Hujan Membawaku Pulang
Hujan sore itu menetes lembut di sebuah Desa batulambai, membasahi jalan tanah yang sepi dan rumah rumah tua yang mulai mengelupas catnya, sementara naya berjalan gontai memegang selembar kertas lusuh, tulisan tangan yang nyaris pudar namun begitu dikenalnya “Jika aku pergi, carilah aku di balik jendela tua di rumah lama. Aku selalu bersamamu, Nak.”
Setahun lalu, ayahnya yang bekerja di perkotaan, menghilang tanpa jejak, meninggalkan kesedihan yang tak pernah benar-benar hilang dari hati Naya, dan meski polisi sudah berhenti mencari, nalurinya selalu berkata ada sesuatu yang tertinggal untuknya petunjuk terakhir yang hanya bisa ia temukan sendiri.
Rumah tua itu tampak sepi dan sunyi, lantai berbunyi saat Naya melangkah, dan jendela tua di lantai dua menatapnya seperti menunggu, menyimpan kenangan tentang ayah yang selalu mendampinginya, membacakan cerita, menghiburnya, mendorongnya untuk percaya bahwa ia bisa menghadapi dunia.
Dengan tangan gemetar, ia membuka jendela itu perlahan dan menemukan sebuah kotak kayu kecil, berdebu namun terasa berat, seperti memegang seluruh harapan hidupnya, dan di dalamnya ia menemukan buku catatan penuh coretan tangan ayahnya, surat terakhir yang lusuh dan lembap, serta selembar kertas lain yang memintanya duduk di kursi dekat jendela, menutup mata, dan membayangkan kehadiran ayahnya.
Saat Naya mengikuti perintah dari kertas itu, hujan menetes di luar, suara rintiknya seperti bisikan hangat yang membuatnya tersenyum, seakan ayahnya masih berada di sisinya, membisikkan kata-kata penyemangat, mengulang semua cinta dan dukungan yang selama ini memberinya keberanian, namun tiba-tiba sebuah foto tua jatuh dari buku catatan, memperlihatkan sosok ayahnya berdiri di samping seorang pria yang sangat mirip dengannya, dengan catatan di balik foto yang mengoyak hati Naya.
Seseorang yang selama ini ia panggil ayah sebenarnya bukan ayah kandungnya, melainkan seorang pria yang berjanji pada ibunya untuk menjaga dan mencintai Naya seumur hidupnya, menjadi sandaran, teman, dan pelindungnya, sehingga semua tawa, pelukan, dan dorongan yang ia rasakan nyata adanya cinta yang tulus dan pengorbanan yang abadi.
Namun, bukan dari orang yang ia pikir selama ini adalah ayah kandungnya, Naya menatap jendela tua itu dengan air mata membasahi pipinya, hatinya remuk karena kehilangan yang sebenarnya dan sekaligus terharu karena cinta yang tak ternilai, belajar bahwa hidup kadang memberikan kenyataan yang pahit namun indah dalam bentuk pengorbanan yang tak terlihat, dan ketika hujan mulai reda, menetes perlahan di kaca yang berdebu, Naya memeluk kenangan dan cinta itu dalam-dalam, berbisik lirih “Terima kasih, Ayah… siapapun kau. Aku akan terus berusaha, untuk membanggakanmu,” sementara dunia tetap sunyi di sekitar rumah tua itu, meninggalkan gadis itu sendirian namun sedikit lebih kuat, membawa cinta yang abadi sebagai cahaya di tengah kesedihan yang tak terobati.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Naya mulai sering kembali ke rumah tua yang berada di Batulambai, bukan lagi untuk mencari jawaban, melainkan untuk merasakan kedamaian dan keikhlasan yang perlahan tumbuh di hatinya. Ia duduk di dekat jendela yang sama setiap sore, menulis di buku catatan peninggalan ayahnya tentang harapan, mimpi, dan hal-hal kecil yang membuatnya bertahan hingga disini.
