Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Lorong Tanpa Pintu

👤 Kadek Bagus Satriya Wibawa 🏫 XI-11 🆔 25874

​Ada lima sekawan yang dikenal di sekolah karena sifat mereka yang saling bertolak belakang: Rizal, si pemimpin alami yang selalu menjadi juru bicara kelompok dan sering memanas-manasi suasana; Budi, si penggemar cerita horor yang selalu antusias mencari pengalaman mistis; Bagus, si skeptis yang mengedepankan logika dan menolak segala hal gaib; Yogik, si penakut yang selalu cemas tetapi tak pernah punya keberanian untuk menolak ajakan; dan Rahmat, si paling pendiam dan penakut, yang kehadirannya sering kali samar di antara keriuhan teman-temannya.

​Sore Itu, saat jam istirahat terakhir hampir berakhir dan matahari mulai meredup, lima sekawan itu berkumpul di samping sekolah, di bawah pohon rindang, membahas pelajaran Kimia yang rumit dan guru Sejarah yang terkenal galak. Sampai akhirnya, pembicaraan bergeser ke hal-hal yang lebih gelap.

​"Kalian tahu tidak, ada yang aneh dengan rumah kosong di sebelah sekolah itu," ujar Budi, matanya menyala penuh antusiasme horor. "Katanya, penghuninya meninggal aneh di lorong belakang. Itu sudah bertahun-tahun kosong."

​"Ah, omong kosong!" bantah Bagus. "Itu hanya cerita anak SD. Rumah tua biasa saja, hanya karena gelap jadi kalian sebut horor."

​Rizal menyeringai mengejek. "Kamu tidak percaya atau takut, Gus? Jangan-jangan di balik kaosmu ada jimat anti-hantu." Semua tertawa geli, kecuali Bagus yang kini mulai kesal karena egonya terusik.

​"Aku punya ide," kata Budi, matanya berbinar. "Kita buktikan saja. Jam lima sore ini, kita kumpul di depan rumah itu. Kita cek apakah ada hantu atau tidak."

​Tantangan itu diterima, meskipun Yogik sudah merengek, dan Rahmat hanya bisa diam menelan kecemasannya. Keputusan yang mereka ambil dengan ringan, tanpa mengetahui bahwa keputusan itu akan mengunci mereka dalam mimpi buruk.

​Tepat pukul lima, mereka berlima memasuki rumah itu. Rumah itu besar, dingin, dan berdebu. Udara di dalamnya terasa lebih berat dan sunyi dibanding udara di luar, seolah-olah waktu berhenti di ambang pintu.

​Mereka masuk ke ruang tamu yang gelap gulita. Budi segera mengeluarkan ponselnya. "Tunggu! Aku harus mengaktifkan Ghost Radar ini dulu," katanya serius.

​Bagus mendengus. "Astaga, Budi, kau percaya aplikasi prank begituan? Layarmu hanya menunjukkan titik-titik acak. Itu bukan hantu, itu sinyal Wi-Fi yang putus."

​"Diam kau, Gus!" balas Budi. "Bahkan di sini aku mendapat sinyal, tapi... dia bilang energinya sangat negatif. Ada spirit!"

​Rizal terkekeh melihat perdebatan konyol itu. Ia meraih sebuah buku tebal yang tergeletak di meja berdebu. "Kalau ada hantu di sini, pasti dia hantu kutu buku," candanya sambil mengibas-ngibaskan buku yang mengeluarkan debu tebal.

​Bagus tiba-tiba bersin keras. "Tuh kan! Aku bilang tidak ada hantu, hanya debu dan sarang laba-laba. Jika ada roh di sini, dia pasti tersedak polusi udara."

​Suasana tegang perlahan mencair oleh tawa mereka. Setelah menjelajahi beberapa ruangan depan yang sunyi, di mana tidak ada apa-apa kecuali furnitur usang, mereka mulai merasa terlalu percaya diri.

​Rizal memutuskan, "Oke, karena belum ada yang terjadi, kita tingkatkan tantangan. Kita bagi dua tim. Aku dan Budi satu tim, Yogik dan Bagus tim kedua. Kita telusuri lantai atas. Siapa paling cepat bertemu hantu, dia menang."

​Rahmat, yang wajahnya sudah pucat, menggeleng. "Aku sendiri saja sudah cukup. Aku tunggu di sini." Ia lalu berdiam di sebuah ruangan samping yang lampunya masih menyala remang-remang, berharap ia bisa menunggu teman-temannya kembali tanpa harus berhadapan dengan lorong-lorong gelap.

​Waktu berlalu cepat, dan jarum jam menunjuk pukul enam sore. Setelah berkeliling dan tidak menemukan apa pun selain debu dan bau apek, keempatnya memutuskan untuk kembali.

​"Sudah jam enam, tidak ada apa-apa," kata Bagus, merasa menang. "Aku sudah bilang ini omong kosong."

