Bayangan di balik gambelan
Bayangan di Balik Gamelan
Desa Penglipuran, dengan arsitektur rumah tradisional Bali yang khas, jalanan batu yang bersih, dan suasana yang tenang, selalu memancarkan kedamaian di siang hari. Namun, ketika matahari mulai tenggelam dan malam merayap masuk, desa ini menyimpan cerita-cerita kuno yang berbisik di antara rimbunnya pepohonan bambu. Salah satu cerita yang paling sering diceritakan adalah tentang gamelan kuno yang disimpan di balai banjar, sebuah balai pertemuan desa yang sakral.
Gamelan itu bukan sembarang gamelan. Konon, gamelan itu hanya boleh dimainkan pada saat upacara adat tertentu, upacara yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam dan menghormati para leluhur. Siapa pun yang berani melanggar aturan ini, siapa pun yang memainkan gamelan itu di luar waktu yang telah ditentukan, akan berhadapan dengan kekuatan gaib yang mengerikan, kekuatan yang bisa membawa malapetaka bagi diri sendiri dan seluruh desa.
Di suatu malam yang gelap, ketika bulan hanya memberikan sedikit cahaya di langit, tiga anak muda—Dewa, Komang, dan Made—duduk berkumpul di warung kopi milik Pak Nyoman. Mereka adalah sahabat sejak kecil, tumbuh bersama di desa yang sama, dan selalu mencari cara untuk menghilangkan kebosanan. Malam itu, mereka sedang membicarakan cerita tentang gamelan kuno di balai banjar.
"Kalian percaya dengan cerita itu?" tanya Dewa, dengan nada meremehkan. Dewa adalah anak muda yang paling berani di antara mereka, selalu menantang bahaya dan tidak percaya dengan hal-hal mistis. Ia bekerja sebagai pemandu wisata, sering bertemu dengan orang-orang dari berbagai negara yang memiliki pandangan berbeda tentang dunia. Hal ini membuatnya semakin skeptis terhadap kepercayaan tradisional yang dipegang teguh oleh masyarakat desa. Dewa merasa bahwa dunia ini penuh dengan penjelasan rasional, dan tidak ada tempat untuk hal-hal gaib.
Komang, yang lebih penakut, menjawab dengan ragu, "Aku tidak tahu, Dewa. Tapi, orang-orang tua di desa selalu mengatakan bahwa cerita itu benar. Mereka bilang, ada banyak kejadian aneh yang terjadi pada orang-orang yang berani melanggar aturan itu." Komang bekerja sebagai petani, mengikuti jejak orang tuanya. Ia tumbuh dengan mendengarkan cerita-cerita mistis dari kakek dan neneknya, sehingga ia lebih percaya pada hal-hal gaib. Komang merasa bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari manusia yang mengatur alam semesta.
Made, yang lebih bijaksana, menambahkan, "Mungkin ada baiknya kita tidak usah mencari masalah, Dewa. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balai banjar itu." Made bekerja sebagai guru di sekolah dasar desa. Ia memiliki pemikiran yang lebih rasional dan selalu berusaha untuk menimbang segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Made merasa bahwa penting untuk menghormati tradisi dan kepercayaan orang lain, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya percaya pada hal-hal gaib.
Namun, Dewa tidak mau mendengarkan nasihat teman-temannya. Ia merasa tertantang untuk membuktikan kebenaran cerita tersebut. Ia ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa cerita tentang gamelan kuno itu hanyalah omong kosong belaka. Ia ingin membuktikan bahwa tidak ada kekuatan gaib yang bisa mengendalikan hidupnya. Dewa merasa bahwa ia harus membuktikan keberaniannya kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain.
"Aku tidak percaya dengan semua itu," kata Dewa dengan nada keras kepala. "Aku akan membuktikan kepada kalian bahwa cerita itu hanya karangan orang-orang tua saja. Malam ini, kita akan pergi ke balai banjar dan memainkan gamelan itu."
Komang dan Made mencoba untuk mencegah Dewa, tetapi mereka tahu bahwa sahabat mereka itu tidak akan pernah mendengarkan mereka. Dewa sudah mengambil keputusan, dan tidak ada yang bisa mengubah pikirannya. Mereka merasa khawatir dengan keselamatan Dewa, tetapi mereka juga tidak ingin mengecewakannya. Mereka merasa bahwa mereka harus mendukung Dewa, meskipun mereka tidak setuju dengan keputusannya.