Hari demi hari berlalu, Naya mulai menemukan kenyamanan dalam rutinitas barunya. Setiap pagi ia berjalan menyusuri jalan menuju rumah tua itu. Di halaman rumah yang dipenuhi rumput liar, ia menanam bunga kecil berwarna ungu yang dimana itu adalah warna kesukaan ayahnya sebagai tanda bahwa cinta tidak pernah benar-benar mati, tetapi hanya saja berubah bentuk. Perlahan demi perlahan rumah tua yang dulu tampak suram kini mulai hidup kembali, dipenuhi dengan kehadiran kenangan lama dan semangat baru yang tumbuh bersama.
Suatu sore, ketika langit kembali mendung, Naya mendengar suara langkah di luar rumah. Seorang pria tua dengan wajah yang lembut dan mata penuh rahasia berdiri di pagar, membawa amplop lusuh di tangannya. Ia memperkenalkan diri sebagai sahabat lama ayahnya yang berada di kota, seseorang yang pernah bekerja bersamanya dan datang membawa pesan terakhir ayahnya yang belum sempat disampaikan. Dengan tangan bergetar, Naya menerima amplop itu, merasakan ketakutan yang sama seperti saat membuka kotak kayu dulu yang dimana antara takut dan rindu yang berpadu menjadi satu.
Dalam surat itu, ayahnya menulis bahwa hidup bukan tentang seberapa lama seseorang bisa bersama, tetapi seberapa dalam cinta itu ditanamkan dalam hati orang yang ditinggalkan. Ia juga menulis bahwa meski darah tak mengikat mereka, cinta adalah benang halus yang lebih kuat dari segalanya.
Setiap kali ia melangkah ke dalam rumah tua itu, suara dedaunan yang saling bergesekan di halaman seperti menyambutnya pulang. Tak ada lagi rasa takut yang dulu membuatnya ragu, karena kini rumah itu bukan sekadar bangunan peninggalan masa lalu melainkan tempat ia menemukan kembali dirinya.
Suatu hari, ketika ia sedang merapikan meja di dekat jendela, Naya menemukan sesuatu yang sebelumnya terlewatkan, sebuah paku kecil di dinding, tempat selembar kertas tipis terlipat rapi tergantung. Kertas itu sudah menguning , tetapi tulisan tangan di permukaannya masih jelas, seperti baru ditinggalkan kemarin. Dengan hati-hati ia menganbilnya dari paku,
Ternyata itu adalah halaman catatan yang ditulis ayah angkatnya bertahun-tahun sebelum ia menghilang. Di situ tertulis pesan yang sederhana namun menyentu hatinya. Naya menahan napas, merasakan kehangatan yang merembes dari tulisan itu rasanya seperti mendapatkan pelukan dari seseorang yang sudah tak bisa lagi ia temukan.
Sejak hari itu, ia mulai membersihkan ruangan demi ruangan. Debu yang menumpuk ia sapu perlahan, dinding yang rapuh ia sentuh dengan lemah lembut, seolah setiap sudut menyimpan cerita yang harus dikenang. Ia memasangkan tirai baru berwarna putih di jendela tua itu, namun tetap membiarkan cahaya sore masuk seperti dulu. Rumah itu perlahan berubah menjadi tempat yang hidup kembali, bukan karena di renovasi, tetapi karena cinta yang ia tanamkan dari hari demi hari.
Pada suatu sore gerimis, saat ia sedang menuliskan kisahnya di catatan kecil ayahnya, Naya mendengar suara retakan kecil di loteng. Awalnya ia mengira hanya suara angin, tetapi kemudian terdengar lagi, lebih jelas. Dengan rasa ingin tahu yang menyelimuti ketakutannya, ia menaiki tangga kayu yang berderit. Di antara balok-balok tua yang dipenuhi sarang laba-laba, ia menemukan koper kecil yang tertutup rapat.
