Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Laskar Pelangi

👤 I Dewa Gede Wisnu Suputra 🏫 XI-12 🆔 25938

Angin pagi berhembus pelan di Desa, membawa aroma laut yang asin dan segar sekaligus. Di kejauhan, cahaya matahari merayap naik dari balik garis cakrawala, menciptakan semburat jingga yang menghangatkan bumi perlahan. Anak-anak mulai berdatangan ke sebuah sekolah kecil yang berdiri rapuh, namun penuh harapan. Di sinilah cerita ini bermula tempat mimpi-mimpi tumbuh walau sederhana, tempat suara tawa anak-anak bercampur dengan semangat yang tak pernah padam. Di antara mereka, ada seorang anak laki-laki bernama Dewa berusia tiga belas tahun. Meski hidupnya sederhana, semangat dalam dirinya jauh lebih besar daripada lautan yang membentang di depan desa itu. Sejak kecil, Dewa memiliki kegemaran terhadap musik. Ia selalu memukul-mukulkan benda apa pun menjadi ritme, menciptakan melodi dari hal-hal yang dianggap biasa oleh orang lain. Ketika angin menerpa dedaunan, ia mendengarnya sebagai harmoni. Ketika hujan turun di atap seng rumahnya, ia mendengar orkestra. Namun tak ada yang lebih ia cintai daripada satu lagu “Laskar Pelangi”. Lagu itu pertama kali ia dengar dari radio butut milik kepala sekolahnya. Saat melodi awalnya terdengar, Dewa terdiam, seperti menemukan bagian yang hilang dalam dirinya. Kata-kata dalam lagu itu seperti berbicara langsung kepada hatinya tentang mimpi, keberanian, dan keindahan hidup sederhana. Sejak itu, ia bertekad untuk bisa menyanyikan lagu itu di depan banyak orang. Tapi ada satu kendala besar “Dewa Pemalu”. Ketika hari itu bel masuk berbunyi, Pak Guru memulai pelajaran dengan sebuah pengumuman penting. “Anak-anak, bulan depan kita akan mengadakan Pentas Seni Desa. Setiap kelas diminta menampilkan satu pertunjukan. Kalian boleh musik, tari, drama, apa saja. Bapak ingin kalian memilih sesuatu yang mewakili semangat kalian.” Suara riuh segera memenuhi ruang kelas kayu itu. Semua anak berbisik-bisik antusias, kecuali Dewa, yang menunduk dalam diam. Ia ingin sekali mengusulkan untuk menyanyikan Laskar Pelangi, tapi lidahnya kelu. Ia takut ditertawakan, takut salah nada, takut tak pantas tampil. Di sampingnya, temannya memerhatikannya. “Dewa, kamu punya ide kan? Aku tahu muka kamu kalau sedang mikir keras.” “T-tidak,” jawab Dewa cepat. “Aku cuma… ya gitu.”Dewaaa,” temannya mendorong bahunya. “Ayo bilang ke Pak Guru. Kamu kan suka lagu.” Dewa hanya tersenyum kaku.

Setelah diskusi panjang, kelas akhirnya memutuskan mereka akan tampil dengan lagu dan tarian sederhana. Namun mereka masih belum menentukan lagu apa. Pak guru memberi tugas masing-masing anak harus mengusulkan satu lagu besok. Hari itu Dewa pulang dengan perasaan campur aduk. Ia berjalan melewati pematang sawah sambil menggenggam tali tasnya. Angin sore menggoyangkan padi, menghasilkan suara gesekan yang lembut. Tak sadar, ia melantunkan bait awal Laskar Pelangipelan-pelan.

“Mimpi adalah kunci… untuk kita menaklukkan dunia…”

“Suaramu bagus, Dewa.” 

Raka terlonjak. Ternyata ayahnya berdiri di tepi sawah. 

“Pa! Dengerin dari tadi, ya?”

Ayahnya tertawa. “Kamu kalau nyanyi, Bapak yang berada di ujung desa juga bisa dengar.”

Dewa menunduk malu.

“Kenapa? Kamu malu suara kamu bagus?” tanya ayahnya.

“Bukan… Dewa cuma nggak berani nyanyi di depan orang banyak.”

“Kenapa?”

Dewa diam. Ia tidak tahu jawaban yang tepat. Ia hanya tahu rasa takut itu selalu muncul setiap kali ia membayangkan dirinya berdiri di depan orang banyak.

