Kamar 444
Sejak menjelang sore, hujan tidak kunjung reda. Rintik hujan yang menyentuh kaca jendela apartemen kecil itu seolah menyanyikan lagu yang monoton. Mora duduk di ujung ranjang, menatap air yang mengalir di balik tirai. Malam di Bandung terasa lebih sunyi daripada biasanya. Meskipun jauh di bawah sana suara kendaraan masih terdengar samar seperti gema dari dunia lain.
Sudah tiga minggu sejak ia berpindah ke tempat ini. Unit 443 di lantai tujuh kecil, agak lembap, tetapi cukup untuk dirinya sendiri. Ia tidak memerlukan banyak ruang. Hanya tempat untuk tidur, sedikit cahaya, dan kesunyian yang tidak menuntut apa-apa. Namun kesunyian di tempat ini terasa aneh. Sejak malam pertama, setiap kali jarum jam melewati 23.30, dari kamar sebelah terdengar suara seorang perempuan menangis. Lirih, tertahan, seolah ingin disembunyikan di balik dinding yang tipis. Kadang Mora berpikir itu hanya efek hujan atau televisi. Awalnya ia tidak peduli. Namun semakin lama, suara itu seakan menembus pikirannya.
Malam itu ia mengetuk dinding.
“Halo? Kamu baik-baik aja?”
Tidak ada jawaban. Hanya suara napas berat dari balik tembok.
Keesokan paginya, meskipun malam sebelumnya ia telah bertekad untuk pergi, Mora kembali sebentar ke apartemen. Ia harus mengambil beberapa barang sebelum berangkat kuliah. Saat menuruni lantai tujuh, ia berpapasan dengan petugas apartemen seorang pria tua bertopi, dengan kemeja aroma kopi gosong.
“Pak untuk kamar 444, siapa penyewanya?” tanya Mora.
Petugas itu meneliti daftar di depannya.
“Kamar 444 kosong, Nyonya. Tidak ada yang tinggal di sana cukup lama.”
“Sungguh? Saya mendengar suara... sulit percaya tidak ada orang.”
Pria itu hanya tersenyum.
“Mungkin dari lantai atas. Dinding di sini terlalu tipis.”
Mora mencoba mempercayainya.
Malam berikutnya, suara itu datang lagi, semakin jelas. Seperti suara seorang perempuan dimulai sebagai tangisan lembut, lalu berubah menjadi lebih mirip teriakan. Sesuatu jatuh dan pecah. Mora menyalakan lampu sepanjang malam, tetapi suara itu tidak pergi. Malam ketujuh. Hujan turun semakin deras. Mora duduk di lantai, menempelkan telinganya ke dinding. Tangisan itu kini terdengar sangat dekat, seolah berasal dari balik tembok yang sama.
“Aku tahu kamu ada di sana,” katanya pelan.
Sunyi.
Lalu terdengar langkah kecil, diikuti tiga ketukan lembut. Tok. Tok. Tok. Mora mundur spontan. Jantungnya berdegup. Ia menatap dinding itu lama, menunggu sesuatu. Namun setelah itu, tidak ada apa-apa lagi. Hanya hujan dan suara jam dinding yang berdetak. Malam berikutnya, Mora menyiapkan ponsel. Ia menyalakan kamera dan menempelkan lensanya pada celah bawah pintu kamar sebelah.
Gelap.
Namun di layar tampak bayangan samar seseorang yang duduk di pojok ruangan, bahunya berguncang, wajah tertunduk, rambut panjang menutupi pipi. Mora menjatuhkan ponselnya. Saat ia memungutnya kembali, layar ponsel itu sudah hitam. Dari arah belakang, terdengar isakan tangisan dari dalam kamarnya sendiri. Ia berbalik cepat. Tidak ada siapa pun. Namun kaca jendela tampak berembun, seolah baru dihembus napas seseorang. Di tengah embun itu terbentuk tulisan samar-samar.
“Berhenti mendengarkan.”
Mora menjerit pelan, mundur hingga menabrak kursi. Ia berlari keluar, menuruni tangga menuju pos jaga.
Kosong.
