Pelukan Setelah Hujan: Sebuah Kisah Tentang Rindu dan Pulang
Aku Ray, seorang anak laki-laki SMA biasa yang memiliki seekor anjing lucu nan imut bernama Anan. Dia memiliki bulu yang sangat lembut berwarna putih bersih. Beberapa orang mengatakan mukanya terlihat seperti anjing bloon, namun menurutku dia adalah anjing yang pintar. Dia bisa menangkap bola yang kulempar untuknya, dan setiap mainan baru yang kubelikan untuknya dia akan langsung bisa mengetahui bagaimana cara memakainya, sangat pintar bukan?
Suatu hari, aku terpaksa pulang malam dari sekolah karena desakan tugas kelompok. Waktu sudah menunjukan pukul 22.00, setelah sampai rumah aku bergegas menuju ke tempat Anan. Dia sudah menunggu di depan tempat makannya dengan tatapan yang sangat fokus menunggu tempat itu terisi. "Iya, iya tahu, makanan kan?" Aku langsung mengambil kaleng makanan dari rak di dapur dan langsung menuangkannya ke tempat makannya. Dia langsung memakannya dengan lahap. "Maaf ya aku pulangnya lama, kamu jadinya lapar banget deh." Kataku sambil mengelus-elus dia saat dia makan.
Karena hari sudah larut, aku langsung tidur. Mematikan semua lampu yang ada dan berbaring di atas kasur yang nyaman dan diselimuti oleh selimut yang hangat. Namun, ditengah malam aku terbangun karena hujan yang sangat deras dan petir yang menggelegar. Anan yang ketakutan juga langsung menghampiriku, larinya sangat kencang seperti sangat panik, aku langsung memeluk Anan "Puk, puk tenang Anan tenang, cuma petir kok," kataku sambil menenangi ia. Setelah beberapa saat Anan sudah mulai tenang dan ia tidur di sampingku, lalu aku pun tidur dengan dia di sampingku.
Keesokan harinya, aku mengajak Anan jalan-jalan ke taman. Dia sangat semangat sampai sebelum aku membuka pintu dia sudah berputar-putar didepan pintunya, sangat lucu tingkahnya. Kami berjalan sampai ke taman, sembari menyapa beberapa tetangga yang juga sedang berjalan kaki dan berjemur di pagi itu. "Halo Bu, halo Pak!" Sapaku ketika berpapasan dengan mereka Anan juga menyapa dengan gerakan andalannya yang imut yaitu berputar-putar lalu menunjukkan perutnya seperti ingin dielus, tetangga-tetangga ku yang melihat itu langsung mengelusnya "Wah, lembut sekali bulunya, lebat banget juga," ucap mereka saat mengelus perut Anan.
Kami lanjut berjalan hingga sampai di taman, disana aku dan Anan bermain lempar tangkap bola. "Yak ini bolanya, Anan tangkap!" Anan pun langsung mengejar bola tersebut ia berhasil menangkapnya dan mengembalikannya kepadaku. "Oke bagus Anan! Sekarang kita coba lebih jauh ya," aku langsung melempar bolanya sampai ke bagian tengah taman, ia langsung mengejarnya aku pun mengikutinya agar ia tak tersesat dan kebingungan mencariku. Tak ku sangka walaupun bola itu sangat jauh ia tetap bisa menangkapnya. Setelah ia berhasil menangkapnya aku tak langsung mengambil bolanya begitu saja, "Ayo sini kejar aku Anan!" Kami berlari-larian di tengah taman, aku tertawa dengan riang menikmati hari bersama Anan, ia pun juga terlihat sangat senang setelah menghabiskan waktu bersamaku.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah, dan hari itu adalah hari untuk study tour. "Anan, jaga rumah yang baik ya," kataku kepada Anan. Karena aku pergi selama 1 minggu, aku mempekerjakan seorang perawat anjing yang bisa merawat Anan selama 1 minggu itu. "Anan, kenalin ini Runa, yang akan merawatmu selama 1 minggu kedepan." Aku mengatakan hal tersebut kepada Anan sebelum akhirnya kami berpisah. Aku siap-siap berangkat ke sekolah untuk menaiki bus untuk study tour. Saat aku menaiki mobil Anan mencoba ikut juga ke atas mobilku, seolah-olah ia tahu bahwa aku akan pergi meninggalkan selama 1 minggu penuh. "Anan, jaga rumah yang baik ya, aku tahu 1 minggu itu lama, tapi aku juga tahu kalau Anan itu anak yang baik dan pintar." Kataku sambil memeluk dan mengelus Anan dan menurunkannya dari mobilku, ia langsung diam terduduk di samping mobilku dengan wajah yang sedih. Sebelum terlarut terlalu lama, aku menutup pintu dan langsung berangkat sembari melambaikan tanganku kepada Anan. "Sampai jumpa Anan! Nanti kita ketemu seminggu lagi!"
