HANTU KOSAN
Hantu Kosan Intan LC 2
Saya baru saja pindah ke rumah kontrakan kecil di Jalan Intan LC 2 No. 15, Gatot Subroto Timur, Denpasar. Rumahnya tua, catnya terkelupas seperti kulit ular, dan jendelanya sedikit seret waktu dibuka. Tapi harganya sangat murah untuk ukuran pelajar. Saat pemilik rumah menyebutkan harganya, saya langsung tanda tangan tanpa banyak tanya. Lagipula, saya butuh tempat tinggal cepat.
Saat pertama masuk, saya melihat ruang tamu mungil dengan satu kipas angin gantung yang suaranya berdecit seperti sendi orang tua. Tangga menuju lantai atas terlihat gelap, karena lampu di sana belum terpasang. Tapi saya pikir, semua ini masih bisa direnovasi pelan-pelan. Yang penting, saya punya tempat tinggal.
Sore itu, tiga sahabat saya langsung menyerbu rumah: Sang Made, Dexa, dan Lutfi. Mereka datang dengan gaya berlebihan seolah saya baru pindah ke istana berhantu.
Sang Made melihat sekeliling dan langsung berkomentar, “Naren… ini rumah atau set film horor tahun 90-an? Saya nunggu soundtrack seram muncul, sumpah.”
Dexa melongok ke sudut ruangan. “Dari luar aja udah kayak rumah nenek penyihir yang sering ada di cerita anak-anak. Lu yakin nggak dapet bonus hantu, Ren?”
Lutfi menepuk bahu saya. “Tenang. Malam ini kita investigasi. Ghost hunting versi Bali.”
Saya menghela napas panjang. “Saya cuma mau tinggal tenang, kalian malah mau bikin konten horor.”
Tapi mereka bertiga sudah sibuk sendiri. Bahkan sebelum saya sempat protes, Sang Made sudah selfie di depan rumah sambil menulis caption: “Explore rumah Naren. Kalau besok saya hilang, tolong cari di pohon pisang belakang.”
Malam itu, kami makan mie instan sambil duduk melingkar di ruang tamu remang-remang. Lampu utama belum saya pasang, jadi ruangan terasa seperti tempat ritual. Saat kami lagi asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar suara “kretek… kretek…” dari lantai atas.
Saya berhenti makan. “Eh… itu suara apa?”
Sang Made dengan heroik berdiri sambil membawa sendok mie. “Tenang. Biar saya cek. Kalau saya tidak kembali dalam sepuluh menit, kirim doa buat saya.”
Dia naik tangga sambil mengangkat sendok seolah itu senjata suci. Kami bertiga menunggu dengan deg-degan. Suara itu tetap terdengar, lalu berhenti. Hening.
Tiba-tiba terdengar suara dari atas. “Khe… siapa itu?”
Kami bertiga langsung menjerit. Lutfi sampai memeluk kursinya. Dexa melompat dan hampir menjungkalkan gelas. Saya sendiri hampir kabur ke luar.
Tak lama kemudian, Sang Made muncul sambil tertawa keras. “Itu suara kipas angin di kamar atas! Kalian kocak banget!”
Saya menatapnya lemas. “Serius cuma kipas angin?”
“Ya iyalah. Tapi reaksi kalian barusan mahal banget!”
Kami ikut tertawa, tetapi tawa itu mendadak terpotong karena lampu mati. Gelap total.
Saya meraba-raba dinding. “MATI LAMPU?!”
Lutfi gemetar. “Naren… saya nggak siap gelap begini.”
Sang Made malah mulai membuat suara hantu. “Huuuu… aku hantu kosan… Intan LC duaaa…”
Saya refleks meninju udara dan hampir mengenai wajahnya. Beberapa detik kemudian, lampu hidup kembali. Dexa langsung duduk dan memegang kepala.
“Yang horor bukan hantunya, tapi kalian bertiga.”
Tapi ketegangan belum selesai. Lutfi menunjuk ke sudut ruangan dengan suara bergetar. “Eh… itu apaaa?”
Kami menoleh. Sebuah bayangan besar bergerak pelan. Kami tegang setengah mati sampai akhirnya saya sadar itu hanya bayangan pohon pisang di luar yang kena cahaya lampu jalan.
Kami tertawa seperti orang stres.
