Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Istana Di Dasar Laut Nadir

👤 Putu Adi Yudistha Iantara 🏫 XI-11 🆔 25995

Laut Nadir adalah lautan paling misterius di seluruh Arvenya—hitam, luas, dan sangat sunyi. Bagi para pelaut, itu bukan sekadar hamparan air, melainkan pintu menuju dunia lain yang tidak dijaga oleh waktu. Ketika malam turun, permukaannya memantulkan cahaya bintang seperti cermin raksasa. Namun siapa pun yang mencoba menatap terlalu lama akan merasakan seolah-olah bintang-bintang itu ingin menelan mereka ke kedalaman.


Di tepian desa Nelar, seorang gadis bernama Alya sering duduk menatap laut itu. Rambut hitamnya yang panjang tertiup angin asin, dan matanya yang hijau memantulkan kerlip permukaan Nadir. Sejak kecil, ia bisa mendengar suara-suara yang berasal dari bawah laut. Bukan suara ikan atau gemericik ombak—melainkan nyanyian, seperti paduan suara dari kerajaan jauh di dasar samudra.


Tak ada yang mempercayainya, kecuali kakeknya, seorang mantan pelaut bernama Darven.


“Laut Nadir menyimpan istana yang tak bisa dilihat mata biasa,” kata kakeknya suatu malam. “Istana Ombak, tempat para Penjaga Laut tinggal. Dan tidak semua manusia diizinkan memasukinya.”


Alya hanya mengangguk kala itu. Namun ujung hatinya selalu bergetar setiap mendengar nyanyian itu. Seakan-akan panggilan yang terus memohon.





Peristiwa Hari Itu



Suatu sore, ketika langit berwarna jingga, sebuah kejadian mengguncang desa Nelar. Ombak tiba-tiba mengamuk meski langit cerah. Perahu-perahu terlempar, nelayan berteriak, dan laut berwarna keperakan seolah dipenuhi kilatan petir.


Alya, yang berada di tepi pantai, melihat sesuatu yang lain—bayangan raksasa yang bergerak di bawah permukaan air. Dalam satu hentakan, pusaran air raksasa terbentuk dan menelan sebuah perahu nelayan yang belum kembali ke daratan.


Tanpa berpikir panjang, Alya berlari ke arah dermaga. “Ayah!” teriaknya.


Ayahnya ada di perahu itu.


Ia hendak melompat ke air, namun kakeknya mencegahnya.


“Jangan ceroboh!” ujar Darven sambil memeluknya. “Itu bukan pusaran biasa. Itu panggilan dari Nadir.”


Alya meronta. “Ayah tenggelam di sana!”


“Dan kau akan mati jika melompat!”


Laut kembali tenang dalam beberapa detik, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya perahu-perahu remuk yang tersisa sebagai bukti.


Alya memandang permukaan air yang kini sunyi. Hatinya berdegup kencang. Nyanyian yang biasa ia dengar kini bersuara lirih, hampir seperti meminta maaf.


Ia merasa… dipilih.


Dan malam itu, ia tidak bisa tidur karena satu pemikiran: ayahnya dibawa ke Istana Ombak.


Panggilan dari Dalam Laut



Pada tengah malam, suara nyanyian itu terdengar jauh lebih jelas. Nada-nadanya bagaikan gelombang yang merambat di udara, masuk ke telinga, turun ke dada, lalu menggerakkan kaki Alya sendiri.


Ia mengenakan jubah tipis dan berjalan ke pantai. Bulan begitu besar, persis di atas kepalanya.


Ketika ia mendekati air, sesuatu yang tidak mungkin terjadi terjadi: permukaan laut membelah.


Bukan dengan suara keras, tetapi lembut seperti kelopak bunga yang terbuka. Dari celah itu muncul tangga air bercahaya biru yang turun ke bawah laut.


Alya tertegun. “Apa… ini?”


Lalu suara lembut terdengar.


“Alya dari Nelar… turunlah. Istana Ombak menunggumu.”


Alya tahu ia bisa saja mati. Namun ia juga tahu ayahnya ada di bawah sana. Tanpa ragu ia menuruni tangga air itu.


Semakin ke bawah, cahaya semakin terang. Laut Nadir bukan gelap seperti yang diceritakan banyak orang—justru penuh dengan sinar biru, ungu, dan hijau yang menari seperti aurora. Ikan-ikan transparan berenang di sekitarnya, dan ubur-ubur besar melayang seperti lentera langit.


