Rahasia 11.47
Hujan turun tanpa henti sejak langit mulai gelap, dan malam baru saja merayap masuk ketika Ashmere Street terlihat seperti jalan yang lupa ia miliki oleh kota London. Air hujan mengalir sepanjang pinggir trotoar, membawa serpihan kertas, dedaunan basah, dan pantulan lampu yang bergerak perlahan seperti roh yang menari di atas permukaan air. Tahun 1923 adalah tahun penuh transisi bagi kota ini, tahun ketika modernitas berusaha menggeser segala sesuatu yang berbau lama. Mesin mesin mulai menggantikan manusia, kereta melaju dengan raungan yang lebih keras, dan toko toko baru bermunculan dengan lampu terang yang berkilau di antara kabut. Tetapi Ashmere Street tetap menjadi pengecualian. Jalan itu adalah tempat yang waktu tidak pernah benar benar menyentuhnya meski jam terus bergerak maju.
Di tengah jalan itu berdiri sebuah toko kecil dengan jendela yang tertutup embun dan papan kayu yang warnanya mulai pudar. Toko itu dinamai Toko Jam Ashmere, sebuah toko yang tidak banyak diketahui orang, meskipun toko itu telah berdiri lebih lama dari sebagian besar bangunan di sekitarnya. Di dalam toko itu ratusan jam dari berbagai bentuk dan ukuran berdetak bersamaan seperti paduan suara yang tidak pernah berhenti. Namun malam ini berbeda. Malam ini suara detikan itu tidak terdengar seperti musik yang biasa membuat toko itu terasa hangat. Ada sesuatu yang berubah. Detikan jam itu terasa lebih berat, lebih lambat, seolah menyimpan napas panjang sebelum sesuatu dimulai.
Arthur Merrin, pemilik toko itu, duduk sendirian di kursi kerjanya. Cahaya lampu minyak menciptakan bayangan panjang di dinding dan memantulkan pendar kuning pada tangannya yang berurat. Arthur hampir berusia enam puluh tahun, tetapi sorot matanya menyiratkan seseorang yang jauh lebih tua. Punggungnya sedikit bungkuk, dan cara ia menggerakkan jemarinya menunjukkan bahwa ia pernah mengerjakan sesuatu yang sangat rumit selama bertahun tahun. Di hadapannya tergeletak sebuah jam hitam yang belum pernah disentuh orang lain selain dirinya. Jam itu begitu berkilau meski warna hitamnya tampak seperti menyerap cahaya di sekitarnya.
Arthur menatap jam itu lama sekali. Matanya seperti berusaha membaca sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh orang yang pernah kehilangan segalanya. Ia mengusap permukaan jam tersebut dengan lembut, merasakan dinginnya kayu hitam itu. Retakan kecil di bagian kanan kacanya terlihat jelas, dan retakan itu menjadi titik fokus pandangannya. Jam itu adalah satu satunya benda yang tidak pernah ia jual. Sebuah karya yang ia buat dengan harapan, ketakutan, dan keputusasaan yang bercampur menjadi satu. Di bagian belakang jam itu terdapat ukiran kecil yang ia buat saat tangannya masih sangat kuat, ukiran yang ia tulis dengan malam penuh amarah dan rasa bersalah. Ukiran itu berbunyi, Waktu akan menagih apa yang pernah diambil darinya.
Suara hujan semakin keras menghantam atap kaca toko itu. Arthur menghela napas pelan. Malam seperti ini selalu mengingatkannya pada masa lalu. Suara hujan seperti gema dari ingatan yang berusaha muncul kembali, sesuatu yang selalu ia tekan sedalam mungkin. Tetapi malam itu, perasaan buruk yang ia rasakan jauh lebih kuat. Seakan ada sesuatu yang berjalan mendekatinya perlahan dari balik bayangan.
Ketika ia mencondongkan tubuh untuk mengamati mekanisme jam itu, semua jam di toko berhenti secara bersamaan. Suara detikan hilang dalam sekejap, seakan waktu di toko itu menahan napas. Arthur langsung menegakkan tubuh. Mata tuanya membelalak penuh keterkejutan dan ketakutan. Sejak ia membuka toko ini, belum pernah jam jam berhenti seperti ini. Tidak pernah. Bahkan saat perang besar pecah, saat listrik padam, saat badai mengguncang kota ini, jam jam mekanis miliknya tetap berdetak.