​"Tunggu, di mana Rahmat?" tanya Rizal, baru menyadari. Mereka kembali ke ruangan remang-remang, tetapi Rahmat tidak ada.

​Mereka mulai memanggil nama Rahmat. "Rahmat! Kami pergi!" Tidak ada jawaban.

​"Mungkin dia sudah keluar," ujar Budi, tetapi suaranya terdengar ragu. "Paling dia malu karena takut dan mau mengejek kita karena duluan keluar."

​Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat keras, seperti tumpukan rak kayu tua yang roboh. Suara itu datang dari suatu tempat yang tidak bisa mereka tentukan, hanya gema menggetarkan dinding.

​Mereka mencari sumber suara, tetapi gagal menemukan apa pun. Mereka semua saling pandang, dan rasa takut yang sebelumnya mereka tahan dengan lelucon kini berubah menjadi teror murni yang menyerang psikis mereka.

​Saat mereka berdiri, Budi merasa jaketnya ditarik dari belakang, seolah-olah ada tangan kecil yang merengek ingin diperhatikan. Rizal melihat bayangan Yogik di dinding bergerak beberapa detik lebih dulu dari gerakan Yogik yang sebenarnya, menciptakan disonansi aneh. Sementara itu, Bagus yang skeptis tiba-tiba merasakan hawa panas yang membakar di tengkuknya, padahal ruangan itu dingin. Ia mencoba menoleh, tetapi lehernya terasa kaku.

​"Ayo, kita keluar saja!" kata Yogik, histeris. "Kita cari Rahmat di luar. Aku tidak suka ini, perasaanku tidak enak!"

​Mereka bergegas menuju tempat di mana seharusnya pintu keluar berada. Setelah tiga puluh menit berjalan, mereka mulai panik.

​"Lah, kok pintunya ngilang, ya?" kata Bagus, kehilangan pegangan logikanya.

​Rizal menatap tempat yang seharusnya menjadi bingkai pintu. "Bukannya di sini ya pintu keluarnya? Tapi kok jadi lorong tanpa pintu?"

​Mereka kini berdiri di sebuah lorong panjang yang gelap, tanpa satupun pintu keluar. Yogik menyarankan mereka berpencar.

​"Jangan!" bantah Bagus. "Kita sudah keliling dan selalu kembali ke sini! Lorong ini menjebak kita!"

​"Oh iya juga ya," ujar Budi, tertegun. "Kok kita nggak ketemu ruangan lain? Hanya lorong ini terus."

​Rizal, yang kebingungan, melihat ke ujung lorong yang gelap, sementara teman-temannya berdebat histeris. Di sana, ia melihat ada sebuah siluet hitam. Siluet itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, menunggu.

​"Apa itu, ya? Kok seperti bayangan hitam?" bisiknya.

​Ia menyadari bahwa bayangan itu perlahan membesar dan bergerak mendekat. Ia segera memperingatkan teman-temannya. Ketiganya menoleh dan membeku ketakutan. Siluet itu kini menjadi gumpalan kegelapan yang besar, dengan bunyi hentakan langkah yang keras dan mengancam.

​"Lari! Jangan membeku di situ!" teriak Rizal sekuat tenaga.

​Mereka langsung memutar badan, berlari ke arah berlawanan. Bunyi hentakan langkah monster itu kini semakin keras, bergemuruh di lantai marmer.

​"Kita sudah lari dari lorong ini tiga kali!" teriak Bagus. "Ini sia-sia!"

​Rizal, yang berlari paling belakang, menoleh sekilas. Siluet itu kini memiliki bentuk kasar, seperti gumpalan asap tebal, namun dengan dua titik merah menyala sebagai mata. Tepat saat Budi tersandung dan jatuh di depan sebuah pintu kayu tua, ia melihat secarik kertas putih kecil yang terselip. Instingnya mengambil kertas itu. Ia membacanya, tangannya gemetar: "JANGAN MASUK. R. A. H. M. A. T."

​Budi segera bangkit, mencengkeram catatan Rahmat.

​"Ini dari Rahmat!" seru Budi, menunjukkan kertas itu pada Rizal.

​Rizal hanya melirik sekilas. "Kita tidak punya waktu, Budi! Kita harus masuk ke mana pun, sekarang!"

​"Tapi, dia bilang jangan masuk! Itu tulisan tangan Rahmat!" Budi memohon.

​"JANGAN MASUK!"

​Tiba-tiba, suara lain terdengar—bisikan yang dingin dan tajam, persis di sebelah telinga Yogik. Bisikan itu mengulang peringatan Rahmat, tetapi dengan nada yang jauh lebih mengancam. Yogik menjerit, menunjuk ke arah pintu kayu di samping Budi.

​Rizal mengabaikan bisikan dan catatan Rahmat. "Kita dobrak!"

​Rizal dan Bagus menendang pintu tua itu. Pintu terbuka, menampakkan ruangan gelap yang sangat kecil. Mereka berempat langsung menyelinap masuk dan mendorong pintu itu agar tertutup.

