Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Lampu di ujung gang

👤 I Dewa Gede Yogi Krisnadhi Baskara 🏫 XI-12 🆔 25939

Di ujung sebuah gang sempit yang sering dilewati warga, berdiri sebuah lampu tua yang selalu menyala setiap malam. Lampu itu tampak sederhana, terbuat dari besi yang mulai berkarat dan kaca buram yang menguning. Namun bagi warga Gang Melati, lampu itu bukan sekadar sumber cahaya. Ia adalah penjaga malam, penanda arah pulang, dan saksi bisu kehidupan yang terus berubah.




Gang Melati adalah gang kecil yang menghubungkan dua jalan besar. Pada siang hari, gang itu ramai oleh suara ibu-ibu yang membeli sayur, anak-anak yang berlarian membawa bola plastik, dan pedagang yang memanggil pembeli. Bau gorengan, aroma sate bakar, dan wangi kue tradisional bercampur menjadi satu, membuat gang itu terasa hidup. Tetapi ketika malam tiba, suasana berganti menjadi hening. Angin malam menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah warga, dan suara tikus kadang terdengar dari balik tumpukan kardus di sudut gang.




Di tengah keheningan itulah lampu tua itu bersinar. Cahaya kekuningannya memantul di dinding rumah-rumah kecil, membuat bayangan panjang yang bergerak ketika angin bertiup. Bagi sebagian orang, cahaya lampu itu biasa saja. Namun bagi warga Gang Melati, cahaya itu memiliki makna yang lebih dalam.




Salah satu orang yang paling menyukai lampu itu adalah Dika, anak laki-laki berusia tiga belas tahun yang tinggal bersama ibunya. Setiap malam, Dika melewati gang itu sepulang dari mengaji. Ia selalu berhenti barang satu atau dua menit untuk memandangi lampu itu, seolah cahaya lembutnya memberi kenyamanan tersendiri.




Dika pernah mendengar ibunya berkata bahwa lampu itu dipasang jauh sebelum ia lahir. Dahulu, gang itu pernah menjadi tempat yang sangat gelap, dan ada beberapa kejadian yang membuat warga takut untuk lewat. Sejak lampu itu dipasang oleh seorang warga yang sudah lama meninggal, gang menjadi lebih aman.




Namun tidak semua orang menyukai lampu tersebut. Salah satunya adalah Pak RT, seorang pria paruh baya yang terkenal tegas dan keras kepala. Ia selalu mengeluh bahwa lampu itu sudah terlalu tua, memakan biaya listrik, dan tidak sesuai standar keamanan. Ia pernah beberapa kali meminta warga menggantinya, namun tidak ada yang menyetujui. Warga merasa lampu itu sudah seperti warisan. Bukan hanya benda, tetapi simbol kebersamaan.




Pada suatu malam, ketika langit tampak mendung dan suara guntur menggema dari kejauhan, Dika pulang lebih malam dari biasanya. Mengajinya selesai terlambat karena ustaz mengumumkan persiapan acara Maulid. Ketika memasuki gang, ia mendapati sesuatu yang aneh. Lampu tua itu berkedip-kedip, seolah kelelahan setelah bertahun-tahun bertugas. Cahaya yang biasanya stabil berubah menjadi redup terang secara acak.




Dika mendekat, berdiri tepat di bawahnya. Dari arah lain, muncul Bayu dan Mira, dua temannya yang tinggal tak jauh dari tempat itu.




“Kalian lihat lampunya?” tanya Dika sambil menunjuk ke atas.




“Iya, dari tadi kedip-kedip,” jawab Mira. “Ayah bilang mungkin mau mati.”




“Halah, paling hanya kabelnya longgar,” sahut Bayu.




Namun ketika mereka masih memperhatikan lampu itu, sebuah suara keras terdengar dari ujung gang. Pak RT muncul sambil membawa tangga kecil dan senter. Di belakangnya ada dua orang petugas kelurahan yang membawa alat-alat.




“Nah, pas sekali. Lampu ini memang harus diganti,” kata Pak RT dengan nada puas.




Dika dan teman-temannya saling pandang. Mereka tahu warga lain pasti tidak setuju.




“Pak, tapi warga kan belum setuju mau diganti,” kata Mira memberanikan diri.