Hari-hari berikutnya lebih aneh. Hampir tiap malam ada suara misterius:
Suara langkah kaki? Ternyata kucing tetangga nyangkut di kamar mandi.
Suara ketawa kecil? Speaker Bluetooth Dexa masih terhubung ke HP saya.
Suara seretan? Kabel antena TV tertiup angin.
Semuanya selalu ada penjelasan absurd yang bikin kami ngakak sekaligus stres.
Hingga suatu malam, kami memutuskan membuat prank hantu sendiri. Kami ingin menakut-nakuti… ya, entah siapa. Mungkin diri sendiri.
Sang Made memakai selimut putih lengkap dengan dua lubang mata. Dexa membawa korek api untuk efek mata merah. Lutfi memutar suara seram dari speaker. Saya memegang kamera untuk merekam semuanya.
Kami sudah siap menakuti satu sama lain ketika tiba-tiba lampu berkedip-kedip. Speaker Dexa mati sendiri. Suara langkah pelan terdengar dari lantai atas. Lalu sebuah suara terdengar jelas:
“Hahaha… kalian pikir bisa nge-prank aku?”
Kami semua diam. Tidak ada yang berani menelan ludah. Lutfi tampak siap pingsan.
“Eh…” suara saya tercekat, “itu suara siapa?”
Tidak ada jawaban.
Lalu sesuatu melayang turun dari tangga.
Sosok putih. Bulat. Sedikit gemuk. Menggantung samar seperti kapas yang ditiup angin. Dia melayang mendekati kami, lalu menepuk bahu Sang Made sambil tertawa.
“Hahaha… kalian lucu banget!”
Kami semua langsung menjerit, tapi jeritan itu berubah jadi kebingungan karena… hantu itu tertawa. Bukan tertawa seram, tapi tertawa lucu, seperti bocah menemukan sesuatu yang konyol.
Saya gemetar. “K… kamu hantu?”
“Iya dong,” katanya riang. “Tapi yang horor-horor capek, bosan. Kalian lucu, jadi aku ikutan.”
Dexa menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Mirip bola kapas, sumpah.”
Hantu itu langsung mutar-mutar senang. “Aku suka itu! Bola Kapas!”
Itulah awal petualangan baru kami: hidup serumah dengan hantu yang suka bercanda.
Setiap malam, kehadiran Bola Kapas membuat suasana jadi hidup. Kalau kami makan mie instan, dia ikut duduk walaupun tidak bisa benar-benar makan. Dia cuma pura-pura menyendok dan bilang, “Wah gurih sekali!” Kami tertawa tiap kali melihatnya.
Pernah Sang Made mandi dan Bola Kapas muncul di balik tirai kamar mandi sambil berkata, “Eh, sabunnya jatuh tuh.” Sang Made berteriak seperti dikejar anjing.
Dexa pernah main Mobile Legends dan Bola Kapas duduk di belakang sambil memberi komentar. “Gaskan, Dex! Ulti dong! Aduh, noob sekali kamu.”
Lutfi sering curhat masalah cinta ke Bola Kapas. “Menurut kamu, dia suka nggak ya sama aku?”
Bola Kapas mengangguk sok bijak. “Kalau tidak suka, dia pasti sudah blokir kamu.”
Yang paling epic, Bola Kapas pernah muncul di kelas online saya. Dia melayang pelan di belakang saya, membuat guru saya bertanya, “Naren… itu siapa di belakangmu?” Saya mengarang alasan bahwa itu tetangga numpang WiFi.
Malam paling memalukan terjadi saat kami mencoba memfoto Bola Kapas pakai flash. Dexa yakin fotonya bisa viral. Kami matikan lampu, siapkan kamera, dan ketika Bola Kapas muncul, saya menyalakan flash.
Hasilnya?
Bola Kapas menjerit keras sambil mundur melayang. “ADUUUH SILAU! KALIAN KENAPA!?”
Kami tertawa berguling-guling. Ternyata hantu takut flash kamera.
Lama-kelamaan, kami akrab. Rumah itu tidak lagi terasa menakutkan. Suara aneh sudah jadi kebiasaan. Kami bahkan merasa ada yang kurang kalau malam-malam Bola Kapas tidak muncul.
Suatu malam, saat yang lain tidur, saya sedang mengerjakan tugas di ruang tamu. Bola Kapas melayang turun dan duduk di samping saya.