Di kejauhan, berdirilah sebuah bangunan yang tidak mungkin dibuat oleh tangan manusia—Istana Ombak, terbuat dari karang putih dan air yang memadat menjadi dinding berkilau.


Alya terpesona. Setiap langkah membuat ia semakin yakin bahwa tempat ini bukan sekadar legenda.


Di gerbang istana, dua penjaga berwujud manusia namun memiliki sisik mengilap dan mata biru pucat menyambutnya.


“Sang Penjaga Laut menunggu,” ucap salah satu.



Sang Penjaga Laut



Di ruang utama, terdapat singgasana air yang berputar perlahan. Di atasnya duduk seorang wanita dengan rambut seperti ombak dan kulit yang memantulkan cahaya laut. Matanya dalam, seakan mampu melihat sampai ke dasar jiwa seseorang.


“Alya,” ujarnya. Suaranya merdu namun kuat. “Aku adalah Neria, Penjaga Laut Leluhur.”


Alya langsung berlutut. “Di mana ayahku? Tolong kembalikan dia.”


Neria menatapnya lama sebelum menjawab.


“Ayahmu masih hidup, tapi tidak lagi berada di dunia manusia. Ia terseret ke Nadir Rift, celah kuno yang menghubungkan dunia kita dengan Abyssal—kegelapan terdalam laut.”


Alya merasakan lututnya melemah. “Bagaimana aku bisa menyelamatkannya?”


“Kau tidak bisa… kecuali kau punya sesuatu yang tidak dimiliki manusia lain.”


Alya bingung. “Apa maksudmu?”


Neria melambaikan jarinya. Dari air muncul bayangan siluet seorang wanita—ibu Alya.


“Benarkah kau tidak pernah curiga dari mana kemampuanmu mendengar nyanyian laut berasal?” tanya Neria lembut.


Alya menatap gambaran ibunya. Ibunya meninggal saat Alya kecil. Ayahnya selalu berkata ibunya adalah manusia biasa.


Namun kini Neria berkata, “Ibumu adalah keturunan kaum Seralune, penjaga nyanyian laut. Kau mewarisi bakat mereka.”


Alya terperangah.


“Karena itu, kau satu-satunya manusia yang bisa masuk dan kembali dari Nadir Rift.”


Neria bangkit dari singgasananya. “Namun misi itu berbahaya. Kau mungkin tidak akan kembali. Apakah kau tetap ingin menyelamatkan ayahmu?”


Alya mengepalkan tangan. “Apa pun resikonya.”


Ke Dalam Celah Kegelapan


Neria memberikan Alya sebuah orb kecil berwarna biru—Orb Harmonis, sumber cahaya yang mampu menahan kegelapan Abyssal.


Dengan ditemani dua penjaga laut, Alya berenang ke arah lembah terdalam di sekitar istana. Di sana terdapat pusaran hitam yang tampak seperti mata raksasa yang tersenyum sinis.


“Nadir Rift,” kata salah satu penjaga. “Sekali masuk, kau hanya punya satu jam sebelum cahaya orb padam.”


Alya menelan ludah.


Ia melompat.


Segera gelap menyelimuti. Namun Orb Harmonis di tangannya menyala, mengusir bayangan-bayangan mengerikan yang bergerak di sekelilingnya. Sosok-sosok seperti makhluk yang kehilangan wujud, hanya berisi amarah dan kehampaan.


Di kejauhan, ia melihat seseorang terikat oleh untaian kegelapan.


“AYAH!” teriak Alya.


Pria itu membuka mata. “Alya?! Tidak, kau tidak seharusnya datang!”


Tiba-tiba, dari kegelapan muncul makhluk besar berkepala gurita dengan tubuh seperti kabut hitam—Ravaraq, pemangsa jiwa laut, penjaga Abyssal.


“Aroma setengah-Seralune…” suara Ravaraq seperti gemuruh. “Hadiah langka.”


Ia meluncur menyerang. Alya mendorong Orb Harmonis ke depan, menciptakan ledakan cahaya biru. Makhluk itu mengerang kesakitan, namun belum hancur.


Alya memotong belitan yang menahan ayahnya menggunakan cahaya orb, namun belitan itu tumbuh kembali.


“Abyssal tidak akan melepaskan mangsanya,” geram Ravaraq.


Alya tahu ia tak kuat menyerang frontal. Maka ia meletakkan Orb Harmonis di dada ayahnya.


“Cahaya ini tidak hanya menolak kegelapan,” gumam Alya. “Tetapi juga bisa memulihkan jiwa!”


