Rumah di Ujung Sungai
Kabut pagi menggantung rendah di atas sungai Lurana, membuat alirannya tampak seperti lembaran perak yang bergetar. Suasana itu selalu membuat Raina merasa tenang. Tapi hari ini, ketenangan itu terasa palsu—seperti permukaan air yang tampak damai padahal dasar sungai menyembunyikan arus yang ganas.
Raina berdiri di depan rumah tua di ujung sungai itu. Rumah kayu dengan cat biru yang mengelupas, jendela yang setengah terbuka, dan pintu yang bergoyang pelan setiap kali angin lewat. Ia sudah dua belas tahun tidak menginjakkan kaki ke sini.
“Masih sama,” gumam Raina, menarik napas panjang.
Ia datang karena surat—surat tanpa nama pengirim—yang ia terima tiga hari lalu. Di dalamnya hanya ada satu kalimat:
“Pulanglah, sebelum semuanya menghilang.”
Surat itu disertai foto rumah ini. Tidak ada tanda cap pos, seakan seseorang meletakkannya langsung di kotak surat apartemennya.
Raina menatap pintu rumah. Tangannya gemetar sedikit ketika ia menyentuh gagangnya. Pintu itu berderit perlahan, membuka ke ruangan yang penuh debu dan bayangan.
“Halo?” panggilnya.
Tidak ada jawaban. Hanya dengun angin yang menyelinap melalui celah dinding.
Raina melangkah masuk. Bau kayu lembap, debu, dan kenangan lama menyergapnya sekaligus.
Rumah ini adalah rumah masa kecilnya—rumah tempat ia tinggal bersama ayahnya, seorang nelayan sungai. Namun sejak sang ayah dinyatakan menghilang dua belas tahun lalu, ketika Raina masih berusia sepuluh tahun, rumah ini terbengkalai. Orang-orang desa percaya ayahnya tenggelam terseret arus sungai Lurana saat badai besar.
Namun tubuhnya… tidak pernah ditemukan.
Itu yang selalu mengganggu Raina.
Ia berjalan melewati ruang tamu, menyentuh perabotan yang ditutupi kain putih. Foto dirinya bersama ayahnya masih tergantung di dinding: seorang pria berwajah cerah dengan mata tajam namun hangat, menggendong Raina kecil yang tertawa tanpa beban.
“Ayah…” Raina berbisik. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”
Ia melepas jaket, berkeliling rumah sambil membuka jendela yang jamurnya hampir membatu. Cahaya masuk, menerangi debu yang beterbangan seperti serpihan memori.
Di atas meja, ia melihat sesuatu.
Sebuah kotak kayu kecil.
Raina mengerutkan kening. Kotak itu tidak pernah ada di sini sebelumnya. Ia membukanya perlahan.
Di dalamnya terdapat kompas tua. Jarumnya bergetar, lalu berhenti mengarah ke… sungai.
Jantung Raina berdegup.
“Kompas milik Ayah…” gumamnya.
Ia ingat benar benda itu. Ayah selalu membawanya saat pergi memancing ke hilir.
Tapi kenapa kompas itu ada di kotak? Dan siapa yang meletakkannya?
Raina menutup kotak itu, membawa kompasnya, lalu keluar dari rumah menuju sisi sungai. Pepohonan rapat menaungi jalan setapak menuju dermaga kecil yang sudah lama tidak digunakan. Papan kayu dermaga itu dipenuhi lumut.
Arus sungai bergerak lambat pagi itu. Tapi ada sesuatu yang aneh.
Kompas di tangan Raina bergetar kencang, seolah menunjukkan sesuatu di tengah sungai yang tampak kosong.
“Tidak mungkin…” Raina berbisik.
Ia turun ke perahu tua yang terikat di dermaga. Ajaibnya, perahu itu masih layak. Dayungnya pun masih tersandar. Seolah seseorang merawatnya selama ini.
“Kalau ini jebakan…” katanya sambil menatap sekeliling.
Tidak ada siapa-siapa.
Ia naik ke perahu dan mulai mendayung pelan, mengikuti arah kompas yang terus menunjuk ke satu titik di tengah aliran sungai.
Saat ia mencapai titik itu, kompas tiba-tiba berhenti bergetar.
Raina berhenti mendayung.
Air sungai tenang, begitu bening hingga ia bisa melihat bayangan dirinya.
Namun kemudian ia melihat sesuatu yang membuat napasnya berhenti.
Bayangan orang lain.
Di permukaan air, di samping bayangannya, terdapat bayangan seorang pria dewasa berdiri di tepi perahu. Tapi ketika ia menoleh…
Tidak ada siapa pun.
