Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Simfoni Senyap di Sudut Stasiun Tua

đŸ‘€ Christa firma angelica weni đŸ« XI-12 🆔 25897

​Kota-kota besar memiliki banyak cara untuk menyembunyikan kesendirian. Di jantung kegaduhan itu, tersembunyi Stasiun Kereta Api Pangkal Jati, sebuah bangunan kolonial yang berlumut sejarah dan kini hanya berfungsi sebagai perhentian lokal bagi kereta-kereta tua yang berjalan lambat. Di sudut peron tiga, tempat bau karat berpadu dengan aroma kopi murahan, ada sebuah toko buku kecil. buku-buku yang dihuni oleh jejak jari, coretan pensil, dan lipatan-lipatan kenangan para pemilik terdahulu.

Pemiliknya bernama Aksara. Usianya menginjak kepala empat, namun sorot matanya yang tajam di balik kacamata berbingkai tipis menyimpan kebijaksanaan yang jauh lebih tua. Aksara adalah seorang penikmat senyap. Ia percaya, setiap buku bekas adalah sebuah notasi musik, dan jika diletakkan bersama-sama, mereka akan menciptakan sebuah simfoni senyap—harmoni yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang benar-benar mendengarkan. suatu sore di bulan April, ketika hujan turun menderu seperti ribuan drum yang ditabuh, ritme itu terpecah oleh kedatangan seseorang.

Aksara sedang menyusun kembali koleksi novel klasik Rusia. Ia menutup mata sejenak, menghirup aroma itu, sebuah ritual kecilnya. Pintu kaca tokonya berderak terbuka, memaksa Aksara kembali ke realitas.

Seorang gadis berdiri di ambang pintu, basah kuyup dan air menetes dari ujung syal wol tebal berwarna merah marun yang melilit lehernya. Ia memegang sebuah koper usang. "Maaf, Pak," suaranya serak, mungkin karena kedinginan. "Saya... saya hanya perlu berteduh. Kereta saya terlambat dua jam."

Aksara menunjuk ke sudut ruangan tanpa ekspresi. "Silakan. Tapi ini toko buku, bukan ruang tunggu. Jika Anda berisik, saya akan meminta Anda pergi."

Gadis itu tersenyum kecil, senyum yang entah mengapa terasa seperti permintaan maaf. Ia meletakkan kopernya di lantai kayu, dan duduk di bangku kayu dekat rak puisi. Matanya mulai menjelajah, bukan menatap buku-buku di rak, melainkan menatap buku yang sedang dipegang Aksara.

"Itu Karamazov Bersaudara," kata gadis itu lirih. "Saya selalu ingin membacanya, tapi terlalu takut dengan ketebalannya."

Aksara mengangkat alisnya, tertarik. "Ketakutan yang wajar. Buku yang jujur selalu menuntut keberanian. Siapa namamu, Gadis Syal Merah Marun?"

"Namaku Laras," jawabnya, melepas syalnya yang basah. "Dan saya tidak takut pada buku yang tebal, Pak. Saya hanya takut pada akhir yang terlalu cepat dan tidak adil."

Aksara meletakkan bukunya, kini menatap Laras sepenuhnya. "Di kehidupan nyata, akhir yang adil itu jarang ada. Itu sebabnya kita membaca, mencari keadilan di antara lembaran kertas."

Perbincangan kecil itu berlanjut, dipicu oleh hujan yang tak kunjung reda. Laras bercerita ia sedang dalam perjalanan menuju kota kecil di pegunungan untuk mencari inspirasi. Ia adalah seorang komposer muda yang sedang menghadapi kebuntuan kreatif. "Saya merasa musik saya kosong, Pak. Ada teknik, tapi tidak ada jiwa. Saya perlu mencari tempat yang tenang, tanpa suara, agar saya bisa mendengar suara saya sendiri."

Aksara mengangguk. "Itu kesalahan besar. Keheningan yang mutlak itu menyesatkan. Untuk menemukan jiwa dalam simfonimu, kau harus mendengarkan simfoni dunia. Dengarkan desahan napas orang-orang yang tergesa-gesa. Itu semua adalah nada."

"Seperti buku-buku Anda?" tanya Laras.

