Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Senja yang Pernah Kita Simpan

👤 A.A. Istri Agung Indira Tungga Dewi 🏫 XI-12 🆔 25649

Angin sore selalu membawa kenangan. Setidaknya, itu yang Liora rasakan setiap kali melangkah keluar dari gerbang sekolah, melewati deretan pohon ketapang yang menjatuhkan daun-daunnya seperti hujan kecil yang lambat. Hari itu, langit memerah seperti biasa, tapi entah kenapa… ada getaran aneh di dadanya.


Mungkin karena ia melihat seseorang berdiri di ujung koridor, seseorang yang membuat langkahnya otomatis melambat.


Arga.


Cowok yang selalu duduk di bangku paling belakang, cowok yang jarang bicara tapi selalu terlihat seperti ia menyimpan seluruh dunia di kepalanya. Mereka sebenarnya tidak dekat. Hanya beberapa kali bertukar sapa, beberapa kali tidak sengaja bertatapan, atau beberapa kali saling melempar senyum kecil, senyum yang lama-lama terasa lebih berarti dari yang seharusnya.


Paling tidak, itu menurut Liora.


Arga berdiri sambil memegang tripod kamera. Ia baru keluar dari ruang ekstrakurikuler jurnalistik, tampaknya baru selesai meliput latihan paskibra. Rambutnya agak berantakan tertiup angin, tapi justru membuatnya terlihat… ya, begitu saja sudah cukup membuat hati Liora melorot pelan.


Arga tampak kaget ketika menyadari Liora menghampirinya.

“Pulang?” tanya Arga singkat.


“Hmm… iya. Kamu juga?” jawab Liora canggung, menyelipkan rambut di belakang telinganya tanpa sadar.


Arga mengangguk. “Lagi nungguin langit agak gelap. Mau ambil footage buat video tugas.”


“Oh…” Liora tersenyum kecil. “Mau ditemenin?”


Ia hampir menutup mulutnya sendiri. Kenapa mulutnya bergerak duluan sebelum otak?


Tapi Arga justru tersenyum kecil yang jarang sekali muncul.

“Boleh,” katanya pelan.


Dan dengan itu, mereka berjalan berdua ke lapangan belakang sekolah.



Lapangan itu sepi. Hanya suara serangga dan dentingan lembut tiang bendera yang tertiup angin. Keheningan yang biasanya membuat seseorang merasa kikuk, tapi entah kenapa… keduanya justru merasa nyaman.


“Kenapa suka videografi?” tanya Liora sambil duduk di bangku tribune yang mulai dingin.


Arga merekam beberapa detik langit, lalu menurunkan kameranya. “Karena… aku suka menyimpan sesuatu yang pasti akan berubah.”


“Contohnya?”


“Langit,” jawab Arga. “Kamu nggak pernah dapat langit yang sama dua kali.”


Liora menatapnya. Cowok itu berbicara dengan suara datar, tapi matanya… selalu berbicara lebih jujur.


“Trus, kalau manusia?” tanya Liora iseng. “Kamu juga mau simpan?”


Arga menoleh. “Kalau boleh,” ia menjawab pelan, “aku pingin simpan versi seseorang yang paling aku suka… sebelum dia berubah suatu hari nanti.”


Ada sesuatu yang terselip di kalimat itu. Sesuatu yang membuat jantung Liora memukul dadanya.


“Tapi manusia berubahnya jelek-jelek gitu?” goda Liora.


“Bukan…” Arga menggeleng pelan. “Justru karena manusia tumbuh. Dan aku pingin ingat mereka sebelum tumbuh itu hilang.”


Liora diam. Rasanya ia mulai mengerti kenapa cowok ini begitu suka merekam sesuatu. Ia bukan hanya merekam visual - ia merekam perasaan.



