Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Jejak yang Tertinggal di Bukit Kerapu

👤 A.A. Gede Agung Oka Suardwipa Dharma Putra 🏫 XI-12 🆔 25648

Kabut turun lebih cepat dari biasanya ketika senja merayap di desa Bukit Kerapu. Di desa kecil yang dikelilingi hutan pinus itu, cahaya matahari selalu tampak cepat sekali terseret pergi, seakan ada tangan tak terlihat yang menariknya masuk ke dalam gelap. Di balik bukit batu setinggi hampir sepuluh meter, ada sebuah rumah kayu tua yang sudah lama ditinggalkan penghuninya—begitu kata orang-orang. Bagi warga desa, rumah itu bukan sekadar bangunan kosong. Ia adalah tanda peringatan, semacam batas antara kehidupan normal dan dunia yang sebaiknya tidak diusik. Namun bagi seorang anak perempuan bernama Rana, rumah itu justru mengusik rasa penasaran yang sudah ia pendam sejak kecil.


Rana baru pindah lagi ke desa itu setelah bertahun-tahun tinggal di kota bersama ayah dan ibunya. Kepindahan itu bukan keputusan yang mudah. Ibunya baru saja mengalami kecelakaan mobil beberapa bulan lalu dan masih menjalani pemulihan. Dokter menyarankan lingkungan yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Desa Bukit Kerapu menjadi pilihan utama karena di sanalah keluarga besar ibunya tinggal. Namun ketenangan desa itu tidak benar-benar menenangkan Rana. Ada sesuatu yang terasa berbeda sejak ia menginjakkan kaki di sana. Bukan tentang heningnya malam, bukan pula tentang angin yang selalu membawa aroma tanah basah. Ada sesuatu yang lain—yang tak bisa ia jelaskan.


Rumah nenek berada tak jauh dari bukit berbatu yang menjulang. Dari jendela kamar Rana, ia bisa melihat puncak bukit dan bagian atap rumah tua yang mangkrak itu. Warnanya kusam, kayunya seperti hampir runtuh. Namun setiap kali Rana menatapnya lama-lama, ia merasa seolah rumah itu menatap balik. “Jangan terlalu dekat ke bukit itu,” pesan Nenek suatu sore ketika melihat Rana mengamati rumah tua itu. “Kenapa?” tanya Rana. “Rumah itu membawa sial,” jawab Nenek singkat. “Sudah banyak cerita buruk terjadi di sana.”


Rana menelan ludah, tapi rasa ingin tahunya justru semakin menjadi. Gadis itu mencoba mencari tahu dari anak-anak seumuran di desa. Namun sebagian besar dari mereka hanya berani memberi jawaban sepotong-sepotong. “Katanya dulu ada keluarga tinggal di sana,” ujar Dito, teman sekelasnya. “Tapi satu malam mereka semua lenyap.” “Lenyap gimana?” “Ya… lenyap. Nggak ditemukan mayat, nggak ditemukan jejak. Kayak hilang begitu aja.” Anak lainnya menambahkan versi yang berbeda: ada yang bilang keluarga itu dihantui, ada yang bilang rumah itu memiliki lorong tersembunyi, ada juga yang bilang suara anak kecil sering terdengar di malam hari. Semua terdengar seperti cerita menakut-nakuti anak-anak, tapi Rana merasa ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar legenda.


Pada malam keempat sejak kepindahannya, Rana terbangun karena mendengar ketukan pelan di jendela kamarnya. Tok… tok… tok… Suara itu sangat halus, seperti ranting dipukul angin. Namun ketika ia mendekatkan telinga, suara itu berubah. “Rana…” Rana membeku. “Rana… tolong…” Ia menelan ludah. Ketika membuka tirai, tidak ada apa-apa di luar—hanya kabut pekat dan bayangan bukit yang gelap. Esok paginya ia tampak lemas. Ibunya bertanya apakah ia kurang tidur. Rana hanya menjawab ada suara aneh tadi malam. Ibunya menenangkan, mengatakan bahwa angin sering menggerakkan pohon. Tapi Rana tahu suara itu bukan angin. Itu suara anak kecil. Dan anehnya, suara itu terasa familiar.


