Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Api Di Jantung Sang Naga

👤 Sang Made Bintang Dirga Pradnyana 🏫 XI-10 🆔 25611

Langit Eldoria selalu kelabu, seolah matahari sendiri enggan menyentuh tanah itu. Di balik menara batu yang menjulang, udara bergetar oleh sihir tua—warisan naga yang dulu pernah menyalakan dunia.


Di menara tertinggi, Julius Pradnya berdiri diam, menatap cakrawala dengan mata kosong. Dari sela jarinya, api kecil kadang muncul dan padam begitu saja. Api itu seperti hidup, seperti sedang menunggu perintah. Tapi Julius tak pernah memerintahkannya. Sejak kecil, dia tahu api itu bukan sekadar anugerah—melainkan kutukan.


Dia lahir dengan darah naga, pewaris langsung Raja Eldor, manusia pertama yang mampu menahan nyala jantung naga di tubuhnya. Tapi semua kebanggaan itu sirna di malam ketika istana terbakar dari dalam.


Malam itu Julius masih kecil. Dia ingat jelas suara teriakan ibunya, Ratu Maren, dan raungan ayahnya yang berubah menjadi sesuatu yang bukan manusia. Api keluar dari matanya, dari kulitnya, dari napasnya. Dan dari dalam kobaran itu, suara menggelegar terdengar:


“AKU LAPAR AKAN HIDUP!”


Lantai istana meleleh, langit retak oleh cahaya merah, dan Julius hanya bisa bersembunyi di balik reruntuhan, memeluk dirinya sendiri sambil menahan tangis. Ketika api padam, Raja Eldor lenyap, dan seluruh kerajaan berlutut di bawah langit yang gosong.


Sejak malam itu, Julius bersumpah untuk tidak pernah memakai apinya. Tapi semakin dia menahannya, api itu semakin menjerit di dalam tubuhnya, menuntut dilepaskan. Kadang, di malam-malam sunyi, dia dengar bisikan di dadanya—suara naga kuno yang tertidur dalam darahnya, memanggil namanya dengan suara rendah dan berat:


“Julius… lepaskan aku…”


Dia selalu menolak. Tapi bisikan itu makin sering datang.


Untuk menghindar, Julius sering pergi ke hutan utara, jauh dari istana dan semua pandangan takut orang-orang. Di sanalah, di tengah dingin kabut pagi, dia bertemu Lira.


Gadis itu hidup bebas, pemburu dari desa kecil di tepi sungai. Wajahnya keras, tapi matanya jujur, sehangat api unggun di malam beku. Waktu pertama kali bertemu, Julius nyaris pingsan karena jatuh dari tebing kecil—dan Lira cuma menghela napas panjang sebelum menariknya keluar dari air.


“Kamu ini aneh banget,” katanya, menggigil sambil menatap Julius yang malah tersenyum kikuk.

“Aku cuma… nyasar.”

“Nyasar? Di hutan terlarang?”

“Kadang orang butuh tempat sepi.”

“Sepi gak selalu aman, tahu.”


Lira lalu menyalakan api unggun dari batu dan kayu basah. Julius memperhatikan caranya, sedikit kagum.

“Kenapa bengong?” tanya Lira.

“Enggak… aku cuma pengen belajar nyalain api kayak gitu.”

“Kayak gini aja gak bisa? Pangeran macam apa kamu ini?”


Julius nyaris tersedak. “Dari mana kamu tahu aku—”

“Dari bajumu. Dari cara ngomongmu. Dan dari tanganmu yang halus banget.”


Dia tertawa keras, dan untuk pertama kalinya, Julius ikut tertawa tanpa rasa takut. Malam itu, dia gak dengar suara naga di dalam dirinya.


Hari-hari berikutnya, Julius terus datang ke hutan. Dia membantu Lira berburu, belajar menyalakan api biasa, makan ikan bakar, bahkan tidur di bawah bintang-bintang. Lira tidak tahu tentang darah naga yang mengalir di tubuhnya, dan Julius tak pernah bilang.


Dia hanya tahu satu hal — bersama Lira, dia ngerasa manusia.


Tapi kedamaian di Eldoria gak pernah bertahan lama. Dari arah utara, muncul kabut hitam yang menelan hutan-hutan dan desa. Orang-orang bilang, penjaga naga yang dulu dikutuk, kini bangkit lagi. Dia disebut Raja Bayangan—makhluk yang iri karena naga pernah memberi api hanya kepada manusia.


Raja Bayangan ingin merebut kembali api itu—dan untuk itu, dia butuh jantung naga terakhir, yang kini bersemayam di tubuh Julius.


Ketika kabar sampai ke istana, Ratu Maren menatap anaknya dengan ketakutan yang sama seperti dulu dia melihat suaminya.

“Julius, kau harus sembunyi.”

Julius menggeleng. “Aku gak bisa sembunyi terus, Bu. Kalau aku kabur, Eldoria bakal hancur.”

“Api itu akan menguasaimu.”

