Pengacara (Pengangguran Banyak Acara)
Namaku Diah, ibu dari seorang anak laki-laki bernama Putu Bayu Pramudya, S.H., merupakan sarjana hukum lulusan Universitas Gadjah Mada. Sejak kecil, Bayu adalah anak yang paling kubanggakan. Ia adalah anak yang berbeda dari kebanyakan anak seusianya, tenang, tekun, dan memiliki cara berpikir yang matang. Sejak SD, ia jarang membuatku marah karena nilainya selalu bagus. Ia sering membantu guru menata buku di perpustakaan, bahkan rela menunggu teman-temannya selesai bermain hanya agar bisa memastikan semua peralatan sekolah kembali ke tempatnya.
Di rumah, Bayu suka menonton berita yang ditayangkan di televisi. Ia sering bertanya hal-hal yang membuatku bingung, seperti “Bu, kenapa orang bisa ditangkap padahal belum tentu salah?” atau “Kenapa di TV hakim bisa memutuskan orang itu bersalah kalau mungkin saja dia tidak melakukannya?” Dari kecil, ia sudah memiliki rasa keadilan yang kuat.
Aku masih ingat betul saat ia duduk di bangku SMA. Suatu sore, aku melihatnya mengajari teman-temannya di teras rumah tentang pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) yang teman-temannya tidak dimengerti. Ia menjelaskan dengan berapi-api, menggunakan bahasa yang sederhana agar semua bisa paham. Selesai belajar, ia berkata padaku dengan mata berbinar, “Aku ingin jadi pengacara, Bu, supaya bisa bantu orang yang tertindas.” Kata-kata itu terus terngiang di telingaku hingga kini, sebuah janji kecil dari seorang anak yang baru belajar memahami beratnya dunia.
Perjuangan kami tidak mudah. Hidup kami sederhana. Aku hanya karyawan di perusahaan kecil, sementara ayahnya sudah lama meninggal dunia. Tapi Bayu anak yang tak mudah menyerah. Ia diterima di Universitas Gadjah Mada melalui jalur prestasi. Saat menerima kabar itu, aku menangis tersedu-sedu saat sedang memasak di dapur. Antara bahagia dan khawatir, karena aku tahu biaya kuliah di kota sebesar Yogyakarta tentu tidak murah. Namun Bayu meyakinkanku, “Bu, aku akan cari beasiswa. Ibu tak perlu khawatir.” Dan benar saja, ia berhasil mendapat beasiswa selama kuliah. Aku hanya perlu mengirimkan sedikit uang untuk biaya hidupnya setiap bulan.
Waktu berjalan cepat. Aku masih ingat hari wisudanya. Bayu mengenakan toga hitam berkilap, berdiri di antara ribuan wisudawan. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang tampak semakin dewasa. Aku menatapnya dari kejauhan, tak kuasa menahan air mata. Dalam hati aku berucap, “Perjuangan ini akhirnya terbayar.” Aku membayangkan suatu hari nanti ia berdiri gagah di ruang sidang, berbicara lantang membela kebenaran seperti Hotman Paris yang sering kulihat di televisi. Aku membayangkan ia memakai jas mahal, membawa koper kulit, dan dikelilingi klien-klien penting.
Namun hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan. Sudah satu tahun sejak Bayu diwisuda, tetapi ia belum juga mendapatkan pekerjaan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah, duduk di depan laptop dan kamera kecil di kamarnya. “Aku lagi buat video edukasi hukum, Bu,” katanya dengan nada santai. Awalnya aku bangga karena ia masih memanfaatkan ilmunya. Tapi lama-kelamaan, kekhawatiran mulai merayap di hatiku. Ia belum punya penghasilan tetap, sementara tagihan listrik, air, dan kebutuhan dapur tak bisa menunggu.
Suatu sore aku tak tahan lagi. Saat ia sedang mengetik sesuatu di laptop, aku berdiri di depan pintu kamarnya. “Bayu,” kataku pelan namun tegas, “kamu mau sampai kapan begini terus? Nganggur tapi sibuk bikin video tidak jelas tiap hari?” Ia menoleh, wajahnya tetap tenang. “Bu, ini bukan cuma bikin video. Aku lagi bangun personal branding. Kalau orang sudah kenal aku, nanti pekerjaan akan datang sendiri.” Aku mendengus pelan. Dalam hati aku berkata, anak ini banyak kesibukan, tapi tak ada hasilnya.
