Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Nada Terakhir Di Ruang Musik

👤 I Gusti Made Candra Pradnyana 🏫 XI-10 🆔 25661

Namaku Rani. Aku duduk di kelas sebelas SMA Negeri 3, sekolah tua yang bangunannya peninggalan Belanda. Kalau kamu masuk ke sana, bau khasnya langsung terasa campuran debu, kapur, dan kayu lembap. Lantainya dari papan yang bunyinya krek-krek tiap diinjak, bikin orang nggak pernah bisa jalan diam-diam di sana.


Kadang kalau aku sendirian pagi-pagi, aku suka ngerasa sekolah itu seperti bernapas. Udara di dalamnya berat, dingin, dan kadang seperti ada langkah kaki yang mengikuti di belakang. Pernah suatu pagi, aku dengar suara meja diseret dari lantai atas, padahal semua kelas masih kosong. Aku nggak berani nyari sumbernya.


Setiap pagi aku selalu lewat koridor yang sama, dengan dinding kusam berwarna krem yang mulai mengelupas. Kadang, di jam-jam sepi sebelum bel masuk, aku ngerasa kayak ada yang ngintip dari balik jendela ruang-ruang kosong. Tapi aku pikir itu cuma bayanganku sendiri.


Sekolahku punya banyak cerita aneh, tapi yang paling sering dibahas adalah tentang ruang musik lama di ujung koridor lantai dua. Tempat itu selalu dikunci. Gorden jendelanya udah lusuh, dan di bawahnya ada papan nama pudar bertuliskan “Ruang Kesenian.”


Kata anak-anak, dulu pernah ada siswi bernama Ratih meninggal di situ waktu latihan biola buat pentas seni. Nggak ada yang tahu jelas gimana kejadiannya. Ada yang bilang dia jatuh dari jendela, ada juga yang bilang dia bunuh diri karena gagal tampil. Tapi yang bikin semua orang percaya itu lebih dari sekadar gosip adalah satu hal: setiap malam Jumat, dari ruangan itu katanya suka terdengar suara biola.


Bukan yang asal nyaring, tapi lembut dan nyesek, kayak seseorang lagi main sambil nangis.


Aku dulu ketawa aja tiap dengar cerita itu. “Ah, palingan cuma suara kucing di atap,” kataku ke temen-temen. Tapi suatu hari, karma kayaknya pengen bikin aku percaya.



Hari itu Jumat sore, udara panas banget. Kipas angin di kelas nyala tapi cuma muter pelan. Jam dinding menunjukkan pukul tiga lewat sepuluh. Anak-anak udah pada pulang. Aku, Mira, dan Dito masih duduk di kelas nunggu bel tanda pulang ekskul.


Aku masih inget, langit waktu itu warnanya aneh banget — kayak abu-abu tapi ada semburat oranye yang muram. Cahaya matahari terakhir masuk dari jendela dan bikin bayangan di papan tulis. Bayangan itu bentuknya aneh, panjang banget, kayak ada satu orang lagi di antara kami bertiga.


Suara jangkrik dari taman belakang mulai kedengeran, dan langit di luar udah berubah warna — jingga bercampur abu-abu. Sekolah yang biasanya ramai, sekarang terasa kayak bangunan mati. Aku bisa denger bunyi daun kering keinjak di luar jendela, pelan tapi nyaring karena saking sepinya.


Tiba-tiba Bu Wati, guru seni musik, masuk ke kelas.


“Kalian anak ekskul musik, kan? Tolong, bersihin ruang musik lama sore ini. Minggu depan udah mau dipakai latihan.”


Mira langsung nyengir, “Boleh, Bu! Sekalian kita bisa latihan di sana.”

Aku cuma melotot ke dia. “Lo gila ya? Ruang itu kan—”

“Ah, mitos, Ran. Masa anak pinter kayak kamu percaya gituan.”


Dito malah nyengir. “Siap, Bu. Sekalian kenalan sama hantu Ratih, deh.”

Bu Wati cuma ketawa. “Udah, jangan macam-macam. Selesai bersih-bersih langsung pulang.”


Setelah Bu Wati pergi, kami sempat saling tatap. Angin sore masuk lewat celah jendela, dan untuk sesaat aku ngerasa hawa kelas berubah—lebih dingin dari biasanya.



