Dan,selesai.
Semoga lama hidupmu di sini
Melihatku berjuang sampai akhir
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala kar'na denganmu—bertaut
Lantunan musik Neck Deep mengalun pelan di dalam kamarku yang remang-remang, dengan layar laptop yang dari satu jam lalu dibiarkan terbuka tak tersentuh sama sekali. Kedua netraku menatap lekat layar laptop sementara alisku berkerut berharap itu akan membantuku menemukan inspirasi yang entah ke mana hilangnya. Suara Pak Memet, guru Bahasa Indonesiaku kembali terlintas di dalam kepala. “Anak-anak, hari ini kita akan membuat cerpen dan tenggat pengumpulan cerita 2 hari lagi. Pak harap kalian bisa membuat cerita yang hebat dan plot twist,” begitulah kurang lebih kalimat yang terlontar dari guru Bahasa Indonesiaku. Kalau boleh jujur, Pak Memet itu guru yang kritis dan sangat baik. Namun kali ini beliau berhasil membuatku memijat pelipis pusing tujuh keliling, aku bukan anak yang kreatif. Apalagi kalau sudah urusan merangkai diksi dan majas, bisa-bisa satu botol obat sakit kepala kuhabiskan karenanya. Pak Memet itu guru yang idealis, standar penilaiannya sangat tinggi. Beliau bilang ambil tema yang dekat dengan kalian, namun cerita hidupku terlalu klise untuk dijadikan sebuah cerita. Sudah banyak orang yang mengangkat tema cerita yang mirip dengan kehidupanku. Sekali-sekali aku ingin karyaku jadi yang terbaik di kelas—hitung-hitung cari muka biar dianggap si paling literatur. Entah sudah berapa banyak paragraf yang aku ketik dan kembali aku hapus.
Di tengah-tengah pikiranku yang kusut, aku memutuskan untuk pergi berkeliling mencari kisah yang bisa memenuhi standar penilaian Pak Memet, atau setidaknya agar nilaiku bisa sedikit di atas rata-rata. Sore itu, tujuan pertamaku adalah Niang, begitulah aku diberitahu untuk memanggilnya dari awal aku menginjakkan kaki di kos ini. Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu siapa nama asli beliau. Niang adalah nenek penjaga kosku yang selalu ditemani anjing hitam kesayangannya bernama Bonbon. Alasan utamaku memilih Niang tentu saja karena beliau sudah hidup lebih lama dariku dan memiliki pengalaman hidup yang lebih banyak. “Sore Niang, Niang lagi apa?” ucapku bersikap seakan-akan aku adalah sahabat lama yang sudah membangun chemistry dengan Niang. “Sudah pulang sekolah gek? Ini Niang lagi ngasih makan Bonbon,” balasnya dengan senyuman yang selalu terukir di wajahnya yang keriput. Tanpa basa-basi aku langsung menembak Niang dengan pertanyaan yang sudah kupersiapkan dan aku latih untuk ucapkan di depan cermin kamar kosku. “Iyaa Niang, ini aku mau nanya. Apa sih kisah hidup Niang yang paling hebat, plot twist, dan berkesan?” Mendengar pertanyaanku Niang terdiam terlihat keheranan. Namun sepersekian detik kemudian senyuman sumringah itu kembali muncul. Inilah momen yang dinanti Niang selama ini, untuk seseorang bertanya dan mengajaknya mengobrol.
Selama 1 jam 30 menit aku habiskan mendengarkan cerita Niang mulai dari hidupnya di masa remaja hingga asal-usul motor tua di depan rumah yang tidak pernah dipindahkan. Dari seratus tema cerita yang Niang sampaikan tidak ada satu pun yang menurutku bisa memberikan plot twist pada tulisanku apalagi membuat Pak Memet terkesan. Aku kembali melanjutkan penjelajahan mencari kisah yang layak untuk aku persembahkan kepada Pak Memet. Hingga tujuan keduaku jatuh kepada tukang parkir di depan sekolahku yang tidak pernah absen meneriaki satu per satu murid yang parkir di jalanan umum, yang kini sudah berubah menjadi hak paten milik si tukang parkir. Salah satu temanku selalu menjadi langganan teriakannya setiap pagi, sampai-sampai aku hafal betul kalimat hingga suara langkah kaki si tukang parkir.
