Misteri di Desa Cempaka
Misteri di Desa Cempaka
Langit sore di Desa Cempaka berwarna tembaga. Kabut turun pelan dari perbukitan, menutupi sawah dan pepohonan jati yang menjulang di kejauhan. Dari balik jendela mobil bak, Aruna menatap hamparan hijau itu dengan perasaan campur aduk: kagum sekaligus cemas.
Ia datang bukan untuk berlibur. Aruna adalah mahasiswa antropologi yang sedang menulis skripsi tentang mitos dan tradisi lisan desa terpencil. Dan Desa Cempaka kata dosennya menyimpan banyak kisah lama yang belum pernah dicatat siapa pun.
Namun begitu ia turun di depan gapura desa, udara dingin yang aneh langsung menyergapnya. Sunyi. Tak ada suara ayam, tak ada anak bermain. Hanya desir angin melewati bambu.
“Selamat datang, Nona.”
Suara berat membuat Aruna menoleh. Seorang lelaki tua berkopiah berdiri tak jauh, mengenakan sarung dan membawa lentera. “Saya Pak Wirta, kepala dusun. Sudah lama kami menunggu.”
Aruna menunduk sopan. “Terima kasih, Pak. Maaf kalau saya datang mendadak.”
Pak Wirta mengangguk, tapi pandangannya tajam. “Tak apa. Tapi di sini, ada hal-hal yang lebih baik tidak ditanyakan setelah magrib.”
Aruna terdiam. Kalimat itu terdengar seperti peringatan, tapi ia hanya mengangguk patuh.
Malam itu Aruna menginap di rumah Pak Wirta. Rumah panggung dari kayu jati tua itu beraroma tanah dan asap dupa. Istrinya, Bu Sarti, menyiapkan teh jahe dan nasi jagung.
“Besok pagi, kalau mau mewawancarai orang, datangi saja Mbah Laras di ujung timur desa,” kata Bu Sarti. “Dia penjaga cerita. Tapi sudah tua sekali.”
“Penjaga cerita?” Aruna bertanya.
Bu Sarti tidak menjawab. Hanya tersenyum samar, seolah kalimat itu punya makna lebih dari sekadar sebutan.
Malam semakin larut. Dari jendela kamarnya, Aruna melihat kabut tebal turun dari bukit. Di kejauhan, samar-samar ia mendengar bunyi gamelan lembut, seperti dari arah hutan. Padahal, kata Pak Wirta tadi, tak ada orang yang bermain musik di sana.
Ia menatap jam di ponselnya tepat pukul sebelas malam dan bunyi itu mendadak berhenti.
Keesokan paginya, Aruna berjalan ke arah timur desa. Jalan setapak menuju rumah Mbah Laras melewati kebun teh yang sepi. Burung-burung tak terdengar, hanya suara dedaunan bergesek.
Rumah Mbah Laras berdiri di tepi hutan, beratap daun kering dan dindingnya dipenuhi anyaman bambu hitam. Perempuan tua itu duduk di beranda, rambutnya memutih seluruhnya, kulitnya keriput, tapi matanya hidup tajam dan jernih.
“Dari kota, ya?” katanya pelan.
“Iya, Mbah. Saya Aruna. Mau menulis tentang cerita lama di desa ini.”
Mbah Laras tertawa kecil. “Cerita lama tidak suka ditulis. Ia hanya suka diingat.”
Aruna mengeluarkan buku catatannya. “Kalau Mbah berkenan, saya ingin mendengar salah satunya.”
Perempuan tua itu menatapnya lama, lalu berkata pelan,
“Dulu, di atas bukit batu sana, ada suara gamelan yang berbunyi setiap malam bulan purnama. Orang-orang bilang itu pesta arwah penunggu desa. Siapa pun yang mencoba mendekat, tidak pernah kembali. Hanya jejak kakinya yang tertinggal di tanah lembek.”
Aruna menelan ludah. “Itu hanya cerita rakyat, kan?”
Mbah Laras tersenyum tipis. “Cerita rakyat adalah cara orang tua menyembunyikan kebenaran dari mereka yang belum siap.”
