Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Liburan Tanpa Sinyal

👤 Kadek Budha Wicaksana 🏫 XI-12 🆔 25668



Hani menatap layar ponselnya yang gelap untuk kesekian kali. Tidak ada sinyal. Tidak ada bar. Tidak ada ikon Wi-Fi. Tidak ada harapan.


“Bu kita beneran harus ke sini?” keluh Hani untuk ketiga kalinya sejak mobil mereka berhenti di parkiran kecil di depan sebuah penginapan kayu.


Ibunya tertawa kecil. “Iya, Nak. Ini liburan keluarga. Kamu butuh istirahat dari dunia digital. Sudah terlalu sering main ponsel.”


“Itu disebut riset,” bantah Hani setengah bercanda. “Riset tren konten.”


Ayah menepuk bahunya. “Justru karena kamu terus riset, otakmu perlu liburan.”


Hani tidak bisa membantah. Liburan kali ini sudah direncanakan jauh sebelum ujian akhir. Setelah nilai keluar, orang tuanya langsung mengeksekusi rencana: liburan tiga hari di sebuah desa pegunungan bernama Batu Atas—tempat yang, menurut brosur, ‘menawarkan ketenangan alami jauh dari kebisingan kota’.


Dalam brosur itu, kata jauh ternyata berarti jauh dari mana saja, termasuk dari sinyal.


Saat mereka berjalan menuju penginapan, kakaknya, Dito, menuju teras dan menghirup udara dalam-dalam. “Seger banget! Beda jauh dari Jakarta.”


Hani mendengus kecil. “Aku lebih suka AC.”


Penginapan itu sederhana tapi nyaman. Lantainya dari kayu pinus yang wangi, dindingnya dipenuhi foto-foto pemandangan desa, dan ada perapian kecil yang hangat. Mereka disambut oleh seorang perempuan tua berkacamata bernama Nenek Kirana, pemilik penginapan.


“Selamat datang,” ujarnya dengan suara hangat. “Kamar kalian sudah siap. Makan malam nanti jam tujuh. Kalau ingin melihat matahari terbit, kalian bisa bangun jam lima dan naik ke bukit belakang.”


“Nah, itu! Kita harus coba,” kata Dito bersemangat.


Hani hanya menatap kakaknya tanpa minat. Bangun jam lima? Untuk melihat matahari? Ia bisa melihat matahari kapan saja dari jendela kamarnya—dengan AC menyala.


Hari pertama berjalan lambat. Terlalu lambat untuk ukuran Hani yang terbiasa membaca notifikasi berantai, scroll tak berkesudahan, dan suara klakson mobil kota.


Ayahnya membaca buku. Ibunya membuat sketsa pemandangan. Dito duduk di teras sambil memainkan gitar. Hani mencoba membaca novel yang ia bawa, tapi pikirannya melayang ke ponsel yang kini hanya berfungsi sebagai kamera dan jam.


Ia mulai berjalan tanpa tujuan, menyusuri jalan setapak kecil yang membelah desa. Udara terasa lembap tapi segar. Bukit-bukit hijau mengelilingi desa seperti tembok raksasa—keren kalau dipotret, pikirnya, tapi tetap tidak bisa diunggah.


Setelah beberapa menit, Hani mendengar suara air mengalir. Ia mengikuti suara itu hingga menemukan sungai jernih dengan bebatuan besar di pinggirnya. Di sana ada seorang anak laki-laki sebaya dirinya, berdiri dengan celana digulung sampai lutut, memandangi ikan kecil yang berenang.


Anak itu menoleh saat mendengar langkah Hani. “Kamu turis, ya?”


Hani mengangguk. “Iya. Dari Jakarta.”


“Namamu siapa?”


“Hani. Kamu?”


“Ligar,” jawabnya sambil tersenyum. “Mau lihat ikan di sini? Biasanya banyak, tapi hari ini agak sedikit.”


Hani berdiri di pinggir sungai, memperhatikan ikan-ikan kecil berwarna perak yang bergerak cepat. “Bagus juga.”


“Kamu lagi liburan?”


Hani menghela napas. “Iya. Tapi… di sini nggak ada sinyal.”


Ligar tertawa. “Ya memang. Di sini semua orang sudah terbiasa.”


“Tapi aku kerja pakai ponsel.”


“Aku kira kamu masih sekolah.”


“Maksudnya… ya sekolah juga. Tapi aku bikin konten. Review buku, vlog, hal-hal begitu.”


“Wah, seru. Tapi kehidupan di dunia nyata juga seru,” kata Ligar sambil mengambil kerikil kecil. “Banyak hal bisa dilihat kalau kamu nggak sibuk lihat layar.”


