Edelweiss
Hujan deras terus mengguyur Aetherfield pagi itu. Seorang gadis rupawan, Diane, terjebak di halte bus. Gadis itu menggenggam erat payungnya yang terlihat sudah setengah rusak. Sementara di sisi lain, berdiri seorang pria berjaket hitam, menatap hujan seolah sudah mengenalnya sejak lama.
Melihat hujan yang tidak kian berhenti, Diane memutuskan untuk menerobos hujan dengan berlari cepat. Baru saja ia melangkahkan satu kakinya, suara lelaki itu menghentikan langkahnya.
“Udah mau pergi? Mending tunggu sebentar, bentar lagi pasti hujannya reda,” katanya pelan.
“Hujan gak suka orang yang terburu-buru, tau” lanjutnya.
Diane terdiam, memandang lelaki itu dengan tatapan skeptis. "Orang aneh" pikirnya, tapi yang keluar dari mulutnya justru malah tawa kecil.
Hujan gak suka? Siapa sih ngomong kayak begitu? Seolah-olah lelaki itu tahu betul apa yang disuka hujan. Tapi entah kenapa, kata-kata lelaki itu membuat Diane tetap diam di sana. Anehnya, mereka berdua lanjut berbicara, tanpa terasa..sampai hujan berhenti, dan langit berubah menjadi terang. Sesaat setelah lelaki itu pergi, Diane baru sadar, astaga, dia bahkan belum sempat bertanya nama pria misterius itu.
Keesokan harinya, Diane pergi ke halte bus, menunggu bus ke arah rumahnya datang seperti biasa. Namun tak disangka ia melihat lelaki itu lagi. Di tempat yang sama, waktu yang sama. Seolah hujan sengaja menjadwalkan pertemuan kedua mereka.
“Hai lagi, ingat aku?” “Aku Diane, kamu?” tanya gadis itu sambil tersenyum.
“Morgan.”
Entah kenapa rasanya seperti mereka sudah kenal sangat lama, rasanya familiar.
Setiap hari selama sebulan, Diane selalu menemukan Morgan di tempat-tempat yang ia tak sengaja lewati, di taman, di perpustakaan tua, atau di pinggir sungai. Lelaki itu tidak pernah menghubungi gadis itu duluan, tidak pernah memberikan nomornya saat Diane sangat ingin tahu nomornya, tapi entah kenapa, dia selalu ada saat Diane butuh teman bicara, saat Diane butuh pendengar keluh kesah hidupnya.
Diane merasakan kejanggalan. Cukup aneh, bukan? Bagaimana laki-laki ini terus hadir di saat Diane membutuhkannya? Tapi sungguh, Diane sangat berterima kasih atas kehadiran Morgan. Diane mulai bertanya soal latar belakang kehidupan lelaki itu, ia ingin mengetahui Morgan lebih dalam. Gadis itu pun mulai melontarkan pertanyaan sederhana seperti di mana tempat tinggalnya. Namun Morgan hanya tersenyum tipis.
“Eh, mungkin pertanyaan ku terlalu sensitif, ya?” pikirnya dalam hati.
“Aku tinggal di sekitar sini aja.” jawab lelaki itu
“Sekitar sini? Kamu kayak hantu aja, haha,” Diane tertawa kecil.
“Mungkin..emang iya,” jawab Morgan lirih sambil tersenyum tipis.
Diane pikir dia cuma bercanda, jadi ia lanjut tertawa. Tapi di balik senyum Morgan itu, selalu ada sesuatu. Mungkin...suatu perasaan sedih seperti seseorang yang udah lama kehilangan rumahnya.
“Morgan mau tau sesuatu ngga? Setiap kali aku sama kamu, waktu serasa berjalan lebih lambat. Dunia jadi lebih tenang buat aku, kayak semesta sengaja kasih jeda buat kita berdua. Terima kasih, ya,” ucap gadis itu sambil tersenyum manis.
Suatu sore, Morgan datang sembari membawa kamera tua di lehernya.
“Aku mau coba foto kamu, Diane, boleh?” tanyanya.
Diane tertawa. “Apasih, tiba-tiba banget! Aku lagi jelek banget sekarang, sumpah.”
“Cantik,” katanya lembut. Satu kata, hanya satu kata, namun berhasil membuat jantung Diane berdegup kencang.
“Udah cantik pake banget kamu, ayo sini foto bareng” ujar Morgan
Klik! Suara jepretan kamera terdengar.
Tapi ketika Diane melihat hasil fotonya, dia terdiam dan terlihat jelas wajahnya bingung. Latar belakangnya terlihat sangat jelas, tapi bayangan Morgan di sampingnya samar, dirinya juga terlihat samar, nyaris hilang bahkan.
“Morgan, ini kamera kamu rusak, ya? Kok kita kelihatan samar di sini?” tanya Diane.
“Iya kah? Ini kamera lama ayahku, atau mungkin aku emang gak cocok di foto aja,” jawab Morgan ragu.
