Cahaya di balik hujan
Hujan turun sejak pagi, seolah langit enggan memberi jeda kepada siapa pun yang ingin beraktivitas. Awan kelabu menggantung rendah, menghapus batas antara bukit dan udara. Di desa kecil bernama Tanjung Lestari, jalan-jalan becek, mengilap seperti cermin yang memantulkan getir kehidupan sehari-hari.
Di sinilah Ara tinggal—seorang gadis kelas dua SMA, pendiam, cerdas, dan sering kali menghabiskan waktunya dengan membaca di teras rumah sambil mendengarkan suara hujan. Ia menyukai hal-hal sederhana. Hujan, baginya, tidak pernah sekadar air yang jatuh dari langit. Hujan adalah jeda, kesempatan untuk meresapi apa yang biasanya ia abaikan.
Namun hari ini sedikit berbeda. Ara baru saja pulang dari sekolah setelah kegiatan ekstrakurikuler yang mendadak dibatalkan. Ia berdiri di bawah atap gerbang sekolah, menatap hujan dengan wajah yang agak cemas. Payungnya tertinggal di rumah.
“Tumben kamu nggak bawa payung,” suara seorang laki-laki muncul dari samping.
Ara menoleh. Itu Dika.
Dika adalah teman sekelasnya—pendiam, rajin, tipe siswa yang sering duduk di belakang sambil memperhatikan kelas tanpa banyak bicara. Meskipun begitu, ia terkenal murah senyum dan selalu bersedia membantu siapa pun yang butuh pertolongan. Ara ingat, pernah beberapa kali bertemu tatap dengannya, tetapi mereka jarang benar-benar berbicara.
“Ketinggalan,” jawab Ara singkat.
Dika membuka payung biru tua miliknya, lalu menatap hujan.
“Kalau kamu mau… kita pulang bareng. Rumahmu searah kan?”
Ara ragu sesaat. Ia bukan tipe yang mudah dekat dengan orang baru. Namun hujan semakin deras, dan rumahnya berjarak hampir dua kilometer dari sekolah.
“…Boleh,” ujarnya akhirnya.
Dika tersenyum kecil—senyum ramah yang tidak menghakimi, tidak memaksa.
“Yuk.”
Mereka mulai berjalan, payung itu menutup dunia sekitar, menciptakan ruang kecil yang terasa hangat meskipun udara lembap dan dingin.
Suara hujan beradu dengan atap seng rumah warga, menciptakan irama yang menenangkan. Jalanan becek, beberapa kali kaki Ara nyaris terpeleset. Dika memiringkan payung sedikit ke arah Ara agar ia tidak terlalu basah.
“Kamu sering pulang jalan kaki?” tanya Dika tanpa menoleh.
Ara mengangguk. “Iya. Biasanya kalau hujan juga bawa payung. Cuma hari ini lupa.”
“Kayaknya kamu suka hujan.”
“Kelihatan banget ya?” Ara tersenyum kecil untuk pertama kalinya hari itu.
Dika tertawa pelan. “Kelihatan dari caramu ngeliatin hujan kayak lagi baca buku.”
Ucapan itu membuat Ara hampir berhenti melangkah. Tidak banyak orang yang memperhatikan dirinya sampai sedetail itu. Bahkan teman dekatnya pun jarang menyadari kebiasaan-kebiasaannya saat hujan turun.
“Emang aku kelihatan segitu anehnya?”
“Enggak,” jawab Dika cepat. “Justru… aku suka ngeliat orang yang punya cara sendiri menikmati sesuatu.”
Hening sejenak mengisi ruang di antara mereka. Hanya suara hujan yang menemani.
Setelah lima belas menit berjalan, mereka melewati jembatan kecil di dekat sungai. Arus sungai cukup deras, penuh ranting dan daun terbawa arus.
“Dulu waktu kecil, aku sering main di sungai itu,” kata Ara pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Dika menatapnya. “Serius? Bukannya bahaya?”
Ara tersenyum samar. “Ya, tapi waktu itu aku belum ngerti apa itu bahaya. Yang aku tahu cuma kalau air mengalir itu indah.”
“Sekarang masih suka main air?”
“Aku nggak sekecil itu lagi, Dika,” Ara terkekeh. “Lagipula ibu pasti marah kalau tahu aku basah-basahan di sungai.”
Dika tertawa. “Ibu kamu galak?”
“Kadang. Tapi cuma karena dia sayang.”
“Ayah kamu juga begitu?”
Pertanyaan itu membuat langkah Ara agak melambat. Tatapan matanya berubah, seperti ada kenangan yang tidak ingin ia buka.