“Biar. Asal aku bisa ngelindungin orang-orang yang aku sayang.”


Ratu meneteskan air mata. “Jangan ulangi kesalahan ayahmu.”

“Aku bukan dia,” jawab Julius, lirih.


Malam itu, Eldoria bersiap untuk perang. Kabut hitam makin dekat. Udara berbau besi dan kematian.


Di tengah hiruk pikuk pasukan, Lira datang mencari Julius. Rambutnya acak, wajahnya kotor, tapi matanya penuh amarah.

“Jules! Kamu mau mati, ya?!”

“Aku cuma mau nyelamatin semua orang.”

“Dengan cara bakar dirimu sendiri?”

Julius diam sebentar, lalu menggenggam tangannya. “Kalau nanti kamu lihat api di langit, jangan takut. Itu aku.”

Lira menatapnya tajam. “Kamu janji balik.”

Julius menggeleng pelan. “Aku gak bisa janji hal yang bahkan para dewa gak bisa janjiin.”


Lira menangis, tapi Julius tersenyum kecil. “Kalau aku gagal, Eldoria gak akan punya cahaya lagi.”


Ketika fajar datang, kabut menelan benteng pertama. Suara teriakan bergema di seluruh lembah. Dari pusaran bayangan, muncul sosok tinggi bermantel gelap—Raja Bayangan, dengan mata menyala seperti bara mati.


“Pewaris naga…” suaranya bergema seperti ribuan bisikan. “Serahkan jantungmu, dan aku bebaskan kerajaanmu.”


Julius melangkah maju, tanpa helm, tanpa perisai. Hanya zirah hitam berlapis perak yang memantulkan cahaya dari apinya sendiri.

“Kalau kau mau apiku,” katanya dingin, “datang dan ambil sendiri.”


Tanah bergetar. Api menyala di sekeliling Julius, memekarkan sayap dari bara. Udara berubah merah. Prajurit-prajurit mundur ketakutan, tapi Julius berdiri tegak.

Raja Bayangan tertawa kecil. “Kau pikir bisa kendalikan itu?”

“Aku gak mau kendalikan,” balas Julius. “Aku mau bebaskan.”


Api meledak, membentuk naga raksasa di langit. Kedua makhluk itu bertarung, siang berubah jadi malam. Kegelapan menelan tanah, dan setiap kali Julius menembakkan semburan api, kulitnya terkelupas, sisik merah muncul di tubuhnya.


Suara naga dalam dirinya kembali berteriak.

“LEPASKAN AKU!”

Julius berlutut, menahan sakit yang membakar dari dalam.

“Enggak. Aku bukan budakmu.”


Tapi kekuatan itu terlalu besar. Raja Bayangan mengangkat tangannya, dan tombak bayangan menghantam dada Julius. Darahnya mendidih, tapi dia masih berdiri.


Dari kejauhan, Lira melihat semuanya. Dia berlari menembus api, meskipun udara begitu panas sampai kulitnya nyaris melepuh.

“JULIUS!!”


Dia sampai di sisinya, memeluk tubuh Julius yang sudah separuh berubah jadi naga.

“Berhenti, kamu akan mati!”

Julius memegang wajahnya, napasnya berat. “Kalau aku berhenti… dunia bakal hancur.”

Lira menangis keras. “Tolong jangan pergi.”

Dia tersenyum. “Aku gak pergi. Aku cuma berubah bentuk.”


Raja Bayangan mendekat, menancapkan tongkatnya ke tanah. “Waktu naga berakhir. Aku akan ambil apimu.”


Julius menatap Lira sekali lagi. “Aku minta satu hal… jangan benci api ini. Karena dari sinilah cintaku lahir.”

Dia menutup matanya, dan melepaskan segalanya.


Ledakan cahaya membelah langit. Gunung retak, kabut lenyap, dan naga merah keemasan lahir dari tubuh Julius. Dia meraung, membakar bayangan sampai habis. Tapi api itu juga melahap dirinya sendiri.


Ketika semua selesai, hanya ada angin. Dari langit turun serpihan bara lembut, berkilau seperti bintang jatuh. Di tengahnya, Lira melihat kalung kecil berbentuk naga, masih hangat di tanah. Dia mengambilnya, memeluknya ke dada.


Tahun-tahun berlalu. Eldoria kembali damai, tapi langit utaranya selalu menyala merah setiap malam. Orang-orang bilang itu cuma aurora, tapi Lira tahu — itu Julius.


Setiap kali angin bertiup hangat, dia mendengar bisikan lembut:

“Aku masih di sini.”


Dan di bawah cahaya merah itu, Lira tersenyum. Api di jantung sang naga tak pernah padam — hanya berubah bentuk.

Legenda Julius Pradnya hidup, tidak di istana, tapi di langit.


Karena cinta sejati, kadang gak butuh akhir bahagia — cukup abadi.