Langit berubah lebih cepat dari yang mereka kira. Matahari turun pelan-pelan, seperti seseorang yang enggan pergi tapi tetap harus. Sambil menunggu warna terakhir senja muncul, mereka duduk makin dekat, entah siapa yang memulai duluan.


“Liora,” panggil Arga tiba-tiba.

“Hm?”


“Kalau nanti aku masuk tugas video final semester… boleh nggak aku rekam kamu?”


“Ha?” Liora menoleh cepat. “Kenapa aku?”


“Karena kamu… masuk highlight paling menarik di hidupku belakangan ini.”


Hati Liora nyaris loncat keluar.


“Aku serius,” lanjut Arga, suaranya pelan. “Setiap orang punya senja versi mereka sendiri. Dan entah kenapa… kamu terasa seperti bagianku.”


Liora tidak tahu harus menjawab apa. Tangannya dingin, tapi wajahnya panas. Ia hanya bisa menatap langit yang berubah warna seperti cat air.


“Kamu selalu ngomong tiba-tiba gitu?” tanya Liora, mencoba bercanda untuk menyembunyikan degup dadanya.


“Enggak,” jawab Arga. “Biasanya aku diam.”

“Loh?”

“Karena kalau aku ngomong sembarangan, aku takut nyesel.”


Liora tertawa kecil. “Terus kenapa ngomong sekarang?”


Arga menatap lurus. “Karena aku nggak mau nyesel.”


Ada jeda. Jeda yang terasa menahan seluruh dunia.


Sebelum Liora sempat membalas, lampu lapangan menyala otomatis. Senja sudah benar-benar berubah ke gelap, menyisakan ungu tipis di horizon.


“Kita pulang?” tanya Arga lembut.


Liora mengangguk. Tapi sebelum berjalan, ia menyentuh lengan Arga sebentar.


“Boleh…” Liora menarik napas. “Boleh aku jadi senja yang kamu simpan?”


Arga membeku. Lalu tersenyum perlahan tapi sangat tulus.


“Bukan cuma senja,” katanya pelan. “Semuanya.”



Hari-hari setelah itu terasa aneh dalam cara yang menyenangkan. Liora dan Arga tidak tiba-tiba jadi pasangan, tapi mereka jadi… sesuatu. Sesuatu yang lembut, sesuatu yang pelan-pelan tumbuh. Liora jadi sering terlihat di ruang jurnalistik, pura-pura membaca majalah padahal sedang mengintip Arga yang sibuk mengedit. Arga, di sisi lain, jadi sering mendadak muncul di depan kelas Liora hanya untuk bilang, “Langit sore ini bagus,” lalu pergi begitu saja.


Sampai suatu hari…


Di sekolah diumumkan akan ada lomba video antar-ekstrakurikuler. Tema: “Satu Hari yang Mengubahmu.”


Arga langsung mengajak Liora duduk di tribun lagi.


“Aku mau ikut,” katanya tanpa basa-basi. “Dan aku mau kamu jadi modelnya.”


Liora menatapnya lama. “Tema itu… lumayan berat.”


“Justru itu,” kata Arga. “Dan aku tahu hari apa yang ngubah aku.”


“Emangnya apa?”


Arga menatapnya tanpa kedip.

“Hari senja itu.”


Wajah Liora langsung memerah seperti lampu rem motor.



Mereka mulai melakukan proses pengambilan gambar di beberapa tempat di sekolah: perpustakaan, balkon gedung tua, koridor panjang dengan jendela besar, lapangan basket, dan tentu saja, lapangan belakang tempat mereka pertama kali menyimpan senja bersama.


Arga bekerja serius, tapi ia selalu memperhatikan Liora di sela-sela. Setiap kali rambut Liora tertiup angin, ia akan merapikannya. Setiap kali Liora salah dialog, ia cuma tertawa dan bilang, “Gapapa, itu lucu.”


Dan setiap kali Liora tersenyum dalam diam, Arga menghentikan rekaman.


