“ Keajaiban turun di atap rumah ku “
Keseharian ku terlihat selalu kosong atau bahkan bisa di katakan aneh. senyum di bibir ku pun kadang hanya terlihat beberapa kali saja. Aku selalu percaya kalau hidup itu biasa-biasa aja. saat aku Bangun pagi, kesekolah, pulang kembali kerumah, ngerjain tugas, bahkan tidur tidur. Kadang nongkrong, kadang curhat soal masalah yang sama untuk ke dua belas kalinya ke temen yang sama. Intinya hidupku nggak pernah punya kejadian aneh atau spektakuler. Sampai akhirnya, kejadian itu datang. bintang turun tepat ke atap rumahku.
Sebenarnya, semuanya bermula pada suatu Rabu malam yang harusnya cuma berakhir dengan aku ketiduran sambil belajar biologi. Aku duduk di balkon lantai dua rumahku, ditemani angin malam yang lumayan kencang dan lampu teras yang udah agak gosong satu sisinya. Aku lagi mencoba menghafal proses efek rumah kaca yang entah kenapa selalu gagal masuk kepala, dan saat itu tiba-tiba ada cahaya putih kecil melintas di langit.
Awalnya kupikir itu pesawat. Tapi cahaya itu makin lama makin mendekat. Terus berhenti. Terus dan jatuh pelan-pelan, tepat di atas atap rumahku, kayak kapas jatuh dari langit.
“Eh apa tuh?” gumamku.
Aku turun ke halaman, nyalain senter HP, dan ngeliat sesuatu di atas genteng. Cahaya putih itu masih ada, berkedip lambat. Jujur aja, otakku langsung mikir hal-hal bodoh apakah itu alien, drone jatuh, atau mingkin kembang api nyasar, atau lampu neon yang tiba-tiba punya sayap. Tapi waktu aku manjat ke atap dengan tingkat ketidakhati-hatian yang cukup tinggi, aku ngeliat sesuatu yang sama sekali nggak masuk akal.
Di atas genteng, duduk sesuatu yang mirip anak kecil. Tapi bukan manusia.
Ia kecil. Setinggi botol minum 1 liter. Tubuhnya kayak terbuat dari cahaya bukan yang silau, tapi yang hangat. Kayak warna matahari jam empat sore. Matanya bulat, lebih bulat dari bola kaca, dan tubuhnya berputar pelan. Yang paling aneh, rambutnya terlihat seperti asap keperakan yang terus bergerak.
Aku terpaku. Dan makhluk itu melambaikan tangannya kepadaku,
“Halo!” suaranya tinggi, mirip suara bel kecil.
Aku kaget sampai hampir jatuh dari atap. “H-HALO?! Siapa kamu??”
Makhluk itu mengedip. “Aku? Aku Binar.”
Nama yang agak terlalu manusia untuk makhluk cahaya. Tapi aku cuma bisa bengong.
“Aku aku aku adalah manusia,” jawabku bodoh.
“Aku tahu itu kawan ,” katanya sambil tersenyum, memperlihatkan sesuatu yang mirip dimples. “Kalian selalu terlihat lucu kalau takut dan melihat hal hal baru.”
“Aku nggak takut!” bantahku spontan.
“Oh benarkah ?” Dia miringkan kepala. “Tapi aku lihat lututmu gemetar dan dahi mu di penuhi keringat dingin .”
Ya Tuhan, Lututku memang gemetar.
Aku akhirnya duduk di atas atap, mencoba berpikir jernih. “Terus kamu ngapain di sini? Jatuh ya ?”
“Enggak,” katanya santai. “Aku turun.”
“Turun?”
“Iya Aku bintang. Kadang kami turun buat istirahat.”
Aku terdiam selama lima detik penuh. “kamu bintang? Yang di langit, Yang panas itu?”
“Tidak semuanya panas teman ,” jawabnya sambil nyengir. “Kadang ada yang dingin. Aku contohnya. Aku cuma sekedar bintang penanda. Tugas kami bukan membakar apa pun. Hanya menyala.”
Aku mulai bingung setengah hidup. “Terus ada apa? Kenapa harus turun ke rumahku?”
Binar menunjuk dadaku. “Karena kamu berisik.”
“Hah?!”