Keheningan itu begitu tebal hingga ia bisa mendengar suara darahnya sendiri mengalir di telinga. Ia memegang ujung meja untuk menstabilkan diri, lalu berdiri perlahan. Gerakannya sangat hati hati, seolah ia takut mengganggu kesunyian yang bisa pecah menjadi sesuatu yang lebih buruk. Ia meraih tongkat kayu pendek yang selalu ia gunakan untuk menopang tubuhnya, lalu berjalan menuju rak jam paling besar di ujung ruangan.
Ia menempelkan telinganya ke salah satu jam dinding yang biasanya tidak pernah berhenti bergerak. Tidak ada suara. Benar benar tidak ada. Ia memejamkan mata, mencoba mendengar detikan kecil yang mungkin tersisa. Tetapi tidak ada apa pun. Keheningan itu seperti menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Ia menegakkan tubuh dan memandangi ruangan. Pada saat itulah ia sadar, bahwa jam hitam di meja kerjanya mulai mengeluarkan suara yang sangat halus. Bunyi itu bukan detik jam seperti biasa, tetapi bunyi dentingan kecil seperti lonceng yang bergetar pelan.
Arthur kembali menuju meja kerjanya dengan langkah yang terasa semakin berat. Jam hitam itu bergetar sedikit, dan retakannya memantulkan cahaya lampu seperti garis petir kecil. Arthur merasa tengkuknya dingin. Jam itu tidak pernah bergetar sebelumnya. Tidak setelah kejadian itu. Tidak setelah malam ketika semuanya berubah.
Saat ia hendak menyentuh jam tersebut, sebuah suara dari bagian belakang toko membuatnya terdiam. Suara itu tidak lantang, tetapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Suara seperti sesuatu yang diseret di lantai. Tidak terlalu keras, tetapi jelas. Arthur menelan ludah, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Namun suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Suara itu berasal dari ruangan penyimpanan, ruangan yang selalu ia kunci, ruangan yang tidak pernah ia masuki lagi sejak sepuluh tahun lalu. Ruangan di mana ia pertama kali membuat prototipe jam hitam.
Tanpa sadar tangannya gemetar ketika memegang gagang pintu ruangan tersebut. Ia merasakan dingin merayap di kulitnya, bukan karena cuaca, tetapi karena sesuatu dari dalam ruangan itu seakan menyeruakkan hawa yang tidak seharusnya berada di dunia ini. Ia membuka pintunya perlahan, dan udara dingin yang keluar dari ruangan itu membuat lampu minyak bergetar. Cahaya kecil dari lampu itu memantul di kursi kayu, meja panjang, dan tumpukan alat alat mekanik yang berdebu.
Ruangan itu tidak berubah banyak. Debu menutupi meja kerja, roda gigi berkarat tergeletak begitu saja, dan kertas kertas lusuh masih bertumpuk di sudut meja. Tetapi ada satu hal yang membuat Arthur berhenti bernapas. Di atas meja, prototipe jam hitam pertamanya terbuka. Jam yang seharusnya sudah ia buang. Jam yang seharusnya tidak pernah ada lagi. Ia ingat betul malam ketika ia membawa jam itu ke sungai dan melemparkannya ke dalam air gelap. Ia ingat suara percikan air dan perasaan lega bercampur putus asa yang menyiksa dirinya. Namun jam itu kini berada di hadapannya dengan keadaan terbuka, seperti seseorang baru saja mengutak atiknya.
Arthur merasa matanya panas. Ingatan yang ia usahakan hilang selama bertahun tahun menyeruak kembali. Malam ketika ia kehilangan putri kecilnya, Elora. Malam ketika ia mencoba memutar waktu untuk menyelamatkan sesuatu yang tidak bisa ia selamatkan. Malam ketika eksperimen yang ia lakukan berubah menjadi bencana. Ia mencoba membuat jam yang bisa mengembalikan waktu beberapa detik saja. Ia terobsesi dengan gagasan bahwa waktu tidak bersifat mutlak. Ia percaya waktu adalah sesuatu yang bisa diolah, diputar, dikembalikan, atau dipecah menjadi bagian bagian kecil. Dan obsesi itu menelan apa yang paling ia cintai.
Elora, dengan mata cerah dan rambut cokelat lembut, selalu menemani ayahnya bekerja. Ia duduk di kursi kecil sambil mendengarkan detikan jam jam di toko itu seperti mendengarkan lagu pengantar tidur. Ia selalu mengatakan bahwa jam jam ayahnya berbicara dengan cara mereka sendiri. Tetapi malam itu, ketika ia memohon untuk melihat percobaan terakhir, Arthur tidak bisa menolaknya. Ia terlalu lelah, terlalu terobsesi, dan terlalu ambisius. Ia tidak menyadari bahwa keputusan itu akan menjadi penyesalan terbesarnya.