​Bunyi hentakan siluet hitam itu berhenti tepat di luar pintu. Budi menyalakan senter ponselnya. Cahaya menerangi gudang kecil.

​"Lihat cermin itu," sela Budi.

​Di tengah ruangan, berdiri sebuah cermin besar berbingkai perunggu dengan pola retakan aneh. Di dalamnya, mereka hanya melihat bayangan Rizal, Budi, dan Yogik. Bayangan Bagus tidak ada.

​Saat Bagus melihat ke cermin, bayangannya muncul. Namun, bayangan Bagus di cermin tidak berdiri di tempat yang sama dengan Bagus. Bayangan Bagus di cermin berdiri di belakang Yogik, dan... bayangan itu tersenyum lebar, senyum yang tidak Bagus miliki.

​Bayangan Bagus di cermin mengangkat tangannya yang kurus, lalu menusuk leher bayangan Yogik di cermin. Yogik di dunia nyata langsung memegang lehernya, merasakan sensasi menusuk yang dingin.

​"Ini perangkap cermin," kata Rizal.

​Sementara mereka terpaku, Budi melihat sepatu kets kotor Rahmat di sudut ruangan, dan sebuah buku diary kecil. Budi meraih buku itu. Di halaman terakhir, hanya ada satu tulisan:

...Aku tidak bisa bergerak. Mereka memilihku untuk tinggal di sini. Mereka bilang aku kunci. Aku kunci. Aku kunci. Sekarang aku mengunci lorong ini agar mereka tidak lari. Aku mengunci pintu.


​Budi mendongak. "Rahmat tidak hilang. Dia tidak ditinggalkan. Dia mengunci lorong ini! Dia adalah hantu yang menyebabkan pintu itu hilang!"

​Di cermin, bayangan Bagus kini melompat dan mulai menyerang bayangan Rizal. Pintu gudang bergetar hebat. Bukan karena hantaman dari luar, tetapi didorong dari dalam, oleh kekuatan tak terlihat.

​"Keluar! Kita harus keluar dari sini! Siluet di luar itu bukan yang paling bahaya!" teriak Budi.

​Mereka mendorong pintu gudang itu terbuka, kembali ke lorong. Siluet hitam raksasa itu kini berdiri diam di ujung.

​"Siluet itu adalah pelindung!" seru Budi. "Itu yang melindungi kita dari Rahmat! Rahmat yang mengunci kita di sini!"

​Budi menyadari bahwa cermin adalah kunci untuk mengalahkan bayangan Rahmat. "Kita harus menggunakan cermin!"

​Rizal dan Yogik meraih pecahan cermin dari gudang. Mereka mengarahkan pecahan cermin ke arah bayangan Rahmat. Saat bayangan Rahmat melihat dirinya sendiri, dia berhenti. Bayangan itu bergetar. Hentakan langkah siluet hitam kini semakin mendekat, menubruk bayangan Rahmat.

​Ada suara dentuman keras, dan lorong itu bergetar hebat. Lampu neon berkedip-kedip, kali ini lima kali—satu untuk setiap sahabat—lalu mati total.

​Ketika cahaya kembali menyala, siluet hitam itu hilang. Lorong itu kembali kosong. Dan di ujung lorong, di tempat yang tadi mereka yakini sebagai dinding, kini berdiri sebuah pintu kayu tua. Pintu keluar.

​Mereka berempat, kelelahan dan trauma, merangkak keluar dari rumah itu. Mereka selamat, tetapi jiwa mereka retak.

​Mereka berjalan menjauh, tidak ada yang berani menoleh ke belakang. Bagus, si skeptis, kini berjalan sambil terus menatap ke bawah, tidak berani melihat bayangannya sendiri, takut bayangan itu tersenyum. Yogik terdiam, telinganya terasa dingin dan masih mendengar bisikan peringatan itu. Budi menggenggam buku diary Rahmat erat-erat, satu-satunya bukti horor yang nyata. Rizal, si pemimpin, memimpin mereka menjauh dengan langkah berat, rasa bersalah menggerogotinya.

​Mereka tidak pernah kembali ke rumah kosong itu, tetapi rumah itu tetap mengikuti mereka. Mereka tidak pernah lagi menjadi lima sekawan yang tertawa di bawah pohon. Persahabatan mereka telah dikunci oleh Rahmat di dalam lorong abadi.

​Mereka tidak pernah tahu apa sebenarnya siluet hitam itu, atau mengapa ia membantu mereka. Namun, mereka semua tahu satu hal: Rahmat telah mengorbankan dirinya, menjadi penjaga lorong abadi, agar teman-temannya yang meninggalkannya bisa hidup.

​Mereka berempat berjalan menjauh dari rumah itu, empat bayangan di bawah sinar rembulan. Tepat di samping rumah, di atas jendela kamar yang remang-remang, terlihat lima bayangan, seolah-olah Rahmat masih berdiri bersama mereka.