Hani ingin membantah, tapi ia tidak menemukan argumen yang cukup kuat. Ligar melempar kerikil itu, menciptakan riak kecil di permukaan sungai.


“Kamu mau ikut keliling desa? Aku bisa tunjukin tempat-tempat bagus.”


Hani ragu. Tapi ia juga sudah bosan berjalan sendirian. “Ya udah.”


Desa Batu Atas ternyata jauh lebih hidup daripada yang Hani duga. Ligar mengajaknya ke kebun apel milik warga, ke sawah hijau yang membentang luas, ke lumbung kayu tua yang dipenuhi jerami, bahkan ke warung kecil yang menjual roti goreng hangat.


Hani mencicipi satu roti dan langsung terkejut. “Enak banget!”


“Kami bikin sendiri,” kata ibu warung. “Pakai resep turun-temurun.”


Hani memotret roti itu. “Sayang nggak bisa upload…”


Ligar tersenyum. “Nanti kalau sudah pulang kota, kamu bisa. Sekarang nikmati dulu.”


Hani tidak menjawab, tapi ia kembali menggigit roti itu dengan lebih pelan, mencoba menikmati rasa manis dan gurihnya.


Perjalanan mereka berlanjut hingga menjelang sore. Ligar menunjukkan sebuah tempat yang ia sebut sebagai ‘rumah angin’, yaitu sebuah gundukan bukit kecil dengan rumput halus dan angin konstan yang berembus sejuk.


Dari sana, desa terlihat seperti miniatur. Atap-atap rumah, ladang hijau, sungai yang berkelok—semuanya terlihat damai.


“Indah, kan?” kata Ligar.


Hani mengangguk, kali ini tanpa keluhan. “Iya. Indah banget.”


“Kamu bisa datang lagi besok. Kita bisa lihat burung-burung pagi.”


“Aku belum tahu jadwal keluarga, tapi kalau bisa… ya, aku mau.”


Untuk pertama kalinya sejak tiba, Hani merasa liburannya mungkin tidak seburuk yang ia kira.


Malamnya, setelah makan malam dan mengobrol sebentar dengan keluarganya di ruang perapian, Hani duduk di balkon kamar bersama selimut kecil yang diberikan ibunya.


Angin malam membawa aroma dedaunan basah. Langit penuh bintang—lebih banyak daripada yang pernah ia lihat di kota.


“Besok kita lihat matahari terbit, ya?” suara Dito muncul sambil membawa dua cangkir coklat panas.


“Kak Dito mau bangun pagi?” tanya Hani heran.


“Cuma liburan begini, masa nggak dicoba?” Kakaknya duduk di sampingnya. “Tadi aku lihat kamu jalan sama anak lokal. Temen baru ya?”


“Namanya Ligar.”


“Kelihatannya kamu mulai menikmati tempat ini.”


Hani menatap langit lagi. “Kayaknya… iya. Ternyata lumayan.”


Dito tersenyum lega. “Tuh kan. Kadang kita harus jauh dulu buat lihat hal baru.”


“Dan nggak ada sinyal,” tambah Hani pendek.


“Itu justru bonus.”


Mereka tertawa kecil bersama.


Keesokan paginya, Hani bangun sebelum alarm berbunyi. Ia tidak tahu apa yang membuatnya semangat—mungkin janji melihat matahari terbit, mungkin harapan bertemu Ligar lagi, mungkin karena ia mulai merasakan ritme baru di desa itu.


Ia memakai jaket, lalu keluar kamar. Dito sudah menunggunya di teras bersama ibu dan ayah.


“Siap?” kata ayah.


“Siap.”


Mereka berjalan melalui jalan kecil di belakang penginapan. Udara dingin menusuk pipi, tapi langit perlahan berubah dari gelap menuju biru muda. Di kejauhan, lembah masih diselimuti kabut putih yang bergerak pelan.


Sesampainya di puncak bukit kecil, beberapa wisatawan lain sudah berkumpul. Hani tidak melihat Ligar—mungkin ia masih tidur.


Ketika matahari muncul sebagai garis tipis oranye di balik gunung, semua orang terdiam.


Hani merasa dadanya hangat. Cahaya matahari bergerak lambat, menyentuh puncak pohon, lalu rumah-rumah desa, lalu wajah-wajah orang yang menonton dalam hening.


Ia mengangkat ponselnya dan mengambil foto—tapi kali ini tanpa perasaan tertekan ingin memposting atau mencari angle sempurna. Ia hanya ingin menyimpan momen itu.