“Ayah sudah meninggal… waktu aku kelas dua SMP,” jawabnya lirih.
Dika terdiam, wajahnya berubah serius. “Maaf… aku nggak tahu.”
Napas Ara terdengar berat sesaat, namun ia berusaha tersenyum. “Sudah lama kok.”
Hujan terus turun, membasahi dedaunan dan menutupi keheningan yang tercipta.
Mendekati persimpangan jalan, mereka terpaksa lebih dekat karena payung tidak cukup besar untuk menutupi dua orang sekaligus. Sesekali tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja. Ara mencoba mengabaikan fakta bahwa ia merasa gugup.
“Dika,” panggil Ara pelan.
“Hm?”
“Kenapa kamu mau nganter aku? Padahal nggak dekat-dekat amat ke rumahmu.”
Dika terdiam sebentar sebelum menjawab.
“Soalnya kamu selalu jalan sendirian. Aku pikir… nggak ada salahnya nemenin kamu sekali-sekali.”
Ara menatapnya dari samping. Wajah Dika terlihat tenang, tetapi ada kehangatan di sana—kehangatan yang sama dengan suasana di bawah payung.
“Terus… kamu nggak keberatan?” tanya Ara lagi.
“Kalau aku keberatan, aku nggak bakal nawarin dari awal,” jawabnya sambil tersenyum lebar.
Senyum itu membuat Ara memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah di pipinya.
Setelah beberapa menit berjalan lagi, mereka sampai di depan gang rumah Ara. Hujan mulai mereda, hanya menyisakan rintik-rintik kecil.
“Di sini aja, Dika. Nggak perlu sampai depan rumah,” kata Ara.
Dika mengangguk, menutup payung.
“Sama-sama ya. Lain kali… jangan lupa bawa payung.” Ia mengangkat payungnya sedikit sebagai isyarat.
Ara tertawa pelan. “Iya. Makasih banget hari ini.”
Dika hendak berbalik, tapi ia tampak ragu sejenak. “Ara… kalau kamu butuh ditemenin pulang lagi… bilang aja, ya?”
Senyum Ara melembut, tulus. “Iya. Aku bakal bilang.”
Dika mengangguk, lalu berjalan pergi.
Ara menatap punggungnya sampai menghilang di balik tikungan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hujan tidak terasa sendirian. Ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang kecil, tapi hangat.
Beberapa hari kemudian, hujan kembali turun. Ara berdiri di depan kelas, memandang langit yang mulai gelap. Ia sudah membawa payung kali ini, tapi entah mengapa… ia menunggu.
Dan seperti yang ia duga, Dika datang membawa payung yang sama.
“Kamu bawa payung?” tanya Dika.
“Aku bawa,” jawab Ara sambil menunjukkan payungnya.
Dika tampak sedikit kaget, tetapi kemudian tersenyum. “Oh… ya udah. Kalau gitu kita—”
“Tapi… boleh kan kita tetap pulang bareng?”
Dika terdiam. Lalu wajahnya berubah merah padam.
“B-boleh… tentu aja boleh.”
Mereka berjalan bersama lagi di bawah hujan. Tidak ada lagi kecanggungan seperti sebelumnya. Mereka bercerita—tentang sekolah, keluarga, mimpi-mimpi masa depan, hal-hal kecil yang lucu, bahkan hal-hal yang membuat mereka takut.
Ara menemukan bahwa Dika ingin menjadi insinyur lingkungan. Ia ingin menjaga sungai-sungai, pohon-pohon, dan desa mereka agar tetap indah.
“Aku suka air,” katanya. “Tapi aku juga tahu air bisa jadi bencana kalau tidak dijaga.”
Ara mendengarkannya dengan mata berbinar. “Kamu hebat.”
“Enggak juga.”
“Iya. Kamu hebat.”
Dika memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan senyum.
Hubungan mereka tumbuh perlahan, seperti tunas kecil yang berusaha keluar dari tanah basah setelah hujan.
Suatu sore, hujan turun lebih deras daripada biasanya. Angin kencang membuat payung mereka hampir terbalik. Mereka terpaksa berhenti di bawah sebuah halte kecil.
“Kayaknya kita nggak bisa jalan dulu,” kata Dika sambil menyeka air dari wajahnya.
Ara mengangguk. “Gila… deras banget.”
Angin meniup rambut Ara hingga berantakan. Dika memperhatikannya, namun menahan diri untuk tidak berkomentar. Ada sesuatu pada tatapan itu—sesuatu yang membuat Ara merasa hangat.
