Berhenti Di Kamu
Namaku Maha. Siswa kelas sebelas yang cukup dikenal di sekolah. Bukan karena prestasi, bukan pula karena keahlian di lapangan basket, tetapi karena satu hal yang belakangan justru terasa memalukan. Karena aku terlalu mudah tertarik pada perempuan. Dan lebih mudah lagi… merasa bosan.
Entah sejak kapan kebiasaan itu muncul. Mungkin sejak aku menyadari indahnya rasa diperhatikan, sejak tahu bahwa senyum bisa membuat seseorang jatuh, dan janji kecil mampu meluluhkan hati. Namun, yang tidak pernah kusadari waktu itu adalah setiap senyum dan janji juga bisa meninggalkan luka.
Perempuan pertama yang kudekati bernama Dina. Aku menyukai caranya berpenampilan. Rambutnya selalu tampak sempurna, seolah tak ada helai yang salah tempat. Cara is berpakaian pun sederhana, namun begitu enak untuk dipandang. Ia sering mengirim pesan singkat setiap siang, menanyakan apakah aku sudah makan. Sesekali, ia selipkan emotikon hati kecil. Dua minggu kemudian, semuanya terasa datar. Aku mulai jarang membalas pesannya, bahkan sering pura-pura sibuk. Awalnya ia masih terus mencoba untuk mempertahankanku, namun mau bagaimana lagi? pada akhirnya, Dina yang menyerah lebih dulu.
Setelah Dina, ada Rani. Si gadis ceria, pandai berdebat, dan selalu tertawa keras. Awalnya menyenangkan, kami selalu berbagi canda ria setiap kali bertemu di sekolah. Selera humornya pun sangat cocok denganku. Namun, lagi-lagi hal yang sama terjadi. Lama-kelamaan, tawa yang dulu kunanti justru terasa melelahkan. Hubungan itu berakhir ketika Rani berkata, “Lo nggak nyari orang buat disayang, Mah. Lo cuma nyari panggung.” Saat itu aku tertawa, tapi kalimatnya terus terngiang sampai sekarang.
Lalu datang Lala, Kezia, Dinda, juga Salsa. Nama-nama yang datang dan pergi seperti hujan sore bulan November, yang deras, singkat, lalu hilang begitu saja. Setiap hubungan selalu berakhir, aku selalu berkata pada diri sendiri, “Tidak apa-apa, mungkin bukan dia.” Padahal yang belum siap, bukan mereka. Tapi aku.
Sampai suatu hari, aku mengenal Wulan.
Wulan adalah teman sekelas dari teman dekatku. Arga, yang kebetulan satu kelas dengannya. Waktu itu Arga sedang membuka Instagram di kantin, lalu memperlihatkan sebuah akun kepada kami.
“Ini anak kelasku, Wulan,” katanya. “Anaknya kalem banget, nggak pernah ikut rame-rame. Tapi pintar, lho. Sering bantu guru nulis pengumuman di papan mading, bahkan sering juga maju kedepan untuk menjawab soal di papan tulis. Aku melihat foto profilnya. Terlihat sebuah foto sederhana. Wajahnya tidak dipoles berlebihan, tapi entah mengapa, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku berkata dalam hati, “siapa anak ini? kenapa belum pernah ku liat sebelumnya?”
Entah ada dorongan apa, malamnya aku membuka kembali akun Instagramnya. Aku melihat beberapa unggahannya, mulai potongan pemandangan, foto wisuda smp, foto selfienya, dan berbagai postingan lainnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat postingan seorang perempuan yang membuat jantungku berdebar saat memandanginya, dari situ aku tahu, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat dia berbeda dari yang lain.
Tanpa berpikir panjang, aku mulai mengikuti akun instagramnya. Selang beberapa saat, betapa senangnya aku melihat notifikasi dari dirinya yang mengikuti kembali akun instagramku. Dan seperti biasa, aku pun memberanikan diri untuk mengiriminya pesan.
”Hai. Aku Maha, temannya Arga.” Pesan terkirim. Centang satu. Dua. Tidak ada balasan. Aku mencoba lagi esok harinya. “Arga bilang kamu jago nulis. Boleh lihat hasil tulisan kamu?” Masih tidak dibalas.