Ayahnya kemudian menepuk bahu Dewa. “Nak… kamu tahu kenapa ayah tetap melaut meski ombak tinggi? Karena kalau ayah takut, kita nggak makan. Kadang keberanian itu bukan soal berani, tapi soal melakukan hal yang benar, meski kamu takut.”

Kata-kata itu menempel di hati Dewa seperti benih yang mulai tumbuh. Keesokan harinya, satu per satu siswa mengusulkan lagu. Ada yang ingin lagu pop kekinian, ada yang ingin dangdut ceria, bahkan ada yang mengusulkan lagu anak-anak jadul. Ketika giliran Dewa tiba, ia menggenggam kertasnya keras-keras. 

“Dewa, lagu apa yang kamu pilih?” tanya Pak guru lembut. Dewa membuka mulutnya, tapi suara tak keluar. Semua mata memandangnya.

“L-la…” Dewa menelan ludah. “Laskar Pelangi, Pak…”

Kelas langsung bersorak. “Iyaaa! Lagu itu bagus!” “Ayo yang itu aja!” “Aku suka banget!”

Dewa terkejut. Ia tak menyangka teman-temannya akan setuju. Pak guru tersenyum bangga. “Bagus sekali, Dewa. Lagu itu penuh makna. Pas sekali untuk Pentas Seni.”

Untuk pertama kalinya, Dewa merasa suaranya didengar. Latihan pun dimulai. Anak-anak berbaris, temannya mengatur koreografi sederhana, dan Pak guru memainkan musik dari speaker tua yang kadang mati mendadak. Meski sekolah serba kekurangan, semangat mereka lebih berlimpah daripada fasilitas yang ada.

Dewa dipilih sebagai vokalis utama. 

Saat pertama kali menyanyi di depan teman-temannya, lutut Dewa bergetar hebat. Ia mengatur napas, menatap teman-temannya, dan mulai bernyanyi.

Namun baru satu baris, ia berhenti. Suaranya pecah.

“Maaf…” ucapnya pelan.

Temannya menghampirinya. “Dewa, santai saja. Kita semua dukung kamu.”

“Dewa nggak bisa,” gumamnya. “Aku terlalu gugup.”

Pak guru mendekat. “Dewa, kamu suka lagu ini?”

“Suka, Pak. Sangat.”

“Kalau begitu, nyanyikan seperti kamu menyanyi untuk diri sendiri. Bukan untuk orang lain.”

Nasehat itu membuat Dewa berpikir. Sepulang sekolah, ia berlatih sendiri di tepi pantai. Suara ombak mengiringinya, dan ia mencoba lagi dan lagi sampai ia merasa nada itu bukan lagi musuhnya, tapi temannya.

Hari Pentas Seni pun tiba.

Lapangan desa dihias sederhana dengan pita warna-warni dan panggung kecil dari papan kayu. Penduduk desa berbondong-bondong datang. Dewa berdiri di belakang panggung, tangannya dingin, jantung berdebar cepat.

“Dewa,” temannya memegang bahunya, “kamu sudah latihan keras. Apa pun yang terjadi nanti, kamu hebat.”

Dewa mengangguk. Ia melangkah ke panggung. Cahaya matahari sore menyinari wajahnya. Ia melihat kerumunan orang tua, anak-anak, dan teman-temannya. Ayah berdiri di barisan depan, tersenyum bangga.

Musik mulai mengalun.

Saat intro Laskar Pelangi terdengar, rasa takut itu mendadak kembali. Namun ia teringat kata-kata ayahnya: Keberanian bukan berarti tidak takut. Keberanian berarti tetap melangkah. 

Dewa menutup mata sejenak, menarik napas dalam.

Lalu ia bernyanyi.

Suara itu mengalir, jernih dan tulus. Ia tidak hanya bernyanyi; ia menyampaikan harapannya, mimpinya, dan mimpi semua anak di desa itu. Ketika bait “Bermimpilah… dan percaya…” bergema, semua penonton terdiam terpukau. Beberapa orang tua terlihat meneteskan air mata.

Anak-anak di belakangnya menari dengan penuh semangat, menciptakan pemandangan indah seperti pelangi yang bergerak. Ketika lagu berakhir, tepuk tangan menggema keras. Lebih keras dari yang pernah Dewa dengar sepanjang hidupnya. Raka terdiam, tak percaya. Temannya menghampiri Dewa, “Aku bilang kan, kamu bisa!”

