Warisan Gemetar Sang Ksatria
Warisan Gemetar Sang Ksatria
Di atas singgasana tertinggi di kerajaanâyang dikenal manusia sebagai "bantal sofa motif bunga-bunga"âduduklah Ksatria Agung Don Rodrigo de la Chihuahua, Pelindung Relung, dan Penguasa Karpet.
Bagi dunia luar, dia adalah "Pip." Seekor anjing Chihuahua seberat dua kilogram dengan bulu berwarna kopi susu, mata yang sedikit terlalu besar untuk wajahnya, dan getaran abadi yang membuat tag namanya bergemeletuk pelan seperti lonceng peringatan.
Penguasanya, manusianya, adalah Elara. Bagi Pip, Elara adalah dewi. Dia adalah Sumber Makanan, Pemberi Kehangatan, dan alasan keberadaan Pip. Dan saat ini, dewi itu sedang dalam kesusahan.
Kerajaan merekaâApartemen 7Bâtelah dilanggar.
Bukan, ini bukan pelanggaran fisik. Tidak ada monster penyedot debu yang mengaum hari ini, tidak ada Tukang Pos (musuh bebuyutan nomor satu) yang berani melanggar gerbang. Ini lebih buruk. Ini adalah pelanggaran emosional.
Elara sedang duduk di lantai, dikelilingi oleh benteng-benteng kotak kardus. Dia telah pindah seminggu yang lalu. Pria yang dulu tinggal di sini, "Si Suara Berat yang Bau Aneh," telah pergi. Dan sekarang, Elara sering membuat suara terisak pelan saat dia pikir Pip sedang tidur.
Pip tidak tidur. Seorang ksatria tidak pernah tidur. Dia beristirahat dengan waspada.
Setiap isakan adalah tusukan belati ke jantung ksatria Pip. Dia tahu tugasnya. Dia harus melindungi Elara. Masalahnya, dia tidak tahu bagaimana cara melawan musuh yang tak terlihat yang disebut "Kenangan."
Maka, dia melakukan apa yang dia bisa. Dia berpatroli.
"Guk!"
Terjemahan: "Wilayah dapur aman, Ratu-ku! Tidak ada remah-remah yang berani bergerak tanpa izin!"
Elara tersenyum kecil, air matanya masih menggenang. "Makasih, Pip. Anak baik."
Pip menegakkan tubuhnya. Pujian. Dia berlari kecil kembali ke bantalnya, getaran kecilnya meningkat. Itu bukan getaran ketakutan, seperti yang sering disalahartikan oleh manusia. Tentu saja tidak. Itu adalah energi murni dari leluhur pejuangnya, gema dari para Techichi kuno, yang bergetar hebat di dalam dadanya yang mungil, siap meledak untuk mempertahankan kuilnya.
Malam itu, ancaman baru muncul.
Itu dimulai sebagai getaran di lantai. Dug. Dug. Dug. Seseorang berada di apartemen sebelah, 8B, yang sudah lama kosong.
Pip melompat dari sofa. Telinganya yang besarâdua layar radar terbaik di gedung ituâberputar ke arah dinding.
"Grrrrrr..." Suara itu lebih mirip dengungan serangga yang marah daripada geraman anjing, tapi niatnya mematikan.
"Tenang, Pip," gumam Elara, membungkus dirinya dengan selimut. "Itu cuma tetangga baru yang pindah."
Tetangga baru. Pip tahu apa artinya itu. Itu berarti monster. Itu berarti ancaman. Seseorang yang berani membuat keributan di dekat Ratu-nya yang sedang berduka.
Selama tiga hari berikutnya, Neraka adalah Apartemen 8B. Ada suara bor yang melengking (Pip melolong kesakitan), suara palu (Pip menggonggong dengan panik), dan yang terburuk, suara tawa yang dalam dan bergema.
"Dia harus dihentikan," putus Pip dalam hati.
Kesempatan itu datang pada hari keempat. Elara, membawa kantong sampah, membuka pintu depan. "Tunggu di sini, Pip. Aku cuma keâ"
Sekarang!