Setelah aku pergi, Runa langsung melakukan pendekatan kepada Anan "Halo Anan! Kenalin aku Runa yang bakal merawat kamu selama 1 minggu kedepan." Anan langsung berputar-putar gembira, meskipun ia jauh dariku sepertinya ia mengerti bahwa akan tetap ada yang menmaninya. Runa langsung mengajaknya makan camilan sebagai pendekatan awal kepada Anan, agar Anan lebih menurut kepadanya. "Sini sini Anan, ada camilan yang enak tahu," ucap Runa kepada Anan, Anan memakan camilan nya dengan lahap, sembari Anan menyantap camilan nya, Runa mengelus-elus Anan, menunjukkan bahwa ia tidak memiliki niat untuk menyakiti Anan.
Runa mengajak Anan untuk mandi dan membersihkannya, setelah aku memberi tahunya lewat chat bahwa aku lupa memandikan Anan setelah mengajak ia ke taman. Runa mengajak Anan ke kamar mandi, disana sudah ada semua alat dan shampo untuk memandikan Anan. "Sini Anan, kita mandi yuk!" Ucap Runa sambil membujuk Anan dengan camilan karena sepertinya ia malas mandi. Setelah sampai di kamar mandi Runa memancing ia sampai ke bathtub. Runa tak menyangka setelah Anan sampai di bathtub ia langsung duduk diam disana, seolah-olah ia tahu bahwa dia akan dimandikan. "Bagus Anan! Diam di tempat ya, aku akan mulai memandikanmu!" Ucap Runa dengan semangat karena dia jarang menemukan anjing yang sangat menurut selama dia dipekerjakan.
Runa memulainya dengan mengisi bathtub pelan-pelan dengan air hangat yang nyaman untuk anjing, hingga mencapai lutut Anan. Dengan tangan pelan, Runa membasahi bulu Anan mulai dari punggung hingga ekornya, memastikan air tidak langsung menyiram kepala agar Anan tidak kaget. Setelah bulunya lembap seluruhnya, Runa menuangkan sedikit sampo anjing di telapak tangan, lalu menggosoknya perlahan ke seluruh tubuh Anan. Aroma lembut sampo memenuhi ruangan, sementara Runa memijat lembut bagian leher dan punggung, tempat Anan paling suka digaruk. Anan menatapnya dengan mata setengah terpejam, seolah menikmati perhatian itu. Setelah sabun berbuih rata, Runa membilasnya dengan hati-hati sampai tak ada busa tersisa, lalu membungkus Anan dengan handuk tebal, mengusap tubuhnya sampai kering. Ketika Anan menggoyangkan badannya dan memercikkan air ke wajah Runa, ia hanya tertawa kecil, merasa seolah sedang memandikan sahabat lamanya sendiri.
Seminggu berlalu sejak aku pergi study tour. Saat bus yang kutumpangi berhenti di depan rumah, rasanya jantungku berdebar keras. Aku sudah tidak sabar bertemu Anan, anjing lucuku yang pasti sudah menungguku. Aku membuka pintu sambil berseru, “Anan! Aku pulang! Anan!” Tapi tak ada yang datang berlari. Tidak ada suara cakaran di lantai, tidak ada gonggongan kecil menyambutku. Rumah itu terasa sepi.
Aku memanggilnya lagi, lebih pelan. “Anan?” Tapi tetap tidak ada jawaban. Perasaan aneh mulai muncul di dada. Aku berkeliling ke setiap ruangan, ke taman belakang, bahkan memeriksa di bawah meja, namun tak ada tanda-tanda keberadaannya. Tak lama kemudian, suara motor berhenti di depan rumah. Aku bergegas membuka pintu, dan di sana berdiri Runa sambil membawa kantong besar berisi makanan anjing. “Oh, Ray! Kamu udah-” ucapnya, tapi langsung terhenti melihat wajahku yang panik.
“Runa… Anan di mana?” tanyaku cepat.