Ayahnya naik ke panggung, memeluk Dewa erat-erat. “Ayah bangga sekali.” Untuk pertama kalinya, Dewa merasa keberaniannya telah mengubah sesuatu. Ia bukan lagi anak pemalu yang hanya berani menyanyi di sawah atau pantai. Ia kini bagian dari Laskar Pelangi pasukan kecil yang berani bermimpi. Malam itu, setelah semua acara selesai dan panggung mulai dibongkar, Dewa duduk di tepi pantai. Angin malam lembut membelai wajahnya. Ia menatap langit yang dipenuhi bintang. 

Temannya duduk di sampingnya. “Dewa, tadi kamu keren banget.”

“Temannya…” Dewa tersenyum kecil. “Terima kasih sudah percaya sama aku.”

“Ya iyalah. Kamu itu berbakat. Tinggal percaya sama diri sendiri.”

Dewa memandang jauh ke laut. “Aku mau terus nyanyi. Bukan cuma untuk pentas desa. Aku mau… lebih.”

Temannya menoleh. “Lebih bagaimana?”

“Aku mau bikin musik. Dan suatu hari, aku mau orang-orang dengar lagu yang aku buat sendiri. Mungkin itu terdengar aneh ya?”

Temannya tertawa. “Enggak. Itu mimpi yang bagus. Mimpi kan nggak perlu besar atau kecil. Yang penting kamu jalan.”

Dewa menatap bintang yang paling terang. “Iya. Mimpi adalah kunci… untuk kita menaklukkan dunia.”

Setelah pentas seni itu, kehidupan Dewa perlahan berubah. Anak-anak yang dulu hanya mengenalnya sebagai anak pemalu kini sering memanggilnya untuk bernyanyi bersama di kelas. Bahkan guru-guru pun sesekali meminta Dewa mengikuti perlombaan nyanyi dengan lagu-lagu pendek yang ia improvisasi sendiri. Meski wajahnya masih sering memerah, kini ia lebih berani mengangkat kepala. Suatu sore, Pak guru memanggilnya ke ruang guru. Di meja kecilnya, terdapat sebuah kotak berisi sesuatu yang terbungkus kain. “Dewa, ini untukmu,” ujar Pak guru sambil mendorong kotak itu.

Dewa membuka kainnya perlahan. Di dalamnya… sebuah gitar kecil. Bodinya sederhana, warnanya sedikit pudar. Tapi bagi Dewa, gitar itu tampak seperti harta karun. “Ini milik sekolah sejak lama,” kata Pak guru. “Sudah bertahun-tahun tidak dipakai. Tapi sekarang… Ibu pikir kamu yang pantas menjaganya.”

Dewa hampir tak bisa berkata-kata. “Pak… tapi saya….”

“Kamu berbakat, Dewa. Kalau kamu terus berlatih, kamu bisa melangkah jauh. Mungkin lebih jauh dari yang kamu bayangkan.” Kata-kata itu membuat dadanya hangat. Ia mengangguk pelan, menggenggam gitar itu seolah memegang masa depan.

Malamnya, Dewa duduk di depan rumah, memetik senar gitar itu satu per satu. Suaranya belum sempurna, beberapa senar sumbang, tapi ia tersenyum. Ia merasa sedang berbicara dengan dunia lewat nada.

Angin malam berembus, membawa suara laut dan aroma garam. Di kejauhan, lampu-lampu kapal memantul di permukaan air seperti bintang yang turun ke bumi. Dewa menatap ke langit. “Aku ingin membuat lagu,” bisiknya. “Lagu untuk desa ini. Untuk Ayah, Temanku, Pak guru … dan untuk semua yang bermimpi.”

Ia memetik senar lagi pelan, lembut, penuh harapan.

Dan malam itu, di antara bintang yang bersinar redup, lahirlah nada pertama dari perjalanan panjang seorang anak kecil bernama Dewa

Di bawah langit malam itu, seorang anak bernama Dewa memulai perjalanan panjangnya. Dengan suara sederhana dan keberanian yang baru ia temukan, ia menjadi bagian dari pasukan kecil para pemimpin pasukan yang percaya bahwa pelangi akan selalu muncul, selama kita berani berharap.

Dan seperti dalam lagu yang ia cintai, ia pun berjanji pada dirinya sendiri bahwa keberanian bukan berarti takut, tetapi tetap melangkah meski takut dan mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia, seperti pesan dari lagu “Laskar Pelangi” cerita ini menegaskan bahwa mimpi membuat kita terus melangkah, tumbuh, dan menciptakan warna dalam hidup.

“Jangan berhenti mewarnai dunia.”