LANGIT DI ATAS LAPANGAN SEKOLAH
Langit di Atas Lapangan Sekolah
Aku masih ingat sore itu. Langit warnanya abu-abu, agak berat kayak mau hujan. Angin lewat pelan, bawa bau tanah basah dari lapangan belakang sekolah. Aku duduk di bangku semen deket pagar, bareng Dimas sama Rara.
Anak-anak basket masih main di lapangan, walaupun ringnya udah miring dan bolanya becek kena lumpur. Pelatihnya masih niup peluit, padahal suaranya udah serak banget.
“Kayaknya bentar lagi hujan,” kata Rara sambil ngelirik ke langit. Rambutnya agak berantakan, diikat setengah, beberapa helai nempel di pipinya.
“Biarin aja. Toh udah jam pulang,” jawab Dimas santai. Kakinya selonjor, tangannya mainin tutup botol air mineral.
Aku cuma diem, ngeliatin sepatu putih yang udah nggak putih lagi. Sore itu keliatannya biasa aja, tapi entah kenapa, sampai sekarang aku masih inget semuanya. Soalnya dari situlah semuanya mulai berubah.
Aku sama Dimas udah sahabatan dari SD. Kami selalu sekelas, sekelompok, bahkan sering dikira kembar gara-gara ke mana-mana bareng. Kami punya banyak hal yang sama: sama-sama suka futsal, sama-sama males upacara, dan sama-sama sering kena marah guru BK karena telat.
Rara baru muncul pas semester dua kelas sebelas. Anak pindahan dari Bandung. Awalnya dia pendiem, duduk di pojok kelas, jarang ngobrol. Tapi waktu upacara pertama dia pingsan di tengah lapangan gara-gara panas. Dimas yang langsung nolongin dan bawa ke UKS.
Sejak hari itu, entah gimana, kami jadi deket. Mungkin karena Dimas yang duluan ngajak dia nongkrong di kantin, dan aku ikut aja karena nggak enak ninggalin.
Rara beda dari cewek lain di sekolah. Dia nggak terlalu heboh, tapi juga nggak jaim. Kadang ngomong seenaknya tapi lucu, kadang diem lama pas lagi rame. Ada aja hal kecil yang bikin aku merhatiin dia.
Suatu kali dia bilang, “Langit sore itu warna paling jujur, tau. Nggak terlalu terang, nggak terlalu gelap. Kayak manusia pas lagi bingung.”
Aku cuma ketawa waktu itu, tapi kalimat itu nyangkut lama di kepala. Entah kenapa, setiap sore semenjak itu, aku jadi suka mandang langit, berharap bisa ngerti maksud Rara.
Bulan Mei datang, udara makin panas. Sekolah sibuk banget persiapan lomba antar-OSIS. Aku kebagian dekorasi, Dimas di tim futsal, Rara di panitia acara. Kami udah nggak sesering dulu nongkrong bertiga, tapi masih suka makan bareng kalau sempat.
Suatu sore, aku sendirian di ruang dekor, ngecat banner besar. Bau catnya nyengat banget. Tiba-tiba pintu kebuka, Dimas muncul dengan muka panik.
“Bim, Rara jatuh!” katanya cepat.
Aku langsung berhenti. “Hah? Jatuh gimana?”
“Di aula. Katanya pusing. Gue udah anter ke UKS.”
Aku langsung lari ke UKS. Di sana, Rara lagi tiduran, mukanya pucat banget, keringat dingin di dahinya.
“Kamu kenapa?” tanyaku, duduk di kursi sampingnya.
Dia nyengir tipis. “Cuma kecapekan.”
“Ya terus kenapa maksa?”
Dia ketawa kecil. “Kamu kayak mamaku aja.”
Dimas datang bawa roti dan susu kotak. “Tuh, makan dulu biar kuat.”
Rara ngeliatin kami berdua, terus bilang sambil nyengir, “Kalian kayak duo penjaga sekolah. Lucu banget.”
Kami bertiga ketawa. Tapi di tengah tawa itu, ada sesuatu di dadaku yang aneh — hangat tapi juga bikin gugup.
Abis kejadian itu, aku mulai sering mikirin Rara. Entah kenapa, setiap dia lewat, dunia seolah pelan. Dan yang bikin bingung, Dimas juga mulai sering kayak gitu. Dia tiba-tiba suka bantuin panitia, sering nyari alasan buat ngobrol sama Rara. Aku mulai sadar, kami berdua suka orang yang sama.
Suatu sore, kami bertiga pulang bareng. Rara di tengah, kami di kanan kiri. Kami ngobrol asal — soal guru killer, soal anak-anak yang ketahuan pacaran di taman belakang. Tapi pas kami udah sampai di belokan, Dimas tiba-tiba bilang,
“Ra, lo pulang duluan ya. Gue mau ngomong bentar sama Bima.”
Begitu Rara jalan duluan, Dimas diem sebentar, terus ngomong pelan, “Lo suka dia, kan?”
