lemas dan berakhir berbaring di tepi jalan, memejamkan matanya.
Dengan kondisi syok, Mia terbangun dari tempat tidur nya di pagi hari dengan keringat dingin yang mengucur, ia berkata kepada dirinya
"Jadi... itu hanyalah sebuah mimpi?"
"Mimpi yang sangat aneh..." ujarnya
Semua peristiwa yang dialami Mia, hanyalah sebuah mimpi. Kecuali momen ia mengetahui suami nya bersama perempuan lain di suatu bar, itu nyata. Ia mendadak teringat dengan suami nya, Kevin. Ia menuruni tangga rumah nya dan memandangi suaminya. Kevin membuat sarapan telur untuk mereka berdua.
"Pagi Kevin..." ujar Mia dengan lemas
"Selamat pagi" kata Kevin tanpa menoleh sedikit pun
Mia duduk diam di meja makan masih berusaha menenangkan diri dari mimpi yang terasa terlalu nyata.
Ia berpikir lagi "Apakah aku harus melakukan hal yang sama, seperti di mimpi?"
Perasaan Mia bercampur aduk, masih menyayangi Kevin namun sudah tidak mempercayainya lagi. Ia kebingungan, apakah ia akan tetap tinggal dirumah itu atau meninggalkan suaminya dan melakukan aksinya seperti di dalam mimpi. Perasaan dan pikiran yang menggantung membuatnya bingung dengan dirinya...