Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Bayang Masa

👤 Komang Amara Tirta Pertiwi 🏫 XI-11 🆔 25702

Matahari sore menyorot lembut ke jendela kamar Alia, seorang mahasiswi sejarah semester akhir di Universitas X yang tengah menuntaskan skripsinya. Buku-buku tebal tentang Mesir Kuno berserakan di mejanya, sementara laptop di hadapannya menampilkan lembar kerja berjudul “Ramses II Simbol Keagungan dan Keabadian di Mesir Kuno.” Selama berbulan-bulan, Alia memusatkan seluruh pikirannya pada sang Firaun agung itu. Ia terpikat oleh kisah kejayaannya, monumen raksasa yang dibangunnya, serta legenda cinta antara Ramses II dan Nefertari. Namun, di balik semua catatan sejarah, Alia selalu merasa ada sesuatu yang hilang yakni sebuah bagian yang tidak tertulis, seolah masa lalu menyembunyikan rahasianya dari mata dunia modern. Hari itu, tanggal 11 November, adalah hari ulang tahunnya yang ke-23. Kakaknya, Eden, datang membawa kotak kecil berwarna keemasan.


“Selamat ulang tahun, Alia,” ucapnya sambil tersenyum.


Alia membuka kotak itu dan mendapati sebuah gelang emas dengan simbol infinity di tengahnya.


“Cantik sekali… simbol keabadian,” katanya takjub.


“Katanya gelang ini membawa keberuntungan,” jawab Eden. “Aku menemukannya di pasar loak. Entah kenapa, gelang ini seolah memanggilku untuk membelinya untukmu.”


Alia tersenyum lembut. Namun begitu ia mengenakannya, gelang itu terasa hangat, hampir seperti membakar. Dalam sekejap, ia meringis menyadari kulit tangannya terluka, meninggalkan bekas tipis berbentuk seperti simbol infinity itu.


“Eden! Lihat, gelang ini melukaiku!” serunya panik.


Eden tertegun, wajahnya pucat. “Aku… aku tidak tahu, maaf, Alia! Aku tidak bermaksud"


Alia buru-buru melepas gelang itu, namun rasa penasaran mulai merayapi pikirannya. Ada sesuatu yang berbeda, seolah gelang itu menyimpan daya yang tak kasat mata. Malamnya, saat seluruh rumah hening, Alia duduk di depan cermin, memandangi gelang yang kini tergeletak di meja.


“Entah apa kau sebenarnya…” bisiknya, lalu perlahan ia mengenakannya kembali.


Sekejap kemudian, angin berhembus kencang melalui jendela yang tertutup. Cahaya keemasan menyelimuti tubuhnya, dan dunia di sekitarnya mulai berputar cepat antara bayangan piramida, hieroglif, dan lautan pasir yang berkilau. Ketika Alia membuka mata, panas menyengat menyapa kulitnya. Pasir menutupi sebagian wajahnya.


“Di mana ini? Panas sekali…”


Ia menatap sekeliling hamparan gurun luas membentang sejauh mata memandang. Kakinya lemah, pandangannya kabur, dan sebelum sempat berpikir lebih jauh, kesadarannya memudar. Saat Alia terbangun, ia mendapati dirinya di atas ranjang berlapis kain putih. Aroma rempah dan dupa memenuhi udara. Dinding batu di sekitarnya dipenuhi lukisan dewa-dewi Mesir.


“Tempat apa ini?” Kata Alia dalam hati.


“Sudah sadar rupanya,” suara seorang perempuan terdengar lembut.


Alia menoleh. Di hadapannya berdiri seorang wanita berkulit sawo matang, mengenakan pakaian linen sederhana. Wajah dan cara berpakaian yang sangat asing baginya.


“Di mana aku? Dan kamu siapa?” tanya Alia gugup.


“Aku Litah, pelayan di istana Ramses II. Aku menemukanmu pingsan di Gurun Libya.”


“APA? Ramses II?!” teriak Alia kaget, sontak bangkit dari tidurnya.


Litah menatapnya heran. “Ya. Ini tahun kedua sejak Ramses II naik takhta.”

Alia terdiam membeku.


“Tahun kedua setelah Ramses II berkuasa… berarti ini sekitar tahun 1281 sebelum Masehi,” bisiknya.

 

Seketika ia sadar bahwa gelang itu telah membawanya kembali ke masa lalu. Namun bukannya panik, rasa ingin tahu dalam dirinya membara. Alia, seorang mahasiswi sejarah, kini menjadi saksi langsung zaman yang selama ini hanya ia baca dari buku. Tanpa berpikir lama, dalam sekejap Alia sudah memikirkan sebuah ide yang brilian.