Aku langsung kaget. “Apaan sih?”
Dia nyengir, tapi matanya serius. “Gue tau, Bim. Cara lo liat dia tuh beda. Sama kayak gue.”
Aku diem lama. Angin sore lewat pelan, bawa bau rumput basah.
“Jadi lo juga?” tanyaku akhirnya.
Dia ngangguk pelan. “Gue duluan.”
Kami sama-sama diem lama.
“Aku nggak mau gara-gara cewek, kita malah musuhan,” kataku akhirnya.
“Gue juga nggak. Tapi perasaan tuh nggak bisa disuruh berhenti, kan?”
Dan sejak hari itu, hubungan kami berubah. Masih main bareng, masih ketawa, tapi ada jarak tipis yang susah dijelaskan.
Hari lomba tiba. Sekolah rame banget. Musik kenceng, spanduk warna-warni, anak-anak pada heboh. Dimas sibuk di lapangan futsal, Rara mondar-mandir ngurus acara, dan aku sibuk pura-pura nggak mikirin dua-duanya.
Pertandingan final seru banget. Semua mata ngeliatin Dimas, termasuk Rara yang duduk di pinggir sambil bawa kamera.
Tapi di menit terakhir, Dimas jatuh. Kakinya keseleo parah.
Aku langsung lari bantuin bawa dia keluar. Rara datang nggak lama, wajahnya panik.
“Dim, kamu nggak apa-apa?”
“Cuma keseleo,” katanya, meringis tapi senyum.
Rara pegang tangannya. “Kamu yakin?”
Dimas nyengir. “Kalo kamu yang nanya, jadi yakin.”
Aku berdiri di sebelah, pura-pura sibuk nyari air, tapi hati rasanya perih banget.
Beberapa hari kemudian, Rara jarang masuk. Katanya sakit. Aku dan Dimas akhirnya jenguk bareng. Rumahnya kecil tapi nyaman. Ibunya ramah, bilang kalau Rara punya anemia sejak kecil dan gampang drop.
Rara tetap ketawa kayak biasa.
“Nggak usah khawatir, aku kuat kok,” katanya. Tapi matanya kelihatan capek banget.
Waktu kami pamit, dia bilang pelan, “Jangan lupa cerita yang lucu-lucu di sekolah ya, biar aku nggak bosen di rumah.”
Malamnya aku nggak bisa tidur. Aku buka galeri, lihat foto kami bertiga waktu study tour. Kami kelihatan bahagia, tanpa tahu bakal begini akhirnya.
Ujian makin dekat. Waktu terasa jalan cepat banget. Tapi aku merasa hubungan kami bertiga makin renggang. Bukan karena kami nggak mau, tapi karena masing-masing udah sibuk dengan perasaan sendiri.
Suatu sore, Rara ngajak aku ke lapangan belakang sekolah. Langitnya oranye, kayak sore pertama kali kami duduk bertiga di situ.
“Dimas udah cerita ke aku,” katanya tiba-tiba.
Aku bengong. “Cerita apa?”
“Soal kamu.”
Aku nggak bisa ngomong apa-apa.
Dia nunduk, terus bilang pelan, “Kalian berdua terlalu baik. Tapi aku nggak mau jadi alasan kalian berantem.”
Aku ngerasa dadaku sesak.
“Jadi… kamu pilih siapa?” tanyaku akhirnya.
Dia senyum tipis. “Aku nggak bisa milih. Karena aku nggak mau kehilangan dua-duanya.”
Aku nggak bisa bilang apa-apa. Karena aku tahu, kadang orang yang paling kita sayang, justru nggak bisa kita punya.
Beberapa hari kemudian, hujan turun deras banget. Sekolah bubar lebih cepat. Aku baru mau pulang waktu Dimas datang, wajahnya panik.
“Bim… Rara masuk rumah sakit.”
Kami langsung ke sana. Di ruang perawatan, Rara terbaring pucat, infus di tangannya. Tapi begitu lihat kami, dia masih bisa senyum.
“Lihat, aku kayak di sinetron nggak?” katanya pelan.
Dimas megang tangannya. “Jangan bercanda, Ra.”
Aku berdiri di ujung ranjang, nahan air mata yang hampir jatuh.
Beberapa hari berikutnya, kami gantian jagain dia. Kadang aku, kadang Dimas. Kadang cuma duduk diem sambil denger suara alat medis yang monoton.
Suatu sore, waktu aku sendirian jagain dia, Rara bilang pelan,
“Kalian harus janji, ya. Jangan pernah berhenti jadi sahabat.”
Aku angguk, tenggorokan rasanya kering.
Dia senyum kecil. “Langit sore masih sama, kan?”
“Masih,” jawabku.
“Kalau suatu hari aku nggak bisa lihat lagi, tolong ceritain warnanya ke Dimas juga.”
Aku nggak tahan. Air mataku jatuh. Rara masih sempat bilang,
“Kamu nangis, ya? Aku benci banget liat kamu nangis.”
