Langkah Kecil Diujung Senja
Senja merayap perlahan di cakrawala ketika Adit menuruni tangga rumah panggung milik keluarganya. Cahaya jingga memantul di kaca jendela, menciptakan bayangan panjang yang mengikuti setiap langkahnya. Angin sore membawa aroma tanah basah setelah hujan siang tadi—aroma yang selalu membuatnya merasa tenang, namun hari ini tidak. Ada sesuatu yang bergolak di dadanya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Adit baru berusia enam belas tahun, namun akhir-akhir ini hidupnya terasa seperti medan yang tak lagi mudah ditebak. Ia duduk di bangku kayu dekat kolam ikan, tempat yang biasa ia gunakan untuk melarikan diri dari hiruk pikuk rumah. Ia meraih satu potong kerikil lalu melemparkannya ke permukaan air. Lingkaran-lingkaran kecil menyebar, seolah menertawakan kegelisahannya.
Di dalam rumah, suara ibu dan ayahnya masih terdengar samar. Mereka kembali membicarakan masa depan—sesuatu yang membuat Adit merasa semakin terjepit. Ibu ingin ia masuk kelas IPA, sementara ayah ingin ia ikut kursus teknik agar “punya masa depan yang jelas”. Adit merasa keduanya seperti menarik tangannya ke arah berlawanan, sementara dirinya sendiri bahkan belum tahu ke mana ingin melangkah.
“Dit?”
Suara lembut itu membuatnya menoleh. Lala berdiri beberapa langkah darinya, rambutnya yang sebahu tertiup angin, dan senyumnya seperti selalu—tenang namun penuh tanya. Mereka bertetangga sekaligus teman sejak kecil. Kalau ada orang yang paling mengenal Adit, mungkin hanya Lala.
“Kamu ngapain bengong?” tanya Lala sambil ikut duduk di sampingnya.
Adit mengangkat bahu. “Cuma mikir.”
“Pasti tentang kelas, ya?” Lala menebak tepat sasaran. “Aku dengar ibumu cerita sama mamaku.”
Adit tersenyum hambar. “Kayaknya semua orang tahu, kecuali aku sendiri yang belum tahu mau gimana.”
Lala menatap kolam, matanya mengikuti gerakan ikan mas yang berenang pelan. “Kalau kamu nggak tahu mau ke mana, ya cari tahu pelan-pelan. Bukan orang lain yang jalanin hidup kamu, Dit.”
Adit terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Sudah lama ia merasa seperti orang yang hanya mengikuti arus, melakukan apa pun yang orang dewasa bilang “benar” tanpa pernah bertanya apa ia benar-benar menginginkannya.
Malam itu rumah terasa sesak. Ayah dan Ibu duduk di meja makan, menatapnya dengan raut serius yang membuat Adit semakin gelisah.
“Adit,” kata ayah. “Kamu sudah kelas sebelas. Harus mulai menentukan arah. Kalau kamu pilih IPA, nanti peluang masuk teknik lebih besar.”
Ibu menyambung, “Ibu hanya ingin yang terbaik. Teman sekelas kamu banyak yang sudah memilih jurusan.”
Adit memandang nasi di piringnya, tapi rasanya hambar. “Tapi… aku belum yakin.”
Ayah menghela napas panjang, seperti sudah menduga jawaban itu. “Adit, hidup itu bukan hanya soal yakin. Kadang kita harus memilih cepat, supaya tidak tertinggal.”
Ada jeda panjang. Ibu menatapnya, ayah menunggu, dan Adit merasa semakin kecil di kursinya.
“Boleh aku mikir lagi, Yah… Bu?” suaranya hampir tak terdengar.
Ayah sempat tampak ingin membantah, tapi ibu menyentuh tangannya. “Baiklah. Tapi jangan lama-lama.”
Adit mengangguk. Namun hatinya terasa semakin sesak. Ia merasa seperti dikejar sesuatu yang tidak terlihat.
Malam itu ia tidak bisa tidur. Ia mencari buku-buku lamanya dan menemukan album foto yang tersimpan di rak bawah. Ada foto dirinya saat SD—duduk di ujung panggung kecil dengan gitar di tangan, tersenyum lebar seperti tidak ada beban di dunia. Dulu ia suka musik. Dulu ia selalu ceria saat mengambil gitar. Dulu ia pernah bermimpi punya band.