Koridor lantai dua sore itu sepi banget. Cahaya matahari dari jendela panjang jatuh ke lantai, bikin bayangan kami bertiga memanjang kayak tiga orang asing di dunia lain. Di ujung sana, pintu ruang musik berdiri — catnya udah terkelupas, gagangnya karatan.


Begitu aku sentuh, dingin banget. Kayak baru diambil dari kulkas.


“Eh, dikunci nggak ya?” tanya Mira.

“Coba aja.”


Aku dorong pelan. Krekkk.

Pintu itu terbuka, pelan banget, sampai akhirnya berhenti dengan bunyi tek yang kecil tapi nyaring di ruang kosong itu.


Bau lembap langsung nyerang hidungku. Ruangannya besar tapi gelap. Kain putih menutupi alat-alat musik yang entah udah berapa tahun nggak dipakai. Ada piano di pojok, drum set berdebu, rak partitur, dan satu cermin besar di dinding. Cerminnya buram, ada retakan halus di tengah, kayak urat di kaca.


“Kayak film horor, sumpah,” gumam Dito sambil ketawa kecil.

“Udah, cepetan bersihin. Gue nggak mau kelamaan di sini,” jawabku.


Kami mulai kerja. Dito buka kain di drum, Mira lap kaca jendela, aku bersihin piano. Pas aku buka tutup pianonya, beberapa tuts bunyi sendiri — tingg, tingg, tingg.

Aku berhenti. “Kalian denger nggak barusan?”

“Denger apaan?” Mira masih sibuk lap kaca.

“Piano-nya bunyi sendiri.”

“Ah, mungkin angin.”

“Angin dari mana, Mir? Jendelanya aja baru lo buka setengah.”


Kami saling tatap. Suasananya tiba-tiba berubah. Sunyi banget. Sampai Dito pelan-pelan bilang, “Eh, kalian denger nggak?”


Dari arah cermin, ada suara lain.

Suara biola.


Pelan, panjang, bergetar. Nada-nadanya sedih banget, kayak orang nyeritain kisah lewat musik. Kami bertiga langsung diem. Aku ngerasa kulitku merinding semua.


“Dit, lo nyalain HP?”

“Sumpah, enggak. Gue bahkan nggak bawa biola.”


Suara itu makin jelas. Dari permukaan cermin, muncul kabut tipis, kayak embun di kaca mobil pagi hari. Dari baliknya, perlahan muncul bayangan seseorang. Seorang cewek berseragam putih abu, rambut panjang, berdiri memegang biola.


Aku kaku. Mira udah mulai mundur pelan. Dito cuma bisa melotot.

Cewek itu mendongak, pelan banget, dan waktu matanya kelihatan… aku ngerasa darahku berhenti mengalir. Matanya kosong. Pucat. Tapi menatap langsung ke arah kami.


Lalu… crreeeek!

Cermin itu retak.


Mira jerit. Kami bertiga lari sekencang mungkin keluar dari ruangan itu. Dito sampai jatuh di tangga, tapi nggak berhenti. Kami nggak berhenti sampai di depan gerbang sekolah.



Malamnya aku nggak bisa tidur. Suara biola itu masih ada di kepalaku. Jam dua belas lewat dikit, HP-ku bunyi. Grup chat kami aktif.

Dito: “Kalian denger suara biola lagi gak?”

Mira: “Jangan becanda, Dit.”

Aku: “Aku juga denger.”


Begitu aku kirim itu, aku sadar suara itu memang nyata.

Dari luar jendela kamarku, samar banget, terdengar alunan biola—lembut, tapi sendu. Aku buka tirai sedikit. Di bawah lampu jalan depan sekolah, aku lihat bayangan seseorang berdiri. Rambut panjang, berseragam, memegang biola.

Nada terakhirnya panjang… lalu berhenti mendadak.


Aku langsung tutup jendela. Gak tidur sampai pagi.



Besoknya, Dito gak masuk sekolah. Mira bilang dia demam tinggi, menggigau terus sambil bilang, “Ratih belum selesai main.”

Aku ngerasa merinding. Tapi yang bikin parah, malam berikutnya Dito hilang.