Di dalamnya ada beberapa buku tua, beberapa foto ibunya semasa muda, dan sebuah kotak musik yang sudah lama dan berdebu. Ketika Naya membuka tutupnya, roda kecil di dalamnya berputar perlahan dan memainkan lagu lembut yang pernah dinyanyikan ayahnya waktu ia kecil. Nada-nada itu bergema lembut, memenuhi loteng gelap itu dengan rasa hangat yang tak pernah ia kira akan ia rasakan lagi.
Setelah hari ketika Naya menemukan kotak musik berdebu itu, hidupnya seperti berjalan sedikit lebih perlahan. Ada sesuatu dari melodi kotak kecil itu meski suaranya patah-patah dan tidak lagi jernih yang membuat dadanya terasa hangat, seperti ada tangan yang menggenggam pelan dari masa lalu. Setiap kali ia memutarnya, ia seperti bisa merasakan ayah angkatnya duduk di sebelahnya, tersenyum dengan cara yang selalu membuat dunia terasa aman.
Kotak musik itu kini ia letakkan di meja dekat jendela tua, tempat yang menjadi saksi paling banyak air mata, tawa, dan kenangan yang ia temukan belakangan ini. Sore itu, ketika hujan turun lagi, Naya kembali duduk menghadap jendela. Hujan mengetuk kaca dengan ritme lembut, dan ia memutar kotak musik itu sekali lagi. Lagu itu mengalun pelan, seperti bisikan lama yang kembali dari tempat yang jauh.
Tapi ada satu hal yang tak bisa lepas dari pikirannya. Saat pertama kali mengambil kotak itu dari koper tua itu di loteng, ia melihat bagian bawahnya seperti tidak tertutup rapat. Awalnya ia mengabaikan, mengira itu hanya karena usia kayu yang mulai rapuh. Namun setiap kali ia memandang kotak itu, ada perasaan mengganjal yang perlahan tumbuh seperti ada sesuatu yang belum ia temukan.
Sore itu, ketika langit mulai berubah menjadi mendung, ia akhirnya memberanikan diri membalik kotak musik itu. Dan benar saja, ada celah kecil di dasar kayunya. Dengan hati-hati ia menyelipkan jarinya ke sana, lalu menekan perlahan. Bagian bawah kotak itu terangkat.
Naya menahan napas.
Di dalam kotak kecil itu, ia menemukan sebuah kunci perak kecil dan selembar kertas yang digulung. Tulisannya pendek, hampir seperti bisikan yang berada di sebelah telinganya.
”Untuk Naya, suatu hari nanti.”
Matanya berlinang air mata seketika. Tangannya gemetar saat memegang kunci itu, seolah kunci kecil itu bukan hanya sebuah benda, melainkan bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar, sebuah pesan terakhir yang selama ini menunggu saatnya ditemukan.
Selama beberapa hari, kunci itu terus memenuhi pikirannya. Ia membawa kunci itu kemana-mana, memasukkannya ke dalam saku baju, menaruhnya di bawah bantal saat tidur. Ia tahu ayah angkatnya tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Jika ia meninggalkan kunci, pasti ada tempat yang harus dibuka dengan kunci itu.
Suatu siang, ketika langit mendung dan angin membawa aroma tanah yang lembab, Naya kembali naik ke loteng. Di sana, ia menyalakan lampu kecil dan menyinari ruangan dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Dan akhirnya, matanya tertuju pada sebuah lemari tua yang selama ini tidak pernah ia sentuh.
Lemari itu terkunci.
Hatinya berdebar kencang. Ia mengeluarkan kunci perak itu, tangannya bergetar, lalu mencoba memutarnya di lubang kunci.
Di dalam lemari itu, terdapat tumpukan buku harian ayah angkatnya, bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang ibunya, tentang ketakutan dan harapan, tentang hari-hari ketika ia pertama kali memutuskan mencintai Naya tanpa syarat.
Pada halaman pertama buku paling atas, ada satu kalimat yang membuat Naya akhirnya menangis tanpa bisa menahannya:
“Jika suatu hari kau merasa sendirian, bukalah lemari ini. Karena di sinilah aku menyimpan segala alasan kenapa aku memilih tetap hidup.”