Di atas meja hanya ada satu kunci dengan gantungan logam bertuliskan 444. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa tertidur malam itu. Ia hanya tahu bahwa keesokan paginya matahari telah tinggi. Hujan berhenti, tetapi udara tetap dingin. Saat membuka mata, ia menyadari sesuatu yang ganjil. Nomor di pintu apartemennya bukan lagi 443, melainkan 444. Ia terpaku. Mungkin hanya salah lihat. Namun seluruh ruangan tampak sedikit berbeda tirai yang dahulu berwarna biru kini abu-abu, kursi di pojok patah, dan di meja terdapat secangkir kopi setengah habis, padahal ia tidak pernah membuatnya.
Ponselnya bergetar.
Rekaman suara: 23.30.
Ia menekan play.
Tangisan itu terdengar lagi.
Namun kali ini ia mendengar jelas.
Itu suaranya sendiri.
Nada napas, isakan tangisan, gumaman kecil semuanya miliknya.
Mora memejamkan mata. Ingatan kembali ke malam ketika keheningan diganggu oleh hujan dan nada dering telepon. Kedua orang tuanya sedang dalam perjalanan menemuinya berniat merayakan ulang tahunnya yang ke-20. Ia masih mengingat suara ibunya, lirih terhalang derasnya hujan.
“Selamat ulang tahun, Mora… Ibu sama Ayah sebentar lagi sampai.
Hujannya deras sekali… sebentar...
Mora, jaga diri baik-bai...”
Suara benturan keras, telepon terputus.
Hening.
Dalam keheningan itu Mora tahu sesuatu telah berubah meskipun ia belum mampu mengakuinya. Ia menatap ponsel yang layarnya retak. Dalam pantulannya, wajahnya tampak asing pucat, dengan lingkar mata gelap, seperti tidak tidur selama berhari-hari. Ia menyalakan televisi, radio, apa pun asal tidak sunyi. Namun di antara semua itu, tangisan itu tetap menembus. Lembut, konstan, seakan seseorang ingin berbicara kepadanya. Hari-hari berikutnya terasa samar. Mora jarang keluar kamar. Ia berhenti menjawab pesan dari teman temannya, berhenti makan tepat waktu. Kadang di cermin tampak bayangan lain yang mengawasi. Kadang ia mendengar suaranya sendiri memanggil dari ruang tamu.
Suatu malam, Mora menatap cermin lama di dekat pintu. Pantulannya terlihat berbeda tirai tertutup, tetapi ada siluet seseorang di belakangnya. Ia menoleh tidak ada siapa pun. Mora melihat siluet yang sama juga ada di cermin. Siluet yang sama juga menunduk. Seseorang seolah menyentuh sisi lain cermin. Dingin, tetapi akrab. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Bisikan-bisikan memenuhi malam. Awalnya ia mengabaikannya, menyebutnya stres dan kesepian. Namun suara itu semakin dekat. Bayangan di cermin kian jelas. Setiap kali dia berbalik, ruang itu kosong, tetapi refleksi di cermin tidak pernah berbohong.
Suatu malam, ia kembali menatap cermin itu. Pantulannya berbeda lagi. Tirai tertutup, dan siluet itu tetap berada di sana. Ia menoleh tidak ada siapa pun. Udara mendadak dingin. Suara hujan yang deras membuat hatinya tenang tetapi berdebar. Siluet itu tidak bergerak. Mora mengetahui bahwa hal ini tidak dapat dijelaskan dengan logika. Di ruangan sebelah, Mora salah menduga. Ia menyangka tangisan itu suara ibunya lirih, penuh sesal, seakan memanggilnya. Ia menggenggam ponsel, mencoba menelepon, tetapi nomor itu tidak aktif. Ia mencoba tidur. Suara itu semakin keras, semakin dekat. Ia tidak dapat lagi membedakan mana kenyataan dan mana pikirannya yang mulai lelah.
Di malam terakhir, ia habiskan menatap hujan di sudut ruangan ada kopi dan obat yang belum disimpan. Hening. Jika semuanya berhenti sesaat, mungkin suara itu juga berhenti. Setelah itu, dunia menjadi kabur. Malam kembali datang hujan tidak berhenti. Mora duduk di lantai, menatap dinding. Ia mencoba tidur, tetapi suara itu semakin keras dan semakin dekat. Kini ia sudah tidak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya hasil pikirannya yang telah dikuasai.
“Apa kamu masih di sana?” bisiknya.
Suara itu berhenti.
“Aku di sini. Tapi kamu di mana?”
Mora menatap sekeliling.
“Aku… di sini juga,” katanya bingung.