Pip menembak. Dia adalah peluru kecil berwarna kopi susu. Dia melesat melewati pergelangan kaki Elara, keluar ke lorong yang menakutkan, dan langsung menuju sumber kejahatanâpintu 8B yang sedikit terbuka.
"PIP! KEMBALI!"
Jeritan Elara hanya memberinya semangat. Dia sedang dalam misi penyelamatan, apakah sang Ratu menyadarinya atau tidak.
Dia menyelip di bawah celah pintu yang terbuka dan masuk ke dalam sarang binatang itu.
Ruangan itu dipenuhi kotak-kotak, seperti milik Elara, tetapi baunya berbeda. Bau kayu gergajian, bau kopi kental, dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang maskulin dan besar.
"Nah, lho. Halo, kawan kecil."
Pip membeku. Suara itu datang dari atas. Dia mendongak... dan terus mendongak.
Itu adalah raksasa. Seorang pria jangkung dengan rambut berantakan dan kaus abu-abu yang kotor oleh debu eternit. Dia sedang berjongkok, memegang bor di satu tangan.
Di sinilah dia. Monster itu. Penyebab penderitaan Elara. (Secara logis, Pip telah menghubungkan suara-suara keras dari pria ini dengan kesedihan Elara. Itu masuk akal).
Pip mengambil posisi tempur standarnya: kaki depan terentang, dada membusung, dan getaran yang kini mencapai kekuatan seismik.
"GGRRRRRR-YIP-YIP-YIP-GONG-GONG-GONG!"
Terjemahan: "MATILAH, KAU RAKSASA JAHAT! HADAPI AKU, PENJAGA KERAJAAN 7B! KEMBALI KAU KE LUBANG TEMPAT KAU BERASAL!"
Pria itu tidak mundur ketakutan. Dia tidak menguap menjadi abu. Dia... tersenyum.
"Wow," kata pria itu, meletakkan bornya. "Kamu benar-benar petarung, ya? Kamu pasti penguasa lantai ini."
Pip menggonggong lebih keras. Bagaimana dia berani begitu tenang dalam menghadapi kemarahannya yang benar?
Pria itu tidak mencoba mendekat. Dia hanya duduk di lantai, menyilangkan kakinya. "Aku Ben," katanya. "Kamu pasti Pip. Aku dengar gonggonganmu selama tiga hari ini."
Tepat pada saat itu, Elara menerobos masuk, wajahnya pucat karena panik. "Ya Tuhan, saya minta maaf! Benar-benar minta maaf! Pip, ayo! Dasar nakal!"
Elara mencoba menyendok Pip, tapi Pip menghindar. Misinya belum selesai. Monster itu masih hidup.
"Tidak apa-apa," kata Ben, suaranya tenang dan dalam, yang membuat bulu kuduk Pip merinding. "Dia hanya menjaga wilayahnya."
"Dia... dia tidak biasa seperti ini," bohong Elara, wajahnya memerah. "Maksudku, dia memang seperti ini, tapi... kami baru saja pindah, dia sedikit stres."
"Kita semua juga begitu," kata Ben, tersenyum pada Elara.
Pip melihatnya. Senyuman itu. Itu adalah sihir jahat. Elara, yang selama ini menangis, balas tersenyum. Senyuman kecil yang goyah, tapi tetap saja senyuman.
Tidak! batin Pip. Dia telah menyihir Ratuku!
"Ayo, Pip," kata Elara, kali ini lebih tegas, dan berhasil menangkapnya.
Pip dibawa pergi dari medan perang, terbungkus dalam pelukan Elara yang memalukan. Tapi saat mereka mundur kembali ke 7B, Pip menoleh ke belakang. Ben masih di sana, di ambang pintunya, mengawasi mereka.
"Dia petarung kecil yang hebat," panggil Ben.
"Dia hanya banyak bacot," balas Elara, tapi Pip merasakan jantung Elara berdebar sedikit lebih cepat.
Malam itu, Pip gelisah. Ancaman itu sekarang memiliki wajah. Dan yang lebih buruk, ancaman itu telah membuat Ratunya tersenyum.