Seminggu kemudian, ketika membantu Nenek memindahkan barang-barang lama di gudang, Rana menemukan sebuah kotak kayu kecil tertutup kain putih. Di dalamnya ada foto lama: dirinya saat kecil bersama dua anak lain, berdiri di depan rumah tua di bukit itu. Rana mengerutkan kening. Seingatnya, ia tidak pernah bermain dengan anak selain sepupunya. “Jangan buka itu,” kata Nenek terburu-buru. “Nenek… siapa anak-anak itu? Aku kenal mereka?” tanya Rana. Nenek terdiam lama sebelum menjawab dengan suara berat. “Kamu memang pernah bermain dengan dua anak dari keluarga yang tinggal di rumah tua itu. Tapi setelah mereka hilang, kamu jatuh sakit dan lupa semuanya. Dokter bilang mungkin traumanya terlalu besar.” Rana merinding. “Kenapa nggak ada yang bilang dari dulu?” “Kami takut membuatmu ketakutan lagi.” Namun suara yang ia dengar malam itu kembali terngiang, membuatnya yakin ingatannya menyimpan sesuatu yang tersembunyi.


Sore berikutnya, Rana berjalan ke bukit tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia membawa senter dan jaket. Saat mendekati rumah tua, udara menjadi jauh lebih dingin. Rumah itu lebih besar dari bayangannya. Kayunya rapuh, jendelanya pecah, pintunya miring. Tapi yang paling membuatnya ketakutan adalah suara lirih dari dalam rumah. “Rana…” Ia menelan ludah dan melangkah masuk. Rumah itu gelap dan berdebu. Tangga ke lantai dua berderit pelan. Dari atas, suara itu terdengar lagi. “Ingat kami…”


Dengan napas yang tidak teratur, ia naik tangga. Lorong lantai dua terasa panjang. Ada satu kamar di ujungnya, pintunya terbuka setengah. Rana mendorongnya perlahan. Di dalamnya ada dua ranjang kecil dan dinding penuh coretan anak-anak—rumah, pohon, dan dua anak berpegangan tangan. Di antara gambar itu ada gambar tiga anak: dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan—Rana. Mendadak kepalanya terasa berdenyut. Kilasan tawa, permainan, hingga teriakan samar muncul di benaknya.


Angin kencang menerjang kamar dan pintu tertutup keras. Senter padam. Dalam gelap, terdengar langkah kecil. Dua sosok kabur muncul dari sudut ruangan—anak kecil berwajah pucat. “Kamu akhirnya datang,” kata salah satu. “Kami menunggumu.” Rana mundur, tubuhnya gemetar. “K-kalian siapa?” “Kami Ardi dan Danu,” jawab mereka. “Temanmu dulu… dan kamu satu-satunya yang tahu apa yang terjadi.” Rana mulai mengingat malam itu—keributan, jeritan, dan dirinya melihat dua anak itu diseret menuju ruang bawah tanah. “Tidak…” ucap Rana. “Aku masih kecil. Aku takut.” “Sekarang kamu sudah besar,” kata Danu. “Tolong kami. Temukan jasad kami.”


Dengan ketakutan yang bercampur tekad, Rana mengikuti mereka ke balik lemari tua di kamar itu. Ada pintu kecil, lalu tangga curam menuju ruang bawah tanah. Udara di sana busuk dan lembap. Di ujung ruangan ada pintu besi. Rana membukanya, dan dunia seakan runtuh di depan matanya. Di sana ada tumpukan kain lapuk, serpihan tulang kecil, dan sebuah kalung yang ia ingat pernah dipakai salah satu dari mereka. “Maaf…” isak Rana. “Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan.” “Kamu sudah melakukan cukup,” ujar Ardi. Cahaya hangat memenuhi ruangan saat kedua sosok itu perlahan memudar. “Terima kasih, Rana.”


Keesokan paginya, polisi dan warga memenuhi bukit setelah laporan dari Rana. Penemuan jasad keluarga yang hilang itu menggemparkan desa. Nenek memeluknya sambil menangis. Ibunya memeluk erat tanpa sepatah kata pun. Misteri puluhan tahun akhirnya terungkap. Ketika sore menyoroti bukit, Rana kembali memandang rumah tua itu. Tidak ada lagi suara memanggil, tidak ada lagi ketukan malam hari. Hanya keheningan yang jauh lebih damai dari sebelumnya.

Namun setelah semuanya mereda, hidup Rana tidak kembali normal begitu saja. Malam-malam berikutnya ia masih sering terbangun dengan perasaan gelisah. Bukan karena suara-suara aneh, bukan karena bayangan sosok anak-anak itu, melainkan karena sebuah kekosongan baru yang ia rasakan—sebuah rasa kehilangan yang muncul justru setelah kebenaran terungkap. Ia baru benar-benar menyadari bahwa ia pernah memiliki dua teman masa kecil yang sangat dekat, tapi kenangan tentang mereka hilang begitu lama hingga ia bahkan tidak tahu bahwa dirinya kehilangan sesuatu.


