Rumah…?
Libur sekolah tinggal sehari lagi ketika semuanya di kelasku berubah riuh. Teman-teman sibuk membicarakan rencana pulang kampung, liburan, dan reuni keluarga. Tapi di sudut kelas, aku hanya duduk sambil menggambar garis tak berarti di buku catatan.
Ase datang dari belakang, menarik kursi, dan menjatuhkan tubuhnya dengan tawa kecil yang selalu berhasil mengusir sepi.
“Sur, kamu kok manyun banget? Besok libur, bro. Kok gaya kamu kayak mau dieksekusi?”
Aku menutup buku. “Se… besok aku pulang. Ke rumah.”
Aku tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Dia langsung paham.
Ekspresi Ase melembut. “Mereka marah lagi?”
“Belum marah. Tapi ya… kamu tahu sendiri,” jawabku lirih. “Pulang tuh kayak siap-siap masuk ring tinju.”
Ase mencondongkan tubuh, seolah ingin memindahkan sebagian beban dari pundakku ke dirinya. “Sur, kamu nggak harus selalu tahan sendiri. Kamu tahu rumahku selalu kebuka. Kamu datang aja kapan pun. Oke?”
Aku mengangguk pelan. “Iya, Se. Cuma… aku takut. Capek, Se. Beneran capek.”
Ase memeluk tasnya, pura-pura manyun. “Kalau kamu nangis di bahuku, minimal kasih aku waktu buat siap-siap,” candanya.
Aku tertawa sekilas saja setelah itu bel terakhir semester ini berbunyi. Teman-teman pulang dengan wajah berseri, sementara langkahku pulang terasa seperti masuk ke kabut yang sudah menunggu untuk melahapku.
Rumahku sepi saat aku tiba. Tapi bukan sepi yang menenangkan; sepi yang seperti ruang kosong yang lama tak dihuni kehangatan.
Dulu aku selalu senang pulang. Sekarang, rumah itu seperti tempat di mana suara tertahan menjadi serangan, dan keheningan berubah jadi penilaian.
Bintang, kakak pertamaku yang bekerja di luar negeri, pulang karena sedang libur. Bulan, kakak keduaku yang bekerja di kota lain, juga pulang. Mereka selalu sukses, mandiri, berprestasi. Mereka adalah favorit Mama dan aku… entah bagian apa yang kutempati dalam keluarga ini.
Malam pertama, semuanya berjalan biasa. Tapi rasa sesak itu sudah menumpuk. Ketika aku duduk di ruang tamu, Bintang tiba-tiba berkata tanpa menengok.
“Kuliah nanti kamu mau ambil apa? Jangan bilang kamu masih bingung.”
Nada itu… selalu terdengar seperti tuntutan.
“Aku masih mikir.”
Bulan masuk dari dapur, ikut menyahut. “Surya, kamu itu udah SMA. Masa mau jadi apa aja belum tau? Mama tuh khawatir.”
Aku diam. Tapi di dalam, aku retak.
Aku lelah disamakan dengan mereka. Lelah dianggap santai. Lelah dianggap tidak berusaha padahal aku berjuang sendirian jauh dari rumah.
Mama lewat sambil membawa cucian, melihatku, lalu berkomentar,
“Itu baju kok gak dicuci dari kemarin? Kamu tuh kalau tinggal sendiri jangan jorok begitu.”
Padahal aku bahkan baru sampai tiga jam lalu.
Papa menambahkan dari meja makan,
“Besok bangun pagi. Bantu bersih-bersih. Jangan tidur terus kayak di kos.”
Aku menahan napas. Tak ada yang salah dari permintaan itu.
Yang menyakitkan adalah nada yang menganggapku selalu kurang.
Aku menarik napas panjang. “Iya.”
Tapi hatiku tergerus.
Keesokan harinya, rasa sakit itu bertambah.
Bintang mengomentari cara jalanku.
Bulan mengomentari makananku.
Mama mengomentari rambutku.
Papa mengomentari masa depanku.
Semua terasa seperti sayatan kecil yang tidak berhenti.
Saat makan siang, Mama bicara sambil tidak menatapku.
“Bintang itu umur segini udah kerja di luar negeri. Bulan juga udah mandiri. Kamu kapan mau bisa bikin Mama bangga?”
Aku meremas sendok.
Jantungku seperti jatuh lagi dan lagi.
Bulan menimpali, “Kamu tuh sebenernya anak baik, Sur. Cuma… kurang usaha.”