Selama minggu berikutnya, "Insiden Lorong" terjadi secara rutin. Ben tampaknya selalu ada di sana saat Elara keluar. Pip mencoba segalanya. Dia menggonggong. Dia menggeram. Dia bahkan mencoba "Tatapan Kematian Seribu Getaran", sebuah teknik yang dia sempurnakan yang melibatkan berdiri diam, menatap tajam, dan bergetar begitu hebat hingga giginya bergemeletuk.
Itu tidak berhasil. Ben hanya akan tertawa kecil.
"Dia menyukaimu, Pip," kata Ben suatu sore, sementara Elara memegang tali Pip dengan gugup di dekat lift.
"Dia pikir kamu mencoba membunuhnya," kata Elara.
"Mungkin benar," kata Ben. "Tapi aku membawa persembahan damai."
Dia berjongkok, dan meskipun Pip bersiap untuk pertempuran, Ben mengulurkan sesuatu yang berbau surgawi. Itu kecil, kering, dan berbau seperti hati sapi.
Pip mendengus. Sebuah suap. Tentu saja. Racun yang disamarkan. Dia tidak akan tertipu.
Tapi Ben tidak menawarkannya lagi. Dia hanya meletakkannya di lantai, di antara mereka, dan kemudian dia kembali berbicara dengan Elara. Mereka berbicara tentang hal-hal yang membosankanâcuaca, lift yang lambat, bau cat di lorong.
Pip menatap camilan itu. Camilan itu menatapnya. Itu adalah pertarungan kehendak.
Perlahan, sangat perlahan, dia mengendus ke depan. Dia menatap Ben. Ben tidak melihat. Dia menatap Elara. Dia sedang tertawaâtertawa sungguhan, bukan senyum sedih.
Pip mengambil keputusan sepersekian detik. Dia menyambar camilan itu, melahapnya, dan segera mundur ke belakang kaki Elara. Racunnya terasa enak. Jika dia akan mati, setidaknya dia mati dengan perut penuh hati sapi.
Dia tidak mati.
"Lihat?" kata Ben. "Kita berteman sekarang."
"Grrr," jawab Pip, tapi kali ini getarannya sedikit berkurang.
Titik baliknya terjadi pada hari Sabtu yang hujan. Elara telah keluar untuk "waktu sendiri", yang membuat Pip sangat cemas. Pip membencinya saat Ratu meninggalkan kastil sendirian. Dia mondar-mandir di dekat pintu, mendengarkan setiap derit dan erangan gedung.
Lalu dia mendengarnya. Klik.
Seseorang ada di kunci apartemen 7B.
Naluri mengambil alih. Pip berubah dari anjing rumahan yang cemas menjadi mesin perang seberat dua kilogram. Dia berlari ke pintu, meluncur di lantai kayu, dan mengeluarkan GONGGONGAN KIAMAT-nya.
"GONG-GONG-GONG-GONG!"
Pintu terbuka. Itu bukan Elara.
Itu adalah "Si Suara Berat yang Bau Aneh." Sang mantan. Pria yang telah membuat Elara menangis.
"Oh, diam, kau tikus sialan," geram pria itu, melangkah masuk. "Elara? Aku tahu kau ada di rumah!"
Pip terkejut sesaat. Pria ini seharusnya tidak ada di sini. Kuncinya seharusnya sudah diambil. Ini adalah pelanggaran!
"Elara!" teriak pria itu lagi.
Melihat Ratunya tidak ada di sana untuk dilindungi, Pip mengambil tanggung jawab itu. Dia tidak punya taring serigala atau cakar berbearuang. Tapi dia punya keganasan.
Dia berlari ke depan dan menancapkan gigi-gigi kecilnya yang seperti jarum ke satu-satunya target yang bisa dia jangkau: pergelangan kaki pria itu, tepat di atas sepatunya.
"ARGH! SIALAN KAU!" Pria itu meraung, menendangkan kakinya.
Pip terlempar. Dia menabrak dinding dengan bunyi buk kecil yang menyedihkan dan mendarat terkulai di karpet. Semuanya berputar. Dia bisa merasakan sakit yang tajam di pinggulnya.
Pria itu maju ke arahnya, wajahnya merah karena marah. "Anjing bodoh..."
"Hei! Apa yang kau lakukan di sini?"