Jantung Raina berdetak kencang. Ia menatap air lagi. Bayangan pria itu masih ada—tapi tampak lebih jelas. Seorang pria berjaket tua, berdiri dengan kepala sedikit menunduk.
“Ayah?” suara Raina bergetar.
Bayangan itu perlahan mengangguk.
Raina menutup mulutnya, mencoba menahan tangis. “Ayah… kalau itu benar kamu, tolong… tunjukkan sesuatu.”
Bayangan itu mengangkat tangan dan menunjuk ke dasar sungai.
Raina mengikuti arah tunjukannya. Di bawah air, samar-samar, ia melihat bentuk seperti kotak besar yang tertutup lumpur.
“Ada sesuatu di bawah sana,” gumamnya.
Ia memikirkan kemungkinan terburuk, tapi menyingkirkannya. Ia tidak boleh berhenti sekarang, setelah dua belas tahun penantian.
Dengan tangan gemetar, ia meletakkan dayung dan membungkuk lebih dekat ke air.
Tiba-tiba, sesuatu menyentuh perahu dari bawah.
Perahu bergoyang keras.
“Astaga—!”
Ia hampir jatuh, namun berhasil memegang sisi perahu. Arus air berubah, berputar di sekitar perahu seolah ada benda besar yang bergerak di bawah.
“Siapa di sana?!” teriaknya ke air, meski ia tahu itu pertanyaan bodoh.
Bayangan di permukaan air menghilang seketika, dan arus kembali tenang.
Raina terengah-engah.
“Aku harus kembali ke rumah,” katanya cepat.
Ia mendayung sekuat tenaga kembali ke dermaga.
Sesampainya di rumah, Raina langsung memasuki ruang tamu. Nafasnya masih kacau. Ia duduk, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru terjadi.
Kemudian ia mendengar suara langkah kaki.
Langkah kaki di lantai atas rumah.
Suara itu jelas… pelan… tapi nyata.
Raina memegang gagang kompas erat-erat, lalu naik perlahan ke lantai dua. Tangga berderit di bawah kakinya.
Di ujung lorong, pintu kamar ayahnya terbuka.
Padahal tadi ia ingat jelas pintu itu tertutup.
“Ayah?” panggilnya.
Ia melangkah masuk.
Kamar itu sama sekali tidak berubah—tempat tidur rapi, meja kerja penuh peta sungai Lurana, dan lampu meja yang masih berdebu.
Tapi di atas meja… ada secarik kertas yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Kertas itu baru. Tidak berdebu.
Dengan tangan gemetar, ia meraihnya.
Di sana tertulis:
“Jangan percaya air yang tenang.”
– Ayah
Raina mematung. Kata-kata itu adalah kalimat yang sering ayah ucapkan dulu. Nasihat khas seorang nelayan yang memahami bahaya sungai. Tapi… bagaimana mungkin kertas ini baru muncul sekarang?
Bayangan di luar jendela bergerak.
Seseorang berdiri di tepi sungai.
Raina mendekat ke jendela, melihat lebih jelas.
Tubuh pria itu samar karena kabut, tapi posturnya… sama seperti bayangan di air tadi. Ia berdiri diam, seolah menunggu.
Raina merasakan tekad aneh memenuhi dirinya. Jika ini cara ayahnya meminta bantuan… ia harus menghadapi semuanya.
Ia berlari keluar rumah, menuju tepi sungai.
Namun ketika ia tiba, pria itu sudah menghilang.
Yang tersisa hanya tanah basah dan jejak kaki.
Jejak kaki yang memanjang ke arah hutan kecil di sebelah sungai.
“Ayah… kamu ingin aku mengikuti?” Raina bertanya dalam hati.
Ia mengikuti jejak itu. Hutan di sekitar sungai lebih gelap dari biasanya, dan semakin jauh ia melangkah, semakin ia merasa sedang memasuki tempat yang menyimpan rahasia besar.
Setelah beberapa menit berjalan, ia menemukan sebuah pondok kecil yang tersembunyi di balik pepohonan. Pondok itu tampak lebih baru daripada rumah ayahnya—seperti dibangun setelah ia pergi dari desa.
Pintu pondok itu terbuka sedikit.
“Ada orang di sini?” panggil Raina.
Tidak ada jawaban.
Ia masuk perlahan.
Di dalam pondok, hanya ada satu ruangan kecil. Meja, kursi, rak berisi buku-buku tentang sungai dan arus air, serta…
Sebuah jurnal hitam di atas meja.
Jurnal itu memiliki inisial: A.K.
Adit Kuswara.
Nama ayahnya.
Raina membuka halaman pertama.
Tulisan tangan ayahnya memenuhi halaman, rapi seperti biasa.
“Jika Raina menemukan ini, berarti aku gagal kembali.”
Raina menahan napas.