Kurang usaha? Aku hidup sendiri jauh dari mereka.
Bangun sendiri, belajar sendiri, bertahan sendiri.
Tapi tak ada yang melihat semua itu.
Bintang melihatku lama lalu berkata, “Kamu itu cowok, Sur. Nanti kamu kepala rumah tangga. Jangan lembek.”
Aku ingin bilang aku capek.
Ingin naik ke lantai dua, masuk kamar, dan menangis diam-diam.
Tapi aku hanya menjawab, “Iya.”
Malamnya aku mengirim pesan ke Ase.
Surya : Se, aku capek.
Ase : Pulang sekolah besok?
Surya : Iya… aku takut pulang.
Ase : Sur, kalau apa-apa… kamu langsung ke rumahku. Beneran.
Pesan itu terasa seperti satu-satunya tangan yang menyelamatkanku dari tenggelam.
Lalu hari itu datang.
Konflik pecah saat makan malam.
Masalahnya sepele aku lupa menaruh gelas di tempatnya.
Mama marah duluan.
Lalu Bulan.
Lalu Papa.
Dan akhirnya Bintang.
“Sikap kamu itu loh! Kenapa sih susah banget nurut?!”
“Surya, Mama capek ngomong berkali-kali!”
“Kamu tuh kalau tinggal di luar jadi makin bandel ya?!”
Ucapan mereka menamparku dari segala arah.
Dan entah bagaimana, malam itu aku tak bisa lagi menahan semuanya.
Aku bangkit dari kursi. Suaraku pecah.
“Kenapa sih kalian selalu salahin aku?! Aku ini manusia, bukan sampah buat kalian marahin setiap hari!”
Mama tersentak.
Papa berdiri.
Bulan memandangku dengan wajah kaget.
Bintang mengeraskan rahangnya.
Aku melanjutkan, suara gemetar antara marah dan patah,
“Kalian tuh gak pernah lihat aku! Gak pernah! Kalian lihat Bintang, lihat Bulan, tapi aku? Aku cuma anak yang kalian bandingin terus! Kalian pikir aku santai? Aku itu capek, Pa… Ma… aku capek tinggal sendiri, capek belajar sendiri, capek dianggap gak cukup!”
Mama memukul meja. “Surya! Jangan kurang ajar!”
Dan saat itulah sesuatu dalam diriku pecah.
“Kurang ajar?
Yang kurang ajar tuh kalian!
Kalian nggak pernah sayang aku! Kalian cuma sayang Bintang sama Bulan!”
Terlontar.
Kata yang tidak seharusnya aku katakan.
Tapi terlontar tanpa bisa ditarik kembali.
Mama terdiam.
Wajahnya shock, bibirnya bergetar.
Papa memukul meja keras sekali.
“Kalau begitu cara kamu bicara, pergi sana! Jangan tinggal di bawah atap ini kalau kamu ngerasa nggak disayang!”
Dan aku pergi.
Aku berlari keluar rumah di tengah hujan deras.
Tanpa jaket. Tanpa payung.
Hanya hati yang pecah dan tubuh yang gemetar.
Aku bahkan tidak tahu aku menangis atau tidak, karena hujan menutupi segalanya.
Aku mengetuk pintu rumah Ase dengan sisa tenaga.
Pintu terbuka, dan Ase langsung membelalakkan mata.
“Sur?! Astaga masuk cepat!”
Dia menarikku, mengambil handuk, mengacak-acak rambutku dengan panik.
“Sur… kamu kenapa? Siapa yang bikin kamu Ya Tuhan, kamu basah banget…”
Aku duduk di lantai, lutut terlipat, tubuh gemetar.
“Aku… aku berantem sama mereka… Se, aku bilang hal yang gak seharusnya…”
Ase duduk di depanku, memegang bahuku.
“Surya, lihat aku. Tarik napas. Pelan. Aku di sini.”
Dan untuk pertama kalinya hari itu… aku menangis.
Bukan tangis yang ditahan.
Bukan tangis tanpa suara.
Tapi tangis yang pecah sampai dada terasa perih.
Ase menepuk punggungku.
“Sur, kamu udah terlalu banyak simpan sendiri.”
“Aku capek, Se… aku capek banget.
Kenapa sih rumah sendiri rasanya bukan rumah?”
Ase menarik napas panjang.
“Sur… aku sebenarnya udah lama mau bilang sesuatu. Tapi aku takut kamu marah atau makin terluka.”