Tiga hari berlalu tanpa balasan sedikitpun. Sampai akhirnya muncul notifikasi kecil di layar ponselku. “Maaf, aku jarang buka DM. Kamu mau lihat tulisan apa?” Sesederhana itu, tapi membuat jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena selama ini aku yang selalu direspons cepat, dan kali ini… aku yang harus menunggu.
Sejak saat itu, kami mulai berbincang perlahan. Tapi Wulan berbeda. Ia tidak menanggapi semua gurauanku dengan rasa semangat. Setiap kali aku mencoba menggoda, ia menanggapi dengan logika yang tenang. Dari situ aku tahu dia bukan tipe yang mudah luluh. Aku sempat berpikir untuk menyera dan berhenti. Tapi entah kenapa, aku justru semakin penasaran.
Hingga suatu hari, sebuah kejadian kecil mengubah semuanya. Hari itu, sekolah mengadakan acara lomba kebersihan kelas. Aku ditunjuk menjadi koordinator di kelasku, sementara Wulan ditugaskan oleh guru untuk menulis dokumentasi kegiatan di papan mading. Saat keliling memantau kelas, aku melihatnya sedang berjongkok di depan kelas sepuluh, mencoba memperbaiki pot bunga yang patah.
“Tangan kamu kenapa? Luka?” tanyaku saat melihat jari telunjuknya berdarah. “Oh, kena pecahan pot. Nggak parah kok,” jawabnya ringan, berusaha tersenyum. Tanpa banyak bicara, aku mengambil tisu dari saku dan membalut jarinya perlahan.“Kalau luka kecil aja dibiarkan, nanti malah infeksi,” kataku. Ia terdiam beberapa detik, lalu menatapku sambil berkata, “Kamu nggak harus seramah itu ke semua orang, tahu.” Aku tertawa kecil. “Siapa bilang semua orang? Ini cuma buat kamu.” Wulan menghela napas pendek, tapi aku tahu ia menahan senyum.
Dari kejadian kecil itu, sesuatu berubah. Sejak hari itu, ia mulai membalas pesanku lebih cepat. Kadang hanya satu-dua kalimat, tapi cukup untuk membuat hari-hariku terasa lebih penuh. Kami mulai bertukar cerita setiap malam. Tentang sekolah, tentang hal-hal kecil seperti hujan yang turun tanpa tanda, atau tentang cita-cita masa depan yang belum tentu pasti. Aku selalu berusaha membuatnya tertawa, dan ia mulai terbiasa membalas candaku dengan kalimat-kalimat hangat.
Beberapa minggu kemudian, aku mulai sering menghampiri kelasnya saat istirahat. Arga sering menggoda, “Maha, lo nggak malu ke kelas sepuluh mulu?” Aku hanya tertawa. “Kalau malu, ngapain aku kesini dong?”
Setiap kali aku datang, Wulan selalu berusaha terlihat biasa saja, tapi teman-temannya langsung ribut. Ada yang bersiul, ada yang berteriak, “Ih, Kak Maha dateng lagi tuh!” Aku hanya tersenyum, lalu duduk di bangku belakang, menunggu ia menyelesaikan tulisannya. Setelah itu, kami biasanya berjalan ke kantin disebelah kelasnya untuk membeli makan siang sambil berbincang hangat.
“Kenapa kamu dulu nggak mau bales chat aku?” tanyaku suatu sore. “Karena aku pikir kamu sama aja kayak cowok-cowok lain,” jawabnya dengan jujur. “Terus kenapa sekarang mau?” Ia menatap langit sebentar, lalu berkata, “Karena ternyata kamu tetap sama. tetap berusaha, meski aku cuekin. Kalimat sederhana itu cukup membuatku kehilangan arah. Aku hanya bisa tertawa gugup. “Jadi aku harus makasih karena kamu sempet nyuekin aku, dong?” Wulan ikut tertawa. “Iya, biar kamu punya alasan buat nggak gampang nyerah.”
Sejak hari itu, hubungan kami semakin dekat. Kami mulai saling menunggu kabar setiap pagi. Ia mengirim pesan, “Udah sarapan, belum?” dan aku akan membalas “Belum. Mau traktir aku makan di kantin?”. Kadang kami bercanda sampai lupa waktu, kadang diam hanya untuk saling membaca tulisan satu sama lain. Tapi aku tahu, di balik semua itu, aku benar-benar mulai jatuh hati. bukan seperti dulu, bukan karena perasaan sesaat. Aku sungguh ingin mengenalnya, ingin melindunginya, ingin melihatnya tertawa setiap hari.