Api terakhir padam di langit Eldoria, meninggalkan jejak cahaya yang menggantung lama seperti luka yang enggan sembuh. Angin malam berembus membawa abu hangat, menyelimuti tanah yang dulu terbakar perang. Di tengah hamparan itu, Lira berdiri sendiri, tubuhnya gemetar tapi matanya menatap langit tanpa berkedip.


Semua sunyi. Hanya ada suara napasnya dan desir halus bara yang jatuh pelan di rambutnya.

“Jules…” bisiknya pelan, seperti takut kalau suaranya akan memecahkan kedamaian baru yang terlalu rapuh.


Kalung naga di tangannya berdenyut hangat, seolah masih punya jantung sendiri. Setiap denyutnya terasa seperti langkah kaki Julius yang tak pernah kembali.


Beberapa hari setelah perang, langit Eldoria berubah warna — bukan lagi kelabu, tapi oranye keemasan setiap senja, seolah dunia meminjam sedikit cahaya dari api Julius yang tersisa. Hutan utara tumbuh kembali, tapi di tengahnya, tanah bekas medan perang tetap tandus, seperti luka yang dijaga agar tak pernah hilang.


Ratu Maren berdiri di balkon istana, menatap jauh ke arah utara. Rambutnya memutih, wajahnya lelah, tapi matanya lembut. Di tangannya, ia membawa baju zirah hitam Julius yang kini dingin dan kosong. “Anakku…” suaranya pecah. “Kau menyalakan dunia, dan dunia menyalakanmu kembali.”


Sejak hari itu, tak ada lagi pangeran di Eldoria. Tapi rakyat tidak berduka terlalu lama. Mereka menanam api dalam bentuk obor di setiap rumah, simbol pengorbanan Julius. Dan setiap tahun, pada malam langit merah, mereka berkumpul di lapangan tengah, menatap langit dan mengucapkan nama yang sama:


“Penjaga Jantung Naga.”


Lira tinggal di pinggir hutan, di rumah kecil yang menghadap danau. Setiap malam, ia duduk di tepi air, menatap pantulan cahaya merah yang menari di permukaan. Kadang, kalau angin datang dari arah utara, dia dengar bisikan lembut, suara yang begitu dikenalnya.

“Masih di sini, Lira.”


Kadang dia menutup mata, tersenyum samar, dan menjawab, “Aku tahu.”


Waktu berjalan. Rambut Lira mulai beruban, tapi api di kalung itu tak pernah padam. Kadang redup, kadang menyala terang, tergantung hatinya sendiri. Orang-orang bilang dia penyihir penjaga api naga. Tapi Lira tak peduli. Dia cuma seorang perempuan yang pernah mencintai lelaki yang memilih terbakar untuk dunia.


Dan di suatu malam, ketika bulan terbelah oleh awan, Lira merasakan sesuatu — hangat, familiar, seperti pelukan yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Kalung di dadanya bergetar, cahayanya makin kuat sampai ruangan kecilnya dipenuhi cahaya oranye lembut.


“Julius…” bisiknya.

Cahaya itu menjelma jadi siluet samar, sosok lelaki berambut gelap dengan mata yang berkilau seperti bara di ujung malam.

Keduanya saling menatap tanpa suara.


Lira tersenyum, air matanya jatuh pelan. “Kau janji balik.”

Julius tersenyum juga, tapi kali ini tidak getir — hanya tenang.

“Dan aku menepatinya. Aku gak pernah benar-benar pergi.”


Saat ia mengulurkan tangan, tubuhnya mulai larut jadi cahaya.

Lira menutup matanya, membiarkan hangat itu menyelimuti tubuhnya sampai napas terakhirnya keluar bersama senyum yang damai.


Pagi berikutnya, rakyat Eldoria menemukan rumah kecil itu kosong. Di tengah ruangan, hanya tersisa dua benda — kalung naga dan bunga api kecil yang menyala di udara, tak padam meski angin bertiup kencang.


Sejak hari itu, cahaya merah di langit Eldoria berubah bentuk. Kadang tampak seperti dua naga yang berputar di antara bintang, terbang berdampingan, tak pernah terpisah lagi.


Anak-anak tumbuh dengan cerita itu. Mereka percaya api di jantung naga bukan cuma sihir — tapi cinta yang memilih terbakar supaya dunia bisa tetap hangat.


Dan setiap kali malam turun, dan langit Eldoria berubah merah keemasan, para penutur tua akan mulai berbicara pelan di dekat api unggun:


“Pernah ada seorang pangeran bernama Julius Pradnya,

yang menyalakan dunia dengan hatinya sendiri.

Dia mencintai seorang gadis bernama Lira,

dan ketika dunia menuntut pengorbanan,

dia memilih terbakar —

agar cinta mereka bisa terus menerangi malam.”


Angin berembus lembut, membawa bara kecil ke langit.

Dan di antara bintang, dua cahaya merah menari pelan — seperti janji lama yang tidak pernah padam.


Api di Jantung Sang Naga masih menyala.

Bukan untuk menghancurkan. Tapi untuk mengingatkan bahwa cinta sejati tidak mati —

ia hanya berubah jadi cahaya.