Orb itu menyala sangat terang hingga warna biru memenuhi seluruh celah. Belitan kegelapan langsung terputus. Ravaraq berteriak marah dan mengerahkan seluruh kegelapan untuk menelan mereka.


Alya memeluk ayahnya erat. “Aku tidak akan meninggalkanmu!”


Gelombang hitam meluncur ke arah mereka seperti badai. Alya mengangkat tangan—cahaya dari dirinya keluar, lebih terang dari Orb Harmonis, membentuk perisai besar.


Ravaraq menabrak perisai itu, namun perisai Alya tidak retak. Cahaya murni Seralune mengalir dari dalam dirinya.


Neria ternyata benar—Alya bukan manusia biasa.


Dengan teriakan terakhir, Alya melepaskan semburan cahaya yang menghancurkan sebagian tubuh Ravaraq. Makhluk itu menguap menjadi kabut dan menghilang ke kegelapan.



Kembali ke Istana Ombak



Cahaya Orb yang tersisa menarik Alya dan ayahnya keluar dari Nadir Rift. Mereka kembali ke gerbang istana, terjatuh ke lantai terbuat dari air padat.


Alya terengah-engah, sementara ayahnya memeluknya erat. “Kau menyelamatkanku… putriku yang kuat…”


Neria mendekati mereka. “Kau telah membuktikan keberanianmu, Alya. Dan kekuatanmu sebagai keturunan Seralune telah bangkit.”


Alya memandang tangannya yang masih berpendar lemah. “Kenapa aku? Kenapa laut memanggilku?”


“Karena Laut Nadir akan segera kehilangan penjaganya. Aku tidak bisa menahan Abyssal selamanya,” ujar Neria. “Dan kau… adalah penerus yang dipilih.”


Alya terkejut. “Maksudmu… aku harus tinggal di sini?”


“Tidak sekarang,” jawab Neria. “Tapi suatu hari, Laut Nadir akan memanggilmu kembali. Dan saat itu terjadi, kau akan tahu apa yang harus kau lakukan.”


Alya menatap istana yang berkilau. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya. Namun untuk pertama kalinya, ia tidak takut.


Pelatihan Sang Penerus


Sejak hari itu, Alya memulai pelatihan bawah laut yang menguji batas fisiknya, jiwanya, bahkan keberaniannya sendiri. Para penjaga melatihnya mengendalikan cahaya Seralune—cahaya yang bukan untuk menyerang, tetapi untuk menuntun, menenangkan, dan membuka jalan.


berusaha keras mengendalikan cahaya di telapak tangannya. Setiap kali cahaya itu muncul, ia bisa merasakan denyut laut, aliran air, dan suara-suara yang tidak pernah didengar manusia biasa.

Namun kekuatan itu bukan tanpa resiko.Jika ia menggunakan terlalu banyak cahaya, tubuhnya akan kehabisan energi dan bisa pingsan berhari-hari.


“Cahaya bukan sekadar kekuatan,” kata Neria saat melatihnya. “Ia adalah bagian dari hidupmu. Kau harus menyatu dengannya, bukan memaksanya.”


Suatu sore, saat ia dan Neria berlatih di ruang arus bawah, air tiba-tiba berubah gelap. Ombak berputar. Cahaya biru istana meredup.


“Apa yang terjadi?” Alya panik.


Neria langsung menajamkan pandangan. “Ini bukan serangan.”


Alya menunggu dengan tegang.


Kemudian, suara yang sangat dalam menggema dari kejauhan:


“Waktu kita semakin sedikit.”


Alya mengenali suara itu.

Itu suara yang memanggilnya ke Dasar Nadir malam sebelumnya.


Dan kali ini, suara itu tidak lembut.

Tidak menunggu.


Suara itu mendesak.

Menyakitkan.

Penuh peringatan.


Neria memandang langit-langit air yang mulai retak-retak seperti kaca.


“Alya…” katanya pelan. “Gerbang Abyssal mulai bangkit.”


Alya mengepalkan tangan, cahaya di dadanya bergetar.

Ia tahu apa artinya ini.


Ia tidak hanya pewaris Seralune.

Ia kini menjadi harapan terakhir antara dua dunia yang bisa runtuh kapan saja.


Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Laut Nadir telah menandai dirinya.

Dan suatu hari, ia benar-benar akan kembali ke Istana Ombak sebagai penjaga baru.


Namun untuk sekarang—Alya hanya bersyukur bahwa cahaya dan kegelapan telah memberikan satu hal:


Waktu.


Waktu untuk memahami takdirnya.

Waktu untuk mencintai ayahnya.

Dan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi badai yang menunggu.