Maka, tengah malam itu, ketika seluruh desa telah terlelap dalam tidur, Dewa, Komang, dan Made menyelinap keluar dari rumah mereka masing-masing dan bertemu di depan balai banjar. Mereka membawa obor kecil sebagai penerangan, karena tidak ada lampu penerangan jalan di desa itu. Suasana malam itu sangat sunyi dan mencekam. Hanya suara jangkrik dan angin yang berbisik di antara pepohonan bambu. Mereka merasa seperti ada yang mengawasi mereka dari kegelapan.
Pintu balai banjar berderit saat Dewa membukanya dengan paksa. Aroma dupa dan kelembapan langsung menyergap indra mereka. Di tengah ruangan, di bawah remang-remang cahaya obor, tampaklah gamelan kuno itu. Alat-alat musik itu tampak seperti memiliki mata yang mengawasi mereka, seolah-olah mereka tahu bahwa ada orang asing yang masuk ke dalam balai banjar. Gamelan itu tampak lebih tua dan lebih menakutkan dari yang mereka bayangkan. Mereka merasa seperti ada energi kuno yang terpancar dari gamelan itu.
Dewa tanpa ragu mendekati gamelan itu. Ia mengambil salah satu alat pemukul dan mulai memukul salah satu bilah gangsa. Nada pertama yang keluar terdengar sumbang dan aneh, seperti jeritan yang tertahan. Nada itu membuat bulu kuduk mereka merinding. Udara di sekitar mereka terasa semakin dingin dan berat. Mereka merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres.
Komang dan Made saling berpandangan, merasa tidak enak. Mereka merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar. Mereka merasa bahwa mereka telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tidak dibangunkan. Mereka merasa bahwa mereka telah mengganggu kedamaian tempat ini.
"Dewa, sebaiknya kita berhenti saja," bisik Komang dengan suara bergetar. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang jahat yang mendekat.
Dewa mengabaikan peringatan temannya. Ia semakin bersemangat memainkan gamelan itu, mencoba memainkan nada-nada yang lebih kompleks. Ia ingin membuktikan bahwa tidak ada yang aneh dengan gamelan itu, bahwa cerita-cerita yang beredar hanyalah karangan belaka. Ia ingin membuktikan bahwa ia tidak takut pada apa pun. Dewa merasa bahwa ia harus membuktikan keberaniannya kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang di dalam balai banjar, memadamkan obor mereka. Ruangan menjadi gelap gulita. Mereka bertiga terkejut dan ketakutan. Mereka tidak bisa melihat apa pun di sekitar mereka. Mereka merasa seperti ada yang memeluk mereka dari segala arah.
"Sial!" umpat Made dengan nada panik. Ia merasa bahwa mereka telah kehilangan kendali atas situasi. Ia merasa bahwa mereka telah terjebak dalam kegelapan.
Saat itulah mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Bukan langkah kaki manusia biasa, melainkan suara gesekan seperti ada sesuatu yang diseret di lantai. Suara itu semakin dekat, semakin jelas, membuat jantung mereka berdegup kencang. Suara itu terdengar seperti suara rantai yang diseret di atas batu. Mereka merasa seperti ada sesuatu yang mengejar mereka.
"Siapa itu?" tanya Komang dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang jahat yang mendekat. Ia merasa bahwa ia akan mati.
Tidak ada jawaban. Hanya suara gesekan yang semakin mendekat, semakin menakutkan. Dewa mencoba menyalakan kembali obornya, tetapi tidak berhasil. Mereka bertiga berdiri mematung, tidak berani bergerak sedikit pun. Mereka merasa seperti ada yang mengikat kaki mereka ke lantai. Mereka merasa seperti tidak bisa bernapas.
Tiba-tiba, dari balik gamelan muncul sebuah bayangan hitam pekat. Bayangan itu tinggi menjulang, tanpa wajah, hanya siluet mengerikan yang tampak seperti hendak menerkam mereka. Bayangan itu memancarkan aura dingin dan menakutkan yang membuat mereka merasa lumpuh. Bayangan itu tampak seperti perwujudan dari semua ketakutan mereka. Bayangan itu tampak seperti akan menghancurkan mereka.