Kapan terakhir kali ia benar-benar tersenyum seperti itu?
Ia tidak tahu.
Esok paginya, Adit pergi ke sekolah dengan langkah berat. Di lorong sekolah, teman-temannya hanya membicarakan dua hal: nilai dan jurusan. Beberapa tampak percaya diri, sebagian lainnya tampak pasrah. Adit sendiri merasa seperti penonton dalam sebuah permainan yang tidak ia pahami.
Di kelas, Bu Ratna—wali kelas mereka—menjelaskan kembali tentang pemilihan jurusan. Suaranya lembut namun tegas, memberikan arahan akademik yang biasanya mudah diikuti. Tapi bagi Adit, semuanya terdengar seperti gema jauh yang sulit ditangkap.
Setelah kelas usai, Lala menghampirinya. “Aku ikut ekskul musik lagi nanti. Temenin, yuk?”
Adit ragu. Ia sudah lama tidak menyentuh gitar. “Aku… nggak yakin bisa.”
“Adit.” Lala menatapnya penuh makna. “Kamu nggak harus jago buat mulai lagi.”
Diam-diam, sesuatu dalam hati Adit bergerak. Ia mengikuti langkah Lala menuju ruang ekskul musik yang berada di gedung lama belakang sekolah. Ruangan itu tidak besar, tapi terasa hidup: beberapa gitar digantung di dinding, keyboard tua di pojok, dan satu set drum di tengah.
“Kamu masih ingat cara main gitar?” tanya Lala sambil menyerahkan gitar akustik.
Adit menghembuskan napas. “Kayaknya… lupa.”
Tapi begitu jarinya menyentuh senar, memori-memori lama seperti bangun dari tidur panjang. Ia memetik perlahan—awalnya canggung, lalu lebih mantap. Nada-nada sederhana itu memenuhi ruangan, dan Adit merasakan sesuatu yang nyaris ia lupakan: kenyamanan.
Lala tersenyum. “Aku kangen lihat kamu kayak gini.”
Adit berhenti memetik. “Kayak gini gimana?”
“Kayak Adit yang dulu,” jawab Lala. “Yang lakuin sesuatu karena dia suka. Bukan karena orang lain minta.”
Adit tercekat. Ia ingin tertawa, tapi juga ingin menangis.
Hari-hari berikutnya Adit mulai sering datang ke ruang musik. Tidak selalu bersama Lala, kadang sendirian. Memetik gitar di ruangan kecil itu terasa seperti membuang beban yang selama ini ia pendam. Ia belajar lagu-lagu baru, mencoba menulis melodi sendiri, bahkan terkadang bernyanyi pelan tanpa sadar.
Namun semakin ia menikmati musik, semakin besar pula ketakutan yang menghantui: bagaimana jika musik bukan masa depan yang dianggap “baik” oleh orang tuanya? Bagaimana jika ia hanya membuang waktu?
Suatu sore ia pulang lebih lambat dari biasa. Ayah masih duduk di ruang tamu, menunggu.
“Kamu dari mana?” tanya ayah, suaranya datar.
“Aku tadi di ruang musik, Yah,” jawab Adit jujur.
Ayah mengangguk pelan tetapi tidak tersenyum. “Adit, main musik boleh. Hobi itu penting. Tapi kamu juga harus ingat masa depan.”
“Aku ingat, Yah,” kata Adit dengan suara yang ia paksa tetap tenang. “Tapi… aku juga ingin cari tahu apa yang benar-benar aku mau.”
Ayah menatapnya lama. “Kamu mau bilang kalau musik itu masa depanmu?”
Adit tak bisa langsung menjawab. “Aku belum tahu. Tapi aku ingin mencoba dulu sebelum memutuskan.”
Ayah tertawa kecil, bukan mengejek, tapi pahit. “Hidup bukan percobaan terus, Adit.”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ayah sadari.
Adit masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan duduk memeluk lutut. Untuk pertama kalinya ia menangis. Bukan karena marah, tapi karena bingung. Ia merasa di antara dua dunia: dunia remaja yang penuh mimpi, dan dunia dewasa yang penuh tuntutan.
Beberapa hari kemudian sekolah mengadakan “Pekan Minat dan Bakat”. Setiap ekskul diberi kesempatan tampil dan memperkenalkan kegiatan mereka kepada siswa-siswa baru. Lala mengusulkan agar Adit tampil memainkan satu lagu sederhana.