Pak RT meliriknya. “Lampu ini bahaya. Kalau meledak bagaimana? Atau jatuh menimpa orang? Tugas saya menjaga keselamatan warga.”




“Tapi lampu ini penting buat orang-orang, Pak,” sambung Bayu.




Pak RT mengibaskan tangan. “Kalian anak-anak tidak tahu apa-apa. Mengalah saja.”




Tanpa menunggu jawaban, Pak RT memerintahkan petugas memanjat tangga. Dika merasa ada yang tidak beres. Ia berlari ke rumah Bu Wati, ketua kelompok ibu-ibu sekaligus orang yang paling vokal soal mempertahankan lampu itu.




Dalam hitungan menit, warga mulai keluar rumah, heran melihat Pak RT yang hendak mencopot lampu. Keributan kecil mulai muncul. Beberapa warga langsung berdiri menghalangi petugas.




“Pak RT, lampu ini sudah seperti bagian dari gang kita,” kata Bu Wati dengan suara tegas. “Kalau mau diganti, kita bicarakan dulu di musyawarah.”




“Kalau rapat mulu kapan majunya kampung ini? Ini urusan kecil,” balas Pak RT.




“Justru karena kecil, jangan diputuskan sendiri,” jawab warga lain.




Suasana semakin panas. Anak-anak berhenti bermain, orang-orang yang sedang makan malam keluar rumah, dan beberapa pedagang kecil menghentikan aktivitasnya untuk melihat pertengkaran yang semakin memanas.




Di tengah keributan, seorang nenek berusia hampir delapan puluh tahun keluar dari rumahnya. Namanya Nenek Sari, satu-satunya warga yang hidup sejak lampu itu pertama kali dipasang. Rambutnya memutih, langkahnya pelan, namun wibawanya tak pernah luntur.




“Berhenti bertengkar,” ucap Nenek Sari dengan suara rendah namun tegas. Suasana langsung mereda.




Nenek Sari berjalan mendekati lampu tua itu dan menatapnya lama. Semua orang menunggu apa yang akan ia katakan.




“Lampu ini dipasang oleh suami saya tiga puluh lima tahun lalu,” ujarnya perlahan. “Dulu, gang ini gelap dan banyak kejadian buruk. Ada yang kehilangan barang, ada yang hampir dirampok. Suami saya memasang lampu ini dengan uang tabungannya sendiri karena ingin warga merasa aman.”




Beberapa warga tertegun. Tidak semua tahu kisah itu.




“Sejak lampu ini menyala, banyak hal berubah. Anak-anak bisa pulang malam dengan tenang. Para ibu tidak takut berjalan pulang dari pasar. Banyak warga baru betah tinggal di sini karena merasa aman.”




Nenek Sari menatap Pak RT. “Lampu ini mungkin tua, tapi ia bukan sekadar benda. Ia adalah warisan kepedulian. Kalau hendak diganti, kita harus sepakat bersama. Bukan diputuskan satu orang.”




Pak RT terdiam. Ia tidak menyangka penjelasan itu. Warga mulai mengangguk setuju. Namun tiba-tiba langit kembali berpetir. Angin bertiup lebih kencang. Dari kejauhan, suara hujan mulai terdengar.




“Lampunya kembali berkedip,” kata Bayu panik.




Tiba-tiba lampu itu padam sepenuhnya. Gang mendadak gelap total.




Suara gumam terdengar di mana-mana. Anak-anak memegang tangan orang tua mereka. Dika merasakan dada berdebar. Gang itu tidak pernah gelap selama ia hidup. Perasaan aneh merayap, antara tak aman dan sepi.




Petugas kelurahan buru-buru menyalakan senter, menerangi sekitar. Pak RT tampak bingung, sementara warga mulai mencari cara agar lampu itu kembali menyala.




Bu Wati mendekati Nenek Sari. “Nek, lampunya kenapa?”




Nenek Sari menatap lampu itu lama. “Mungkin ia sudah lelah. Tidak ada yang bisa bertugas selamanya. Tapi kalau lampu ini mati, kita harus menggantinya bersama. Dengan cara yang menghormati sejarahnya.”