“Permisi Pak, maaf ganggu. Saya boleh nanya, Pak?” Sore itu, di saat langit sudah mulai menunjukkan semburat senja, aku mengumpulkan sisa-sisa keberanianku untuk mewawancarai si tukang parkir demi misi pencarian kisah yang paling menarik. “Oh parkir ya, Dek? Udah bayar kamu?” Kalimat itu lagi. Terkadang aku heran, setiap kali aku bertemu dengan tukang parkir yang entah siapa namanya itu, kosakata yang terlontar selalu seputaran parkir, bayar, maju, mundur cantik. Eh—maksudku sepertinya tukang parkir itu sudah memiliki setting-an bahasanya sendiri yang tidak bisa diubah. Agaknya nanti ketika dia menceritakan kisahnya, topiknya masih seputar komplotan tukang parkir dan urusan bayar-membayar itu. “Ehh bukan Pak, saya mau nanya-nanya sedikit untuk keperluan tugas sekolah Pak. Kira-kira Bapak keberatan nggak, Pak?” Mendengar balasanku si tukang parkir membentuk mulutnya menjadi sebuah O bulat dan memberikan jempol sebagai persetujuan. “Jadi gini Pak, kira-kira Bapak punya nggak kisah hidup yang paling berkesan dan menarik di hidup Bapak?” Mendengar pertanyaanku si tukang parkir terdiam selama beberapa menit hingga satu kata terlontar dari mulutnya.
“Ada.” Untuk beberapa detik kami saling tatap, dan tentu saja aku memasang wajah bingung. Menyadari raut wajahku yang kebingungan, si tukang parkir terkekeh pelan. Beliau akhirnya bercerita bagaimana ia dulunya adalah seorang lulusan cumlaude kebanggaan keluarga. Namun karena sebuah musibah, beliau malah berakhir di tempat ini menjadi seorang tukang parkir. Aku tertegun, tidak menyangka seorang tukang parkir yang selalu meneriaki orang di pagi hari bisa mengalami kejadian yang begitu berat. Sebenarnya aku hampir memilih kisah tukang parkir itu untuk aku persembahkan kepada Pak Memet. Namun, ketika aku kembali duduk di depan layar laptopku dan berusaha merangkai kalimat puitis, otakku buntu. Tidak ada satu pun kata yang tertulis di depan layar. Mungkin ini sudah saatnya aku meminta bantuan kepada temanku si catur macan.
“Kamu kalau mau buat cerpen yang bagus dan bener-bener unik, itu nggak bisa segampang itu ambil inspirasi dari orang lain. Apalagi sampai nyuri kisahnya sama persis, itu sih namanya plagiarisme.” Ucap Andin, temanku si paling bijak dari seberang telepon yang tentu saja akan dibalas dengan persetujuan dari tiga temanku yang lain, yang bisanya hanya membalas ‘Yes, I like it very much. I agree, I agree!’ secara bersamaan. Aku menghembuskan napas panjang, entah tulisan macam apa yang harus aku buat untuk bisa memberikan senyum di wajah Pak Memet yang serius. “Guys tapi—kalau kalian, kisah apa yang paling menarik di hidup kalian?” Kalimat itu sudah 3 kali aku lontarkan di hari yang sama. Totalnya menjadi 13 kali ditambah dengan 10 kali aku berlatih di depan cermin sebelum bertanya kepada Niang tadi siang.
“Kalau aku sih menghabiskan waktu berdua bersamamu,” jawab Hani, salah satu temanku dengan nada bercanda yang tentu saja tidak lucu. Sisanya aku menghabiskan waktu berkeluh kesah mengenai tugas cerpen yang hingga tengah malam tak kunjung selesai. “Daripada kamu stress dan kacau kayak gini di kos, mending pulang aja gih ke rumah. Siapa tahu dari sana bisa ketemu inspirasinya.” Dengan keadaanku yang sudah sangat mengenaskan akibat dari tugas Pak Memet ini, tentu saja saran Andin terdengar sangat bijak dan trustworthy. Malam itu aku memutuskan untuk pulang ke Nusa Dua membelah jalanan Denpasar yang tidak pernah sepi.