“Kenapa berhenti?” tanya Liora.

“Aku cuma… mau lihat kamu lebih lama,” jawab Arga santai.


Liora melemparkan daun kecil ke arahnya.


“Jangan gombal,” katanya gemas.

“Aku jujur,” jawab Arga sambil menahan senyum.


Satu minggu kemudian, video mereka selesai.


Judulnya:


“Senja yang Pernah Kita Simpan.”


Video itu indah. Sederhana, tapi hangat. Berisi potongan-potongan momen Liora berjalan di koridor sambil menyentuh cahaya matahari, Liora tertawa saat tersandung kecil, Liora berlari kecil karena hujan, Liora mengikat rambutnya, Liora menatap langit.


Dan di tengah video, ada narasi suara Arga.


“Hari itu, yang kuingat bukan langitnya.

Yang kuingat… adalah seseorang yang membuat langit terasa lebih dekat.”


Liora menonton itu dengan tangan gemetar.

“Arga,” katanya pelan. “Kamu… beneran bikin ini?”


“Bener,” jawab Arga. “Untuk lomba… dan untuk kamu.”


“Kenapa untuk aku?”


Arga menggigit bibirnya sesaat. “Karena banyak hal yang nggak pernah aku berani bilang.”


Liora menatapnya. “Bilang sekarang.”


Arga menarik napas.

“Liora… aku suka kamu.”


Ada diam. Tapi bukan yang canggung. Diam yang penuh sesuatu.


Liora mendekat setengah langkah.

“Aku juga suka kamu,” jawabnya pelan.


Dan senja hari itu menjadi senja kedua yang mereka simpan bersama, lebih terang, lebih hangat, lebih jujur.



Video Arga memenangkan juara pertama di lomba sekolah. Semua orang memuji karya itu, memuji visualnya, konsepnya, sampai chemistry pemerannya.


Setiap kali seseorang memuji video itu sebagai video senja tercantik…


Arga cuma melirik Liora dan tersenyum kecil.


Karena baginya, senja tercantik bukan yang ia rekam dengan kamera.

Tapi yang ia simpan di hatinya.


Dan setiap sore, tanpa perlu kata-kata, mereka selalu berjalan berdampingan di bawah langit yang berubah pelan. Tidak peduli seberapa cepat awan bergerak, atau seberapa sering matahari pergi, mereka tahu satu hal:


Ada kenangan yang tidak berubah, meski waktu terus berjalan.


Kenangan itu bernama mereka.


Beberapa hari setelah kemenangan itu, sebuah angin baru terasa di antara mereka. Bukan yang canggung, bukan juga yang terlalu meledak-ledak. Rasanya seperti… tenang. Seperti duduk di pinggir pantai dan membiarkan ombak menyentuh kaki tanpa perlu penjelasan apa pun.


Namun, perubahan itu ternyata disadari banyak orang.


Teman-teman Liora mulai menggoda setiap melihat Arga lewat dan meliriknya.

“Eh, videografer favoritmu lewat tuh,” bisik mereka sambil tertawa.


Liora hanya menunduk sambil tersenyum malu.

“Biasa aja…,” gumamnya, walaupun pipinya sudah memerah sebelum kalimat itu selesai.


Di sisi lain, anak-anak jurnalistik juga menggoda Arga.

“Bro, model videomu itu beneran cuma model? Kok rasanya beda ya vibe kalian?”


Arga hanya geleng-geleng pelan dan pura-pura sibuk menggulung kabel.

Tapi setiap kali seseorang menyebut nama Liora, sudut bibirnya otomatis naik sedikit.

Seperti refleks yang tidak bisa ia kendalikan.




Suatu sore, setelah kegiatan sekolah selesai, Arga menemukan Liora duduk sendiri di bangku taman kecil dekat perpustakaan. Ia sedang memegang es krim dan menatap langit yang masih cerah meski matahari mulai turun.