“Aku? Nggak mungkin,” tolak Adit cepat.
“Kamu bisa,” Lala meyakinkan. “Kamu cuma takut.”
“Tentu aku takut! Lama nggak tampil, terus tiba-tiba main depan orang banyak?”
“Justru itu.” Lala tersenyum lembut. “Kadang kita cuma butuh satu langkah kecil buat berubah.”
Adit terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Hari penampilan tiba. Ruangan aula penuh dengan siswa. Suara orang bercampur, riuh tetapi hangat. Ketika nama ekskul musik dipanggil, Adit merasa lututnya melemah. Lala menepuk bahunya sebelum turun panggung.
“Tarik napas. Kamu nggak sendirian,” kata Lala.
Adit duduk, memegang gitar, dan menatap audiens. Lampu membuat mereka tampak seperti siluet-siluet samar. Tangannya gemetar saat memetik senar pertama. Tapi begitu melodi mengalun, rasa takut itu perlahan mencair. Adit menutup mata, membiarkan musik memandu.
Lagu itu sederhana—tentang langkah kecil, tentang mencari arah, tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri. Saat nada terakhir mereda, aula hening sejenak sebelum tepuk tangan memenuhi ruangan.
Adit membuka mata. Ia melihat senyum Lala, senyum teman-teman, dan untuk pertama kalinya ia merasa berat beban di dadanya berkurang.
Namun bukan itu bagian tersulitnya. Bagian tersulit justru ketika ia pulang.
Ayah sudah melihat rekaman penampilannya dari grup WhatsApp orang tua. Ibu duduk di samping ayah, tampak bingung sekaligus bangga. Ayah mematikan ponsel lalu menatap Adit.
“Kamu main bagus,” kata ayah, suaranya berbeda—lebih lembut.
Adit tidak tahu harus menjawab apa. “Terima kasih, Yah.”
Ayah menghela napas. Lama. “Adit… Ayah mungkin terlalu keras. Ayah cuma takut kamu salah jalan. Dunia semakin sulit sekarang.”
“Aku tahu, Yah,” Adit menunduk.
“Tapi Ayah lihat kamu bahagia waktu main. Dan Ayah sadar… Ayah nggak mau jadi alasan kamu berhenti melakukan sesuatu yang kamu suka.”
Adit menatap ayah dengan mata berkaca-kaca.
Ayah melanjutkan, “Ayah tetap ingin kamu punya rencana masa depan yang jelas. Tapi kalau musik itu bagian dari jalan kamu, Ayah akan coba memahami.”
Adit merasa seperti baru bisa bernapas setelah sekian lama. “Aku… belum tahu mau ke mana, Yah. Tapi aku ingin cari tahu dengan caraku sendiri. Boleh?”
Ayah tersenyum tipis. “Silakan, Nak. Tapi jangan lupa belajar.”
Adit tertawa pelan. “Iya, Yah.”
Ibu ikut memeluknya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, rumah terasa hangat.
Malam itu Adit duduk di beranda, gitar di pangkuan, memetik pelan lagu yang baru ia buat. Liriknya belum lengkap, melodinya belum sempurna, tapi ada rasa baru yang mengalir dalam setiap nadanya: keberanian.
Lala datang menghampiri. “Adit.”
“Hm?”
“Aku bangga sama kamu.”
Adit tersenyum. “Aku juga nggak akan bisa kalau nggak ada kamu.”
Lala duduk di sampingnya. “Kamu tahu nggak? Beranjak dewasa itu nggak harus langsung sempurna. Yang penting berani terus melangkah.”
Adit memandang langit. Senja sudah hilang, digantikan bintang-bintang kecil. “Iya,” katanya. “Kayaknya aku baru benar-benar ngerti.”
Angin malam berhembus pelan. Di bawah cahaya lampu teras, Adit menutup mata dan kembali memetik gitar—melodi baru, langkah baru, hidup baru. Ia tidak lagi merasa tersesat.
Ia hanya seorang remaja yang sedang tumbuh. Pelan-pelan. Dengan luka kecil dan keberanian kecil. Tapi setiap langkah, betapa pun kecilnya, mengarahkannya pada masa depan yang mulai ia pahami.
Dan untuk pertama kalinya, masa depan itu tidak tampak menakutkan.