“Dika,” panggil Ara.
“Hm?”
“Kita kenal baru sebentar… tapi rasanya, aku nyaman sama kamu.”
Dika menoleh cepat. “Aku juga.”
“Aku nggak tahu kenapa… tapi setiap hujan turun, aku pengen cerita sama kamu.”
Dika tersenyum. “Kalau hujan berhenti pun, kamu tetap boleh cerita sama aku.”
Kata-kata itu membuat dada Ara berdebar.
Hujan mulai mereda. Rintik-rintik kecil jatuh lembut, seperti melodi yang menenangkan.
“Yuk,” kata Dika. “Kita lanjut.”
Mereka berjalan lagi. Jalanan basah memantulkan cahaya matahari sore yang mulai muncul di balik awan. Rasanya seperti dunia berubah menjadi lebih cerah setelah badai panjang.
Ara menatap pantulan cahaya itu. Lalu ia menatap Dika.
Ada hal yang ia sadari.
Selama ini, hujan adalah tempatnya bersembunyi. Tempat ia merasa aman. Tapi sekarang, ia telah menemukan tempat baru—seseorang yang membuatnya merasa hangat meski hujan turun sekeras apa pun.
Dika adalah cahaya di balik semua itu.
Beberapa minggu kemudian, hubungan mereka semakin dekat. Tidak ada kata “jadian,” tidak ada pengakuan dramatis. Namun semua orang tahu bahwa keduanya saling menyukai. Mereka sering pulang bersama, menulis catatan kecil di buku satu sama lain, atau sekadar duduk diam sambil mendengarkan suara hujan.
Suatu hari, hujan turun sangat pelan. Hanya gerimis kecil yang nyaris tidak terdengar. Ara dan Dika duduk di sebuah bangku dekat taman belakang sekolah.
“Ara,” panggil Dika pelan.
Ara menoleh. “Ya?”
“Aku… senang kenal kamu.”
Ara tersenyum lembut. “Aku juga, Dika.”
“Kalau suatu saat… kita nggak bisa pulang bareng lagi karena sibuk atau apa… kamu bakal tetap senang hujan?”
Ara terdiam sebentar.
Lalu ia menjawab, “Aku bakal tetap suka hujan. Tapi kalau sama kamu, aku jadi lebih suka lagi.”
Wajah Dika memerah, tapi ia menunduk sambil tersenyum lebar.
Ara menatap langit. Awan bergerak perlahan, memberi sedikit cahaya matahari yang menembus sela-selanya.
“Hujan itu selalu bikin aku merasa sendirian,” kata Ara lirih. “Tapi sejak jalan bareng kamu… hujan justru terasa hangat.”
Dika mengangkat kepala. “Ara.”
“Hm?”
“Aku boleh… terus nemenin kamu… setiap hujan turun?”
Ara menatap matanya. Dalam tatapan itu, ia melihat kejujuran dan ketulusan yang membuat dadanya hangat.
“Kamu boleh nemenin aku… bahkan saat hujan nggak turun.”
Dika tertawa kecil, lalu mengangguk mantap. “Deal.”
Dan untuk pertama kalinya, mereka saling tersenyum tanpa perlu menutupi perasaan masing-masing.
Hujan kembali turun pelan, seperti tepuk tangan kecil dari langit.
Ara memejamkan mata, meresapi setiap tetes yang jatuh.
Ia tahu sekarang: hujan bukan lagi simbol kesepian, bukan lagi tempat pelariannya. Hujan telah berubah menjadi sesuatu yang indah—sesuatu yang penuh harapan.
Sesuatu yang mengingatkannya pada Dika.
Cahaya di balik hujan.
*ini cuma buat nambahin kata aja :v
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada semua yang telah menjadi bagian dari perjalanan cerita ini.
Kepada mereka yang percaya bahwa hujan tidak selalu membawa dingin, tetapi juga kehangatan yang tersembunyi.
Terima kasih kepada orang-orang yang hadir dalam hidup kita dengan cara yang sederhana, namun meninggalkan jejak paling dalam—seperti tetes hujan yang jatuh perlahan namun mampu menumbuhkan kehidupan baru.
Terima kasih untuk setiap perhatian kecil, setiap senyuman, setiap langkah pulang bersama, dan setiap kejujuran yang membuat cerita ini hidup.
Dan terutama, terima kasih kepada kalian yang membaca hingga akhir. Semoga cerita ini dapat menghadirkan secuil kehangatan, secercah harapan, dan pengingat bahwa dalam setiap hujan, selalu ada cahaya yang menunggu untuk ditemukan.