Sebelum Aruna pergi, Mbah Laras berbisik, “Jangan naik ke bukit saat kabut turun. Sekali kau dengar gamelan, jangan mencari sumbernya.”
Tiga hari Aruna tinggal di Desa Cempaka. Siang hari, ia mencatat kebiasaan warga, merekam wawancara, dan memotret pemandangan. Tapi setiap malam, bunyi gamelan itu selalu terdengar halus, berirama, seperti memanggil.
Malam keempat, rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takut. Ia keluar diam-diam membawa senter dan buku catatan, lalu berjalan ke arah bukit batu.
Kabut turun tebal sekali malam itu, membuat jarak pandangnya hanya beberapa meter. Namun di tengah kabut, ia benar-benar mendengar gamelan. Bukan halus lagi tapi jelas: kendang, gong, dan suara sinden yang bergetar lirih.
“Benarkah ini cuma mitos?” gumam Aruna.
Langkahnya menembus kabut hingga ia melihat cahaya redup, seperti nyala obor. Dari balik pepohonan, samar-samar tampak bayangan orang-orang menari pakaian mereka seperti penari Jawa kuno, dengan wajah pucat dan mata kosong.
Aruna terpaku. Nafasnya memburu. Ia ingin mundur, tapi tanah di bawah kakinya terasa berat, seolah menahannya. Saat itu pula salah satu penari menoleh ke arahnya gerakannya lambat, tapi pandangannya tajam.
Aruna menjerit dan berlari menuruni bukit tanpa menoleh ke belakang.
Keesokan paginya, ia terbangun dengan tubuh menggigil. Di luar, suasana desa tampak sama seperti biasa tapi ada sesuatu yang aneh. Setiap kali ia menatap wajah warga, mereka menunduk dan berpaling.
Ia mendekati Pak Wirta di halaman. “Pak, semalam saya dengar gamelan dari bukit. Saya lihat orang-orang menari
Pak Wirta langsung memotong, “Berhenti, Nak. Jangan sebut itu lagi.”
“Tapi saya benar-benar melihatnya!”
Pak Wirta menatapnya dalam-dalam. “Mereka tidak suka dilihat. Kau sudah melanggar batas yang kami jaga selama puluhan tahun.”
Aruna terdiam.
“Setiap dua puluh tahun sekali, suara gamelan itu muncul untuk ‘memanggil yang penasaran’. Dulu, banyak orang hilang karena mencoba mencari sumbernya,” lanjutnya lirih. “Kami hanya menunggu kabut hilang, lalu semuanya kembali tenang.”
“Lalu… kalau saya melihatnya, apa yang akan terjadi pada saya?”
Pak Wirta tidak menjawab. Hanya menatap ke arah bukit batu yang kini tertutup kabut tebal. “Semoga kamu kuat.”
Hari-hari berikutnya, Aruna sering bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia menari di tengah kabut bersama orang-orang berpakaian putih. Gamelan mengalun, dan Mbah Laras berdiri di pinggir lingkaran sambil berbisik,
“Kau sudah dipanggil, Nak. Sekarang giliranmu menjaga cerita.”
Suatu sore, ketika ia mencoba membereskan barang-barangnya untuk pulang, Aruna menemukan selembar surat kuning tua di bawah kasurnya. Tulisan tangan di kertas itu halus dan rapi.
“Kepada siapa pun yang membaca,
Jangan mencari kebenaran di balik gamelan.
Ia bukan untuk ditemukan, hanya untuk diingat.
Jika kau mendengar suaranya, berarti kau telah terpilih untuk menjaga rahasia ini.”
Tidak ada tanda tangan. Tapi di sudut bawah surat itu, tertera nama samar: Aruna Wirta, 1978.
Aruna membeku. Namanya… persis sama. Ia menatap Pak Wirta malam itu, tapi lelaki tua itu hanya diam dan menatap kosong ke luar jendela.
Malam terakhir di Desa Cempaka. Langit hitam tanpa bintang. Kabut kembali turun, lebih tebal dari biasanya. Aruna duduk di depan jendela, mendengarkan lagi suara gamelan yang kali ini terasa sangat dekat.