"Ya," jawab Aksara. "Setiap goresan pensil di buku-buku ini adalah sebuah nada yang ditinggalkan pemiliknya. Buku ini bukan hanya tentang kata, tapi tentang cerita orang-orang yang pernah membacanya. Simfoni senyap."

Laras menghabiskan waktu dua jam di toko itu. Ketika hujan mulai reda dan pengumuman kedatangan keretanya terdengar, ia bangkit.

"Saya harus pergi, Pak Aksara," kata Laras. "Terima kasih untuk tempat berteduh dan pelajarannya."

"Kau tidak membeli buku?" tanya Aksara, sedikit kecewa.

Laras menggeleng. "Saya tidak punya uang banyak. Tapi... bisakah saya membeli satu buku yang Anda rekomendasikan, yang mengandung nada yang paling jujur?"

Aksara berjalan ke rak paling tinggi, meraih sebuah buku bersampul kain biru yang memudar: Moby Dick. Ia menyerahkannya pada Laras. "Kau bisa membayarnya dengan ini."

Ia menunjuk ke syal merah marun Laras. "Biarkan syal itu di sini. Setelah kau selesai, kirimkan buku ini kembali padaku. Kau akan tahu ke mana. Bukan notasi musik, tapi notasi kehidupanmu setelah membaca buku ini. Jika notasi itu jujur, aku akan mengirim syalmu kembali."

Laras terdiam. Itu bukan hanya transaksi, itu adalah sebuah kontrak spiritual. Ia mengangguk, melepaskan syalnya, dan meletakkannya di meja kasir. Aroma tanah basah dan wol basah tertinggal.

Laras pergi. Toko itu kembali sunyi. Aksara menggantung syal itu di belakang kursinya. Syal itu kini menjadi satu-satunya warna cerah di antara debu dan buku-buku tua.

Minggu berganti bulan. Kereta datang dan pergi, membawa ribuan wajah, tapi tidak ada satu pun yang membawa paket kembali untuk Aksara. Syal merah marun itu masih tergantung, warnanya mulai memudar tertutup debu. Aksara mulai berpikir Laras adalah salah satu kenangan yang ditinggalkan stasiun, segera dilupakan begitu kereta tiba di tujuan.

Hingga suatu pagi yang cerah, hampir enam bulan kemudian, sebuah paket tiba. Di dalamnya, ada buku Moby Dick. Buku itu terlihat lebih lusuh dari sebelumnya. Di halaman pembuka, ada jejak noda kopi melingkar, dan di sampingnya, sebuah coretan pensil.

Bukan notasi musik, melainkan hanya empat baris tulisan tangan yang indah:

> Kapal bukan rumah, dan laut bukan akhir.

> Paus putih itu bukan hanya obsesi, tapi alasan untuk terus berlayar.

> Saya sudah mendengar. Nada saya tidak kosong lagi.

Aksara tersenyum. Itu bukan tulisan yang sempurna, tapi penuh jiwa. Ia meraba jejak noda kopi itu, dan tahu bahwa Laras telah berjuang.

Namun, di dalam paket itu, tidak ada alamat pengirim. Hanya nama kota kecil di pegunungan: Kertanegara.

Keesokan harinya, Aksara melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan dalam dua puluh tahun: ia menutup tokonya. Untuk pertama kalinya, pintu toko buku itu terkunci dengan gembok tua yang berkarat.

Ia membawa koper kecil, syal merah marun, dan notasi tulisan tangan Laras. Ia naik kereta, kereta yang sama yang membawa Laras pergi, menuju Kertanegara.

Perjalanan itu adalah siksaan bagi Aksara. Jauh dari aroma buku-buku tuanya, ia merasa telanjang. Ia dipaksa mendengarkan simfoni keras dunia: tawa riang, tangisan bayi, dengkuran penumpang, dan deru mesin. Itu semua adalah nada, tapi nada yang berantakan, tanpa harmoni. Ia menyadari, Laras benar: mencari keheningan di pegunungan bukanlah mencari ketiadaan suara.Tiba di Kertanegara, ia menemukan kota yang tenang, sunyi, dikelilingi kabut dan hutan pinus. Setelah bertanya ke sana kemari, ia menemukan alamat yang cocok dengan deskripsi notasi Laras: sebuah pondok kecil di lereng bukit, yang kini menjadi studio musik.