“Halo Ma, Bila hari ini pulang ya ke Nusa Dua, sekalian tolong bantu cariin seragamnya Bila, Ma. Kayaknya hilang.” Cepat-cepat saat itu juga aku mengabari kedua orang tuaku. “Kamu ngapain malam-malam ke Nusa Dua? Diem aja di kos. Nggak ada kerjaan banget kamu! Seragam apalagi yang hilang? Nyimpen barang nggak pernah bener kamu. Itu dah kerjaannya keluyuran aja terus barangnya nggak pernah diperhatiin.” Dengan beban yang menumpuk di kepala ditambah lagi dengan kedua orang tuaku yang menasihatiku, emosiku memuncak. Sebenarnya aku tidak berniat untuk marah, namun sepertinya remaja yang menginjak usia 17 tahun semuanya memiliki emosi meledak-ledak yang sulit untuk dikendalikan. Walaupun itu tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran, namun akhirnya aku memulai perang dengan ibuku yang berujung dengan aku mematikan telepon secara sepihak. Selama perjalanan, pikiranku masih sibuk berkecamuk menentukan kisah apa yang harus aku angkat untuk tugas cerpen ini namun kini ditambah dengan bayang-bayang pertengkaran yang terjadi di dalam panggilan telepon dengan orang tuaku.
Motor Vespa coklat kesayanganku kuparkirkan di depan rumah. Dengan gontai aku berjalan masuk ke dalam rumah. Di sana aku melihat ibuku dan ayahku yang tertidur di atas sofa menunggu kepulanganku, dengan ibuku yang memeluk seragam yang aku permasalahkan sejam yang lalu lewat telepon. Wajah keduanya terlihat lelah setelah bekerja seharian. Sementara itu makanan kesukaanku sudah tersaji dengan rapi di atas meja. Suara gonggongan anjingku si Milo yang gendut membangunkan kedua orang tuaku. “Sudah pulang? Itu tadi Bapak masakin makanan kesukaannya Bila. Makan dulu ya,” ucap Mamaku pelan beranjak dari sofa menghampiriku ke meja makan. “Mama tidur aja, Ma,” jawabku pura-pura cuek meskipun nyatanya merasa bersalah karena pertengkaran sebelumnya. Ibuku tidak menggubris ucapanku. Beliau tetap duduk di depanku, menyajikan nasi dan lauk yang tersedia di atas meja dan menyuruhku untuk segera makan.
Perasaan bersalah muncul menyelimuti hatiku. Kembali kuingat ledakan emosi yang aku lampiaskan kepada kedua orang tuaku. “Ma,” panggilku pelan, takut-takut nanti orang tuaku mendelik marah ke arahku akibat pertengkaran tadi. Tapi justru malah balasan lembut yang menjawab, “Kenapa?” “Maaf ya tadi Bila marah-marah ke Mama. Tadi Bila kecapean soalnya jadinya emosian.” Kata maafku hanya dibalas senyum tipis dari ibuku. Melihat senyumnya yang teduh aku tersadar, aku terlalu sibuk untuk mencari kisah yang hebat dan menakjubkan dalam hidup insan lain untuk membuat orang lain terkesan hingga lupa bahwa kisahku juga sama hebatnya dengan kisah orang lain. Tidak peduli seberapa klise alur hidupku. Padahal sering kali justru momen-momen kecil di sekitar kitalah yang membuat sebuah tulisan lahir dengan lebih banyak makna dan keindahan.
Aku terlalu takut untuk terlihat payah di depan semua orang hingga lupa bahwa untuk sebuah cerita dianggap hebat dan menakjubkan tidak harus melulu mengenai superhero, fiksi, maupun kisah manusia super jenius. Tapi justru dari pengalaman kecil sehari-hari yang aku anggap biasa-biasa saja. Seperti sikap orang tuaku yang selalu memaafkan dan menunjukkan rasa kasih sayangnya lewat makanan. Walaupun mereka tidak sesempurna influencer parenting TikTok ataupun standar medsos lainnya, tapi aku tahu mereka selalu mengusahakan yang terbaik untukku. Walaupun kata maaf jarang terucap dari mulut kedua orang tuaku, namun kamar yang bersih dan makanan favoritku selalu tersaji sesudah argumen yang terjadi. Meskipun kata apresiasi yang mereka lontarkan bisa dihitung jari, tetapi hadiah dan mereka yang selalu dengan bangga bercerita ke orang lain menjadi bukti kasih sayang mereka yang seluas samudra.
Ini adalah kisahku, kisah yang terinspirasi dari kedua orang tuaku yang hebat. Bukti bahwa setiap momen kecil yang kita alami bisa memiliki makna yang penting. Tulisan ini aku persembahkan secara spesial untuk kedua orang tuaku sebagai bentuk terima kasih untuk Mama dan Bapak yang sudah menjadi orang tua yang hebat untuk aku. Dan pada akhirnya, kisahku sendirilah yang menjadi jawabannya.