Ia tahu seharusnya ia diam. Tapi ada dorongan kuat di dalam dirinya seperti sesuatu yang memanggil namanya dari dalam kabut.
Dengan langkah perlahan, ia keluar rumah. Udara malam menggigit kulitnya, tapi suaranya semakin jelas. Di antara kabut, ia melihat siluet orang-orang menari lagi. Salah satunya—seorang perempuan muda menatapnya dengan wajah yang sangat mirip dirinya sendiri.
Aruna menahan napas. Penari itu tersenyum dan mengulurkan tangan. “Ayo pulang, Aruna,” katanya dengan suara yang lembut namun bergema.
Dalam sekejap, semua cahaya padam.
Pagi berikutnya, warga Desa Cempaka geger. Kamar tempat Aruna menginap kosong, hanya ditemukan buku catatan dan senter yang mati di lantai. Di halaman rumah Pak Wirta, ada jejak kaki kecil yang mengarah ke bukit batu, berhenti tepat di tepi tanah lembek, tanpa jejak kembali.
Pak Wirta menatap bukit itu lama. Bu Sarti menangis pelan di belakangnya. “Kau tahu, Pak… seperti dulu, ya?”
Pak Wirta mengangguk pelan. “Iya. Sama seperti Aruna yang pertama.”
Dua puluh tahun kemudian, kabut kembali turun di Desa Cempaka. Seorang mahasiswi baru datang untuk penelitian antropologi. Namanya Aruna Wirta, cucu dari seorang dosen tua yang dulu pernah meneliti desa yang sama namun tidak pernah kembali.
Pak Wirta sudah lama meninggal, dan rumahnya kini kosong.
Malam pertama di desa itu, Aruna muda menulis di buku catatannya:
“Desa ini tenang tapi terasa menyimpan sesuatu. Tadi malam, aku mendengar suara gamelan samar-samar dari bukit. Mungkin hanya imajinasiku.”
Tapi di jendela kamarnya, tergantung surat kuning tua dengan tulisan tangan yang sama:
“Selamat datang di Cempaka.
Jagalah cerita, jangan pernah mencarinya.”
Dan dari jauh, suara gamelan kembali terdengar, lembut namun nyata, seolah menyambut penjaga rahasia baru yang datang menggantikan yang lama.
Malam kedua di Desa Cempaka, Aruna muda duduk di meja kecil kamar rumah singgahnya. Lampu minyak di sudut ruangan berkelip pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding kayu. Ia berusaha menulis tentang kunjungannya tadi siang ke pasar desa, tetapi pikirannya terus kembali pada surat kuning yang ia temukan tergantung di jendela.
Ia memegangnya lagi, meneliti tulisan tangan yang terasa sangat asing namun… dekat.
“Jagalah cerita, jangan pernah mencarinya.”
Aruna menghela napas.
“Kenapa semua orang di desa ini bicara seperti sedang menyembunyikan sesuatu?”
Tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar dari jendela.
Tok… tok…
Aruna menoleh cepat. Jendela itu berkabut dari udara malam. Ia mendekat perlahan, dan ketika ia mengusap kaca, matanya membelalak.
Ada bayangan perempuan berdiri di luar. Tidak jelas hanya siluet. Rambutnya panjang, tubuhnya tegap, dan ia mengenakan kebaya kuning pudar.
“Siapa…?” bisik Aruna.
Bayangan itu tidak menjawab. Hanya menatapnya. Kemudian, seperti tertiup angin, siluet itu lenyap dalam kabut yang mengalir turun dari bukit.
Aruna mundur beberapa langkah. Jantungnya berdebar keras.
“Tidak… ini pasti cuma bayangan pohon,” ia mencoba meyakinkan dirinya.
Tapi bagian terdalam dirinya tahu itu bukan bayangan pohon.
Keesokan paginya, Aruna memutuskan untuk menyelidiki rumah tua yang kini kosong rumah yang dulu milik keluarga Wirta. Banyak warga mengatakan rumah itu kini dibiarkan tanpa penjaga sejak Pak Wirta meninggal.