Ia membaca lagi.
“Tahun itu, aku tidak terseret arus. Ada seseorang yang menjatuhkanku ke sungai.”
Raina membeku.
Ayahnya tidak… tenggelam?
“Dia menginginkan sesuatu dariku. Peta aliran bawah tanah sungai Lurana. Peta yang bisa mengungkap ruang tersembunyi di dasar sungai—ruang yang tersambung ke terowongan tua peninggalan kolonial.”
Raina menutup mulutnya. Ini jauh di luar dugaannya.
“Aku melompat ke sungai untuk menyelamatkan peta itu dari tangan orang itu. Tapi arus bawah menyeretku ke ruang tersebut. Aku selamat, tapi terjebak. Aku menulis jurnal ini dari dalam terowongan itu, berharap suatu hari ada yang menemukannya.”
Raina membaca dengan mata berkaca-kaca.
“Jika kau membaca ini, Raina… ikuti kompas. Kompas itu menunjukkan jalan menuju pintu masuk terowongan. Pintu itu berada di dasar sungai.”
Raina menutup jurnal itu dengan tangan gemetar.
“Dasar sungai…?”
Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar di luar pondok.
Raina menoleh cepat.
Seseorang berdiri di pintu.
Pria tua, berwajah keras, dengan mata yang penuh kegelapan. Raina mengenal wajah itu—tetangganya dulu, Pak Darso. Orang yang selalu aneh, selalu mengawasi rumah mereka, dan selalu muncul setiap kali ayahnya pergi memancing.
“Kau tidak seharusnya ke sini,” katanya dengan suara berat.
“Apa… apa yang kamu lakukan pada Ayahku?” tanya Raina dengan suara pecah.
Pak Darso tersenyum miring. “Ayahmu punya sesuatu yang harusnya menjadi milikku. Peta itu. Dengan peta itu, aku bisa—”
Raina tidak mendengarkan sisanya.
Ia berlari keluar pondok, menembus pepohonan kembali ke sungai. Pak Darso berteriak mengejarnya, langkahnya berat namun cepat.
Raina tiba di sungai dan melompat ke perahu tua. Ia melepas tali dan mulai mendayung sekuat tenaga.
Pak Darso sampai di dermaga tepat ketika perahu menjauh.
“Berhenti!” teriaknya.
Raina tidak berhenti. Kompas bergetar, menunjukkan titik yang sama seperti sebelumnya.
Titik pintu terowongan.
Arus sungai menjadi lebih kuat, seolah memahami tujuannya.
Saat perahu mencapai titik itu, air tiba-tiba membentuk pusaran kecil. Cahaya samar muncul di bawah permukaan, seperti pintu rahasia yang terbuka.
Raina menarik napas panjang.
Ia tahu yang harus ia lakukan.
“Aku akan menemukanmu, Ayah.”
Tanpa ragu, ia melompat ke air.
Air dingin menyelimuti tubuhnya. Ia berenang ke cahaya itu, mengikuti tarikan kompas yang mulai bersinar.
Sebelum cahaya menelan dirinya sepenuhnya, Raina sempat melihat sesuatu di permukaan air.
Bayangan pria itu lagi.
Ayahnya.
Sambil mengangguk bangga.
Raina tersenyum sebelum gelap menutup pandangannya.
Dan petualangan baru—yang menantinya dua belas tahun—akhirnya dimulai.
Raina membuka matanya perlahan. Ia masih di dalam terowongan itu, namun cahaya kini lebih lembut, hangat seperti sinar matahari yang merembes dari atas air. Di hadapannya, genangan sungai bawah tanah memantulkan bayangan seorang pria—sosok ayahnya.
“Raina,” suara itu terdengar lembut, bergema tanpa berasal dari mana pun.
Air matanya mengalir. “Ayah… aku menemukanmu.”
Bayangan itu tersenyum. “Kau lebih berani dari yang Ayah kira. Terowongan ini bukan tempat kematian, tapi tempat peristirahatan. Sungai menjagaku… dan kini menuntunmu.”
Raina menatap peta di tangannya. Cahaya dari peta perlahan memudar, berganti menjadi abu halus yang larut ke air. “Jadi ini… sudah berakhir?”
“Sudah. Tapi sungai akan selalu menjagamu, seperti dulu Ayah menjagamu.”
Raina menutup matanya, merasakan kehangatan itu mengalir dalam dada. Saat ia membuka mata lagi, ia sudah berada di permukaan sungai, di bawah langit sore yang tenang. Kompas di tangannya berhenti bergerak—jarumnya mengarah tepat ke rumah di ujung sungai.
Raina tersenyum, menatap arus air yang berkilau.
Kini ia tahu, ayahnya tidak pernah benar-benar pergi.