Ketika percobaan dilakukan, cahaya kecil muncul dari jam itu. Detikan jam berdetak mundur, bukan maju. Hanya beberapa detik saja. Tetapi ketika Elora menyentuh jam itu untuk melihat keajaiban itu dari dekat, cahaya tersebut menyelimuti tubuhnya. Arthur sempat memanggil namanya. Namun sebelum ia sempat menariknya menjauh, Elora menghilang seperti embun yang tersapu angin. Tidak ada teriakan. Tidak ada suara. Hanya dentingan kecil jam itu yang berhenti selamanya.
Arthur terjatuh di kursi kerjanya malam itu, memeluk udara kosong tempat Elora berdiri beberapa detik sebelumnya. Dunia seolah merenggut suara dari dirinya. Ia berteriak sampai suaranya hilang. Ia menghantam meja, menghancurkan alat alat, melempar rancangan. Lalu ketika kemarahan mereda, ia membawa jam itu ke sungai dan membuangnya. Ia berharap waktu akan mengembalikan anaknya. Tetapi waktu tidak pernah melakukannya. Tidak sampai malam ini.
Prototipe jam itu bergetar. Lampu minyak berkedip cepat. Hembusan angin dingin berputar di ruangan. Arthur ingin mundur, tetapi kakinya seperti ditarik ke lantai. Pada saat itulah ia melihat sesuatu dari sudut ruangan. Sebuah bayangan kecil bergerak cepat di antara gelap. Bayangan itu tidak tinggi, hanya setinggi anak kecil. Rambutnya terlihat seperti bergerak pelan, dan siluetnya tampak begitu akrab. Hati Arthur berhenti berdetak ketika ia menyadari bentuk itu sangat mirip dengan bayangan Elora.
Bayangan itu berhenti di depan pintu ruangan penyimpanan. Arthur tidak bisa melihat wajahnya. Hanya bentuknya. Tetapi ia merasakan aliran hangat di dadanya, rasa harapan yang menyengat, rasa takut yang membutakan, dan rasa bersalah yang menghancurkan dirinya. Ia meraih tangannya ke depan seolah mencoba memanggil bayangan itu. Namun saat ia membuka mulut, bayangan itu menghilang tepat saat denting jam hitam berbunyi untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun.
Semua jam di toko itu hidup kembali secara bersamaan. Detikan mereka meledak memenuhi ruangan seperti hujan batu kecil yang menabrak kaca. Dentingnya melengking, menekan telinga Arthur sampai ia berlutut. Gelombang suara itu terasa seperti menembus tulang dan menghancurkan udara. Suara itu memanggil sesuatu. Memanggil seseorang. Memanggil jawaban dari masa lalu yang tidak pernah selesai.
Cahaya samar muncul dari dalam jam prototipe. Cahaya itu berputar membentuk garis tipis yang terbang menuju pintu. Cahaya itu melintas cepat, menciptakan jejak tipis yang lenyap dalam hitungan detik. Arthur berusaha berdiri, namun lututnya terasa lemas. Ia memegangi kursi untuk menopang tubuhnya dan perlahan bangkit.
Ia melangkah keluar dari ruangan penyimpanan dengan napas terengah engah. Tangannya menggenggam jam hitam dengan kuat. Jam itu terasa lebih berat dari sebelumnya. Seakan jam itu membawa sesuatu dari masa lalu yang belum selesai. Ia berdiri di tengah toko, memandangi pintu depan yang kini sedikit terbuka. Udara dingin dari luar masuk pelan, membawa aroma hujan yang meresap ke tulang.
Arthur merasakan detik detik jam hitam bergetar di tangannya. Ia merasa sesuatu di luar sedang menunggunya. Sesuatu yang berkaitan dengan malam hilangnya Elora. Sesuatu yang menagih jawaban yang belum pernah ia berikan.
Ia berdiri lama sekali, menatap pintu yang setengah terbuka, lalu akhirnya ia berbisik. Jika malam ini waktunya dibuka kembali, aku akan menghadapinya. Tetapi jangan ambil lagi apa yang tersisa dariku.
Di luar, hujan berhenti secara tiba tiba. Kabut tipis mulai turun, melapisi jalan dengan putih lembut yang menipu mata. London malam itu terasa seperti dunia lain. Seakan seluruh kota sedang menunggu babak berikutnya dari sebuah kisah yang seharusnya telah berakhir sepuluh tahun lalu.