Rumah itu berada di ujung barat desa, nyaris tertutup semak dan rerumputan liar. Pintu depannya sedikit terbuka, seolah menanti seseorang untuk masuk.
Aruna mendorongnya perlahan.
Ciiiitt…
Aroma kayu lembap dan debu menyergap. Sinar matahari masuk dari celah-celah papan, mengungkapkan ruangan besar dengan rak-rak tua, meja ukir, dan foto-foto keluarga yang mulai memudar.
Ia mengambil satu foto yang tergantung miring di dinding.
Foto itu memperlihatkan seorang gadis berseragam SMA berdiri di depan bukit batu.
Namanya tertulis di belakang:
Aruna Wirta 1978
Aruna menghela napas panjang. “Kenapa semua nama mereka… sama?”
Ia menyusuri ruangan dan menemukan sebuah kotak kayu. Setelah membukanya, ia menemukan buku catatan tua sampulnya sobek, beberapa halamannya rusak dimakan usia.
Tapi halaman tengahnya masih jelas terbaca.
“Suara gamelan semakin sering. Mereka bilang aku sudah waktunya menjaga cerita. Aku merasa ada yang mengikutiku setiap malam. Bayangan itu… wajahnya mirip sekali denganku.”
Aruna menutup buku itu dengan cepat. Tangannya gemetar.
Sesaat kemudian, ia merasakan angin dingin mengalir dari arah belakang. Seperti seseorang berdiri sangat dekat.
“Aruna…”
Sebuah suara pelan memanggilnya dari balik pintu kamar belakang. Bukan suara laki-laki, bukan suara tua lebih seperti suara perempuan muda.
Aruna menahan napas dan memutar tubuhnya pelan.
Pintu itu terbuka sedikit… dan dari celahnya, tampak bayangan seseorang berdiri diam di dalam ruangan gelap.
Aruna langsung berlari keluar, tidak menoleh lagi.
Malam itu, kabut turun jauh lebih cepat dari biasanya. Seluruh desa terasa membeku. Angin berhenti, jangkrik berhenti, bahkan air sungai pun seolah mengalir tanpa suara.
Aruna duduk di ranjang, menggenggam buku catatannya dengan tangan bergetar.
Tiba-tiba suara gamelan terdengar lebih kuat dari sebelumnya.
Gong…
Kendang…
Sinden bersenandung lirih, seolah bernyanyi dari balik jendela kamarnya.
Aruna berdiri perlahan.
Dari jendela, ia melihat siluet-siluet muncul di tengah kabut. Penari-penari berpakaian putih. Beberapa membawa obor. Dan di antara mereka, ia melihat seorang gadis berkebaya kuning, wajahnya samar, namun sangat mirip dirinya.
Perempuan itu menatap langsung ke arahnya… dan tersenyum lembut.
Aruna merasa tubuhnya bergerak sendiri. Langkahnya ringan, seperti ada yang menuntun. Ia membuka pintu dan melangkah keluar menuju kabut.
“Aruna,” suara itu memanggil lagi.
“Tiba waktumu menyambung cerita.”
Kabut menelannya perlahan. Suara gamelan naik menjadi irama penuh, menggema ke seluruh desa.
Pagi harinya, warga desa kembali menemukan kondisi yang telah mereka kenal selama puluhan tahun.
Jejak kaki kecil menuju bukit batu.
Buku catatan tergeletak di halaman rumah.
Senter jatuh di rumput, lampunya mati.
Dan di dekat batu besar di kaki bukit, ada sehelai pita rambut kuning pudar, lembaran baru dari lingkaran lama yang terus berputar.
Di halaman terakhir buku catatan Aruna muda, hanya ada satu kalimat:
“Cerita ini milik mereka yang dipanggil.”
Penutup
Kabut, gamelan, dan nama yang berulang semua menjadi bagian dari satu lingkaran misteri yang tidak pernah putus. Di Desa Cempaka, waktu berjalan berputar, dan mereka yang penasaran akan menjadi bagian dari kisah itu selamanya.
Karena seperti kata Mbah Laras dulu:
“Cerita lama tidak suka ditulis. Ia hanya suka diingat oleh mereka yang telah menjadi bagiannya.”