Waktu berlalu dengan cepat, dunia kecil Diane cuma berputar di sekitar Morgan. Mereka terus menghabiskan waktu bersama. Benih-benih cinta mulai tumbuh perlahan di antara mereka berdua, mulai dari obrolan panjang di bawah derasnya air hujan, hingga jalan kaki bersama di malam yang dingin.
Suatu malam, di bawah cahaya bulan di tepi sungai Aetherfield, tempat favorit mereka berdua, Morgan menggenggam tangan Diane untuk pertama kalinya. Tangannya dingin, tapi genggamannya kuat.
“Gan, kenapa tangan kamu dingin banget?”
"Dingin? Justru hangat setelah pegang tanganmu tau” lelaki itu tersenyum nakal.
“Diane,” panggilnya lagi, ekspresinya berubah, matanya sendu.
“Kalau suatu hari aku menghilang... apa kamu masih mau nunggu aku?”
“Apasih, jangan ngomong aneh-aneh deh.”
"Bilang iya, Diane, janji sama aku,” desak Morgan.
Diane menghela napas. “Astaga, yaudah iya, iya, aku janji deh, aku pastii nunggu kamu Gan. Tapi kamu harus balik, ya? Janji?”
Morgan tersenyum tipis. “Buat kamu, pasti.”
Besok paginya, Morgan tak kunjung muncul ataupun menyempatkan diri tuk bertemu Diane. Hari berganti minggu. Tapi Diane tetap tidak bisa mengetahui kabarnya. Diane mencoba mencarinya ke taman, ke perpustakaan, bahkan tempat biasa mereka bertemu, tapi Morgan menghilang bak ditelan bumi.
Cemas, Diane mulai mencari namanya di internet. Dan tangannya berhenti menggerakkan kursor di salah satu artikel.
“Seorang pria (21) tewas dalam kecelakaan mobil saat malam hujan deras, di tikungan sungai Aetherfield.”
Matanya terbelalak saat ia melihat foto korban “..ini...ini...M-Morgan...?” ucapnya gemetar. Ia tak percaya dengan apa yang sedang dia lihat.
“Ini bohong... jelas-jelas...”
Ucapan Diane terpotong saat ia melihat tanggalnya, DEG! jantungnya serasa akan copot saat itu juga, Diane terdiam. “Dua tahun yang lalu? Tapi kan Morgan?..”
Dua tahun sebelum hujan pertama itu. Sebelum segalanya. Tangannya gemetar hebat.
Diane mencoba mengambil foto yang pernah Morgan ambil dulu dan saat diperhatikan lagi, dadanya sesak. Morgan tidak ada di sana. Cuma foto dirinya seorang yang hampir samar.
Berhari-hari Diane tidak keluar rumah. Gadis itu sangat terpukul. Tapi Diane tidak bercerita apa-apa ke siapapun alasan ia mengurung diri, karena... siapa juga yang akan percaya ceritanya? Tapi setiap kali hujan turun, dia mendengar langkah kaki di dekat jendela. Kadang ada ketukan lembut. Kadang ada bisikan, “Hujan gak suka orang yang terburu-buru, tau. Pelan-pelan aja, Diane.” Dengan suara familiar yang dia kenal.
Morgan...? Tapi apa itu benar? Atau hanya halusinasinya lagi?
Diane menatap wajahnya di cermin. Dirinya nampak samar. Mata bengkak dan kantung mata terlihat jelas. Entah sudah berapa hari ia tidak merasakan air di wajahnya. Tapi, entah kenapa, wajahnya sendiri terasa... asing. Dia lalu membuka keran air, mencipratkan air ke wajahnya. Aneh, air itu terasa sangat dingin di kulitnya. Dia mengusap wajahnya, rasanya basah, tapi cermin tidak menunjukkan tetesan air yang menempel di rambut atau pipinya.
“Mungkin aku cuma capek,” dia mencoba meyakinkan diri, mengabaikan rasa dingin di sekujur tubuhnya.
Beberapa minggu kemudian, Diane akhirnya pergi sendirian ke pinggir sungai. Tempat di mana mereka biasa duduk bersama. Di situ, dia menemukan batu nisan kecil, ditumbuhi lumut.
“Sejak kapan ini ada di sini...?”
Dia berlutut, mencoba menyentuh ukiran nama di sana:
Morgan Edwards 2000–2021.
Diane terkejut, sebentar... apa ini Morgan yang dia kenal? Atau... ini Morgan lain? Apa ini semacam prank untuk dirinya? Tidak lucu, ribuan pertanyaan muncul di dalam kepalanya.
Apa ini ada kaitannya dengan berita di internet yang dia lihat?. Ada bunga putih segar di atas nisan itu, padahal Diane jelas-jelas tidak membawa bunga, dan rasanya tidak ada yang tahu bahwa ada nisan kecil itu di sini.