“Kamu berisik banget banget banget ,” ulangnya. “Pikirannya yang berisik. Suaranya enggak. Tapi pikiranmu sangat ribut, bikin gelombang kecil yang sampai ke kami.”
Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya? kamu bisa baca pikiran ku?”
“Bukan membaca. Lebih kayak mendengar gelombang yang kalian pancarkan waktu merasa sesuatu terlalu kuat bahkan membuat diri kalian gelisah dengan pikiran itu sendiri.”
“Jadi kamu dengar apa?”
Makhluk kecil itu menatapku lama. “Kesepian.”
Aku langsung terdiam. Angin malam berhenti berisik untuk beberapa detik, seolah turut mendengarkan.
“Aku nggak kesepian kok ,” sanggahku cepat.
Binar mengedip pelan. “Semua bintang bisa tahu kalau manusia berbohong .”
Aku terdiam. Lalu menghela napas panjang.
“Fine itu benar , tapi Mungkin sedikit tidak banyak .”
“Sebenarnya banyak,” katanya jujur tanpa basa-basi.
Aku mendengus nggak marah sih, cuma yang dia katakan emang bener. Entah kenapa, sejak tiga bulan terakhir, hidupku terasa kosong. Temen-temenku ada, tapi rasanya mereka sibuk dengan hidup masing-masing. Orang rumah sering pulang telat. Dan aku sering merasa nggak tahu harus cerita ke siapa soal hal-hal yang kusimpan sendiri.
Binar duduk di sebelahku. Cahaya tubuhnya membuat genteng di sekitarnya kelihatan hangat.
“Kamu tahu nggak ? ,” katanya pelan, “banyak manusia berpikir kalau mereka sendirian padahal sebenarnya mereka cuma nggak nemu orang yang mau mendengar bahkan mengerti dengan isi pikiran mereka sendiri .”
“Hmm.”
“Kamu cuma butuh satu orang. Tapi kamu nggak percaya itu , bahkan kamu juga tidak yakin dengan hal itu.”
“Karena aku nggak mau ganggu orang lain hanya untuk mendengarkan ceritaku,” jawabku jujur.
“Itu lucu dan sangat lucu “ kata Binar sambil memelototiku. “Manusia suka bilang begitu, tapi di saat yang sama kalian berharap ada yang datang tanpa diminta dan disaat yang sama juga kalian ingin ditemani tanpa ditanya.”
Aku tertegun, Dia benar lagi.
Setelah itu, kami ngobrol lumayan lama. Tentang banyak hal yang sejujurnya nggak pernah kubayangkan akan kubicarakan dengan makhluk cahaya yang ngaku bintang.
“Apa kalian suka diam di langit?” tanyaku.
“Suka. Di sana sangat tenang. Kamu bisa dengar segala hal tapi tanpa harus menahan beratnya.”
“Berat?”
“Perasaan kalian. Manusia punya terlalu banyak jenis perasaan. Kadang, kami sampai bingung bagaimana kalian bisa kuat menahannya.”
Aku menghela napas panjang. “Jujur, kadang aku juga bingung.”
Binar tertawa kecil, suaranya kayak lonceng halus. “Aku tahu.”
Waktu berlalu tanpa terasa. Kami berada di atap rumah selama berjam-jam. Aku mulai terbiasa dengan cahaya tubuhnya yang lembut. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa sangat tenang.
Tapi semua yang datang dari langit pasti harus kembali ke langit, kan?
Sekitar pukul tiga pagi, Binar berdiri. Rambut asapnya bergerak lebih cepat dari sebelumnya.
“Kayaknya aku harus kembali,” katanya.
Aku terlonjak. “Serius? Sekarang?”
“Langit sudah memanggil.”
“Apa nanti kamu balik lagi?” tanyaku cepat.
Ia terdiam.
“Tidak,” jawabnya pelan.
Dan entah kenapa, dada ini langsung terasa berat.
“Tapi”
“Tenang.” Ia memotong ucapanku. “Tugas kami memang bukan untuk tinggal lama.”
“Satu malam aja cukup?” tanyaku.
“Cukup untuk apa?”
“Untuk… bikin aku nggak kesepian lagi.”
Binar tersenyum kecil. “Manusia memang hebat. Mereka bisa berubah hanya karena satu percakapan kecil.”
