Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Langit Terakhir Bagi Mereka

👤 Anak Agung Istri Dwi Kanaya Sarasvati 🏫 XI-11 🆔 25614

Kring… kring…


Bunyi bel SMA Wijaya, sekolah bergengsi di pusat ibu kota, menggema di seluruh penjuru gedung. Suaranya memantul-mantul di dinding koridor seperti gema yang menandai batas antara kejenuhan belajar dan kebebasan singkat saat jam istirahat. Para murid menyerbu keluar dari kelas masing-masing, seolah baru dibebaskan dari sangkar. Ada yang langsung berlari menuju kantin, ada yang bercanda sambil berjalan di lorong, dan sebagian memilih duduk di selasar panjang yang diterangi cahaya matahari awal siang.


Di kelas XII.8, tepat di sudut dekat jendela, seorang murid baru duduk sendirian. Cahaya yang menembus kisi-kisi jendela membuat wajahnya tampak lebih lembut dari biasanya. Itulah Bima, anak berwajah teduh dengan tatapan yang sulit ditebak. Sejak kedatangannya dua bulan lalu, tak banyak yang benar-benar mengenalnya. Bukan karena ia sombong, melainkan karena ia terlalu tenang, terlalu tidak terlihat, namun entah bagaimana tetap memancarkan pesona misterius yang membuat orang penasaran.


“Bim! Ngapain diem aja? Yuk ke kantin,” panggil Damar, teman pertama yang menyapanya di hari perkenalan.


Bima menoleh perlahan, seperti seseorang yang dipanggil dari jauh. “Nanti, Dam. Kamu duluan saja.”


Damar hanya tertawa kecil, lalu tanpa bertanya lagi langsung menarik lengannya. “Ayo lah. Yang lain pasti udah nunggu.”


Yang dimaksud “yang lain” adalah kelompok persahabatan paling terkenal di SMA Wijaya, delapan siswa dengan karakter berbeda-beda, tapi anehnya bisa sangat kompak. Mereka adalah Raka, Arka, Citra, Sasha, Kirana, Sinta, Alya, dan Damar sendiri. Sejak kelas X, mereka selalu bersama. Hingga suatu hari, kedatangan Bima menambah jumlah itu menjadi sembilan. Teman-teman lain menjuluki mereka Novem Friends.


Meskipun baru, Bima cepat diterima. Ia cerdas, tutur katanya halus, dan selalu memberikan kesan dewasa. Terkadang ia diam lama sebelum bicara, tapi justru itu membuatnya terasa menenangkan. Bahkan Alya, yang biasanya paling selektif dalam berteman, bilang bahwa Bima seperti “angin sore yang lembut dan dingin.”


Selama dua tahun terakhir, mereka membangun ribuan kenangan bersama. Kerja kelompok, makan bakso langganan, maraton film, sampai berbagi curhat dan drama percintaan masing-masing. Namun ada satu tradisi yang paling sakral: menginap di villa keluarga Alya di Puncak setiap akhir semester.


Tapi tahun ini, suasananya berbeda.


Di sebuah kafe dekat sekolah, sembilan sahabat itu duduk mengelilingi meja bundar. Minuman dingin berembun di permukaannya, dan suara musik kafe bercampur riuh siswa lain. Saat itulah Bima yang sejak tadi hanya menyesap kopi tiba-tiba angkat bicara.


“Bagaimana kalau tahun ini kita ganti lokasi?” katanya pelan.


Arka memicingkan mata. “Ganti? Ke mana?”


“Ayahku punya villa juga di Puncak,” jawab Bima tenang. “Tempatnya terpencil, tapi pemandangannya bagus. Udara lebih bersih. Mungkin… bisa jadi pengalaman baru.”


Alya, pemilik villa tradisi, hanya tersenyum. “Sekali-sekali ganti tempat nggak apa-apa. Aku setuju.”


“Gue juga,” timpal Raka. “Biar nggak itu-itu aja.”


Damar langsung menepuk bahu Bima. “Oke! Kita berangkat akhir pekan ini.”


Keputusan pun bulat.



Akhir pekan tiba. Minibus putih yang mereka sewa melaju perlahan menanjaki jalanan Puncak. Hawa pegunungan menyusup lewat jendela yang sedikit terbuka. Citra merekam video, Sinta menyanyi kecil, Alya dan Sasha sibuk debat tentang makanan apa yang harus dimasak nanti. Semuanya tampak ceria.


Semua… kecuali Bima yang duduk di bangku paling belakang, menatap keluar jendela dengan pandangan jauh. Tatapannya bukan kosong, tapi seperti seseorang yang sedang mengenang sesuatu yang terlalu dalam untuk diceritakan.


“Bim, lo kenapa?” tanya Sasha.