Besok paginya, sekolah geger. Di belakang gedung musik, mereka nemuin Dito. Tubuhnya pucat, matanya terbuka, tangannya masih megang biola rusak. Di dinding ruangan itu, ada tulisan kapur:


“Lanjutkan laguku.”


Guru-guru langsung nutup ruangan itu lagi. Semua anak dilarang ke lantai dua. Tapi penjaga sekolah cerita, tiap malam dari balik pintu yang dipaku, terdengar dua suara biola main bersamaan—satunya agak serak, satunya jernih.



Mira nggak tahan. Dia pindah sekolah seminggu kemudian. Katanya tiap malam dia mimpi Dito dan Ratih duduk di ruang musik, main biola bareng. Kadang mereka berhenti, nengok ke arah pintu, lalu senyum.

Aku juga mimpi yang sama, tapi lebih jelas. Di mimpiku, mereka berdua bilang, “Rani… giliranmu.”


Sejak itu, aku takut banget tidur di kamar gelap. Kadang aku denger suara langkah pelan di luar pintu kamarku, diiringi gesekan senar biola yang samar. Suara itu berhenti tiap kali aku buka pintu — seolah cuma nunggu aku lengah.


Tiga bulan kemudian, aku disuruh bantu panitia pentas seni nyiapin alat. Waktu aku buka gudang musik, di antara biola-biola sekolah, ada satu yang rusak—dan di belakangnya terukir nama Ratih.

Aku mundur, tapi biola itu bunyi sendiri. Satu nada, panjang, serak. tinggg…


Aku langsung keluar dari gudang tanpa noleh lagi. Tapi saat aku menutup pintu, aku sempat dengar suara kecil dari dalam — bisikan lembut perempuan. “Jangan tinggalkan aku.”



Sekarang aku udah lulus. Sekolah itu katanya mau direnovasi. Tapi malam sebelum gedung musik dirobohkan, tukang-tukangnya dengar suara biola yang sama.

Salah satu dari mereka lari keluar sambil teriak, katanya di jendela ruang musik dia lihat dua sosok berdiri: seorang cewek berseragam putih abu, dan seorang cowok bawa biola patah.


Aku kuliah di luar kota sekarang, tapi tiap kali aku lewat toko musik atau dengar lagu biola di radio, jantungku langsung berdegup aneh. Ada bagian dari lagu yang rasanya terlalu familiar.

Kadang kalau aku sendirian di kos, aku dengar suara biola itu lagi—dari arah kamar mandi, atau dari balik cermin.


Suatu malam aku nekat. Aku hadap cermin, ngelihat pantulan diriku sendiri. Wajahku pucat, mata cekung. Tapi di belakangku, samar-samar, ada dua bayangan.

Rambut panjang. Seragam abu-abu. Dan biola rusak di tangan.


Aku muter badan. Nggak ada siapa-siapa.

Tapi waktu balik lagi ke cermin, mereka masih di situ—dan kali ini mereka tersenyum.


Ratih maju sedikit. Aku bisa denger bisikannya di telingaku, lembut tapi dingin:


“Laguku belum selesai… bantu aku, Rani.”


Aku pengen teriak, tapi nggak bisa. Tenggorokanku kaku.

Dan saat itu juga, dari sudut kamarku, suara biola mulai lagi.

Pelan, indah… tapi kali ini aku sadar, ada tiga nada berbeda.


Aku nggak tahu kenapa, tapi tanganku tiba-tiba terangkat, jari-jariku bergerak seolah memetik senar biola yang nggak ada. Suara itu menyatu, harmoni aneh antara Ratih, Dito, dan aku sendiri.

Nada terakhirnya panjang banget, menggema di kepala, sampai semuanya gelap.



Keesokan harinya, penghuni kos sebelah bilang mereka denger musik biola semalaman. Tapi waktu mereka ketuk kamarku, nggak ada jawaban.


Paginya, pintu kamarku diketok petugas. Di meja belajar, cuma ada cermin berdiri. Di permukaannya, ada tiga bayangan—dua memegang biola, satu berdiri di tengah.

Di bawahnya, ada tulisan samar seperti digores kuku:


“Akhirnya… laguku selesai.”