Aku mengangkat wajah. “Apa?”
Ase membuka mulut, tapi
Ponselku berdering.
Bulan.
Dengan tangan gemetar, aku menjawab.
“Kenapa?”
Suara Bulan kacau, terdengar panik.
“Surya… Mama… Mama pingsan…”
Dunia berhenti.
“APA?!”
“A-aku gak tau harus gimana… Surya, pulang… tolong pulang…”
Telepon terputus.
Aku berdiri mendadak.
Ase langsung ikut berdiri. “Sur, aku ikut. Ayo!”
Kami berlari menembus hujan lagi.
Tapi kali ini, bukan karena marah.
Karena takut.
Rumah berantakan saat kami tiba.
Bulan duduk di lantai sambil menangis.
Bintang menelpon ambulans.
Papa mondar-mandir tanpa arah.
Mama terbaring tak sadarkan diri di sofa.
Aku mendekat dengan napas tersengal.
“Ma… Mama…”
Papa menoleh padaku, wajahnya penuh kecemasan bukan kemarahan.
“Sur… Mama tiba-tiba jatuh… dia… dia sejak tadi nangis di dapur…”
Aku membeku.
Dunia terasa meninju dadaku.
Aku yang membuatnya seperti ini.
Aku yang membuat Mama menangis sampai pingsan.
Ambulans datang.
Mama dibawa ke rumah sakit.
Aku, Papa, Bintang, Bulan, dan Ase ikut menyusul.
Di ruang tunggu rumah sakit, semuanya hening.
Aku duduk menunduk, tangan bergetar tak henti.
Bintang duduk di sampingku.
Untuk pertama kalinya, suaranya tidak terdengar sombong atau menuntut.
“Surya… kamu harus tahu. Mama itu… dia sayang banget sama kamu. Bahkan terlalu sayang sampai dia takut kamu terluka.”
Aku menatapnya dengan mata merah. “Kalau sayang… kenapa selalu marahin aku?”
Bulan menghapus air matanya. “Karena Mama itu keras sama diri sendiri. Dia lihat kamu kayak lihat diri dia dulu. Takut gagal. Takut hilang. Dia cuma… gak tau cara nunjukinnya.”
Papa berdiri di depan kami, suaranya berat.
“Surya… semua orang di rumah sayang sama kamu. Papa juga. Bintang. Bulan. Kamu itu… anak yang kami takutkan hilang. Bukan anak yang kami benci.”
Ase menepuk bahuku pelan.
“Sur, yang mau aku bilang tadi… Mama sering tanya aku tentang kamu.
Tiap minggu.
Dia nitip kamu ke aku. Bilang kalau kamu terlalu banyak mikir sendiri.
Dia bilang… dia cuma mau kamu bahagia.”
Dadaku runtuh.
Air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
“Kenapa… kenapa gak ada yang bilang?”
Bulan maju memelukku.
“Karena kamu juga gak pernah cerita apa-apa ke kami, Sur… Kita semua sama-sama salah.”
Bintang akhirnya bicara dengan suara paling lembut yang pernah kudengar dari dirinya.
“Surya… kamu bukan bayangan kami. Kamu bukan standar kami. Kamu… adik kami. Dan kami bangga sama kamu.”
Aku tak kuat lagi.
Tangisku pecah keras, tanpa malu, tanpa batas.
Semua luka, semua salah paham, semua ketakutan…
tumpah begitu saja.
Papa memeluk kami bertiga.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa dipeluk sebagai anak. Bukan sebagai seseorang yang harus membuktikan sesuatu.
Ase berdiri di samping, menatapku dengan senyum tipis penuh lega.
Dan malam itu, di ruang tunggu yang dingin,
aku akhirnya mengerti:
Rumahku tidak pernah benar-benar membenciku.
Hanya caranya mencintaiku yang salah.
Dan caraku meminta cinta juga salah.
Tapi cinta tetap ada.
Diam-diam.
Tak tersampaikan.
Tapi nyata.
Mama akhirnya sadar.
Dia membuka mata dengan lemah, menatapku sambil tersenyum kecil.
“Surya… maaf ya, Nak. Mama sayang kamu…”
Aku menggenggam tangannya, menangis lagi.
“Aku juga sayang Mama… Maaf… semua salahku…”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa pulang.
Bukan ke rumah.
Tapi ke keluarga.
Yang ternyata…
mencintaiku sepanjang waktu.
Aku hanya terlambat melihatnya.