Di sekolah, teman-temannya mulai membicarakan keberaniannya. Banyak yang memuji, beberapa ada yang takut, dan tidak sedikit yang diam-diam mendekatinya hanya karena rasa penasaran. Namun Rana tidak terlalu memedulikannya. Ia lebih sering duduk sendirian di belakang kelas, memandangi jendela dan pohon-pohon pinus yang bergoyang diterpa angin. Kadang-kadang, ia merasa ada yang memperhatikannya, tapi ketika menoleh, yang ada hanya bayangan daun.


Guru Bahasa Indonesia-nya, Bu Rasti, pernah memanggilnya seusai kelas. “Rana, kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat,” katanya lembut. Rana hanya mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semua yang terjadi. Jika ia bercerita apa adanya, mungkin guru itu akan menganggapnya berhalusinasi. Tapi Bu Rasti tidak memaksa. “Kalau kamu butuh cerita atau butuh bantuan, pintu ruang guru selalu terbuka.”


Perhatian kecil itu membuat hati Rana sedikit hangat. Sejak kepindahan ke desa, ini pertama kalinya seseorang di luar keluarga menunjukkan empati kepadanya. Namun meski begitu, ada satu hal yang masih mengganggunya. Ia mulai bertanya-tanya: kalau dua anak itu hilang, bagaimana dengan orang tua mereka? Apakah mereka juga menjadi korban? Atau ada sesuatu yang lebih besar terjadi malam itu yang belum terungkap seluruhnya?


Rasa penasaran itu semakin kuat ketika suatu hari polisi datang ke rumah nenek. Mereka menanyakan beberapa hal tambahan tentang ingatan Rana. “Apakah kamu melihat orang dewasa malam itu?” “Apakah kamu mendengar suara lain selain teriakan?” “Apakah kamu melihat pintu lain di ruang bawah tanah?” Rana mencoba mengingat, tapi setiap kali ia memaksa pikirannya, ia kembali merasakan sakit kepala yang sama seperti di rumah tua itu.


Saat polisi pergi, Nenek menatap Rana lama. “Nak, ada hal-hal yang mungkin lebih baik tidak diingat.”

“Tapi Nek,” balas Rana, “kalau aku bisa membantu, bukankah aku harus ingat?”

Nenek menghela napas panjang. “Nenek hanya takut kamu terluka lagi.”

“Aku sudah terluka sejak kecil,” jawab Rana pelan. “Aku cuma nggak sadar aja.”


Malam itu, Rana duduk di teras rumah sambil memandangi bukit yang mulai gelap. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, rumah tua tersebut tidak tampak menakutkan. Justru terlihat sunyi, seperti bangunan yang akhirnya bisa beristirahat setelah bertahun-tahun menyimpan rahasia. Angin malam berhembus lembut. Tidak ada suara memanggil. Tidak ada bisikan halus. Hanya suara jangkrik dan desir dedaunan.


Namun tiba-tiba, Rana melihat sebuah cahaya kecil bergerak di sekitar halaman rumah tua itu. Seperti cahaya kunang-kunang, namun warnanya lebih putih dan bergerak lebih cepat. Rana memperhatikan dengan teliti. Semakin lama cahaya itu semakin naik dan kemudian memudar. Rana tersenyum samar. Ia tidak tahu apakah itu hanya pantulan cahaya bulan atau sesuatu yang lain. Tapi entah bagaimana, ia merasa itu adalah salam perpisahan.


Beberapa hari kemudian, pemerintah desa memutuskan untuk merobohkan rumah tua tersebut demi alasan keamanan. Banyak warga datang menonton. Rana pun ikut berdiri di belakang garis pengaman. Ketika alat berat mulai menggigit kayu-kayu lapuk itu, Rana merasakan dadanya sedikit sesak, seolah ia sedang mengucapkan selamat tinggal pada sebagian kecil dari dirinya sendiri.


Saat rumah itu akhirnya rata dengan tanah, Rana menutup mata. Dalam kegelapan di balik kelopak mata, ia mendengar tawa kecil samar—bukan tangisan, bukan bisikan meminta tolong. Melainkan suara yang terdengar seperti ucapan terima kasih. Ketika ia membuka mata, rumah itu telah hilang sepenuhnya. Hanya tanah kosong yang tersisa.


Meski begitu, Rana tahu satu hal: rahasia masa lalunya mungkin telah ditutup, tetapi hidupnya baru saja dimulai ulang. Ia kini mengerti bahwa keberanian bukan hanya soal melawan rasa takut, tapi juga menghadapi ingatan yang terluka. Dan walaupun dua temannya sudah pergi selamanya, ikatan mereka tetap ada—tersimpan jauh di dalam dirinya, dalam tempat yang tidak bisa lagi hilang.