Sampai pada suatu sore sepulang sekolah, aku menunggunya di depan gerbang. Hujan turun ringan, dan Wulan datang sambil menenteng payung kecil. Ia menghampiriku dengan senyum manisnya sambil bertanya “Ngapain di sini? Mau nebeng payung?”. Aku tersenyum dan menjawab, “Kalo nebeng hati aja gimana? boleh gak” Ia memutar bola matanya, tapi tidak menolak. Kami kemudian berjalan berdampingan, payung kecil itu hanya cukup menutupi setengah tubuh kami. Setiap tetes air yang jatuh ke pundakku rasanya hangat, mungkin karena Wulan di sebelahku.
Sejak hari itu, aku tidak lagi mencari siapa pun. Setiap istirahat, aku tetap datang ke kelasnya, hanya untuk menyapanya sebentar, sekadar melihat senyumnya yang sederhana tapi entah mengapa selalu menenangkan. Suatu sore di taman sekolah, aku berkata dengan nada serius, “Wulan, aku nggak tahu ini terlalu cepat atau nggak, tapi aku beneran suka sama kamu.” Ia menunduk, menggenggam buku kecil di tangannya. “Aku takut, Maha.” “Takut apa?” jawabku kembali. “Takut kamu cuma ngerasa tertarik, bukan beneran sayang. Aku bukan orang yang bisa main perasaan. Aku terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau aku cuma tertarik, aku udah berhenti dari dulu, Lan. Tapi nyatanya, aku masih di sini. Masih nunggu kamu tiap hari. Masih mau dengerin semua cerita kamu, meski cuma tentang kucing tetangga.” tegasku padanya. Wulan tersenyum kecil, lalu berkata pelan, “Kamu tahu nggak, Maha? Dari semua orang yang pernah bilang suka, kamu yang paling nggak buru-buru.” Aku hanya membalas dengan tatapan yang tenang. “Karena kali ini, aku nggak mau kehilangan.”
Sejak itu, kami tidak perlu lagi banyak bicara tentang “status”. Semua orang tahu kami saling menyukai, bahkan tanpa harus mengakuinya secara resmi. Hari demi hari berlalu. Aku tetap menghampiri kelasnya, ia tetap menungguku setiap sore. Kami berbagi tawa, kadang saling diam, tapi tidak pernah jauh.
Sampai suatu hari, hari terakhir sekolahpun tiba. Semua orang sibuk berfoto dengan teman-temannya dengan gaya-gaya yang seolah-olah membuat mereka terlihat imut. Namun aku tidak terlalu banyak berfoto. Aku hanya berdiri di koridor, melihat Wulan di ujung tangga. Rambutnya dikepang dua, dengan pita biru kecil di ujungnya. Aku melangkah pelan ke arahnya.
“Boleh aku tanya satu hal terakhir sebelum hari terkahir disekolah ini berakhir?” kataku. Wulan menatapku dengan senyum tipis. “Tergantung pertanyaannya.” Akupun tersenyum tipis. “Boleh nggak… aku berhenti di kamu?” Tanyaku dengan gugup padanya. Ia diam sejenak. Tatapannya dalam, membuatku bisa mendengar detak jantung sendiri. Lalu ia berkata pelan, “Kalau berhenti artinya kamu nggak akan pergi lagi… maka boleh.” Aku tersenyum lebar. Hujan tiba-tiba turun, membasahi seluruh halaman sekolah. Tapi entah kenapa, rasanya hangat.
Sekarang, jika ada yang bertanya, “Maha, masih suka ganti-ganti cewek?” Aku hanya tertawa kecil. “Dulu iya. Tapi sekarang, aku sudah berhenti di satu nama. Wulan. Karena ternyata, dari sekian banyak yang pernah singgah, hanya satu yang membuatku ingin bertahan. Dan mungkin, cinta sesederhana itu. Bukan tentang siapa yang paling indah, melainkan tentang siapa yang membuatmu berhenti mencari yang lain.