“Diane..kamu masih nunggu aku?” Suara lembut terdengar di belakangnya. Diane menoleh, jantungnya berdegup kencang. Lelaki itu di sana, Morgan. Masih dengan jaket hitamnya. Tapi kali ini tubuhnya samar, berkilau lembut di udara.
“Morgan?... kamu?... cepet bilang ke aku kalo semua ini bohong... bilang... tolong bilang Morgan!! Ini gak lucu.” Diane berteriak di sela kesedihannya.
“Jujur, aku sendiri juga berharap kalo semua ini cuma bohong, Diane... andai semua ini cuma mimpi buruk kita,” ucapnya lirih.
Diane berusaha menyentuhnya, ingin memeluknya erat untuk terakhir kalinya, tapi tangannya cuma menembus udara kosong.
“Morgan?”
“Ini kenyataannya, Diane... apa yang kamu lihat itu semua benar, maaf.”
Morgan menoleh ke sungai, matanya menatap pantulan samar Diane.
“Maaf, Diane. Maaf aku ngga bisa ngasih tau kamu soal kebenarannya dari awal, dan maaf waktu kita bersama cuma sebentar. Aku tau kalau aku ngasih tau, kamu akan menangis kaya gini. Aku gak bisa liat kamu nangisin aku, Diane. Itu kenapa aku berusaha untuk ngga ngasih tau kamu, tapi sepertinya takdir berkata lain.”
Diane terdiam.
“Aku cuma gak mau kamu pikir aku ninggalin kamu gitu aja.”
“Dan kamu juga gak bisa di sini terus nyari aku, kamu harus pulang Diane, begitupula aku” tambah lelaki itu.
Air mata terus bercucuran di wajah Diane.
“Kenapa aku? Kenapa muncul lagi ke aku?” suara gadis itu bergetar.
“Karena...”
“Kamu satu-satunya yang masih nyari aku, saat dunia udah mulai melupakan,” jawabnya lirih.
Angin bertiup pelan. Hujan mulai turun lagi.
Morgan mendongak ke langit.
“Setiap badai pasti berakhir, kata mereka,” katanya pelan.
“Tapi kamu, Diane... kamu ngajarin aku, kamu buktiin ke aku, kalau ternyata cinta gak pernah ikut berhenti, walau badainya udah selesai”
“Kamu mau kemana lagi Gan...? jangan pergi..sama aku aja disini..tolong” bisik Diane.
Dia tersenyum tipis. “Kamu bakal liat aku lagi, cantik, mungkin cuma di mimpi, atau di hembusan angin..” “Tapi aku bakal selalu ada di tempat kamu inget aku. Aku tunggu kamu di sana, ya? Terima kasih sudah selalu ada untukku, aku mencintaimu.”
Dan perlahan, Morgan memudar begitu pula senyum hangatnya. Sedikit demi sedikit. Sampai yang tersisa cuma hujan yang turun membasahi Diane. Diane jatuh berlutut, memeluk bunga putih yang berguling ke arahnya.
Dia menangis, menyebut nama Morgan berkali-kali, lalu tertawa sendiri, bak orang tak waras bukan karena lucu, namun kesedihannya yang terlalu dalam hingga tangisannya berubah menjadi tawa kesedihan. Diane memandang wajahnya yang terlihat samar di pantulan air sungai.
Ia mencoba untuk menyentuh bayangannya di air, tapi..aneh..tangannya terasa transparan.., dan akhirnya pada saat itu, Diane tersadar, makna kalimat bahwa dia harus “pulang” dan Morgan akan menunggunya disana.
Sejujurnya, malam saat Diane melihat “hantu” Morgan di tepi sungai itu, bukan pertama kali dia melihatnya. Tapi itu kali terakhir Diane hidup. Kecelakaan yang menewaskan Morgan... ternyata tidak cuma satu korban.
Ada dua orang di mobil itu, sepasang kekasih yang baru saja saling menyatakan cintanya malam itu. Sayangnya, cuma satu jasad yang ditemukan, hanya jasad Morgan. Karena kenyataannya, Diane juga tidak pernah selamat malam itu. Dia adalah roh yang terus menunggu Morgan, pacarnya. Diane yang tidak mengetahui dirinya sudah tiada, menganggap dirinya masih hidup dan beraktivitas seperti biasa. Bahkan rumah yang ia tinggali saat itu? Rumah lamanya yang sekarang tinggal kenangan.
Dan saat Morgan akhirnya datang tuk mencari Diane yang masih tersesat di dunia manusia, bukan dia yang kembali ke dunia... tapi Diane yang akhirnya sadar, bahwa dialah yang tak pernah benar-benar pergi karena belum bisa merelakan kenyataan pahit itu.
Seperti bunga “edelweiss”, kisah cinta mereka seperti bunga abadi di pegunungan yang tidak pernah layu, mewakili cinta yang tetap hidup walau yang dicintai sudah tiada.
-THE END-
“Kita bukan cerita yang selesai.
Kita cuma cerita yang gak kelihatan lagi di dunia.” -Morgan Edwards