Keesokan harinya, aku pergi ke pasar seperti biasa. Di sana aku bertemu dengan Bu Sari, ibu dari Bagus, teman masa kecil Bayu. “Eh, Bu Diah, apa kabar?” sapanya dengan senyum lebar. “Baik, Bu, mau belanja buat masak siang nanti,” jawabku. Tapi seperti biasa, pembicaraan dengan ibu-ibu di pasar tak pernah berhenti di situ. “Si Bayu sekarang kerja di mana, Bu? Anak saya sekarang sudah jadi dokter spesialis, wah sibuk banget, tapi gajinya sih besar,” katanya dengan nada bangga. Aku berusaha tetap tersenyum, meski hatiku sudah mulai panas. “Bayu masih cari kerja, Bu. Namanya juga proses.” Tapi Bu Sari belum puas. “Kalau hukum itu agak susah ya, Bu. Saingannya banyak. Harus punya koneksi juga.” Aku hanya mengangguk sambil pura-pura memeriksa cabai di tangan. Kata-katanya menancap di dadaku seperti duri yang tak bisa dicabut.
Sesampainya di rumah, aku masih kesal. Aku ingin tahu apa sebenarnya yang dilakukan Bayu di kamarnya seharian. Dari balik pintu terdengar suaranya lantang seperti sedang berpidato. Aku mengintip sedikit ternyata ia sedang siaran langsung. Lampu menyala terang, kamera berdiri di tripod, dan mikrofon menggantung di depan wajahnya. “Bu, jangan ganggu dulu, aku lagi live,” katanya cepat. Aku menutup pintu perlahan dan melangkah pergi, tak habis pikir dengan apa yang anakku lakukan.
Malamnya, setelah makan, Bayu mendekat dan menjelaskan, “Bu, aku lagi bikin siaran edukasi hukum. Aku bahas pasal-pasal ringan biar orang awam ngerti hukum.” Aku mengerutkan dahi. “Lalu gelar sarjana hukummu itu untuk apa kalau bukan buat jadi pengacara sungguhan? Coba lihat anaknya Bu Sari, dia dokter spesialis, rumahnya besar, hidupnya nyaman!” Bayu tersenyum kecil. “Bu, kuliah kedokteran itu butuh biaya ratusan juta. Keluarga kita bukan keluarga kaya. Aku berusaha cari jalan sendiri, dengan cara yang bisa aku lakukan.” Aku terdiam. Ada tekad dan semangat di matanya yang tak bisa kuhalangi. Akhirnya aku berkata pelan, “Baiklah, Nak. Ibu beri waktu, asal yang kamu lakukan tetap hal positif.”
Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Setiap pagi aku mendengar suara Bayu berbicara dari kamarnya, kadang diselingi tawa. Ia mulai punya beberapa alat baru: lampu tambahan, mikrofon besar, bahkan backdrop bertuliskan “Ngobrol Hukum Bareng Bayu.” Aku masih belum sepenuhnya paham, tapi aku melihat kesungguhannya.
Namun di satu sisi, aku tetap cemas. Sebagai ibu tunggal, aku terbiasa berpikir realistis. Dunia digital yang ditekuni Bayu terasa asing bagiku. Aku takut semua itu hanya mimpi kosong yang menghabiskan waktu.
Beberapa minggu kemudian, aku bertanya lagi, “Nak, sudah dapat kerja?” Bayu menjawab tenang, “Bu, yang aku lakukan ini sudah termasuk pekerjaan.” Aku menatapnya dengan bingung. “Kerja apa, Nak? Ibu lihat kamu cuma di kamar, keluar pun jarang.” Ia lalu menjelaskan panjang lebar tentang adsense, endorsement, dan webinar semuanya terdengar seperti bahasa asing bagiku. “Dari sini aku bisa dapat uang, Bu. Cuma belum banyak, tapi nanti akan meningkat.” Aku terdiam, lalu berkata, “Kalau begitu, buktikan. Ibu ingin lihat hasil dari kerja kerasmu. Kalau tidak, bulan depan kamu cari kerja sungguhan.” Bayu mengangguk, menatapku dengan mata teduh.
Beberapa minggu kemudian aku mulai melihat perubahan. Bayu kini sering keluar rumah dengan pakaian rapi, ditemani beberapa orang yang membawa kamera. Kadang ia pulang malam, kadang pagi-pagi sudah pergi lagi. Saat kutanya, “Kamu sering keluar rumah sekarang, ngapain sih?” Ia menjawab singkat, “Kerja, Bu.” Aku tak lagi mendesak. Ada ketenangan baru dalam dirinya, dan entah kenapa, kali ini aku memilih percaya.