Arga mendekat pelan.

“Kok sendiri?” tanyanya sambil duduk di sampingnya tanpa menunggu izin.


Liora tersenyum. “Nungguin kamu.”


Kalimat itu membuat Arga butuh beberapa detik untuk memastikan ia tidak salah dengar.


“Nungguin aku?” ulangnya hati-hati.


Liora mengangguk ringan, tidak melihat Arga, hanya memainkan sendok kecil es krimnya.

“Soalnya… kamu bilang suka lihat langit pas sore. Jadi aku kira kamu bakal lewat sini.”


Arga terdiam sebentar, lalu tertawa kecil.

“Kamu tau, ya?”


“Aku mulai hafal jam-jam kemunculan kamu,” jawab Liora sambil menyandarkan punggung ke bangku. “Kaya matahari terbit, matahari terbenam… atau hujan dadakan.”


“Berarti aku kayak cuaca dong?”


“Iya,” jawab Liora cepat. “Tapi versi yang aku suka.”


Arga menatapnya lama. Liora mungkin tidak sadar seberapa jujur kalimat itu terdengar.

Dan jantung Arga mungkin tidak akan lupa detik itu untuk waktu yang sangat lama.




“Aku boleh rekam kamu lagi?” tanya Arga tiba-tiba.


“Hah? Buat apa? Lomba udah selesai.”


“Buat aku,” jawab Arga simpel.


Liora menghela napas pendek, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang naik ke dadanya.

“Kalau jatohnya jadi kebiasaan gimana?”


Arga tersenyum tipis. “Aku nggak keberatan kalau itu jadi kebiasaan seumur hidup.”


Liora menunduk cepat-cepat. “Kamu tuh ya…”

Tapi hatinya diam diam berkata: jangan berhenti ngomong begitu.


Arga mengangkat kameranya.

Otomatis, Liora menegakkan posisi duduk. “Aku harus pose apa?”


“Gini aja udah cukup,” jawab Arga sambil mengatur fokus.

“Maksudnya?”


“Jadi diri kamu.”


Liora tidak membalas. Ia hanya diam.

Diam yang penuh detak dan kehangatan.


Arga memberi instruksi kecil.

“Liat ke langit sebentar.”

“Sekarang liat aku.”


Dan saat Liora menatapnya, dunia seolah ikut diam.

Warna langit, suara angin, bahkan langkah siswa lain yang lewat di belakang mereka, semuanya terasa memudar.


Yang tersisa hanya dua pasang mata yang saling menangkap sesuatu yang kata-kata tidak mampu jelaskan.


Arga akhirnya menurunkan kamera.


“Kenapa berhenti?” tanya Liora.


Arga mengusap bagian belakang lehernya yang tiba-tiba panas.

“Soalnya… kalau aku liatin kamu lewat kamera, aku takut kelewatan kamu yang ada di depan aku.”


Liora terdiam.

Ada sesuatu yang menghangat di dadanya.

Pelan, tapi nyata.




Malam itu, Liora membuka galerinya dan menemukan satu video yang Arga kirim tanpa pesan apa pun.


Video dirinya.

Di taman perpustakaan tadi.

Saat ia menatap langit, lalu menatap Arga.


Dan di akhir video, ada satu kalimat kecil yang ditulis Arga:


“Aku gak pernah nyimpen langit selama itu… sampai kamu ada di dalamnya.”


Liora menutup mulutnya sambil tersenyum, matanya terasa hangat.

Ia mengetik balasan singkat.


“Besok… langit jam 5. Kamu jemput aku?”


Balasan Arga muncul beberapa detik kemudian.


“Aku udah nyimpen waktunya.”


Dan sejak hari itu, sore-sore mereka bukan lagi kebetulan.

Bukan lagi pertemuan yang tidak disengaja.


Sore-sore itu sudah bertuan.

Dan pemiliknya adalah mereka berdua.