Setelah diskusi cepat, warga setuju memperbaiki lampu itu malam itu juga. Mereka bekerja sama. Para bapak mengambil kabel cadangan, ibu-ibu menyediakan termos teh hangat. Anak-anak membantu memegang senter. Pak RT ikut memperbaiki, meski dengan wajah canggung.




Setelah hampir satu jam, lampu itu akhirnya kembali menyala perlahan. Cahaya kuningnya muncul seperti napas baru. Warga bersorak lega. Dika menatap lampu itu dengan senyum lebar.




Namun sesuatu yang menarik terjadi. Lampu itu bersinar lebih terang dari biasanya, seolah-olah ia pun merasa bahagia melihat warganya bersatu.




Sejak malam itu, gang kembali hidup seperti biasa. Lampu tua itu tetap berada di tempatnya, tetapi warga sepakat untuk membuat jadwal perawatan rutin. Mereka juga memutuskan untuk memasang lampu tambahan di beberapa titik, namun lampu tua di ujung gang tetap menjadi lampu utama, simbol yang tidak boleh diganggu.




Pak RT berubah sikap. Ia tidak lagi mengatur sepihak. Ia lebih sering mengajak warga musyawarah. Beberapa kali ia bahkan terlihat duduk bersama nenek Sari sambil minum teh.




Dika pun selalu merasa lebih nyaman setiap kali melewati gang itu. Baginya, lampu itu bukan sekadar benda penerang, tetapi saksi dari kekuatan kebersamaan.




Dan di setiap malam ketika lampu itu menyala, warga Gang Melati tahu satu hal: selama mereka bersatu, mereka tidak akan pernah berada dalam kegelapan.Sejak lampu tua itu diperbaiki, suasana di Gang Melati menjadi lebih hangat. Warga merasa lebih rukun, lebih senang bekerja sama, dan lebih saling menghargai. Namun di balik semua itu, tidak ada yang menyangka bahwa lampu tua tersebut masih menyimpan cerita lama yang belum pernah terungkap.




Dika adalah orang pertama yang merasakan ada sesuatu yang berbeda. Beberapa hari setelah kejadian malam itu, ia memperhatikan bahwa cahaya lampu tersebut tampak berubah pada jam-jam tertentu. Jika biasanya cahayanya stabil dan kuning lembut, kini ada saat-saat tertentu di mana cahaya lampu itu berdenyut pelan, seolah-olah berdetak seperti jantung.




Awalnya Dika pikir itu hanya perasaannya saja. Namun setelah tiga malam berturut-turut ia memperhatikan hal yang sama, ia mulai bertanya-tanya. Suatu malam, ketika ia pulang tepat ketika jam menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas, ia kembali melihat cahaya itu berdenyut perlahan. Tidak terasa gang itu menjadi sangat sunyi. Bahkan suara jangkrik terdengar semakin jelas.




Dika menatap lampu itu dari bawah. “Kamu kenapa?” gumamnya.




Tiba-tiba terdengar suara langkah kecil mendekat. Ternyata itu Bayu dan Mira.




“Dek, kamu ngapain bengong ke atas?” tanya Mira.




“Lampunya. Lihat deh, cahayanya beda,” jawab Dika.




Bayu menatap lampu itu, lalu mengerutkan alis. “Kok kaya berkedip ya. Tapi bukan kedip rusak. Lebih kayak… sinyal.”




“Tuh kan,” kata Dika. “Aku pikir cuma aku yang lihat.”




Mira memeluk tasnya erat-erat. “Aku merinding. Jangan-jangan ada sesuatu.”




Dika mengambil keputusan cepat. “Besok sore, kita tanya Nenek Sari. Mungkin beliau tahu sesuatu.”










Keesokan sorenya, mereka bertiga berdiri di depan rumah Nenek Sari. Pintu kayu itu terbuka pelan, dan nenek itu muncul dengan senyum sabar seperti biasa.




“Kalian datang untuk apa, anak-anak?”




Dika, yang paling berani, langsung bicara. “Nek, lampu di ujung gang kedip-kedip lagi. Tapi beda. Kayak ada pola.”




Mata Nenek Sari tampak berubah sedikit. Ada kilasan tertentu, seperti sesuatu yang ia tahu namun tidak ingin diingat.




