Sunyi di Tengah Keramaian
Belakangan ini, semua hal terasa begitu ramai.
Suara teman yang sedang ngobrol di kelas, tawa dari sudut ruangan, bahkan bunyi pulpen yang jatuh pun bisa membuatku kaget setengah mati. Rasanya seperti dunia sedang menempel tepat di sebelah telingaku keras, berisik, dan tak kenal ampun. Dan mungkin saja, bukan dunia yang berubah. Melainkan aku.
Aku bukan orang yang penakut. Aku hanya… lelah.
Semuanya dimulai saat hari-hariku berubah jadi daftar hal yang harus segera kuselesaikan.
Nilai, tugas, ekspektasi semuanya menumpuk seperti suara-suara kecil yang tak pernah mau diam. Aku pikir, kalau aku terus menyibukkan diri, terus bergerak, semua itu akan hilang.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Dunia malah makin bising.
Suara, tawa, bahkan percakapan ringan mulai terdengar seperti sesuatu yang menyerang, bukan menemani.
Padahal mereka cuma bicara seperti biasa.
Tapi di kepalaku, setiap kata terasa terlalu keras, terlalu dekat, seakan menabrak dari segala arah.
Aku memasangkan AirPods ku, lalu memutar musik dengan keras, supaya orang lain tidak tahu kalau sebenarnya aku sedang berusaha menenangkan detak jantungku yang tidak karuan ini.
Setiap hari selalu begitu.
Aku ikut tertawa saat mereka bercanda, ikut ngobrol dengan yang lainnya, mencoba terlihat “baik-baik saja.” Tapi begitu suasana sudah sepi, semua suara itu seperti berputar kembali di kepalaku. Aku bisa mendengar tawa mereka lagi, percakapan yang sudah selesai, bahkan suara mereka merapikan kotak pensil pun terngiang.
Dan malam hari… adalah puncaknya.
Saat semua suara hilang, saat semua sedang beristirahat, dan hanya tersisa satu suara di dalam kepalaku sendiri.
Ada malam-malam di mana aku baru saja memejamkan mata,
DUAR.
Bukan suara petir, bukan juga suara benda jatuh.
Tapi ledakan itu ada di dalam kepalaku sendiri.
Setengah detik yang mengguncang segalanya.
Suara yang tak pernah terdengar tapi begitu nyata, seperti dunia di dalam tubuhku meledak. Aku ingin bangun namun tubuhku terasa seperti di timpa seribu kilo batu-batuan, pada akhirnya aku pun terbangun.
Jantungku berdetak secepat alarm kebakaran.
Tapi kamarku tetap terasa sunyi, tidak ada apa-apa.
Tidak ada yang pecah. Tidak ada yang jatuh.
Hanya aku, terbangun di ranjang dengan tangan gemetaran, keringat mengucur, dan kaki yang terasa begitu dingin.
Setelah itu, tidur jadi sesuatu yang menakutkan.
Aku takut pada momen ketika semuanya tenang, karena dari ketenangan itu, suara-suara itu bisa muncul kapan saja.
Dan ketika aku coba menceritakannya, orang-orang cuma bilang,
“Kamu kecapekan kali, makanya kamu jadi kayak gitu.”
Mungkin iya.
“Udah bawa santai aja,” kata mereka.
Tapi rasanya lebih dari itu.
Rasa gelisah ini terus datang tanpa diundang keberadaanya.
Saat di kelas, aku bisa tiba-tiba merasakan jantung ku berdegup dengan sangat cepat, tangan dingin, dan pikiran seperti berlari-lari tanpa arah.
Aku tahu seharusnya aku tenang dan mencoba untuk kuat untuk menghadapinya, tapi tubuhku tidak mau diajak kompromi.
Ada hari-hari di mana aku merasa sangat produktif, penuh semangat, dan bisa menyelesaikan banyak hal dengan cepat.
Tapi ada juga hari-hari di mana aku merasa berat bahkan untuk sekadar bangun dari tempat tidur.
Pernah suatu kali, aku meledak tanpa alasan jelas.
Hanya karena hal kecil seseorang menjaili ku saat aku sedang menonton film di handphone ku, dan aku langsung tersulut.
Padahal kalau kupikir-pikir lagi, yang mereka ucapkan tidak seburuk itu.