“Aku senang,” jawabnya. “Hanya… mungkin aku mencicipi kebahagiaan dengan cara yang lain.”


Semua tertawa. Mereka pikir itu candaan khas Bima yang puitis.


Namun hutan pinus yang melintas di luar jendela terlihat berayun perlahan dalam kabut tipis. Ada sesuatu dalam udara yang terasa… tidak biasanya.


Villa itu akhirnya terlihat. Berdiri di tepi tebing kecil, dua lantai, dengan dinding kayu tua berwarna gelap. Jendelanya panjang-panjang, membuat villa itu tampak sepi namun tetap memikat.


“Cantik sih… tapi agak spooky ya,” gumam Citra.


“Memang lama nggak ditempati,” sahut Bima.


Saat mereka masuk, udara dingin langsung menyergap. Aroma kayu tua bercampur debu halus. Tapi interiornya rapi, seolah seseorang baru saja merapikannya.


Malam pertama berjalan damai. Mereka tertawa, bermain kartu, dan membuat mie instan sambil menyalakan perapian. Namun semakin malam, semakin banyak hal ganjil muncul.


Kirana mendengar langkah kaki di lorong. Arka melihat bayangan seseorang lewat di jendela luar, padahal bagian belakang villa hanya hutan. Alya merasa tempat tidurnya bergetar sekali, seperti ada sesuatu di bawah lantai.


Damar bahkan terbangun karena mimpi buruk: seorang siswa berseragam SMA tahun 90-an, wajah lebam, menatapnya sambil bertanya, “Kenapa… kalian tidak pernah berhenti…?”


Pagi harinya, Damar mendekati Bima di balkon.


“Villa ini beneran punya ayah lo?” tanya Damar serius.


Bima tersenyum. “Tempat yang pernah kita datangi, Dam… kadang menunggu kita kembali.”


Jawaban itu justru membuat Damar makin resah.



Hari kedua mereka habiskan di hutan pinus untuk menghilangkan ketegangan. Mereka berfoto, tertawa, dan mencoba melupakan kejadian semalam. Namun menjelang sore, Sasha tiba-tiba menghilang.


Situasi panik. Mereka mencari ke seluruh sudut villa: ruang bawah tangga, dapur, kamar mandi, bahkan halaman belakang. Tidak ada.


Hingga akhirnya, Arka menemukan pintu kayu tua yang sebelumnya tidak ada. Di bawahnya ada tangga gelap menuju ruang bawah tanah.


Di sana, Sasha ditemukan pingsan. Saat terbangun, ia gemetar dan berbisik:


“Dia… bukan Bima…”


Namun setelah itu, ia lupa semuanya.


Hujan turun semalaman. Udara memburuk, angin menderu seperti suara rintihan yang diseret dari balik hutan. Setiap derit lantai membuat mereka saling menatap dengan cemas, seolah rumah itu bernapas dengan cara yang salah.


Dan kemudian, bruk!

Listrik padam. Villa tenggelam dalam gelap pekat yang begitu cepat, seakan seseorang mematikan lampunya dari dalam tanah.


“A—Alya, pegang tangan gue,” bisik Sasha, suaranya gemetar.

“Gue di sini… tenang,” jawab Alya, meski tangannya sendiri dingin seperti es.


Tiba-tiba—DUAAR!

Dentuman keras terdengar dari arah kamar Kirana. Suaranya seperti lemari jatuh atau pintu dihantam sesuatu yang sangat kuat.


“ITU DARI KAMAR KIRANA!” teriak Raka.


Mereka berlari menembus koridor gelap. Napas mereka tersengal, senter dari ponsel bergetar di tangan.


Tapi saat mereka membuka pintu kamar itu, kamar Kirana kosong.


Tidak ada Kirana.

Tidak ada jejak kaki.

Tidak ada suara.


Yang tersisa hanya pita rambut Kirana yang jatuh di lantai basah, dari mana air itu berasal.


“Mana Kirana? KIRANAAAA!” Sasha berteriak memanggil, suaranya pecah.


Sinta memegang mulutnya, gemetar. “Dia nggak mungkin keluar sendiri… dia tadi di kamar… dia takut gelap…”


Damar menendang pintu lemari. “Kirana! Jawab kalau lo denger!”


Tidak ada respons. Hanya suara hujan yang semakin deras, seolah ingin menenggelamkan villa itu.


Arka, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya meledak.


“LO TAU SESUATU, KAN?!” Arka menunjuk Bima sambil terengah. “SEMUA INI mulai waktu lo ngajak kita ke villa ini! Dari awal lo aneh! Kenapa lo bawa kita ke tempat kayak gini?!”


Raka mencoba menenangkan. “Ar, jangan asal nuduh dulu—”


“DIAM, RAK!” Arka membentak. “Jawab gue, Bim! LO SEBENARNYA SIAPA?!”