 

“Litah, apakah istana masih membutuhkan pelayan?” tanyanya tiba-tiba.


“Sepertinya ya. Kau ingin melamar?”


“Ya,” jawab Alia mantap. “Mungkin ini cara terbaik bagiku untuk memahami Mesir Kuno.”

 

Beberapa minggu kemudian, Alia sudah bekerja di istana sebagai penulis bantu di ruang arsip kerajaan. Ia belajar bahasa Mesir kuno dengan cepat, menyesuaikan diri dengan kehidupan istana. Alia tak menyangka bahwa kehidupan di Mesir Kuno terasa begitu menyenangkan baginya, Ia sangat cepat beradaptasi di waktu ribuan tahun yang bukan masanya. Di antara hieroglif dan gulungan papirus, hatinya dipenuhi kekaguman pada keagungan masa itu. Suatu hari, saat mengantar dokumen ke ruang perwira penjaga, ia bertemu seseorang. Seorang prajurit tinggi berkulit legam, dengan mata tajam namun lembut. Alia tak menyadari selama beberapa minggu ia didalam istana ternyata ada seseorang seperti ini.


“Maaf, aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya,” katanya ramah.


“Aku baru ditugaskan di ruang arsip,” jawab Alia gugup.


“Horus, pengawal pribadi Ramses II” katanya sambil menunduk hormat.


“Alia, saya penulis bantu di ruang arsip” balasnya, dan untuk sesaat waktu terasa berhenti di antara mereka.

 

Waktu berjalan begitu cepat, seiring berjalannya waktu, Alia dan Horus semakin sering bertemu. Horus kadang menemaninya berjalan di taman istana yang dihiasi teratai, kadang membantu mengangkat gulungan papirus yang berat. Alia merasa sangat terbantu oleh keberadaan Horus disisinya yang selalu sigap membantu. Mereka sering menghabiskan waktu bersama dengan berbicara tentang dewa-dewi, tentang sungai Nil, tentang  kehidupan dan Sejarah Mesir. Alia tahu ia seharusnya tidak terlalu dekat. Ini bukan masanya. Bukan dunianya. Namun hatinya memiliki logika sendiri. Suatu malam, di bawah sinar bulan di tepi Sungai Nil, Alia akhirnya memberanikan diri membuka rahasia yang ia simpan.


“Aku… bukan dari zaman ini,” katanya lirih.


Horus menatapnya bingung namun sabar. “Maksudmu?”


“Aku berasal dari masa depan. Ribuan tahun setelah masa Ramses II. Aku datang ke sini karena sebuah gelang berbentuk seperti ini.” Ia menggambar simbol infinity di tepian Sungai Nil.

 

Alia berkata  “Gelang itu hilang entah kemana semenjak aku terbangun di Gurun Libya”


Horus diam lama, lalu tersenyum. “Kalau pun itu benar, para dewa pasti punya alasan mengirimmu ke sini.”

 

Sejak malam itu, kedekatan mereka tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Alia tak pernah menyangka akan menemukan cinta di tengah waktu yang bukan miliknya. Ia semakin sering menghabiskan waktu bersama Horus, ia selalu bercerita tentang bagaimana kehidupannya diribuantahun setelah masa Ramses , dan Horus yang selalu siap mendengar cerita Alia. Alia begitu terlena oleh kebahagiaan yang kini Ia ukir bersama Horus. Namun kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Musuh dari utara yakni Bangsa Het menyerang perbatasan, dan Horus sebagai perwira dipanggil ke medan perang. Malam sebelum keberangkatannya, mereka berdiri di tepi Sungai Nil. Angin malam berembus lembut, bulan bundar menggantung di langit.


“Horus,” kata Alia menahan air mata, “bagaimana jika aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal nanti?”


Horus menggenggam tangannya erat. “Kau tidak perlu. Karena aku akan selalu di sini.” Ia menepuk dada kirinya. “Selama kau masih mengingatku, waktu tak akan memisahkan kita.”

 

Ia berkata “Aku berjanji kepada Sungai Nil, Ra, dan Osiris, mereka menjadi saksi bahwa aku akan selalu mengingat kisah bahwa kau dan aku pernah menjadi bagian dari Mesir, dan perasaan kita akan tetap hidup, walau jarak dan waktu memisahkan. Aku akan mengingat semua kisah kita, dan akan ku bawa sampai ribuan tahun kedepan, melewati berbagai kehidupan. Aku berharap kisah kita akan abadi dalam ingatan kau, Alia.”