Suara Ben. Suara Raksasa yang Baik. Dia berdiri di ambang pintu 7B yang terbuka, memegang ponselnya.
Mantan Elara itu membeku. "Ini bukan urusanmu, sobat."
"Meninggalkan pintu lorong terbuka, masuk tanpa izin ke apartemen tetanggaku... Aku baru saja menelepon keamanan gedung. Dan aku merekam ini," kata Ben, suaranya tenang, tapi lebih mengancam daripada gonggongan Pip mana pun. "Sekarang keluar."
Pria itu menatap Ben, lalu ke ponsel yang terangkat, lalu ke Pip yang masih terengah-engah di lantai. Sambil mengumpat, dia berbalik dan keluar dari apartemen, mendorong bahu Ben saat dia lewat.
Ben tidak mengejarnya. Dia segera bergegas masuk dan berlutut di samping Pip.
"Hei, kawan kecil. Hei, Petarung." Suara Ben lembut. "Kamu baik-baik saja? Astaga, kamu benar-benar menggigitnya, ya?"
Pip mencoba berdiri, tetapi kakinya gemetarâkali ini benar-benar karena rasa sakit dan syok. Dia hanya bisa merengek pelan.
"Sial," bisik Ben. "Oke, ayo, kita urus kamu."
Ketika Elara kembali satu jam kemudian, panik karena panggilan telepon dari keamanan, dia menemukan pemandangan yang aneh.
Di apartemen Ben (8B), Ben sedang dengan lembut membungkus kantong kacang polong beku dengan handuk. Dan di sofa Ben, di atas bantal pemanas, berbaringlah Ksatria Agung Don Rodrigo. Dia terbungkus selimut kecil. Di sebelahnya ada semangkuk air dan tiga camilan hati sapi yang belum tersentuh.
"Apa yang terjadi?" bisik Elara, air mata menggenang lagi.
Ben dengan cepat menceritakan kisahnya. Tentang mantan Elara, tentang tendangan itu, tentang bagaimana Pip tidak mundur.
Elara menangis. Dia berlutut di depan Pip. "Oh, Pipsqueak-ku. Pahlawanku. Kamu melindunginya untukku, ya?"
Pip membuka satu matanya. Dia melihat Ratunya. Dia aman. Dia melihat Raksasa yang Baik. Dia juga aman. Dia menghela napas panjang dan puas, dan membiarkan getaran kecil itu kembaliâkali ini, getaran penyembuhan.
Dibutuhkan dua minggu bagi pinggul Pip untuk pulih sepenuhnya, dan selama itu, perbatasan antara Kerajaan 7B dan 8B menjadi kabur. Ben sering datang untuk "menjenguk pasien," seringkali membawa kopi untuk Elara. Elara akan membalasnya dengan membawa makan dinner untuk Ben.
Mereka akan duduk di lantai lorong di antara dua pintu mereka yang terbuka, berbicara sementara Pip mengawasi dari bantalnya, yang kini diposisiskan strategis di ambang pintu 7B.
Suatu malam, Elara dan Ben sedang menonton film di apartemen Elara. Pip duduk di singgasananya. Dia mengamati.
Elara tertawa, tawa yang lepas dan nyata. Ben tersenyum padanya.
Pip memiringkan kepalanya. Musuh yang tak terlihat yang disebut "Kenangan" sepertinya sudah lama tidak muncul. Ratu tampak bahagia. Raksasa itu tidak lagi menjadi ancaman; dia telah menjadi sekutu. Mungkin... anggota istana yang baru.
Ben mengulurkan tangan dan menggaruk Pip tepat di belakang telinganya.
Pip bersandar pada garukan itu. Dia menutup matanya.
Kerajaan itu aman. Ratu-nya terlindungi. Dan sang Ksatria, yang tubuhnya mungkin seukuran kenari, tahu bahwa hatinya sebesar singa. Dia mungkin gemetar, tetapi dia tidak akan pernah goyah. Dan itu, pikirnya sambil tertidur di tengah dengkuran lembut Ratu-nya dan Raksasa Sekutu-nya, adalah warisan sejati dari seorang pejuang Chihuahua.