Bima tidak langsung menjawab. Ia berdiri di ambang pintu, wajahnya disinari cahaya ponsel yang goyah. Wajah itu… bukan seperti wajah teman mereka yang biasa. Terlalu tenang. Terlalu tidak terguncang.


“Kenapa lo diem aja, Bim?!” Citra menangis. “Kirana hilang! Hilang, Bim!”


Bima menatap mereka satu per satu. Tatapannya bukan marah… tapi seperti seseorang yang sudah terlalu lama menyimpan sesuatu.


“Kalian marah padaku?” suara Bima tenang, nyaris seperti bisikan. “Padahal dulu… apa yang kalian lakukan jauh lebih menyakitkan.”


Arka semakin emosi. “APA MAKSUD LO?!” Ia mendorong dada Bima. “Jangan muter-muter! Lo ngomong apa sih?!”


Bima tetap tidak bergerak. Bahkan tidak mundur sedikit pun.

Ia hanya menatap Arka dengan mata yang tiba-tiba tampak lebih gelap.


“Sepuluh tahun lalu,” ujar Bima pelan, setiap kata seperti beban,

“delapan remaja menertawakan seorang anak baru. Mereka memukulnya. Mengurungnya. Menghilangkannya… untuk selamanya.”


Sasha menutup mulutnya. “Bima… lo ngomong apa? Kita nggak pernah nyiksa siapa pun”


“Tapi mereka melakukannya,” sela Bima. “Dengan wajah yang mirip. Dengan tawa yang sama.”


Alya menggeleng panik. “Itu nggak masuk akal. Kita bahkan belum lahir sepuluh tahun lalu"


“Tentu saja tidak,” jawab Bima, tatapannya kini menembus jauh. “Tapi luka… tidak mengenal waktu. Waktu hanya berputar, mencari wajah baru untuk mengganti yang lama.”


Raka maju satu langkah, suaranya bergetar antara marah dan takut.

“Bim… lo bikin kita takut. Jelasin semuanya sebelum gue.."


Sebelum ia selesai bicara, pintu kamar Kirana mendecit pelan, bergerak sendiri.


Citra langsung memekik. “TUTUP! TUTUP PINTUNYA!”


Damar menutupnya, membantingnya sampai terguncang.


Kilatan petir menerangi wajah Bima. Kulitnya pucat seperti mayat, matanya menghitam pekat.



Hari-hari berikutnya berlangsung seperti mimpi buruk. Waktu berjalan tidak normal. Malam terasa tanpa akhir, pagi tanpa cahaya. Satu per satu dari mereka lenyap dalam cara yang tidak bisa dijelaskan. Tanpa jeritan, tanpa suara.


Hari kedelapan, hanya Damar yang tersisa.


Ia berdiri di halaman villa, tubuh gemetar diterpa angin gunung.


“Jadi ini balas dendam?” suara Damar pecah.


Bima mengangguk pelan. “Aku berasal dari tahun 1997. Aku murid SMA Wijaya. Aku… mati di tangan delapan temanku.”


“Tapi kami bukan mereka!” Damar berteriak sambil menangis. “Kami nggak tau apa-apa, Bim!”


Bima menatapnya dengan sedih. “Waktu adalah lingkaran. Luka lama mencari pemiliknya.”


Awan gelap berkumpul. Tanah bergetar.


“Delapan hari untuk delapan dosa.”


Kabut putih naik dari tanah, menelan villa. Damar terhisap lebih dulu.


Lalu semuanya hilang.



Keesokan paginya, warga desa menemukan villa tua yang kusam dan tidak berpenghuni, seolah sudah puluhan tahun ditinggalkan.


Di dalamnya ada sembilan bingkai foto lama. Delapan berisi wajah remaja masa kini. Satu lagi adalah foto seorang murid berseragam tahun 1997.


Bima Aryasatya.


Pencarian besar-besaran dilakukan. Helikopter, polisi, relawan… semuanya nihil. Mereka menghilang tanpa jejak.


Bulan demi bulan berlalu. Hanya cerita yang tersisa.


Di ruang arsip sekolah, seorang guru senior menyentuh foto lama Bima.


“Kau belum tenang, ya…”


Di luar jendela, langit mendung. Suara bel sekolah berbunyi samar.


Kring… kring…


Di pantulan kaca, tampak bayangan sembilan remaja berjalan berdampingan ke lapangan. Namun detik berikutnya, mereka menghilang seperti kabut yang tersapu angin pegunungan.


Hampa. Sepi. Lara.


Tak ada yang benar-benar tahu di mana mereka berada. Yang tersisa hanya keikhlasan bagi mereka yang ditinggalkan.