“Hah? Dia di rumah! Aku cuma keluar sebentar beli makanan, kupikir kamu udah mau sampai, jadi-”
“Dia nggak ada!” potongku.
Runa langsung meletakkan belanjaannya dan ikut mencariku ke seluruh rumah, namun hasilnya tetap nihil. Kami saling berpandangan, wajahnya mulai pucat. “Ray… coba kita lihat CCTV.” Kami menatap layar monitor dengan tegang. Di sana terlihat seekor kupu-kupu biru masuk lewat jendela, dan Anan, dengan rasa ingin tahunya yang besar, meloncat keluar untuk mengejarnya. Aku terdiam lama. “Dia keluar… sendirian.”
Tanpa berpikir panjang, aku meraih jaket. “Kita harus cari dia sekarang!” Kami berdua naik motor, menyusuri jalan-jalan sekitar rumah sambil terus memanggil namanya. “Anan! Anan, kamu di mana?!” Suaraku serak, tapi tak ada jawaban. Kami mencari hingga matahari terbenam, menelusuri taman, gang, dan pasar kecil. Saat langit mulai gelap, aku berhenti di pinggir jalan, napasku berat. “Dia pasti takut sendirian,” ucapku pelan. Runa menepuk pundakku dengan lembut. “Kita istirahat dulu malam ini, Ray. Besok pagi kita pasang poster dan tanya orang-orang, ya?” Aku menunduk, lalu mengangguk pelan. “Iya…”
Malam itu rumah terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Tak ada suara langkah kecil, tak ada hembusan napas di dekat tempat tidur. Aku duduk menatap kasur, memegang kalung kecil milik Anan yang biasa kupakaikan di lehernya. “Kamu pasti bisa pulang, kan, Anan?”
Keesokan harinya, aku dan Runa menempelkan poster di setiap sudut jalan. Di poster itu ada foto Anan dengan tulisan “Dicari: Anjing Putih Bernama Anan. Ramah, tapi mudah takut saat hujan.” Kami terus berkeliling sambil membawa ponsel berharap ada telepon masuk. Menjelang sore, ponselku berdering. Aku langsung mengangkatnya cepat. “Halo?! Anan?! Maksudku, maaf, maksud saya, Bapak lihat anjing putih kecil?” Suara di seberang menjawab santai, “Ini dari PLN, Pak. Tagihan listrik rumah Anda belum dibayar tiga hari.” Aku mematung. Runa yang berdiri di sampingku menatap heran, lalu kami berdua malah tertawa keras di tengah jalan. “Tega banget PLN nelpon di momen genting begini,” kataku sambil menahan tawa di antara rasa panik.
Malam harinya, hujan turun pelan. Aku duduk di ruang tamu, menatap pintu yang masih tertutup. Runa duduk di sampingku sambil memegang handuk dan mangkuk kecil. Kami tidak banyak bicara, hanya diam dan berharap. Tiba-tiba terdengar suara cakar kecil di depan pintu. Aku menoleh cepat. “Runa… kamu dengar itu?” Belum sempat ia menjawab, suara itu terdengar lagi, kali ini disertai rengekan lembut yang sangat kukenal. Aku berlari membuka pintu. Di sana berdiri Anan, basah kuyup, bulunya kusut, tapi matanya bersinar cerah. Di sekitar tubuhnya beterbangan beberapa kunang-kunang yang menyala redup, seolah mengiringinya pulang.
“Anan!” aku langsung memeluknya erat. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan. “Kamu pulang sendiri, ya? Pintar banget kamu…” Runa ikut menghela napas lega, lalu ikut tersenyum lebar. “Aku bahkan belum sempat nyalain GPS buat nyari kamu,” katanya sambil tertawa kecil. Anan hanya menggoyang-goyangkan ekornya pelan, lalu bersin kecil karena air hujan. Kami berdua tertawa. Aku mengambil handuk dari tangan Runa dan mulai mengeringkan tubuh Anan. Runa membantu sambil terus tersenyum lega.
Malam itu rumah terasa hangat lagi. Anan tidur di pangkuanku, Runa duduk di sebelah sambil menatap kami. Aku menatap Anan yang perlahan terlelap, lalu tersenyum kecil. “Aku janji nggak akan ninggalin kamu lama-lama lagi.” Di luar, hujan telah berhenti. Dan untuk pertama kalinya setelah seminggu penuh rindu dan cemas, rumah itu kembali terisi dengan tawa dan rasa tenang.