Dua bulan kemudian aku menagih janjinya. "Bayu, Ibu sudah sabar. Mana hasil kerja kerasmu?" la tersenyum kecil. "Bu, sabar ya. Walaupun pekerjaanku tidak formal, tapi hargai aku. Aku juga berjuang." Aku tak tahan. "Kalau bulan depan kamu belum bisa kasih hasil, keluar dari rumah ini. Atau ambil pelatihan untuk jadi pengacara sungguhan." Bayu menunduk. "Baik, Bu."
Sebulan berlalu. Pagi itu aku kembali ke pasar. Beberapa ibu menyapaku dengan wajah antusias. "Bu Diah! Ibu tahu nggak, Bayu sekarang terkenal! Follower-nya jutaan! Katanya sering diundang webinar hukum!" Aku berhenti di depan lapak sayur. Salah satu pedagang menunjukkan ponselnya. Di layar, kulihat wajah Bayu berbicara dengan penuh percaya diri. Judul videonya: 'Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Hukum Perdata.' Jumlah penontonnya mencapai ratusan ribu. Suaraku tercekat. Rasanya seperti melihat matahari terbit setelah malam panjang yang kelam.
Aku pulang dengan langkah bergetar. Di meja ruang tamu, kulihat amplop putih dengan tulisan tangan Bayu. Di dalamnya ada segepok jutaan rupiah dan sepucuk surat. “Bu,” tulisnya, “terima kasih karena Ibu tak pernah menyerah padaku, meski sering khawatir. Walau cita-cita Ibu ingin aku jadi pengacara belum terwujud, aku ingin Ibu tahu bahwa kerja keras dan kejujuran tetap bisa membawa hasil. Ini hasil pertamaku, semoga bisa membuat Ibu bahagia.” Tanganku bergetar, dan suara tangisku menjadi saksi bisu dari rasa haru yang menyeruak di dada.
Beberapa hari kemudian, Bayu pulang dari luar kota. Ia datang dengan wajah berseri, mengenakan jas rapi dan membawa kunci mobil. “Bu, ayo ikut aku,” katanya. Kami naik ke mobil hitam yang mengilap. Sepanjang jalan aku hanya diam, menatap pemandangan yang melintas di luar jendela. Angin sore berhembus lembut, seperti ikut merayakan kebahagiaan yang tumbuh di hatiku.
Kami berhenti di depan sebuah rumah besar dengan taman yang rapi. “Ini rumah siapa, Nak?” tanyaku heran. Bayu tersenyum. “Ini rumah kita, Bu. Semua hasil dari kerja keras yang dulu Ibu ragukan. Sekarang Ibu bisa tenang dan menikmati hidup.” Aku terpaku, menatap rumah itu lama-lama. Rasanya seperti mimpi. Aku memeluk Bayu erat. “Maafkan Ibu, Nak. Ibu terlalu cepat menilai. Ibu bangga padamu.” Bayu mengangguk. “Tidak apa-apa, Bu. Justru karena Ibu tegas, aku belajar untuk membuktikan. Kalau dulu Ibu tak menegur, mungkin aku tak akan berjuang sejauh ini.”
Kini, setiap kali aku membuka media sosial, aku sering melihat wajah Bayu di berbagai acara hukum, menjadi pembicara di universitas, bahkan tampil di televisi. Dari seorang pengacara (Pengangguran Banyak Acara), ia benar-benar menjadi pengacara yang sesungguhnya, bukan di ruang sidang, tapi di ruang digital, membantu banyak orang memahami hukum dengan bahasa sederhana.
Dari kisah ini aku belajar bahwa kesuksesan tidak selalu berwujud jas, dasi, atau meja kerja di kantor. Dunia sudah berubah, dan cara orang bekerja pun ikut berubah. Bayu berhasil membuktikan bahwa ilmu hukum tidak harus terkurung di ruang pengadilan, tapi bisa hidup di layar kecil jutaan orang. Kini, setiap kali orang bertanya tentang anakku, aku tersenyum bangga dan menjawab, “Anakku dulu memang pengacara (Pengangguran Banyak Acara). Tapi sekarang, ia pengacara sejati, dengan acara yang tak pernah berhenti karena kesuksesannya.”
Dan setiap kali aku melihatnya berbicara di depan kamera dengan percaya diri, aku sadar satu hal: dulu aku merasa anakku tersesat, padahal ia sedang menempuh jalan pulang menuju keberhasilan. Kini, rumah kami bukan hanya lebih luas secara fisik, tapi juga lebih hangat oleh kebahagiaan dan rasa bangga yang tak ternilai.