“Masuk dulu,” ucapnya akhirnya.




Mereka duduk di ruang tamu kecil yang dipenuhi foto-foto lama. Ada foto suami Nenek Sari yang memasang lampu itu, ada foto bapak-bapak kampung pada masa muda, dan beberapa foto festival kampung tempo dulu.




Nenek Sari duduk di kursi kayu dan menarik napas panjang. “Kalian tidak salah. Lampu itu memang berbeda dari lampu biasa.”




Ketiganya langsung menegang.




“Suami saya memasang lampu itu bukan hanya untuk penerangan,” lanjut Nenek Sari. “Ia memasangnya sebagai penanda. Cahaya itu bisa berubah jika ada sesuatu yang tidak biasa di sekitar gang.”




Mira menelan ludah. “Tidak biasa itu seperti apa, Nek?”




“Bisa banyak hal,” jawab nenek itu. “Dahulu, sebelum gang ini seramai sekarang, ada kejadian-kejadian yang membuat warga resah. Suami saya memasang lampu itu dengan mekanisme khusus. Lampu itu bisa merespons getaran atau aktivitas yang mencurigakan.”




“Jadi ini semacam alarm kuno?” tanya Bayu.




“Begitulah. Jika cahayanya berdenyut perlahan, itu berarti ada sesuatu yang bergerak pada waktu yang tidak seharusnya.”




Dika merinding mendengarnya. “Maksudnya… orang?”




“Tidak selalu orang.” Nenek Sari memandang mereka serius. “Kadang bisa hewan liar. Kadang hal-hal lain.”




Ruangan itu mendadak hening.






---




Malam berikutnya, Dika sengaja keluar rumah pukul sembilan lewat lima belas. Ia ingin memastikan apa sebenarnya yang menyebabkan cahaya lampu itu berdetak. Ia berdiri di bawah lampu, menunggu dengan tegang.




Namun malam itu berbeda. Lampu berkedip lebih cepat dari sebelumnya. Angin di gang yang biasanya sejuk mendadak terasa dingin. Dari ujung gang, terdengar suara langkah pelan. Bukan suara manusia dewasa, bukan pula suara anak-anak. Suara itu seperti gesekan ringan, cepat, lalu hilang, lalu muncul lagi. Dika mencoba menajamkan pendengarannya.




“Siapa di sana?” tanya Dika.




Tidak ada jawaban.




Namun suara itu terdengar semakin dekat.




Bayu dan Mira muncul dari sisi kanan gang dengan napas ngos-ngosan. “Dika. Lampunya kedip lagi?”




Dika mengangguk. “Tapi lebih cepat.”




Mira memegang lengan Dika. “Kita pulang saja. Aku tidak enak perasaan.”




Tiba-tiba suara langkah itu berhenti total.




Gang menjadi sangat sunyi.




Lampu berkedip lebih cepat.




Bayu memelototi ujung gang. “Dek. Lihat itu.”




Di ujung gang, di balik bayangan tembok, tampak sesuatu bergerak. Tidak terlalu jelas, tetapi bentuknya kecil, seolah-olah seseorang sedang bersembunyi. Dika mencoba memfokuskan pandangannya. Cahaya lampu berdenyut tepat saat bayangan itu bergerak sedikit ke depan.




“Siapa itu?” teriak Bayu.




Bayangan itu berlari.




Ketiganya spontan mundur. Dika merasakan jantungnya berdegup keras. Bayu ingin lari, tetapi Dika menahannya.




“Kita ke rumah Pak RT. Cepat,” kata Dika.




Mereka bertiga berlari menyusuri gang. Sesampainya di rumah Pak RT, mereka mengetuk pintu berkali-kali sampai pria itu keluar dengan wajah bingung.




“Kalian kenapa?”




“Pak. Ada sesuatu di ujung gang,” kata Dika terengah-engah. “Lampunya kedip cepat. Ada yang bergerak.”




Pak RT yang awalnya tidak percaya langsung berubah serius. Ia mengambil senter besar lalu berjalan cepat menuju ujung gang dengan ketiganya mengikuti.




Namun ketika mereka tiba, gang itu kosong. Tidak ada bayangan, tidak ada suara. Hanya lampu tua yang sudah kembali berkedip pelan.