Tapi entah kenapa, emosiku seperti tidak bisa dikendalikan.
Setelahnya aku menyesal, tapi rasa bersalah itu justru makin membuatku stres.
Aku merasa seperti kehilangan kendali atas diriku sendiri.
Beberapa hari setelahnya, aku mulai menyadari hal lainnya aku jadi mudah cepat marah.
Hal-hal kecil yang dulu bisa kuabaikan, sekarang terasa seperti percikan api yang langsung menyambar.
Aku bisa tersinggung karena hal sepele, bisa diam karena takut mengeluarkan kata-kata yang nanti kusesali.
Padahal, aku tidak ingin marah. Tapi rasanya seperti tubuhku tidak bisa berhenti bereaksi.
Kepalaku terasa berat, napasku sesak, dan aku ingin teriak bukan ke orang lain, tapi ke diriku sendiri.
Kadang aku iri melihat orang lain yang bisa tetap tenang mengendalikan dirinya, tetap tersenyum walaupun sedang tidak baik baik saja. Seolah dunia mereka tidak seberisik dunia di kepalaku ini.
Aku sering bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar setenang itu, atau mereka juga sedang berpura-pura sama sepertiku?
Aku juga mulai kehilangan fokus semenjak suara itu muncul terus di tidur ku.
Aku duduk di meja belajar, menatap buku terbuka, tapi pikiranku entah ke mana.
Setiap kalimat yang kubaca seperti meluncur begitu saja tanpa sempat dipahami.
Aku mengulang baris yang sama berkali-kali sampai aku pun bosan, tapi tetap tidak masuk ke kepala.
Dan saat aku gagal lagi, rasa bersalah itu datang, menumpuk, menekan dada.
Lalu aku marah lagi dan lagi namun kali ini bukan pada siapa-siapa, tapi pada diriku sendiri.
Aku lelah karena tidak tahu apa yang salah.
Aku lelah karena terus merasa gagal, bahkan untuk hal-hal yang dulu bisa kulakukan dengan mudah.
Dan di antara kelelahan itu, aku juga takut.
Takut kalau semua ini bukan cuma fase.
Tapi takut kalau suatu hari nanti aku tidak bisa menenangkan diriku lagi.
Aku memutar lagu yang menenangkan, nadanya familiar dan membuat kepalaku sedikit lebih ringan. Nada itu menutupi bising dunia sebentar, tapi bukan untuk menghilangkan semuanya hanya supaya aku bisa tetap fokus pada diriku sendiri, meski dunia berisik di sekitarku.
Aku melihat di lampu merah, orang-orang di sekitarku tertawa, menelpon, berlari kecil menyeberang jalan.
Aku memperhatikan mereka satu per satu.
Mereka tampak hidup benar-benar hidup.
Sedangkan aku merasa seperti angin yang lewat di antara mereka.
Lampu kembali hijau, dan mobilku perlahan melaju. Aku menatap jalan panjang di depan, membiarkan lagu terus berputar. Membuka sedikit kaca mobil, membiarkan angin sore mengusap wajahku pelan. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mencoba tidak melawan apa pun. Tidak melawan suara, tidak melawan gelisah, tidak melawan pikiranku sendiri. Aku biarkan semuanya lewat begitu saja.
Mungkin inilah yang dimaksud “belajar menerima.” Bukan tentang pasrah, tapi tentang tidak lagi berperang setiap detik. Tidak semua ketakutan harus dimenangkan, kan? Kadang, cukup dengan berani menatapnya.
Malam itu, aku membuka pintu kamar, menatap ruanganku dengan rasa lelah. Lalu aku mengambil handuk yang tergantung dan mulai membersihkan diri.
Suara motor berlalu-lalang tetap sama, jam di atas meja berdetak keras. Aku menatap langit-langit kamar, seperti biasa. Tapi kali ini, putihnya tidak seputih dulu. Ada sedikit warna di sana, samar, namun nyata. Aku sadar… aku tidak bisa melawan semua ini. Mungkin aku hanya perlu mendengarkan dan mengabaikannya, tanpa berusaha mengusir. Anehnya, semakin aku berhenti melawan, semakin pelan suara itu terasa. Mungkin bukan karena mereka pergi, tapi karena aku akhirnya belajar menerima bahwa mereka ada.