“Kamu tahu nggak… kenapa aku di sini?” tanyanya pelan.
Saya menggeleng.
“Aku dulu tinggal di sini. Tapi aku sendirian. Orang-orang takut sama rumah ini. Tidak ada yang mau tinggal lama. Jadi aku… ya, bosan dan kesepian.”
Dia tertawa kecil, tapi terdengar sedih.
“Sampai kalian datang. Bikin ribut, bikin kacau, tapi lucu. Rumah ini jadi tidak sepi lagi.”
Saya menatapnya lama. “Kamu sendirian selama ini?”
Dia mengangguk.
“Tapi sekarang tidak lagi,” katanya sambil tersenyum.
Saya merasa hangat, meski yang saya ajak bicara adalah hantu.
“Kalau suatu hari kamu bosan sama kami, bilang ya. Jangan pergi tiba-tiba.”
Dia tertawa. “Mana mungkin. Kalian ini hiburan gratis.”
Semakin lama, kami menyadari sesuatu: hidup bersama Bola Kapas membuat kami lebih dekat. Kami jadi sering kumpul, sering ketawa, sering cerita. Rumah yang dulunya suram berubah menjadi rumah penuh tawa.
Setiap malam selalu ada cerita baru. Kadang kami nonton film horor tapi berubah jadi komedi karena Bola Kapas ikut menirukan suara hantunya. Kadang dia iseng menakuti kami di waktu tak terduga. Kadang dia hanya duduk diam, melayang, mendengarkan kami ngobrol.
Suatu malam, saat kami berempat sedang makan, Sang Made berkata, “Saya curiga hantu ini lebih hidup daripada kita.”
Dexa menambahkan, “Humornya juga lebih masuk.”
Lutfi menatap Bola Kapas sambil tersenyum. “Kalau kamu pergi, kami jemput balik.”
Bola Kapas tertawa. “Tenang. Selama kalian beliin mie instan rasa ayam bawang, aku tetap di sini.”
Hari-hari selanjutnya, semuanya berjalan seperti biasa: ada suara-suara aneh, ada teriakan palsu, ada tawa, ada mie instan, ada prank gagal. Tapi sekarang ada satu lagi: ada Bola Kapas.
Rumah kontrakan tua itu tidak lagi menyeramkan. Itu rumah kami. Rumah tempat horor berubah menjadi komedi. Rumah tempat kami belajar bahwa tidak semua hal menyeramkan harus ditakuti.
Kadang, yang kita kira hantu menakutkan… ternyata hanya makhluk kesepian yang ingin ikut tertawa.
Dan jujur saja, kalau suatu hari Bola Kapas pergi, kami pasti akan kangen setengah mati.
Di Denpasar, di Jalan Intan LC 2 No. 15, horor memang nyata. Tapi bersama Bola Kapas, horor itu tidak pernah serius. Selalu ada tawa di balik setiap teriakan.
Dan mungkin, itu yang membuat rumah itu terasa istimewa.
Kadang, saat malam sudah benar-benar lengang dan semua orang di rumah sibuk dengan dunianya masing-masing, aku suka duduk di ruang tengah. Lampunya redup, hanya menyisakan bayangan samar di dinding. Di saat seperti itu, rumah ini terasa hidup dengan caranya sendiri. Ada suara lemari kayu berderit pelan, angin yang entah dari mana tiba-tiba lewat, atau langkah kecil yang berhenti tepat di belakangku.
Dulu aku pasti sudah kabur ketakutan. Tapi sekarang? Aku malah nyengir. Soalnya, sudah terlalu banyak kejadian aneh yang ternyata punya ujung lucu. Dan jujur saja, tanpa semua itu, kosan ini mungkin hanya akan jadi rumah biasa—sepi, kaku, dan tidak punya cerita.
Aku jadi sadar, mungkin yang membuat tempat ini begitu berarti bukan hanya karena kami tinggal di dalamnya, tapi karena kami mengalami sesuatu bersama. Termasuk kehadiran Bola Kapas yang kadang jahil, kadang menakutkan, tapi entah bagaimana selalu membuat kami merasa… tidak sendirian.
Dan kalau suatu hari nanti aku pindah, aku yakin satu hal: cerita tentang rumah ini akan terus menempel padaku, seperti jejak kecil yang tidak pernah benar-benar hilang.