"Lari!" teriak Dewa dengan suara yang pecah karena ketakutan. Ia merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain melarikan diri. Ia merasa bahwa mereka akan mati jika mereka tetap di sana.
Mereka bertiga berlarian keluar balai banjar, tanpa tahu apa yang mengejar mereka. Suara gesekan itu terus mengikuti mereka, semakin dekat, semakin menakutkan. Mereka terus berlari, melewati jalanan desa yang sepi dan gelap, tanpa berani menoleh ke belakang. Mereka merasa seperti ada tangan-tangan gaib yang mencoba meraih mereka. Mereka merasa seperti ada sesuatu yang menarik mereka ke dalam kegelapan.
Akhirnya, dengan napas terengah-engah, mereka tiba di rumah Dewa. Mereka masuk dan mengunci pintu rapat-rapat. Mereka mengatur napas, mencoba menenangkan diri, tetapi ketakutan masih mencengkeram hati mereka. Mereka merasa seperti ada sesuatu yang ikut masuk ke dalam rumah bersama mereka. Mereka merasa seperti tidak aman di mana pun.
"Apa itu tadi?" tanya Made dengan wajah pucat pasi. Ia merasa bahwa ia telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat. Ia merasa bahwa ia telah melihat sesuatu yang jahat.
"Aku tidak tahu, tapi itu sangat mengerikan," jawab Komang dengan suara gemetar. Ia merasa bahwa ia tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu. Ia merasa bahwa ia telah melihat neraka.
Dewa terdiam. Ia merasa bersalah karena telah mengajak teman-temannya melakukan hal bodoh itu. Ia tahu, mereka telah membangkitkan sesuatu yang seharusnya tidak pernah diganggu. Ia merasa bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Ia merasa bahwa ia telah membawa malapetaka bagi teman-temannya. Ia merasa bahwa ia telah menghancurkan hidup mereka.
Malam itu, mereka tidak bisa tidur. Setiap kali mereka memejamkan mata, bayangan hitam itu selalu muncul di benak mereka. Suara gesekan itu terus terngiang di telinga mereka, membuat mereka tidak bisa beristirahat dengan tenang. Mereka merasa seperti ada yang mengawasi mereka dari kegelapan. Mereka merasa seperti tidak aman di mana pun.
Keesokan harinya, dengan perasaan takut dan penasaran, mereka kembali ke balai banjar. Mereka menemukan gamelan itu tergeletak berantakan di lantai. Beberapa bilah gangsa patah, seperti bekas cakaran. Mereka juga menemukan jejak kaki aneh di sekitar gamelan, bukan jejak kaki manusia, melainkan jejak kaki makhluk yang tidak dikenal. Jejak kaki itu tampak seperti jejak kaki binatang buas yang sangat besar. Mereka merasa bahwa mereka telah berhadapan dengan sesuatu yang sangat kuat.
Sejak saat itu, Dewa, Komang, dan Made tidak pernah lagi berani mendekati balai banjar. Mereka tahu, mereka telah berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih kuat dari mereka, sesuatu yang tidak bisa mereka pahami. Bayangan di balik gamelan itu akan selalu menghantui mereka, mengingatkan mereka akan kesalahan yang telah mereka perbuat. Mereka merasa bahwa mereka telah kehilangan kedamaian dalam hidup mereka. Mereka merasa bahwa mereka telah kehilangan segalanya.
Beberapa tahun kemudian, Dewa mendengar kabar bahwa Komang dan Made mengalami kejadian aneh dalam hidup mereka. Komang sering melihat bayangan hitam di sudut kamarnya, sementara Made selalu mendengar suara gesekan di malam hari. Dewa tahu, mereka masih dihantui oleh bayangan di balik gamelan itu. Ia merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk membantu teman-temannya. Ia merasa bahwa ia harus memperbaiki kesalahannya.
Dewa merasa bersalah dan bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi pada teman-temannya. Ia memutuskan untuk kembali ke Desa Penglipuran dan meminta maaf kepada para tetua adat. Ia menceritakan semua yang telah terjadi, berharap bisa mendapatkan pengampunan dan mencari cara untuk menghentikan gangguan gaib itu. Ia berharap bisa membebaskan teman-temannya dari sosok bayangan tersebut