Aku menulis pelan di kepalaku malam itu “Mungkin bukan dunia yang harus lebih tenang, tapi aku yang perlu lebih lembut pada diriku sendiri.”
Entah kenapa, kalimat itu membuatku sedikit lega. Seakan akhirnya aku punya ruang bernapas, meski kecil. Dan dari ruang kecil itu, Aku mulai mengisi hariku lagi, pelan-pelan saja.
Membersihkan kaca yang berdebu di ruangan itu, menata ulang meja belajar, menyalakan lagu favorit, dan membiarkan sinar sore masuk menyapa. Tidak ada yang besar, tapi setidaknya, aku mulai bisa merasa lagi.
Sekarang, setiap kali malam datang, aku memang, masih merasa cemas. Masih ada rasa takut saat lampu kamar dimatikan. Tapi kali ini aku tidak lagi berlari. Aku hanya menatap langit-langit kamar, menarik napas panjang, dan berkata dalam hati: “Kalau memang kepalaku harus menyala malam ini, biarlah. Aku tahu itu cuma caraku untuk bertahan."
Aku menutup mata perlahan. Memang awalnya tidak selalu berhasil tidur, tapi setidaknya aku sudah belajar berdamai pelan-pelan, dengan kepala yang kadang masih berisik.
Dan mungkin, itu sudah cukup.
Tidak semua luka harus sembuh hari ini.
Tidak semua rasa takut harus hilang malam ini.
Kadang, cukup dengan berani menghadapinya
dan menatapnya, tanpa menunduk, tanpa kabur.
Karena mungkin, inilah caraku tumbuh dengan kepala yang gaduh, tapi hati yang perlahan belajar tenang.
Malam-malam selanjutnya, aku mulai coba punya kebiasaan-kebiasaan kecil. Sebelum tidur, misalnya, aku setel musik klasik, dengan volume rendah, anggapannya biar ada suara tipis sebagai tirai penutup telinga. Lalu aku menulis di jurnal bukan buat nyari solusi, tapi cuma buat mindahin kebisingan di kepala ke kertas. Nyatet, ngasih bentuk, terus nutup buku itu, kayak lagi nglepasin beban sebentar.
Anehnya, rutinitas sepele ini mencuci piring, melipat pakaian adalah satu-satunya hal yang bikin aku merasa nggak sepenuhnya hanyut. Aku suka berdiri di depan jendela kamar sebentar, merasakan angin dingin menyentuh kulit, cuma buat ngasih jeda antara kepalaku dan jam tidur.
Semua gerakan berulang itu ngasih jeda, kesempatan buat badanku gerak sementara pikiranku istirahat sebentar.
Tapi ya namanya juga usaha. Nggak semua hari bisa dibilang maju. Kadang aku balik lagi ke titik nol, rasanya kayak semua yang kulakukan kemarin itu sia-sia aja. Ada hari-hari ketika lampu hijau menyala, tetapi kakiku terasa lumpuh, enggan melaju. Ada malam-malam ketika aku terbangun dengan ketakutan yang terasa begitu nyata, seperti bayangan yang berdiri di sudut ruangan.
Pada saat-saat itu, aku akan mengulangi mantra yang kutulis: “Aku tidak perlu melawan ini.” Aku membiarkan air mata menetes, aku membiarkan dadaku sesak, lalu aku menarik napas lagi, hanya berniat untuk bertahan melewati menit berikutnya.
Aku sadar bahwa kuat itu bukan pas semua rasa sakitnya udah hilang, tapi justru pas aku berani tetap ada di situ, tapi pas kita mau tetap ada di tengah rasa sakit itu. Aku masih belum sepenuhnya sembuh entah apa definisi sembuh itu. Tapi kini, aku tidak lagi bersembunyi. Aku mulai menyambut matahari pagi bukan dengan rasa tergesa untuk memperbaiki segalanya, melainkan dengan penerimaan lembut bahwa hari ini akan terjadi seperti seharusnya. Dan itu sudah cukup. Setiap tarikan napas, setiap langkah kecil, adalah kemenangan sunyi dari peperangan yang telah lama kuhindari. Aku telah menemukan ruang bernapas, dan dari sana, aku bisa melihat sedikit cahaya di depan mata yang dulu tampak begitu gelap.