Ia mengetuk pintu.

Pintu terbuka. Bukan Laras yang menyambutnya, melainkan seorang wanita tua dengan wajah ramah.

"Cari siapa, Nak?"

"Laras. Komposer," kata Aksara.

Wanita tua itu tersenyum sedih. "Oh, Nak Laras. Dia sudah pergi, sekitar seminggu yang lalu. Pergi... sangat jauh."

Aksara merasakan dadanya mencelos. "Pergi? Ke mana?"

"Dia menyelesaikan simfoninya, Nak. Dia menamainya Simfoni Pangkal Jati. Simfoni itu menceritakan tentang perhentian, tentang hujan, dan tentang sebuah toko buku. Setelah dia menyelesaikan rekaman terakhir, dia ambruk. Dia sakit sejak lama. Penyakit yang tidak mengizinkannya terlalu lama mendengar simfoni dunia ini."

Aksara menatap notasi tulisan tangan Laras di tangannya. Paus putih itu bukan hanya obsesi, tapi alasan untuk terus berlayar. Laras tahu akhir ceritanya. Tapi ia butuh keberanian untuk menyelesaikannya.

"Ini... dia meninggalkan ini untuk Anda, Nak," kata wanita tua itu. Ia menyerahkan sebuah gulungan kertas notasi musik, diikat dengan pita sutra merah marun.

 Ia tidak membuka toko buku itu. Ia duduk di peron tiga, mendengarkan.

Ia membuka gulungan notasi musik itu. Notasi itu indah, melankolis, dan jujur. Di akhir notasi, di mana seharusnya ada crescendo dan penyelesaian, hanya ada satu baris tulisan tangan:

> "Pak Aksara. Syal itu bukan lagi jaminan. Syal itu adalah sebuah kunci. Temukan kunci dari Simfoni Senyap itu."

Aksara melihat syal merah marun yang ada di kopernya. Ia memegangnya. Wol yang lembut, berbau wangi lavender.

Ia kembali ke toko buku, membuka gemboknya. Ia berjalan langsung ke rak Moby Dick, tempat buku itu seharusnya berada. Ia menarik buku itu, membolak-baliknya. Di bagian dalam sampul, ia melihat sebaris tulisan kecil yang tidak ia lihat sebelumnya.

> Dibalik notasi, ada kata. Dibalik simfoni, ada jiwa. Carilah nada yang tersembunyi di balik notasi yang hilang.

Aksara menyadari. Syal itu adalah kuncinya. Ia meraih syal itu dan meraba-raba ujung jahitan yang tebal. Ia menemukan sebuah jahitan yang berbeda, dan merobeknya dengan hati-hati.

Di dalamnya, ada sebuah secarik kertas lusuh. Bukan notasi musik. Melainkan sebuah surat.

> Kepada Pak Aksara, pemilik harmoni yang jujur.

> Saya tahu Anda akan menemukan ini. Saya tidak takut pada akhir yang cepat, Pak. Saya hanya takut pada janji yang tidak terpenuhi.

> Terima kasih. Anda mengembalikan suara saya. saya hanya perlu kejujuran untuk mengakuinya. Kereta itu membawa saya pergi, tapi simfoni saya selalu tentang stasiun ini, tentang bau karat dan kopi, tentang debu di rak, dan tentang mata tua yang tajam di balik kacamata.

> Simfoni Senyap Anda adalah simfoni yang paling jujur. Dan Simfoni Pangkal Jati adalah hadiah saya untuk Anda. Saya harap, setelah ini, Anda akan sering-sering menutup toko Anda. Karena hidup itu bukan hanya tentang kata dan keheningan, Pak. Itu adalah tentang perjalanan dan nada yang kita temukan di sepanjang jalan.

> Selamat tinggal. Saya sudah berlayar.

> Salam, Laras.

Aksara melipat surat itu, membiarkan air matanya jatuh ke atasnya. Ia tidak menangis karena Laras telah tiada, ia menangis karena Laras telah hidup sepenuhnya, sampai nada terakhirnya.

Ia mengambil surat itu dan notasi musik Laras. Ia berjalan keluar dari toko dan duduk di bangku.