Ia menempelkan telapak tangan pada dinding. Dari sisi lain terasa tekanan lembut seolah seseorang menyentuh balik. Dingin, tetapi familier. Ia menutup mata. Hujan bergema. Tangisan dari kamar sebelah perlahan menyatu dengan napasnya sendiri. Hari berikutnya tidak ada perubahan. Mora tetap terjebak di ruangannya, seperti hanya bayangan dari dirinya sendiri. Segalanya terasa samar. Pagi, siang, dan malam menyatu dalam gelombang monoton hujan dan bisikan.
Setiap kali hujan turun, suara itu muncul.
Setiap kali hujan berhenti, suara itu menunggu.
Petugas apartemen menemukan unit 444 seminggu kemudian. Pintu terkunci dari dalam. Di dalam hanya ada kopi basi, ponsel mati, dan tulisan samar di dinding.
“Berhenti mendengarkan.”
Mereka mengatakan penghuni sebelumnya seorang perempuan bernama Mora pernah tinggal di sana bertahun-tahun lalu. Setelah insiden akibat depresi mendalam seusai kehilangan kedua orang tuanya, kamar itu tidak pernah disewakan lagi. Namun beberapa penghuni baru lantai tujuh bercerita hal yang sama, setiap kali hujan deras dan jam melewati pukul 23.30, terdengar suara seseorang menangis pelan dari kamar sebelah. Tangisan yang terdengar nyata, seolah berasal dari seseorang yang masih mencoba berbicara meskipun tidak ada siapa pun di sana. Ruang itu seolah menunggu pengganti.
Sejak sore, hujan tidak reda. Seorang perempuan muda bernama Laura membuka pintu unit 444. Senter di tangannya menyorot dinding lembap. Di sudut ruangan, cermin menampilkan sosok perempuan menunduk rambut basah menutupi wajah, matanya penuh duka. Seketika, dorongan halus terasa di telapak tangannya, seolah ada tangan dari sisi lain yang meraih. Suara itu terdengar di kepalanya, lirih tapi menembus.
“Aku… di sini juga.”
Perlahan Ia merasakan kesepian, penyesalan dan kehilangan yang selama ini menghantui Mora meresap ke dalam tubuh Laura menyergap napasnya, membuat jantungnya berdegup tidak beraturan. Semakin ia melawan, semakin dalam ia terseret. Ia menelan ludah, tangisan Mora mengalir melalui dirinya. Identitasnya perlahan terkikis, digantikan oleh penyesalan yang bukan miliknya. Sementara itu, Mora melangkah keluar dari apartemen untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun.
Bebas.
Di dalam unit 444, Laura terpaku menatap cermin. Ia menjadi pengganti Mora, menyerap semua air mata, penyesalan, dan kesepian yang sebelumnya menahan jiwa Mora. Tubuhnya gemetar, napasnya tersengal, dan tangisan abadi kini mengalir dari dirinya sendiri. Semua penderitaan Mora kini menempel di tubuhnya, menguasai pikiran dan perasaannya.
Hujan terus mengguyur.
Apartemen tetap sunyi.
Hanya bisikan lembut dari cermin yang berulang.
“Jangan mendengarkan… jangan… jangan mendengarkan…”
Di luar, Mora menghirup udara malam yang basah. Langkahnya ringan, seolah hujan membawa pergi seluruh beban yang menahannya. Sementara di dalam, Laura perlahan menjadi wadah baru bagi kesedihan itu. Tangisan itu terus bergema. Laura berdiri di depan cermin itu, dadanya naik turun tidak beraturan ketika bayangannya sendiri mulai bergetar karena sesuatu di dalam dirinya berusaha keluar. Tangisan yang pecah dari tenggorokannya terdengar asing, terlalu berat, Laura merasakan semua penyesalan Mora, padahal itu bukan pengalaman Laura sendiri. Perlahan, pantulan di cermin menunduk, bahunya berguncang, menyerupai bayangan yang dahulu dilihat Mora. Laura berusaha mundur, tetapi seakan ada sesuatu yang menahan tubuhnya di tempat. Ketika pantulan itu akhirnya mengangkat wajahnya wajah Laura sendiri, namun dipenuhi duka yang dalam. Ia menyadari bahwa ia bukan sedang menyaksikan kesedihan Mora. Ia sedang melihat bagaimana kesedihan itu membentuknya menjadi sosok baru yang akan menghuni unit 444 berikutnya.