Aku menatapnya lama. “Jadi… ini perpisahan?”
“Perpisahan itu cuma kata untuk manusia. Bagi bintang, kita semua tetap terhubung selama kamu masih bisa mengingat cahaya.”
Aku tertawa kecil. “Kamu ngomong apa sih? Puitis banget.”
“Aku memang puitis,” katanya percaya diri.
Aku tertawa lagi.
Dan saat itu, ia mendekat, menepukkan tangan mungilnya ke dada kiriku.
“Apa pun yang membuatmu berisik kemarin,” katanya pelan, “lepaskan saja. Kamu nggak harus nahan semuanya sendirian.”
Aku mengangguk.
Kemudian, sebelum melompat ke langit, Binar bilang sesuatu yang selama ini tidak pernah kukatakan pada diriku sendiri:
“Kamu pantas didengar bahkan kamu pantas untuk menceritakan kisah atau isi pikiran mu.”
Seketika tubuhnya melesat ke atas, cahaya putihnya membelah langit fajar yang mulai kebiruan. Dalam beberapa detik, ia kembali menjadi titik kecil di langit sebuah bintang cantik yang mungkin tidak akan pernah kutemui lagi.
Tapi malam itu merubah banyak sekali hal dalam hidupku.
Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan aneh. Bukan sedih, bukan senang cuma lebih ringan. Dan untuk pertama kalinya, aku turun ke bawah dan ngajak ayah sarapan bareng. Biasanya kami makan tanpa banyak bicara, tapi kali itu aku cerita sedikit soal hari-hariku. Ayah agak kaget, tapi dia sangat senang mendengar ceritaku.
Saat di sekolah, aku mulai mencoba duduk dekat teman-temanku dan bukan cuma jadi pendengar, tapi juga mulai cerita balik. Dan ternyata mereka nggak keberatan. Mereka justru bilang, “Loh, tumben lo cerita? Baguslah.”
Aku senyum receh dan sedikit bahagia dengan hal itu.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku naik lagi ke atap rumah. Aku duduk sambil lihat langit. Bintang-bintang masih sama seperti biasa. Tapi ada satu titik putih kecil di bagian kiri langit yang berkedip dua kali pelan, hangat, kayak ucapan selamat tinggal yang sangat lembut.
Aku nggak tahu apakah itu Binar atau cuma bintang biasa.
Tapi sekarang aku tidak kesepian lagi.
Kadang untuk berubah menjadi yang lebih baik, manusia cuma perlu satu malam yang aneh atau bahkan Satu percakapan yang tidak terduga. Satu momen kecil yang membuat kita sadar bahwa hidup ini nggak cuma tentang menahan semuanya sendirian.
Dan malam ketika bintang turun ke atap rumahku adalah momen berharga buatku, atau bahkan itu adalah keajaiban. terlintas
di pikiran ku kadang keajaiban datang bukan untuk tinggal , tapi ia datang untung selalu mengingatkan bahwa kita masih punya cahaya sendiri yang bersinar.
keajaiban datang dengan penuh kisah yang sangat berada diluar ekspetasi kita, bahkan keajaiban juga bisa menjadi badai ataupun masalah dalam kehidupan. hidupku menjadi lebih berwarna , dia datang tapi tidak seseorang pun percaya bahwa dia ada dan juga nyata. jika boleh di ulang kembali aku ingin lebih lama bercerita dan juga menguraikan isi pikiranku yang sangat berisik ini. entah lah walaupun sebentar itu sangat menyenangkan. momen kecil itu selalu terngiang ngiang di pikiran ku, sesekali saat malam hari aku selalu berbicara sendiri , dan meminta agar makhluk kecil itu kembali dan berbicara lebih lama dan lama lagi. ya walaupun cerita nya sambil nongkrong di atap rumah, itu sangat seru! ! !. seperti kata Binar, manusia hanya perlu pendengan atau bahkan di dengarkan untuk menjadi sosok yang tangguh dan juga tidak terguncang dengan isi pikiran nya sendiri. dan kini aku lebih sering untuk membuka diri kepada keluarga bahkan teman teman dekat ku disekolah. terima kasih binar, cahaya kecil yang mengubah seluruh cahaya hidupku pada malam itu.