Kereta berikutnya tiba. Pintu terbuka. Aksara tidak menjual buku, ia juga tidak mencari pelanggan. Ia hanya duduk di sana, Mendengarkan bunyi kereta yang mengerem, tawa anak kecil yang berlari, teriakan pedagang asongan.

Ia mulai membaca surat Laras, sambil sesekali melihat notasi musik yang diberikan Laras.

Laras telah memberinya Simfoni Pangkal Jati.

Dan kini, Aksara telah menemukan Simfoni Senyap yang sesungguhnya.

Simfoni Senyap itu bukanlah kumpulan kata-kata mati, melainkan harmoni yang tercipta ketika seseorang memilih untuk berhenti sejenak, mendengarkan, dan akhirnya, merasakan kehidupan yang ada di sekitarnya. Dan Aksara, sang penikmat senyap, kini telah menjadi konduktor dari simfoni terindah di peron tiga stasiun tua itu.Hujan masih berirama di atap seng stasiun.Aksara lalu menarik Moby Dick dari rak, sebuah novel tentang obsesi, pelayaran, dan kegilaan. "Kau bisa membayarnya dengan syal ini," katanya, memicu kontrak spiritual yang mengubah arah hidup Laras. Aksara melihat syal merah marun itu—sebuah warna yang berani.Laras mengangguk, sorot matanya kini mengandung tekad baru. Ia melepaskan syal itu, meninggalkan aroma wol dan lavender. "Sampai jumpa, Pak Aksara. Saya akan kirim notasi yang jujur."

Ketika Laras menghilang di balik kerumunan penumpang, Aksara menggantung syal itu, memperlakukannya seolah itu adalah bendera harapan setelah sekian lama, ia merindukan kejutan. Kejutan yang bukan berasal dari buku, tapi dari kehidupan yang nyata.

Bulan-bulan berlalu. Syal merah marun itu menjadi bagian dari dekorasi permanen toko. Pelanggan sesekali bertanya, dan Aksara hanya menjawab, "Itu jaminan dari sebuah janji yang belum ditepati."

Sebenarnya, Aksara tidak benar-benar menunggu. Ia mengamati bagaimana sebuah janji, sebuah harapan, dapat memengaruhi ritme monoton hidupnya. Ia sesekali membaca ulang beberapa bab dari Moby Dick, mencari makna yang mungkin dicari Laras.

"Paus Putih itu bukanlah tujuan, tapi adalah alasan untuk berlayar," gumam Aksara suatu malam, menutup buku.

Enam bulan. Tepat setelah embun pagi memudar dan kereta pertama tiba, paket itu datang.

Aksara membuka paket itu di bawah cahaya matahari yang baru masuk. Jantungnya berdebar, sebuah sensasi yang asing baginya.

Laras tidak hanya membaca. Ia hidup bersama buku itu. Ia pasti menghabiskan waktu larut malam, ditemani kopi pahit, berjuang dengan kata-kata Melville.

 sebuah titik balik cerita:

> Kapal bukan rumah, dan laut bukan akhir.

> Hati bukan pelabuhan, dan amarah bukan ombak.

> Paus putih itu bukan hanya obsesi, tapi alasan untuk terus berlayar.

Aksara terdiam, matanya berkaca-kaca. Ini adalah notasi yang jujur. Sebuah pengakuan bahwa ketakutan terbesar Laras bukanlah pada tebalnya buku, melainkan pada keharusan untuk berlayar tanpa tahu di mana tujuan akhirnya.

Perjalanan ke Kertanegara memakan waktu dua hari, melibatkan kereta lambat, bus reyot, dan ojek motor yang mendaki curam. Selama perjalanan itu, Aksara dipaksa mendengarkan Simfoni Dunia dalam bentuknya yang paling kasar. Peninggalan Laras yang mengajarkan bahwa toko buku dan buku-buku di dalamnya adalah pembuka, bukan penutup. Ia tidak lagi mendengar hanya bunyi kereta dan pedagang. Ia mendengar Simfoni Pangkal Jati yang Laras ciptakan. Lalu Ia tersenyum, di tengah hiruk pikuk sore yang ramai. Ia bukan lagi penjual buku bekas. Ia adalah konduktor Simfoni Senyap, yang kini menemukan harmoni sempurna antara kata-kata di dalam buku, dan musik yang hidup di luar sana.