 

Keesokan paginya, Horus berangkat ke medan perang. Dan seminggu kemudian, kabar itu datang, kabar yang Alia bahkan tidak ingin mendengar ataupun mengetahuinya, kabar dimana Horus gugur, mempertahankan Mesir di bawah kekuasaan Ramses II. Dunia Alia runtuh. Ia menangis di tepian Sungai Nil, menatap arus air yang seolah membawa kenangan mereka pergi. Dalam kesedihannya, ia berjalan tanpa arah ke pasar kota. Di sana, matanya menangkap sesuatu yakni gelang emas dengan simbol infinity, identik dengan gelang yang membawanya ke masa ini. Dengan gemetar ia mengenakannya. Seketika angin berputar, cahaya kembali menyilaukan pandangannya. Dan dalam kedipan mata, Alia telah kembali ke kamarnya di masa kini. Pemandangan yang familiar terasa begitu asing, seolah ia kembali menjadi orang lain.


Hari-hari berikutnya, Alia hidup dalam kekosongan. Semua terasa seperti mimpi, namun bekas luka di tangannya tetap ada, menjadi bukti nyata bahwa semua itu pernah terjadi. Ia menulis skripsinya dengan penuh semangat, menceritakan kisah Ramses II dengan sentuhan personal yakni bagaimana cinta, pengorbanan, dan keabadian berjalan seiring di Mesir Kuno.

Namun hatinya tetap tertinggal di masa lalu. Setiap malam, ia memimpikan Horus berdiri di tepi Sungai Nil, tersenyum di bawah cahaya bulan. Tak pernah sekalipun Alia tak memikirkan Horus. Beberapa bulan kemudian, setelah skripsinya selesai, hati Alia tak sanggup menahan kerinduan yang mendalam akan kekasihnya. Alia memutuskan pergi ke Mesir. Ia ingin mengunjungi tempat di mana hatinya tertinggal yaitu tanah di mana waktu berhenti untuk sejenak baginya. Ia berjalan di antara reruntuhan istana kuno Ramses II, menyentuh batu-batu yang sama yang mungkin pernah diinjak oleh Horus. Saat Ia Kembali kesana, Ia merasakan rasa yang sangat familiar di hatinya, angin panas dan kering khas Mesir, teriknya sinar matahari, ramainya sorak sorai orang-orang. Ia rindu perasaan ini. Ketika Ia berjalan di depan Kuil Abu Simbel, hatinya merasa terpanggil untuk memasuki kuil tersebut.


Saat memasuki ruang yang dipenuhi ukiran hieroglif, langkahnya terhenti. Di salah satu dinding, ia melihat ukiran simbol infinity, identik dengan gelangnya. Tangannya gemetar saat menyentuhnya, dan tiba-tiba dinding itu memancarkan cahaya lembut.


Ia sedikit terhuyung, hampir jatuh ke belakang, namun seseorang menangkapnya.


“Kamu tidak apa-apa?” tanya suara lembut itu. Suara lembut yang sangat familiar pikir Alia.

Cahaya matahari yang masuk dari celah reruntuhan menutupi wajah orang itu, hingga perlahan bayangan bergeser.


Alia membeku. Pria itu… wajahnya, senyumnya, matanya, semuanya sama.


“Horus…” bisiknya nyaris tak terdengar.


Mereka saling menatap, air mata mengalir tanpa kata.


Horus tersenyum. “Kau tidak lupa akan janjiku, kan?”


Alia menutup mulutnya dengan tangan, lalu tersenyum di antara air mata. Perasaannya campur aduk, Ia tak menyangka bahwa pria yang selama ini Ia rindukan berdiri di depannya.


“Tidak mungkin aku melupakannya.” Kata Alia dengan suara lirih.


Mereka berjalan mengitari kuil. Lalu mereka berdiri di antara reruntuhan yang sunyi, waktu seakan berhenti sekali lagi. Mereka terdiam menatap satu sama lain, mereka tak berbicara banyak. Hanya mengenang kenangan yang masih terasa begitu hangat hingga saat ini. Simbol infinity di dinding itu berkilau lembut, seolah mengakui bahwa janji mereka telah melintasi ribuan tahun. Dalam hati Alia, Ia tahu bahwa beberapa cinta memang tak lekang oleh waktu. Seperti Sungai Nil yang terus mengalir, cinta itu menemukan jalannya, bahkan ketika waktu mencoba memisahkan. Cinta mereka mengalir melintasi masa, menjembatani dunia yang berbeda, dan hidup abadi di antara keheningan sejarah.