Dua minggu setelah itu, Rara meninggal.
Hari itu langit mendung, tapi nggak hujan. Semua anak sekolah datang ke pemakaman. Aku dan Dimas berdiri di samping, nggak banyak bicara. Dunia rasanya sunyi banget. Bahkan doa pun terdengar jauh.
Waktu jalan terus. Sekolah lanjut seperti biasa, tapi rasanya kosong. Aku jarang ngomong sama Dimas. Kami sama-sama ngerasa kehilangan, tapi nggak tahu harus ngomong apa.
Beberapa bulan kemudian, suatu sore aku lihat Dimas duduk sendirian di bangku dekat lapangan — tempat kami dulu sering nongkrong bertiga. Aku datengin pelan.
Dia nengok, senyum tipis.
“Udah lama, ya?” katanya.
Aku duduk di sebelahnya. “Iya. Lama banget.”
Dia ngelihat langit yang mulai oranye. “Gue masih suka mimpiin dia.”
Aku diem.
“Tapi gue rasa Rara nggak mau kita begini,” lanjutnya.
Aku ngeliat ke atas. Langit sore itu tenang banget.
“Iya,” jawabku pelan.
Kami duduk lama, tanpa ngomong. Cuma angin sore yang lewat, nyenggol daun-daun lapangan. Dan entah kenapa, aku merasa kayak ada Rara di antara kami — tersenyum, lalu bilang,
“Lihat deh… langitnya cantik, kan?”
Aku nengadah. Dan entah kenapa, kali itu aku bener-bener lihat langit dengan perasaan damai.
Setelah semua yang terjadi, aku akhirnya sadar satu hal.
Hidup itu nggak selalu kasih kita kesempatan buat milih siapa yang bakal tetap ada atau siapa yang harus pergi. Kadang, orang datang di waktu yang nggak kita sangka, bikin semuanya terasa lebih hidup, lebih hangat, dan sebelum sempat bilang terima kasih — mereka udah pergi duluan.
Dulu aku sering marah sama hal itu. Aku mikir hidup nggak adil. Kenapa harus Rara yang pergi? Kenapa bukan aku aja yang sakit waktu itu? Tapi lama-lama aku ngerti, mungkin memang bukan soal siapa yang tinggal lebih lama, tapi tentang siapa yang meninggalkan jejak paling dalam.
Rara datang sebentar, tapi rasanya kayak dia naruh sebagian dirinya di banyak tempat — di lapangan sekolah yang tanahnya selalu bau hujan, di bangku semen tempat kami duduk bertiga, bahkan di dalam tawa Dimas yang sekarang udah jarang keluar. Semuanya masih ada, kayak sisa cahaya sore yang nggak mau benar-benar hilang walaupun malam udah datang.
Sejak dia nggak ada, aku belajar hal-hal kecil yang dulu nggak pernah kupikirkan. Kayak, ternyata kehilangan itu bukan cuma tentang nggak bisa ketemu lagi. Tapi juga tentang belajar ngelanjutin hidup tanpa lupa sama yang udah pergi. Tentang menerima bahwa beberapa hal emang nggak bisa diperbaiki, cuma bisa dikenang.
Kadang aku masih suka ke lapangan belakang sekolah waktu sore. Duduk di bangku lama itu, ngelihat langit yang warnanya abu-abu lembut, kadang oranye muda kalau matahari belum sepenuhnya turun. Dan di saat itu, aku bisa ngerasa semuanya — sedihnya, rindunya, tapi juga tenangnya.
Kayak ada Rara di sebelahku, senyum sambil bilang, “Lihat deh, langitnya jujur banget, ya.”
Dulu aku nggak ngerti maksudnya. Tapi sekarang aku tahu. Langit sore itu memang warna paling jujur. Karena di sana, semua perasaan yang pernah ada kelihatan. Nggak bisa disembunyiin. Sedih, rindu, kecewa, tapi juga rasa tenang karena pernah punya sesuatu yang indah — semuanya bercampur, tapi nggak saling menenggelamkan.
Dan mungkin, itu juga cara hidup ngajarin kita buat berdamai. Bukan buat melupakan, tapi buat ngerti kalau kehilangan bukan akhir dari segalanya. Bahwa meski orangnya udah nggak di sini, kenangannya tetap ada — dan kadang, itu cukup buat bikin hati hangat lagi.
Sore itu, di bawah langit yang perlahan gelap, aku cuma duduk diam. Nggak nangis, nggak juga senyum lebar. Tapi di dada ada rasa yang susah dijelasin — antara lega dan rindu.
Mungkin ini yang disebut tenang.
Mungkin ini juga yang Rara maksud waktu bilang langit sore itu warna paling jujur. Karena di sana, semua hal bisa kelihatan apa adanya, tanpa pura-pura kuat, tanpa harus nyembunyiin luka.
Dan untuk pertama kalinya sejak dia pergi, aku bisa lihat langit itu lagi tanpa takut.
Cuma rasa damai — pelan, sederhana, tapi nyata