“Cantik banget,” bisiknya.


Ibunya memegang bahunya. “Kadang kita harus berhenti sebentar untuk lihat hal-hal seperti ini.”


Hani mengangguk.


Setelah matahari sepenuhnya naik, mereka turun bukit dan kembali ke penginapan untuk sarapan. Sambil makan, Hani mendengar pintu depan terbuka.


Ligar masuk sambil membawa tas kecil. “Kalian sudah lihat matahari terbit ya?”


“Kamu nggak ikut?” tanya Hani.


“Aku sudah biasa lihat setiap hari,” jawabnya. “Mau jalan lagi hari ini?”


Hani menatap kedua orang tuanya. “Boleh, kan?”


Ayah mengangguk. “Tapi jangan jauh-jauh dan tetap hati-hati.”


Hani hampir melompat dari kursi. “Makasih!”


Hari kedua liburan adalah hari paling sibuk sekaligus paling menyenangkan bagi Hani.


Ligar mengajaknya ke air terjun kecil yang tersembunyi di balik rumpun bambu. Suaranya lembut, gemericik, dan airnya dingin menyegarkan. Hani melepas sepatu dan mencelupkan kakinya. Sensasinya seperti minum es krim—dingin tapi menyenangkan.


Kemudian mereka berjalan sedikit menanjak ke sebuah pohon raksasa yang konon berusia ratusan tahun. Batangnya begitu besar sehingga tiga orang dewasa pun tidak cukup untuk memeluknya.


“Pohon ini pusat cerita di desa,” kata Ligar. “Katanya, asal mula desa ada karena pohon ini.”


“Wah… kamu hafal cerita tradisi ya,” komentar Hani.


“Orang desa biasanya tahu semua cerita di sini.”


“Kalau ada waktu, ceritain aku, ya?”


“Tentu.”


Setelah itu, mereka makan siang di ladang apel milik keluarga Ligar. Ibunya membuat bekal sederhana—nasi hangat, ayam goreng, dan sayur tumis—yang semuanya terasa lebih enak dimakan di tengah alam.


Hani merasa seperti sedang membaca buku petualangan, tapi kali ini ia menjadi tokoh utamanya.


Malam kedua, keluarga Hani, Dito, dan Ligar duduk bersama Nenek Kirana di ruang tamu penginapan yang hangat.


“Apa rencana kalian besok?” tanya Nenek Kirana.


“Kita balik ke Jakarta,” jawab ibu sedikit sedih. “Sayang cuma tiga hari.”


“Batu Atas selalu terbuka untuk kalian.”


Hani tersenyum. “Terima kasih banyak, Nek.”


Saat semua sudah kembali ke kamar, Hani berbaring di tempat tidur sambil memandangi langit-langit.


Ia memikirkan semuanya: sungai, roti hangat, air terjun, sunrise, pohon raksasa, dan tawa Ligar saat ia terpeleset sedikit di batu licin tadi siang. Semua itu terasa seperti potongan-potongan kecil yang membuat hatinya penuh.


Ia menoleh ke ponsel yang tergeletak. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa membutuhkannya.


Hari terakhir, sebelum rombongan keluarga Hani pulang, Ligar menghampiri mereka.


“Kalian mau pamit?” tanya Ligar dengan wajah yang tampak menahan sedih.


“Iya,” jawab Hani. “Aku bakal kangen tempat ini.”


“Kalau kamu datang lagi, aku tunjukin tempat yang lebih bagus,” kata Ligar.


Hani tertawa. “Lebih bagus dari air terjun?”


“Jauh lebih bagus.”


“Kamu janji?”


“Janji.”


Mereka berjabat tangan. Lalu Hani masuk mobil dengan perasaan campur aduk—sedih, tenang, dan entah kenapa… sedikit lebih berani.


Saat mobil bergerak meninggalkan desa, sinyal ponselnya mulai kembali muncul. Satu bar. Dua bar. Tiga bar.


Notifikasi masuk bertubi-tubi, tapi Hani tidak langsung melihatnya.


Ia membuka kamera dan melihat foto-foto yang ia ambil selama tiga hari terakhir. Setiap foto seperti mengembalikan aroma, suara, dan suasana Batu Atas.


Ia tersenyum.


Mungkin nanti malam baru ia bagikan ke media sosial. Tapi untuk saat ini, ia ingin menyimpannya untuk diri sendiri.


Liburan tanpa sinyal itu ternyata memberikan sesuatu yang jauh lebih penting daripada notifikasi: ketenangan, teman baru, dan kesadaran bahwa dunia nyata punya keindahannya sendiri.